Senin, 31 Agustus 2009

AMAR MA’RUF – NAHI MUNKAR

Kehancuran suatu bangsa diawali dari kehancuran moralnya. Sejarah telah membuktikan bahwa kehancuran Bani Israil sebagaimana diceritakan dalam sebuah riwayat, diawali dari penyakit hati yang bersarang di dalam diri mereka. Penyakit-penyakit hati itu adalah:
- Sombong (al-kibru)
Mereka mempertanyakan perintah Allah sebagaimana diceritakan dalam surat 2:67-71. Mereka melakukan itu bukan karena tidak faham, tapi untuk mengelak dari perintah itu.
- Zhalim (al-baghyu) dan dengki (al-hasad)
- Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar disingkat AMNM (tarakul amri bil ma’ruufi wannahyi ‘anil munkari)
Masalah ini bisa dilihat pada surat 5:78-79 dan 7:165


Kalau AMNM merupakan penyakit hati, maka melaksanakan AMNM bisa membersihkan hati (tazkiyyatun nafs). Inilah sebabnya materi AMNM masuk ke dalama materi tazkiyyatun nafs. Alasan lainnya adalah hubungan antara surat 91:9 dan 3:104. Dalam surat 91:9 disebutkan, “Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya.” Sedangkan di surat 3:104 disebutkan: “Dan hendaklah ada di antara kalian umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dari keduanya dapat disimpulkan bahwa agar manusia beruntung harus selalu membersihkan diri, di antara langkah pembersihan diri adalah menyeru kepada kebaikan dan AMNM.

AMNM terutama kepada diri sendiri sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan seorang da’i yang dimasukkan ke dalam neraka. Tatanan kehidupan yang mengabaikan AMNM akan hancur sebagaimana Bani Israil. Jadi AMNM di satu sisi merupakan wasilah tazkiyyatun nafs, di sisi lain dalam rangka mempertahankan tatanan kehidupan.

Dalam surat 9:71 Allah menempatkan AMNM mendahului sholat dan zakat, padahal dua amal ini dikenal erat kaitannya dengan tazkiyyatun nafs.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
“Demi jiwaku yang ada di TanganNya, kamu AMNM atau Allah akan mengirim kepada kalian siksa lalu ketika kalian berdoa tidak dikabulkan.”
Jadi antara tazkiyyatun nafs dan iqob Allah saling terkait.

APAKAH ITU AMNM?

1. DEFINISI AMAR MA’RUF
AL-MA’RUF adalah istilah yang mencakup setiap yang dicintai dan diridhoi Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, berupa aktivitas lahir ataupun batin, sehingga meliputi aqidah, ibadah, peraturan, dan akhlak. Disebut ma’ruf (dikenal) karena fitrah yang lurus dan akal yang sehat mengenalnya dan mengakui sisi positif dan kebaikannya.

Sedangkan AMAR MA’RUF adalah mengajak manusia untuk melakukan yang ma’ruf dengan merangsangnya serta menyiapkan kemudahan-kemudahannya dan jalan-jalannya. Hal-hal yang mengantarkan dan memudahkan untuk pelaksanaan AM harus tersedia sehingga manusia tidak lagi beralasan untuk tidak melakukannya.

Contoh:
- Nabi Nuh AS ketika mengajak anaknya naik kapal, sudah terseida kapalnya
- Rasul SAW ketika melihat orang shalatnya tidak benar, beliau menuntunnya

Dari definisi AM di atas jelas bahwa PELAKSANA AM ADALAH PENGUASA.

2. DEFINISI NAHI MUNKAR
AL-MUNKAR adalah istilah yang mencakup setiap apa saja yang dimurkai dan diridhoi Allah baik ucapan maupun perbuatan. Dinamakan munkar karena fitrah yang lurus dan akal yang sehat akan menolaknya dan menyaksikan keburukannya, bahayanya dan kerusakannya.

Jadi munkar selalu mengarah kepada kejahatan yang merugikan dan merusak baik dampak kerusakan itu kepada pribadi maupun masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam hadits kapal.

Seorang Muslim yang saling menopang satu sama lain tidak akan membiarkan saudaranya jatuh ke yang munkar.

Sedangkan NAHI MUNKAR adalah mengingatkan orang lain untuk tidak melakukan, menghalaunya dan menghalanginya serta memutuskan sarana-sarana (mencabut akar-akarnya) yang bisa menyebabkan kemunkaran.

3. MANFAAT PELAKSANAAN AMNM
a. Menjaga kebersihan hati
b. Selamat dari siksa Allah dan memperoleh keberuntungan dengan mendapatkan ridho Allah dan surgaNya (7:165. 3:104, 9:71-72, 5:78-81)
c. Terlindunginya dunia ini dari perubahan yang drastis dalam bentuk kejahatan dan kerusakan. Dalam hal ini mushlih berbeda dengan sholih, karena mushlih itu untuk diri dan masyarakat, sedangkan sholih hanya untuk dirinya sendiri. Lihat surat 11:116-117: “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan (mushlihun).” Lihat juga hadits kapal, surat 2:251 dan 22:40.

d. Menegakkan hujjah kepada orang-orang yang membangkang dan yang melakukan ma’shiyat. Lihat surat 5:19: “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah dating kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan: ‘Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.’ Sesungguhnya telah dating kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Lihat juga surat 4:165, 7:164, dan 67:6-9.

e. Mengingatkan orang lalai dan menyelamatkan orang yang tenggelam dalam kema’shiyatan. Manusia salah itu wajar karena dalam dirinya ada unsure yang mendorong ke kejahatan, tapi salah itu bukan tabiatnya. Surat 7:164 menyebutkan bahwa AMNM itu sebagai hujjah (معذرة) dan agar mereka takut (لعلهم يتقون). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kalau engkau memegang benih sedang engkau tahu kiamat segera dating, tanamlah benih itu.

f. Untuk menumbuhkan sensitivitas terhadap makna-makna ukhuwwah, ta’awun dan kepedulian terhadap umat Islam satu dengan lainnya. Kepedulian itu bukan hanya dengan mengangkat problem-problem besar dunia Islam, tapi AMNM pun masuk ke dalamnya.

4. DAMPAK NEGATIF TIDAK DILAKSANAKANNYA AMNM
a. Kotornya hati karena lambat laun akan memberikan ta’tsir kepada diri kita
b. Mendatangkan murka Allah di dunia dalam bentuk
- laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, di samping akan menimbulkan saling membenci dan perpecahan. Lihat hadits yang menafsirkan surat 5:78-81
- yang akan dijadikan pemimpin adalah orang-orang jahat yang tidak memiliki belas kasihan dan tidak dikabulkan doanya orang-orang yang sholih sekalipun. Imam Ahmad meriwayatkan: Suatu ketika seorang tabi’in mendekat ke Hudzaifah lalu Hudzaifah berkata: “Dahulu orang mengucapkan kalimat di masa Rasulullah lalu dianggap munafik, sedangkan aku mendengar orang mengucapkan kalimat itu di satu tempat sampai empat kali. Kalian AMNM serta menganjurkan kebaikan atau Allah akan murka kepada kalian dengan menurunkan siksaNya atau Allah akan menjadikan pemimpin-pemimpin kalian orang-orang yang paling jahat dan orang-orang pilihan di antara kalian berdoa kepada Allah tapi Allah tidak mengabulkannya.”

c. Memberikan peluang kepada orang-orang yang malas dan pelaku-pelaku ma’shiyat alasan untuk berdiam diri dengan alasan bahwa mereka tidak mendapati orang yang menunjukkan kebaikan serta mengingatkan mereka.

d. Menyiakan-nyiakan kelompok besar dari kalangan manusia yang hanya bersenang-senang dengan kelebihan yang dimilikinya dan kesucian jiwanya, akan tetapi aktivitas-aktivitas kehidupannya telah memalingkannya dari iltizam terhadap Islam dan berbuat untuknya (7:164)

e. Hilangnya perasaan aman di kalangan manusia baik terhadap diri mereka, keluarga, maupun hartanya. Ini bila AMNM sama sekali tidak ditegakkan ataupun ditegakkan tidak sebagaimana mestinya.

5. SYARAT WAJIBNYA AMNM
a. Taklif, yakni usia baligh
b. Mempunyai kemampuan (minimal)
c. Selamat dari bahaya sekalipun baru berupa prediksi baik kepada diri, harta, keluarga maupun jamaahnya
d. Mengetahui terjadinya kemunkaran
e. Dengan pelaksanaan AMNM tidak menimbulkan kemunkaran yang lain yang kadarnya sama atau lebih besar
f. Tema AMNM adalah yang disepakati umat Islam bukan yang diperselihkan. Contoh: seorang masyayikh di Masjid Nabawi menengahi dua orang pemuda yang memperdebatkan menggerak-gerakkan tangan ketika tahiyyat dengan berkata: “Kalau menggerak-gerakkan tangan (menembak) di Afghanistan itu wajib, sedang yang di sini tidak perlu diperdebatkan.”

6. ADAB AMNM
a. Ilmu
b. Taqwa atau mataanatud diin, yakni mengamalkan apa yang dituntut oleh ilmu dan menjauhi dari syubuhat, kemudian mendekatkan diri kepada Allah di setiap saat sampai ke tingkat tsiqoh dan berhak untuk mubaya’ah (surat 61:1-2)
c. Lemah lembut. Lihat surat 16:125, 18:19, dan 20:44 serta hadits di Riyadhush Shalihin I halaman 513-517. Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
إن هذا الدين متين فأوهلوه برفق (sesungguhnya agama ini kokoh, maka masukilah ia dengan perlahan-lahan).
d. Sabar dan tabah (32:24, 41:33-35, 31:17)
e. Ikhlas

7. FAKTOR LAIN YANG DAPAT MEMBANTU AMNM
a. Mengingat bahwa AMNM adalah perintah Allah dan RasulNya
b. Selalu memperhatikan manfaat pelaksanaannya
c. Memperhatikan informasi-informasi yang diberikan Al-Qur’an
d. Senantiasa mengkaji sejarah umat Islam yang terkait dengan pelaksanaan AMNM
e. Yakin bahwa dengan melaksanakan kewajiban ini tidak akan mengurangi umur dan rizki
f. Mujahadah terhadap dirinya untuk mencapai persyaratan AMNM


ADAB BERBICARA DAN MENDENGAR

1. TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini maka peserta akan:
a. Mempunyai kepekaan dalam mendengar.
b. Mempunyai kemampuan dalam berbicara.
c. Memahami bahwa dalam mendengar dan berbicara ada adab dan tatacaranya dalam Islam.
d. Memahami bahwa mendengar berarti menghargai pembicaraan orang lain.
e. Menyadari bahwa berbicara berarti menghargai perasaan orang lain.


2. TITIK TEKAN MATERI
Mendengar dan berbicara adalah media komunikasi. Ada saatnya kita harus berbicara dan ada saatnya kita harus mendengar. Allah swt. menciptakan umat manusia dengan dua telinga dan satu mulut agar mereka lebih banyak mendengar daripada berbicara. Berbicaralah sedikit saja tetapi mengena, berkualitas, dan bermakna, daripada berbicara panjang lebar tidak jelas manfaatnya.

Adab mendengar dan berbicara sangat penting untuk efisiensi dan efektifitas bermusyawarah dan berdiskusi. Dalam berdakwah, sebelum kita berbicara maka kita harus mendengar terlebih dahulu realitas dan masalah-masalah lapangan.
Dalam realitanya, mendengar tidak harus dengan telinga, tetapi berarti melihat data dan memperhatikan keluh kesah serta saran orang lain. Pada akhirnya, ketrampilan mendengar dan berbicara sangat penting dalam berdakwah dan bergaul dengan orang lain.

3. POKOK-POKOK MATERI
1. Sifat-sifat Rasul saw dalam hal mendengar dan berbicara.
2.Adab-adab mendengar.
3. Adab-adab berbicara.
4. Ketrampilan mendengar.
5.Ketrampilan berbicara.

4. MARAJI’
Mamarrat I, hal: 177.
Fiqh Shirah
Riyadush Shalihin

Uraian Materi

ADAB AT-TAHADDUTS WA AL-ISTIMA’

Pendahuluan
Islam adalah diin al-adab, atau agama yang mengajarkan norma-norma luhur dan suci bagi umat manusia. Seorang mukmin yang menjadikan dirinya sebagai kendali diri dalam berbuat dan berbicara, akan menikmati saat-saat diamnya, sementara orang lain pun merasa sejuk berdekatan dengannya.

Ketika ia berbicara, manisnya kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat orang yang mendengarnya sadar dan terbimbing kepada kebaikan dan kebenaran. Demikian juga tatkala ia berbuat sesuatu, maka perbuatannya selalu baik, memberi manfaat, dan dapat menjadi keteladanan bagi yang lain. Mukmin seperti ini adalah mukmin yang memiliki sifat-sifat yang dekat kepada Rasulullah saw. yang mulia, di mana diamnya adalah fikir, ucapannya adalah dzikir, dan amalnya adalah keteladanan.

ADAB AT-TAHADDUTS

1. Berbicara yang jelas, mudah difahami oleh setiap pendengar.
Dari ‘Aisyah ra. Berkata:
كَانَ كَلاَمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَلاَمًا فَصْلاً يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ . رواه أبو داود و أحمد
Adalah ucapan Rasulullah saw. selalu jelas maksudnya dan dipahami oleh setiap orang yang mendengarkannya. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dari ‘Aisyah ra. juga berkata: “Bahwa Rasulullah saw, pernah berbicara, sekiranya ada yang menghitung ucapannya pasti terhitung.” Dan dalam riwayat lain: “Beliau tidak mengeluarkan ucapan sebagaimana kalian berbicara.” (HR. Bukhari-Muslim).

2. Berbicara dengan ungkapan yang simpel dan tidak mencari-cari bahasa yang tinggi, sehingga kalimat yang diucapkan tidak memiliki makna yang sulit atau tidak bisa dimengerti.
Khalil bin Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya suatu masalah, beliau tidak segera menjawab. Maka penanya berkata, “Apakah pertanyaan ini tidak ada jawabannya dalam pandangan tadi?” Beliau berkata, “Anda sebenarnya telah mengetahui masalah yang Anda tanyakan berikut jawabannya, tetapi saya ingin memberi jawaban yang lebih mudah lagi Anda pahami.”

3. Tidak diulang-ulang kecuali untuk memberikan tekanan makna, karena “Sebaik-baik ucapan adalah yang singkat dan membawa arti, dan seburuk-buruk ucapan adalah yang panjang dan membosankan.”
Abdullah bin Mas’ud ra., memberi nasehat kepada masyarakatnya setiap hari Kamis. Ada seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman, saya berharap engkau memberi nasehat kepada kami setiap hari.” Beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya yang menghalangiku untuk itu karena aku tidak suka membuat kalian bosan.” Selanjutnya ia berkata,
وَإِنيِّ أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةً السَّآمَةَ عَلَيْنَا . متفق عليه
Aku selalu memilih waktu untuk kalian dalam memberi nasehat, sebagaimana Nabi saw, memilih waktu untuk kami dalam memberi nasehat karena khawatir membuat jenuh atas kami. (Muttafaq ‘alaih)

Dari ‘Ammar bin Yasir ra berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيْلُوْا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا اْلخُطْبَةَ . رواه مسلم
Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khuthbah, merupakan bukti kemantapan pemahamannya. Maka panjangkan shalat dan pendekkan khutbah! (HR. Muslim)

4. Ucapan harus bagus, tidak kotor dan munkar (jahat).
Rasulullah saw, bersabda:
كُلُّ كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لاَ لَهُ إِلاَّ أَمْرًا بِمَعْرُوْفٍ وَنَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ وَذِكْرَ اللهِ .
Setiap ucapan anak Adam mencelakannya, bukan menguntungkan, kecuali perintah untuk kebaikan, mencegah kemungkaran, dan dzikrullah.

Agar ucapan kita selalu bagus dan menambah pahala kita dan tidak menambah dosa, maka kita harus menjaga hal-hal berikut:
a. Setiap pembicaraan kita agar selalu membawa unsur perintah shadaqah, atau berbuat baik, atau perdamaian bagi manusia. Allah ta’ala berfirman:
Tiada kebaikan dalam banyak pertemuan mereka, kecuali orang yang memerintahakan shadaqah, atau kebaikan, atau perdamaian bagi manusia. Dan barangsiapa melakukan hal itu untuk mencari ridha Allah, maka niscaya Kami memberinya pahala yang besar. (Surat An Nisa’: 114)

b. Meninggalkan pembicaraan yang bukan kepentingan kita untuk membicarakannya.
Rasulullah saw. bersabda,
ِمنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ . رواه الترمذي
Di antara bagusnya keislaman seseorang adalah, ia tinggalkan sesuatu yang tidak ia ada kepentingan dengannya. (HR.Turmudzi)

c. Menjauhi ucapan yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Allah berfirman, Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’. Dan orang-orang yang dari hal yang tidak berguna mereka selalu bepaling. (Surat Al-Mu’minun: 1-3).
Rasulullah saw. bersabda, Sungguh seorang hamba ketika mengucapkan suatu ucapan, tidak lain hanya untuk membuat orang lain tertawa, ia bisa jatuh di neraka lebih jauh antara langit dan bumi. (HR. Baihaqi)

d. Menyebar-luaskan salam.
Rasul saw bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَصِلوُا اْلأرْحَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوْا بِالَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِسَلاَمٍ . رواه الترمذي
Wahai manusia sebar-luaskan salam, sambunglah silaturrahim, berikan makanan, dan shalatlah malam ketika manusia tertidur niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat. (HR Turmudzi)

e. Menahan diri dari ucapan jahat yang tidak membawa kemaslahatan.
Allah berfirman, Janganlah berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yng baik, kecuali dengan orang yang zhalim di antara mereka. (Al-Ankabut: 46)
Dalam hadits Aisyah ra. dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya sejahat-jahat manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang yang ditinggalkan masyarakatnya karena menghindari ucapan jahatnya. (HR Bukhari)

f. Bersabar dalam berdialog dengan orang-orang bodoh (jahil). Hal ini tidak berarti menerima kehinaan, akan tetapi bisa menahan diri di hadapan faktor-faktor yang memancing emosi dan mencegah diri dari marah, sukarela atau pun terpaksa.
Allah swt. berfirman, Dan hamba-hamba Allah yang Maha Rahman mereka itu berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Dan apabila diajak bicara oleh orang-orang yang bodoh (jahil) mereka berkata, ‘selamat.’ (Al Furqan : 63)
Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun as, Pergilah kalian kepada Fir’aun sesungguhnya dia itu melampaui batas. Maka katakanlah kepadanya perkataan yang lembut.

Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa ketika Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabatnya, ada seseorang mencaci Abu Bakar ra. dan menyakitinya, tetapi Abu Bakar tetap diam. Lalu ia menyakitinya yang kedua kali dan Abu Bakar pun tetap diam. Kemudian ia menyakitinya yang ketiga kali, maka Abu Bakar membela diri. Ketika itulah Rasulullah saw. bangkit meninggalkan majlis. Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau mendapati suatu dosa atas diriku, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, Ada malaikat turun dari langit mendustakan orang itu terhadap apa yang ia ucapkan kepadamu. Namun ketika kamu membela diri, setan pun datang, maka aku tidak mau duduk di sini ketika setan datang. (HR Abu Dawud).

g. Menjauhi perdebatan, baik dalam kebenaran maupun dalam kebatilan, karena hal itu akan menimbulkan keinginan mencari menang dalam diri akhi, dan lebih suka berapologi daripada menampakkan kebenaran..
Rasul saw bersabda,
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى ِإلاَّ أُوْتُوا اْلجَدَلَ . رواه الترمذي
Tidaklah suatu kaum tersesat setelah berpegang kepada kebenaran kecuali mereka diberi kegemaran berdebat. (HR Turmudzi).
Ibnu Majah dan Ahmad). Rasul saw bersabda, “Aku pemimpin sebuah rumah di dalam surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang benar. Dan aku pemimpin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun bercanda. Dan aku pemimpin sebuah rumah di puncak surga bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR Abu Dawud)

h. Menjauhi tempat-tempat kejahatan. Yaitu tempat dilakukannya kemungkaran atau dibicarakan di dalamnya ucapan yang menghina atau melecehkan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah swt. berfirman,
Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim sesudah teringat larangan itu. (Al-An’am: 68)
Dan Allah swt. berfirman, Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. (Al Humazah: 1)

Rasulullah saw. bersabda,
لَيْسَ اْلمُؤْمِنُ بِطَعَّانٍ وَلاَلَعَّانٍ وَلاَ فَاحِشٍ وَلاَ بَذِيْءٍ .
Tidaklah pantas seorang mukmin pencaci maki, pelaknat, suka berkata keji, dan suka berkata jorok.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada kata keji dalam sesuatu kecuali ia akan merusaknya. Dan tidaklah ada sifat malu dalam sesuatu melainkan ia akan menghiasinya.” (HR Turmudzi).

ADABUL ISTIMA’

1. Diam dan mendengarkan sehingga ucapan tidak bercampur baur dan sulit dipahami.
Allah berfirman,
Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapatkan rahmat. (Al-A’raf : 204)
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadanya di Haji Wada’, “Perintahkan manusia untuk tenang.” Kemudian beliau bersabda,
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ . متفق عليه
Janganlah kalian kembali sesudahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher yang lain. (Muttafaq ‘alaih)

Dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. memberi wasiat kepada Abu Dzar ra. Beliau saw. bersabda,
Hendaklah kamu berakhlaq mulia dan banyak diam, karena demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada perhiasan bagi seluruh makhluk yang serupa dengan keduanya. (HR. Ibnu Abid Dunya, Bazzar, Thabrani, dan Abu Ya’la)
Abdullah bin Mas’ud ra, berkata, “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada sesuatu di atas bumi yang lebih perlu untuk ditahan lama selain lidah.” (Riwayat Turmudzi).

2. Tidak memenggal ucapan orang lain karena tergesa-gesa atau ingin menguasai kendali forum. Sehingga keinginan Rasulullah saw untuk segera menghafal Qur’an, dilarang oleh Allah dalam firman-Nya:
Dan jangalah kamu menggerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena kamu hendak cepat-cepat menguasainya. (Al-Qiyamah: 16)

3. Menghadapkan wajah kepada pembicara dan tidak berpaling darinya atau membuat orang lain berpaling darinya, selama dalam rangka taat kepada Allah, meskipun ucapan kurang membawa daya tarik ataupun bahasanya kurang indah dan kurang lancar.
Rasulullah saw, bersabda:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ اْلمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ . رواه مسلم
Janganlah kamu meremehkan suatu kebajikan, meskipun sekedar wajah berseri ketika engkau bertemu saudaramu. (HR. Muslim)

4. Tidak menampakkan sikap berbeda karena ucapan saudara kita, meskipun kita sudah lebih tahu, selama pembicara tidak bersalah dalam berbicara.
Rasulullah saw. pernah meminta Ibnu Mas’ud ra. untuk membacakan Al-Quran kepadanya, maka ia menjawab, “Aku membaca untuk Anda padahal ia turun kepada Anda?” Beliau menjawab, Aku sungguh senang mendengar Al-Quran itu dari orang lain.
Imam Ahmad bin Hambal pernah mendengarkan nasihat Al-Muhasibi, sampai beliau memperhatikannya dengan tenang dan akhirnya beliau menangis sampai basah jenggotnya.

5. Tidak menampakkan kepada para hadirin bahwa kamu adalah orang yang lebih ‘alim dibandingkan si pembicara, karena hal itu akan menyebabkan kamu bersikap sombong (takabbur).
Rasulullah saw. bersabda,
اَلْكِبْرُ بَطَرُ اْلحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ .
Kesombongan adalah sikap angkuh kepada kebenaran dan meremehkan orang lain.


Ukhuwah Islamiyah

“Ukhuwah Islamiyah“ pasti bukan kata yang asing ditelinga kita. Sebagai mu’min kita semua telah disatukan dengan ukhuwah, dan memang gak ada ukhuwah/persaudaraan yang paling kuat kecuali persaudaraan orang yang beriman sehingga Rasulallah pernah bersabda : “Andai para raja-raja Romawi itu mengetahui nikmatnya ukhuwah yang kita miliki maka mereka akan berusaha sekuat tenaga merebutnya dengan pedang-pedang mereka”.
“Subhanallah…” Nah…,Gimana caranya agar kita merasakan nikmat nya ukhuwah?? Ternyata Rasulullah SAW juga punya kiat–kiat nya


Membela Mu’min yang digunjingkan
“Ah yang bener? Masa sih dia kayak gitu? Ih amit- amit deh…”. Itu ungkapan yang biasa terdengar ketika “diskusi” makin hangat. Bukannya membela orang yang digossipkan, kadang kita malah asyik dalam membicarakan keburukan saudara kita seiman. Padahal Allah sudah memperingatkan kita melalui QS Al Isra :36 .(baca sendiri ya…)

“Kejelekan dia? Nggak tahu tuh..”
Rasulullah bersabda : “Hai Orang-orang yang beriman --dengan lisannya namun keimanan itu belum masuk kedalam hatinya--, janganlah kalian menggunjing atau mencari aib kaum muslimin,karena barangsiapa mencari –cari aib saudaranya maka Allah akan mencari aibnya.Barangsiapa aibnya dicari oleh Allah, niscaya aib itu akan ditampakkan-Nya meskipun ia bersembunyi dirumahnya”.(HR Abu Daud dari Abu Hurairah).

Mema’afkan Kesalahan saudaranya
Dalam sebuah riwayat dari Hakim dengan sanad dari Anas bin Malik,Rasulullah dengan bercucuran airmata bahkan menggambarkan keindahan kota-kota dari perak dan istana dari emas yang bertabur mutiara di Syurga bagi orang –orang yang mema’afkan kesalahan saudaranya.

Berbuat baik terhadap Saudara Seiman
Terkadang kiat meremehkan sebuah kebaikan ,walau berupa senyuman. Namun di sisi Allah ,terdapat sebuah pahala yang besar.Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Dzar bahea Rsulullah bersabda :”Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun,sekalipun sekedar wajah berseri yang kau berikan ketika berjumpa saudaramu “.

Tidak menimpakan kesulitan bagi saudaranya, walaupun hanya bercanda
Bercanda sih boleh -boleh saja, tapi jangan sampai karena bercanda kita sampai menyakiti saudara kita . Rasulullah bersabda :”Terkutuklah siapa saja yang menimpakan bahaya atau membuat tipu daya atas seorang mu’min”.

Menahan diri dari membicarakan aib
Ukhuwah itu bukan cuma dimulut ,tapi harus terpatri kuat di dalam dada. so, jangan sampai tergoda untuk membicarakan aib saudara kita bahkan jangan sampai bersu’uzon . karena hal itu hanya akan merusak ukhuwah di antara kita.

Berbicara dengan apa yang disukai Saudaranya
Berbicara dengan kata-kata yang menyenangkan, memanggil dengan nama yang disukai, memuji saudara kita –tanpa berlebihan sehingga memancing Riya – mengucapkan terimakasih atas kebaikan saudara kita; semua itu akan memperat ukhuwah dijalan Allah.

Saling menyampaikan taushiah
“Dan tetaplah memberi peringatan ,karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kamu Mu’minin “( QS.Adz-Dzariat :55). Juga dalam QS. Al-Ashr : 3 ,Allah menekankan pentingnya budaya taushiah. Tapi dalam bertaushiah, perlu kita perhatikan adab2nya agar taushiah tersebut diterima dengan baik, dan tidak menyinggung perasaan saudara kita.

Saling meringankan beban
Sesungguhnya kita adalah satu tubuh ,jadi sepantasnya bila ada saudara kita yang kesusahan kita ikut membantu meringankan masalahnya.

Mendoakan Saudara selama Hidup ataupun Mati
Sesungguhnya Allah mendengar do’a seorang mu’min terhadap mu’min lainnya.Dan tiadalah do’a itu kecuali para malaikat akan menyambut :”Dan untukmu seperti itu juga”. Sungguh, saling mendo’akan sesama mu’min akan mepertautkan hati walau dipisahkan jarak yang jauh.

Semoga kiat-kiat yang diajarkan rasulullah ini dapat kita ‘amalkan sebaik-baiknya sehingga kita dapat merasakan nikmat ukhuwah Islamiyah , sebagaimana yang telah dicontohkan masa kehidupan para sahabat yang telah diikat dengan keimanan, rasa kasih sayang di jalan Allah dengan penuh keikhlasan. Mereka itu telah berjaya membentuk masyarakat dan negara Islam yang paling berjaya.


YANG BERJATUHAN DI JALAN DA'WAH

PENDAHULUAN
Da'wah merupakan perjalanan panjang yang penuh dengan duri dan rintangan. Kemenangan da'wah akan diperoleh apabila para anggota-anggotanya komitmen dan teguh dalam menapaki jalan da'wah.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa akan ada anggota da'wah yang berjatuhan, baik bentuknya penyelewengan, penyimpangan, pengunduran diri dan sebagainya, sebelum meraih kemenangan. Fenomena ini tidak bisa dihindari, sehingga ada sebagian orang memandang hal ini sebagai suatu fenomena yang wajar / sehat guna memperbaharui sel-sel intinya, dan membebaskan da'wah dari segala hal yang memberatkan dan menghambat pergerakan.


FENOMENA YANG BERJATUHAN DI ZAMAN NABI
Pada zaman Rasulullah saw, sudah terjadi fenomena pembelotan para anggota jama’ah untuk melepaskan tanggung jawab ataupun sekedar bermalas-malasan dalam berda’wah. Beberapa peristiwa berjatuhan di jalan da'wah yang sempat terjadi adalah:

a. Kelompok mutakhollifin (orang-orang yang tidak berangkat) pada perang Uhud, diantaranya: Ka’ab bin Malik, Muroroh Ibnu ‘Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Namun mereka bertiga ini kemudian diterima taubatnya oleh Allah swt, dan penerimaan taubat mereka diabadikan di dalam Al Qur’an dalam surat al Bara-ah, dan karena pertaubatan besar inilah surat ini juga dinamakan surat at-Taubah.

b. Pembocoran rahasia negara oleh Hathib bin Abi Balta’ah. Namun mengingat kebaikan masa lalunya, yaitu keikut sertaannya dalam perang Badar yang merupakan yaumul furqan, Rasulullah saw mengampuni dan tidak menghukumnya.

c. Haditsul Ifki (berita kebohongan besar) terhadap Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. Diantara orang-orang yang terlibat dalam penyebaran berita ini, ada tiga sahabat nabi, mereka telah mendapatkan hukuman had, yaitu masing-masing di dera 80 kali, dan setelah itu merekapun bertaubat. Mereka itu adalah: Hassan bin Tsabit, Hamnah binti Jahsy dan Misthah bin Utsatsah.

d. Pengkhianatan Abu Lubabah yang membocorkan rahasia hukum yang akan diterapkan kepada orang-orang Yahudi Bani Quraizhah. Dia telah menyatakan taubat kepada Allah swt dan Rasul-Nya, dan Allah swt-pun telah menerima taubatnya.

e. Peristiwa berdirinya masjid dhirar.

SEBAB-SEBAB BERJATUHAN
a. Sebab-sebab yang berhubungan dengan pergerakan
1. Lemahnya segi pendidikan.
2. Tidak menempatkan personal dalam posisi yang tepat.
3. Distribusi penugasan yang tidak merata pada setiap individu.
4. Tidak adanya monitoring personal secara baik.
5. Tidak menyelesaikan berbagai urusan dengan cepat.
6. Konflik intern. Konflik intern ini disebabkan oleh:
- Lemahnya kepemimpinan.
- Adanya tangan tersembunyi dan kekuatan luar yang sengaja menyebar fitnah.
- Perbedaan watak dan kecenderungan individu.
- Persaingan dalam memperebutkan kedudukan.
- Tidak adanya komitmen dan penonjolan tingkah laku individu.
- Kevakuman aktifitas dan produktifitas.

Dalam sejarah, konflik yang pernah terjadi antar ummat Islam adalah pada peristiwa konflik golongan Aus dan Khazraj. Dalangnya (provokatornya) adalah orang-orang Yahudi, yaitu Syammas bin Qais. Atas prakarsa Rasulullah saw maka golongan Aus dan Khazraj bersatu kembali. Hal tersebut terbukti dengan turunnya QS Ali Imran: 100 – 105.

7. Kepemimpinan yang tidak ahli dan qualified. Sebabnya antara lain:
- Kelemahan dalam kemampuan idiologi.
- Kelemahan dalam kemampuan organisatoris.

Oleh karena itu, seorang pemimpin yang diangkat haruslah memiliki syarat:
- Mengenal da'wah.
- Mengenal diri sendiri.
- Pengayoman yang kontinyu.
- Teladan yang baik.
- Pandangan yang tajam.
- Kemauan yang kuat.
- Kharisma kepribadian yang fitri.
- Optimisme.

b. Sebab-sebab yang berhubungan dengan individu
Yaitu berjatuhannya anggota disebabkan oleh atau bersumber pada pribadi anggota.
Yang termasuk dalam hal ini adalah:
1. Watak yang tidak disiplin, sehingga menyebabkan dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan organisasi / jama’ah.

2. Takut terancamnya diri dan periuk nasinya (QS 4 : 120, QS 3 : 175).
Tersebut dalam hadits:
“Syurga dipagari dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka dikelilingi oleh segala hal yang menyenangkan”. (HR Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi).

3. Sikap ekstrim dan berlebih-lebihan.
Tersebut dalam hadits:
“Hendaklah kamu menjauhi sikap ekstrim dalam agama. Sesungguhnya orang yang sebelum kamu binasa karena ekstrim dalam beragama”. (HR Ahmad dan An-Nasai).

4. Sikap terlalu memudah-mudahkan dan meremehkan.
Tersebut dalam hadits:
“Sesungguhnya kamu melakukan pekerjaan-pekerjaan dosa menurut pandangan mata kamu lebih halus dari rambut. Di masa Rasulullah saw, kami menggolongkan perbuatan itu termasuk al muubiqoot (hal-hal yang menghancurkan)”. (HR Bukhari).

5. Tertipu kondisi gemar menampilkan diri (QS 28 : 83).
6. Kecemburuan terhadap orang lain / kedengkian. (QS 5 : 27 – 30).
7. Bencana senajata / penggunaan kekuatan.

Syarat-syarat penggunaan kekuatan:
- Habis segala usaha dengan jalan lain.
- Urusannya dipegang oleh pimpinan dan jama’ah Islam dan bukan oleh individu.
- Tidak menjurus pada pengrusakan dan bencana.
- Tidak boleh keluar dari ketentuan syara’.
- Penggunaan kekuatan sesuai skala prioritas.
- Penggunaan senjata harus mempunyai persiapan yang matang dan cermat.
- Hati-hati akan pancingan berbagai reaksi.
- Tidak boleh menjerumuskan ummat Islam bila posisi kekuatan tidak seimbang.

c. Tekanan Luar
1. Tekanan dari suatu cobaan (QS 3 : 175).
2. Tekanan keluarga dan kerabat (QS 9 : 24).
3. Tekanan Lingkungan.
4. Tekanan gerakan agitasi (penyebaran kritik dan keragu-raguan).
5. Tekanan figuritas (QS 7 : 12).


Minggu, 30 Agustus 2009

ADAB BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT

Dengan atau tanpa da’wah, interaksi dengan masyarakat adalah suatu kepastian. Bagi seorang muslim, untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam tentu dilakukan dengan berinteraksi dengan masyarakat lebih-lebih dalamkaitannya dengan da’wah, karena da’wah sendiri harus dengan berbaur dengan masyarakat (mukholathah) dengan mukholtahoh yang ijabi (positif).

Dengan demikian, thobi’at da’wah itu adalah ‘aammah (umum). da’wah khoshshoh bukan merupakan suatu badil (pengganti) bagi da’wah ‘aammah, tetapi lebih merupakan penunjang bagi da’wah ‘aammah, karena da’wah ‘aammah belum dapat dimunculkan sebagaimana mestinya.

Berinteraksi dengan masyarakat ini dimulai dari yang terdekat dengan kita. Kita melihatnya dengan mizanud-da’wah. Sikap atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah al mu’amalah bilmitsli. Sedangkan sikap ta’amul da’wah adalah عَامِلُوْا النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ أَنْ يُعَامِلُوْكَ بِهِ. Bagaimana atau apa yang seharusnya kita berikan kepada masyarakat.

A. Berinteraksi Dengan Para Da’i Yang Lain
Yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum indhimam satu shaffi dengan kita.
1. Kita memiliki tujuan umum yang sama, yaitu : membela Islam dan memajukan ummat.
2. Namun demikian, kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).
3. نَتَعَاوَنُ فِيْمَا اتَّفَقْنَا فِيْهِ، وَيُعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمَا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ (Menjalin kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran dalam hal-hal yang ikhtilaf).
4. Menyenangi ijma’ untuk mencapai al wihdah al fikriyyah dan tidak senang nyeleneh (syadz). Syadz berbeda dengan ghoriib (aneh, asing, tidak dikenal, atau lupa dikenal). Syadz artinya bertolak belakang dengan yang shahih. Sedangkan ghariib adalah sesuatu yang baik yang tidak atau belum dikenal oleh masyarakat banyak.

Karena inilah Rasulullah saw bersabda:
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ، اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ (الحديث)
Islam datang sebagai sesuatu yang ghariib (asing dan tidak dikenal) dan ia akan kembali asing sebagaimana saat datang pertama kalinya, maka beruntung sekali orang-orang yang ghariib itu, yaitu orang-orang yang meng-ishlah (memperbaiki) apa yang dirusak oleh orang lain. (Hadits).
5. Toleransi dalam masalah khilaf dan furu’ dan membenci ta’ashshub (fanatisme).
6. لاَتُفْسِدُ لِلْوُدِّ قَضِيَّةٌ Persoalan apapun tidak boleh merusak mawaddah (rasa saling mencintai) antar sesama kaum muslimin. Pernah Hasan Al Banna difitnah bahwa janah ‘askari (sayap militer) akan menyerang jama’ah jihad. Tentu saja pimpinan jama’ah jihad marah dan meminta dialog dengan Hasan Al Banna untuk mengeluarkan segala unek-uneknya. Hasan Al Banna hanya menjawab: saamihuuni (ma’afkan saya).
7. Khilaf itu silahkan dikaji secara ilmiyyah dalam suasana jernih dan ukhuwwah, dan jangan hanya berhenti sebatas apologetik (pembelaan diri) saja.

B. Berinteraksi Dengan Tokoh Masyarakat
1. Tempatkanlah mereka sesuai dengan kedudukannya.
Tempatkanlah manusia itu sesuai dengan kedudukannya (Al Hadits)ز
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sufyan ra waktu fathu Makkah, beliau saw bersabda: “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman …”.
Dalam kejadian ini Rasulullah saw menjadikan rumah Abu Sufyan sebagai baitul qashiidi (rumah yang dituju), dan kedudukan Abu Sufyan tidak direbut, justru di-ta’ziz.

2. Hormatilah mereka di tengah-tengah para pengikutnya.
Sa’ad bin Mu’adz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil keputusan hukum atas Bani Quraizhah, Rasulullah saw bersabda: Quumu ila sayyidikum.

3. Sebutkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.
a. Ketika pemilihan khalifah di Tsaqifah Bani Sa’idah, pidato Abu Bakar sangat bijak. Ia menyebut-nyebut nikmat Islam, jasa-jasa Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu, kaum Anshar ikut mendukung.
b. Dalam sebuah munasabah (kesempatan) Hasan Al Banna juga pernah diminta untuk mengisi acara semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’, sehingga terjadi konflik dengan ulama’ disekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai konflik tersebut kepada Hasan Al Banna sebelum acara dimulai, maka Hasan Al Banna meminta ijin untuk mendatangi para ulama’ itu satu persatu untuk memohon ma’af kepada mereka. Setelah itu barulah beliau memulai ceramahnya. Dalam ceramahnya beliau menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-jasa mereka terhadap Islam. Akhirnya para ulama’ itu mendatangi tempat di mana Hasan Al Banna berceramah.

4. Menjalin hubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.
a. Rasulullah saw menghubungi tokoh Thaif serta mendo’akan mereka.
b. Umar At-Tilmisani ketika Anwar Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan: “Inna Lillahi wa inna ilaihi Raji’un”. Ucapan ini membuat tercengang semua ikhwa yang mendengar, sebab Anwar Sadatlah yang menghukum dan menyiksa ikhwah termasuk syekh Umar.

5. Memperhatikan kepentingan bersama
a. Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik yang berbeda.
b. Hasan Al Banna dalam berda’wah memulai dari titik-titik yang sama, kemudian mendudukkan poin-poin yang berbeda.
C. Berinteraksi Dengan Tetangga dan Kolega
1. Menjaga hak-hak tetangga.
2. Tidak mengganggu mereka.
3. Berbuat baik dan menghormatinya serta berbuat ihsan kepada mereka, minimal berwajah ceria di hadapan mereka dan ramah.
4. Memperhatikan mereka dan memeriksa keadaan mereka. “Jika membuat sayur, perbanyaklan airnya, dan perhatikan tetangga”.
5. Mendengarkan mereka.
6. Shabar. Ingat peristiwa Rasulullah saw dengan tetangganya yang Yahudi.
7. Menda’wahi mereka dan mendo’akan mereka.
D. Beirnteraksi Dengan Non Muslim
1. Mu’amalah dengan yang setimpal.
2. Tidak mengakui kekufuran mereka.
3. Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
4. Mengasihani mereka dengan rahmah basyariyyah.
5. Menunjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.


PANDUAN BERINTERAKSI SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MUSLIM

A. Mukaddimah
Manusia adalah makhluq sosial, dia tidak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong mneolong bagi tersebarnya nilai rahmatan lil ‘alamin Islam. Maka dalam hal ini, Islam hanya menganjurkan ummatnya untuk ta’awun dalam kebaikan saja, dan tidak membenarkan ummatnya untuk ta’awun dalam kejahatan (lihat QS Al Maidah: 2).


Oleh sebab itu manusia selalu memerlukan kepada orang lain untuk terus mengingatkannya, supaya kembali memakai kompas yang ada, supaya tidak tersesat jalan. Dan Allah swt telah mengajarkan kepada ummat-Nya bahwa peringatan sangat bermanfaat bagi kaum mukminin (lihat QS 51 : 55). Bahkan Allah swt menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok mereka yang tidak merugi dalam hidupnya. (lihat QS Al Ashr).

Ummat Islam perlu mempraktekkan kembali prinsip ta’awun ini dalam kehidupannya, misalnya dengan melakukan hal-hal berikut:
1. Dengan saling mengingatkan akan pentingnya mengisi waktu secara maksimal untuk beribadah di bulan ini, atau saling membangunkan untuk menyantap hidangan sahur dengan mengetuk pintu tetangga atau via telepon, pager dan lain-lain.

2. Mempergunakan sarana-sarana yang disyari’atkan Allah swt untuk membina ta’awun, dengan membuka lebar-lebar pintu yang dapat mengundang kepada hal-hal yang menggembirakan hati orang lain dan dengan menutup segala pintu yang dapat mengundang perselisihan, apalagi perpecahan. Karena itu, Islam mengharamkan tindak penyebaran isu yang tidak ditopang dengan bukti-bukti nyata, demikian juga ghibah, namimah, berprasangka buruk dengan sesama, saling menghina dan merendahkan, memanggil orang dengan sebutan yang tidak pantas, memata-matai setiap gerak temannya ataupun merasa tinggi hati (lihat QS Al Hujurat : 11 – 12). Dalam kaitan ini ta’awun tidak akan mungkin terwujud dari hati yang tidak padu.

3. Dan diantara perbuatan-perbuatan yang dianjurkan Islam untuk memperkuat ‘alaqah ijtima’iyyah (interaksi sosial) adalah:

a. Silatur-rahim
Islam sangat menganjurkan silatur-rahim antar keluarga, baik dekat maupun jauh, baik mereka mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkategorikan tindak “pemutusan hubungan silatur-rahim” sebagai dosa besar. Rasulullah saw bersabda: “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silatur-rahim”. (HR Bukhari dan Muslim).

b. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Dan menghormati tamu merupakan salah satu indikasi iman seseorang. Rasulullah saw bersabda: “…barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR Bukhari dan Muslim).

c. Menghormati tetangga
Demikian juga menghormati tetangga, ia merupakan salah satu indikator apakah seseorang beriman dengan benar atau belum. Rasulullah saw bersabda: “… barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetanggana”. (HR Bukhari dan Muslim).

d. Saling Menziarahi
Rasulullah saw sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qais bin Sa’ad bin Ubadah di rumahnya dan mendo’akannya: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluarga Sa’ad bin Ubadah”. Beliau juga menziarahi Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, Jabir bin Abdillah dan sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan bahwa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.

e. Memberi ucapan selamat
Islam sangat menganjurkan perbuatan ini. Dan ucapan itu bisa dilakukan ketika acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa, menyambut lebaran dan lain-lain. Sedangkan sarana yang dipakai bisa disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa dilakukan dengan mengirim kartu ucapan selamat, atau mengirim telegram indah, atau pesan lewat pager, atau saling kontak via telepon atau sarana-sarana lain yang bisa dimanfaatkan.

f. Saling memberi hadiah
Hadiah meski sekecil apapun, sangat bernilai bagi si penerima. Ia dapat menumbuhkan rasa saling mencintai antara yang memberi dan yang menerima. Inilah yang diisyaratkan oleh sabda nabi Muhammad saw: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”.

g. Peduli dengan aktifitas sosial di sekitarnya
Orang yang peduli dengan aktifitas orang disekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih baik daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia lebih memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.

h. Memberi bantuan sosial
Islam sangat memperhatikan orang-orang lemah. Maka orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong kalangan ini, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal mulia ini, dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama (lihat QS Al Ma-‘un: 1 - 3). Sedang memberi buka kepada orang yang berpuasa, Allah akan menyediakan ganjaran seperti yang didapat oleh orang yang berpuasa itu (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa-i).

Dengan merealisasikan beberapa hal di atas, insya-Allah ta’awun akan dapat terbina, karena ta’awun baru akan dapat terealisasi apabila ada kesatuan jiwa. Dengan jiwa yang satu, akan tercapailah satu tujuan yang dicita-citakan.


Menjadi Hamba “Robbani” Bukan Sekedar “Romadhani”

Wahai semua orang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana puasa pernah diwajibkan kepada umat sebelum kamu, semoga kamu terpelihara” (Al Baqarah 183).

Begitu cepat waktu berlalu, tanpa terasa Ramadhan kembali akan kita jelang. Sungguh cepat rasanya perjalanan masa meskipun setahun tak pernah kurang dari 12 bulan. Demikian memang waktu terus berjalan, bergerak dan berputar sesuai dengan porosnya, mengikuti sunnatullah yang tidak bisa dihentikan, kecuali Allah semata. Perjalanan hidup manusia di dunia adalah merupakan waktu yang terus berjalan, dan kelak nanti akan ada pertanggungjawaban di akhirat, untuk apa waktu yang disediakan dalam hidup dipergunakan? Dan Allah SWT banyak bersumpah dalam kitab-Nya dengan menggunakan waktu; seperti yang banyak termaktub dalam Juz 30, disitu Allah bersumpah dengan waktu-waktu yang biasa demi dilalui oleh manusia. secara umum Allah menyebutkan; Demi masa (surat Al-Asr), dan secara khusus Allah menyebutkan demi waktu Fajar (surat Al-Fajr), Demi waktu Dhuha (surat Ad-Dhuha), demi waktu malam dan demi waktu siang (surat Al-Lail) dan lain-lainnya.. Tentunya sumpah tersebut mengisyaratkan akan pentingnya waktu yang harus diperhatikan oleh manusia dan kesempatan emas untuk dipergunakan sebaik-baiknya sehingga tidak menjadi orang yang merugi.


Allah SWT berfirman:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Al-Asr:1-3)
Dan dalam ayat lainnya Allah juga berfirman:
“(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Al-Mulk:2)
Jadi inti dari terhindar dari kerugian terhadap waktu yang disediakan adalan iman dan amal salih.

Dan Allah mempergilirkan kehidupan ini, juga untuk melihat siapa yang memiliki jiwa juhud dan mendapatkan syahadah dalam hidupnya serta mendapatkan ridha dari Allah SWT.
“Dan masa itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’”. (Ali Imran:140)
Namun, syukur al-hamdulillah kita masih sempat menemui Ramadhan dan semoga semua kita dapat berpuasa sesuai dengan perintah Allah, dan menjadikannya waktu dan kesempatan berharga untuk memperbanyak ibadah, amal shalih dan aktivitas lainnya untuk mendapatkan rihda Allah SWT.

Kita tentunya merindukan kehadiran bulan Ramadhan sebagaimana rindunya Rasulullah SAW dengan bulan ini. Kita tentunya bahagia dengan hadirnya bulan Ramadhan sebagaimana Rasulullah saw bahagia menyambut bulan ini. Begitupun tentunya kita sangat senang dengan bulan Ramadhan yang kita jelang, sebagaimana Rasulullah saw sangat senang ketika bulan Ramadhan akan dijelang. Oleh karena itulah, sejak bulan Rajab, Nabi saw mulai banyak membaca doa :
“Ya Allah berkahilah hidup kami di bulan Rajab dan Syakban dan sampaikanlah usia kami hingga bulan ramadhan”.

Dan ketika menyambut terbitnya bulan sabit saat memasuki bulan Ramadhan, Nabi Muhammad SAW berdoa pula :
“Ya Allah, terbitkanlah (dan tampakkanlah) hilal kepada kami (diiringi) dengan keberkahan dan keimanan serta keselamatan dan keislaman, (jadikanlah dia) sebagai hilal kebaikan dan petunjuk, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Alloh.” (At-Tarmidzi (9/142), imam Ahmad (1/162), Ad-Darimi (2/7) dan lain-lain, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 220).

Selama Ramadhan, Rasulullah SAW senantiasa memperbanyak ibadah dan amal kebajikan, termasuk infak, sedekah dan menyantuni fakir miskin. Dengan demikian, Ramadhan membawa berkah berupa peningkatan nilai keislaman, kekuatan iman dan keamanan, serta merebaknya kedermawanan.

Bulan Ramadhan dengan banyak keistimewaannya telah banyak kita dengar dan ketahui, nama yang tidak asing bagi umat Islam. Sayyidus suhur (penghulu bulan-bulan) adalah merupakan julukan yang sangat indah, bulan nuzulul Quran, bulan tarbiyah, bulan tarqiyah (peningkatan) taqwa dan amal ibadah, sebagaimana bulan ini memiliki banyak gelar sesuai dengan fungsi dan peranannya. Antara lain : Syahrul barakah (bulan penuh kenikmatan dan limpahan karunia), Syahrul Najah (bulan kemenanga dan pelepasan dari azab neraka), Syahrul Juud (bulan kemurahan), Syahrul Muwasah (bulan kepedulian dan memberi pertolongan kepada yang membutuhkan), Syahrul Rahmah (bulan penuh rahmat Allah), dan julukan-julukan indah lainnya.

Namun dari sekian banyak keistimewaan dan keutamaannya, sangat sedikit dari umat islam yang belum menyadarinya, atau mungkin mereka sadar tapi belum menyentuh lubuk hati mereka sehingga saat Ramadhan tiba, tidak ada raut wajah yang sumringah atau bergembira menyambutnya. Mengikuti amaliyah Ramadhan sebagai kegiatan ritual saja, sekedar melepas dan menggugurkan kewajiban atau sekedar adat (kebiasaan) yang sudah biasa dilakukan setiap tahun, sehingga setiap kali selesai bulan Ramdhan kepribadian seseorang tidak meningkat dan berubah, tetap seperti yang lama, yang berubah hanyalah umurnya saja, setiap hari terus bertambah.

Insya Allah, Kami mencoba menghadirkan kajian sederhana, yang berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan amaliyah Ramadhan, yang diberi tema “menjadi hamba “RABBANI bukan sekedar “RAMADHANI”. Dengan maksud bahwa ketika memasuki bulan ini kita dapat menjadi hamba yang benar-benar mengabdikan diri kepada Allah, taat dan patuh kepada perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, benar-benar menjadi hamba rabbbani bukan hanya ramadhani, yang tidak hanya sekedar melewati bulan ramadhan sebagai ritual tahunan tanpa makna, tidak hanya mengubah prilaku makan, menahan haus dan lapar disiang hari tanpa hasil yang berharga, melakukan tarawih di malam harinya, dan aktivitas ritual lainnya yang ada dalam bulan ramadhan tanpa ada perubahan dalam diri secara maksimal, namun berusaha untuk mengambil hikmah yang terkandung dalam segala aktivitas, ibadah dan amaliyah di bulan tersebut sehingga mendapatkan derajat yang paling mulia disisi Allah; yaitu Taqwa.

Karena itulah agar puasa tidak sia-sia, sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, maka hendaknya melakukan persiapan diri dengan cara :
1. Persiapan Ruhiyah; dengan cara membersihkan hati dari penyakit aqidah sehingga melahirkan niat yang ikhlas.
2. Persiapan Fikriyah; melalui pembekalan diri dengan ilmu agama terutama yang terkait secara langsung dengan amaliyah dan ibadah di bulan Ramadhan.
3. Pesiapan Jasadiyah; dengan menjaga kesehatan badan, menciptakan kebersihan lingkungan serta mengubah pola hidup menjadi lebih sehat dan teratur.
4. Maliyah; dengan menyiapkan diri menabung dan menyisihkan sejumlah dana untuk memperbanyak infaq, memberi ifthar kepada orang lain dan membantu orang yang membutuhkan.

Agar kelak menjadi hamba rabbani baik qobla (sebelum), atsna’a (pada saat) dan ba’da (setelah) ramadhan.

Namun menjadi hamba robbani tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, perlu waktu, tenaga dan usaha terutama ilmu dan pengetahuan, karena setiap amal ibadah harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan agar tidak terjerumus pada taklid, karena itu pula Allah SWT berfirman :

“… Namun jadilah kalian hamba Robbani, terhadap apa yang telah kalian pelajari dari kitab Al-Quran dan dari apa yang telah kalian kaji”. (Ali Imran:79)
Rasulullah saw bersabda :

”Andaikan umatku mengetahui apa yang ada dalam Ramadhan, maka ia bakal berharap satu tahun itu puasa terus.” (HR. Ibnu Khuzaimah).

“Bulan Ramadhan; di dalamnya pintu surga dibuka, pintu neraka di tutup dan syaitan-syaitan dibelenggu, di dalamnya pada setiap malamnya ada seruan; wahai para pencari kebaikan marilah kemari, dan wahai para pelaku kejahatan berhentilah”. (Thabrani)

“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (Ali Imran:8)

I’tikaf

I’tikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”
“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.
Itulah urgensi i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai.

I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:
1. I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Alah. Contohnya i’tikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan.
2. I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang didahului oleh nadzar. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. menakdirkan saya mendapat proyek itu, saya akan i’tikaf di masjid 3 hari,” maka i’tikaf-nya menjadi wajib.

Karena itu, berapa lama waktu beri’tikaf, ya tergantung macam i’tikafnya. Jika i’tikaf wajib, ya sebanyak waktu yang diperjanjikan. Sedangkan untuk i’tikaf sunnah, tidak ada batas waktu tertentu. Kapan saja. Bisa malam, bisa siang. Bisa lama, bisa sebentar. Seminimal-minimalnya adalah sekejab. Menurut mazhab Hanafi, sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Menurut mazhab Syafi’i, sesaat, sejenak berdiam diri. Dan menurut mazhab Hambali, satu jam saja. Tetapi i’tikaf di bulan Ramadhan yang dicontohkan Rasulullah saw. adalah selama 10 hari penuh di 10 hari terakhir.

Syarat dan Rukun I’tikaf
Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.
Sedangkan rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”

Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di

Masjid Aqsha.
Rasulullah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”

I’tikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Ied.
Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil. Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. Beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.

Meski begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.

I’tikaf dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at.

I’tikaf bagi muslimah
I’tikaf disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.

Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.
Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.

Contoh Agenda I’tikaf
Magrib: ifthar dan shalat magrib
Isya: Shalat Isya dan tarawih berjamaah, ceramah tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan kajian akhlak. Tidur hingga jam 02.00. Qiyamullail, muhasabah, dzikir, dan doa. Sahur.
Subuh: shalat Subuh, dzikir dengan bacaan-bacaan yang ma’tsur (al-ma’tsurat), tadarus Al-Qur’an.
Pagi: istirahat, mandi, cuci, dan melaksanakan hajat yang lain.
Dhuha: shalat Dhuha, tadzkiyatun nafs, dan kuliah dhuha.
Zhuhur: shalat Zhuhur, kuliah zhuhur, dan tahsin tilawah.
Ashar: shalat Ashar dan kuliah ashar, dzikir dengan bacaan-bacaa yang ma’tsur (al-ma’tsurat).



Kamis, 27 Agustus 2009

AMRUD UMMAH FI DAKWAH

Objektif
• Memahami penyakit-penyakit umat dalam beramal jama’i yang bersumber dari memperturutkan sikap infiradi
• Memahami akibat-akibat yang ditimbulkan dari penyakit-penyakit tersebut.
• Memahami bahwa ilaj untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan beramal jamai yang sehat dan berupaya untuk mengaplikasikan dan dengan membuang sikap infiradi


Sinopsis
Keadaan umat di dalam dakwah islamiyah menunjukkan sesuatu yang kurang menggembirakan. Perkara ini dibuktikan dengan banyaknya umat yang mengalami kekosongan jiwa dan kehilangan pegangan hidup sehingga menampilkan dakwah yang dibawanya sesuatu yang tidak efektif. Pengenalan kepada penyakit yang menjangkit umat di dalm dakwah supaya dapat menyadarkan kita kepada keadaan yang sebenarnya dan memerlukan kita untuk memakan ubat walaupun pahit dan tidak sedap agar dakwah dapat berjalan dengan baik. Penyakit ummat di dalam berdakwah secara dasarnya disebabkan oleh penyakit peribadi da’i yaitu dakwah bersendirian (infiradiyah). Infiradiyah ini dibahagikan kepada maknawiyah(mental) seperti keadaan emosi, dakwah yang berorientasi kepada tokoh, da’I merasa hebat dan banyak pengagum, mempunyai kecenderungan merendahkan orang lain. Infiradi juga dilihat dari segi aktiviti, diantaranya penyakit yang munkinmenjangkit aktiviti ini adalah dakwah yang asal-asalan dan tidak beraturan, dakwah dilakukan secata parsial tidak menyeluruh, dakwah yang sebahagian, tradisional dan tambal sulam.

Keadaan pribadi aktivis dakwah prlu diubati dengan menjalankan amal jama’i. Amal jama’I ini menumbuhkan kesedaran yang bersumber dari pengetahuan, berorientasi yang islami, peribadi yang rendah hati, bersifat adil adil, berfikiran dan berwawasan yang menyeluruh, menggunakan pendekatan dan wasail yang modern, mempunyai konsep dan berorientasi kepada minhaj untuk merubah secara total.

Hasyiah
• Penyakit ummat
Syarah
• Penyakit ummat di dalam berdakwah setelah diagnosis di dapati banyak yang berdakwah secara bersendirian tidak berjamaah dan bersama-sama. Senang dan seronok dakwah bersendiri yang di jalankan oleh sebagaian dai dan usztad hanyalah bersifat sementara. Mereka akan menyedaari setelah dakwah yang dilaksanakan dengan ikhlas ini tidak membawa banyak hasil, diantaranya adalah dakwah yang dilaksanakan dengan ikhlas ini tidak membawa banyak hasil, diantaranya adalah dakwah amal jamai dan tarbiyah nuqbawiyah. Dakwah tablig adalah dakwah yang sering dilakukan ustadz seperti dakwah di surau, masjid, perairan dan ceramah-ceramah umum. Wujud infiradiyah ini sebagai masalah utama di kalangan dai yang berdakwah.

2.Infiradiyah
Syarah
• Infiradiyah iaitu bersendirian. Selain tidak akan munculnyadakwah yang besar dengan menyelesaikan dakwah yang besar, dakwah dengan gaya bersendirian ini akan memunculkan suasana perpecahan di kalangan ummat khususnya diantara dai yang membawa fikrah berbeza dan pendekatan berlainan. Dakwah Nabi SAW mengajarkan kepada kita agar bersama-sama. Sunnahnya bersama-sama ini adalah sesuai dengan keadaan alam dan manusia yang diciptakan Allah. Mahlik pun dalam menjalankan aktivitasnya selalu bersama-sama. Mereka tidak akan pernah lepas dari kebersamaan. Sunnatullah yang mengajarkan demikian mestilah menjalankan dakwah secara bersama. Selain permasalahan dakwah infiradiyah ini disebabkan oleh maknawinya juga oleh aktiviti yang diamalkan

3.Secara maknawiyah
Syarah
• Peribadi dai yang infiradiyah cenderung mempunyai sifat yang emosional dan tidak bertanggung jawab, mereka cenderung berdakwah mengikuti emosi dan kurang dapat menerima keadaan sebenarnya sehingga dakwah yang tidak berdasarkan rancangan dan tanggung jawab yang benar akan mewarnai dakwah infiradiyah.
• Peribadi infiradi cenderung bekerja sendiri dan mereka mempunyai kecenderungan untuk dikenal oleh masyarakat. Dengan pendekatan ketokohan dan kehebatan yang dimilikinya untuk dimilikinya mereka merasa puas dan cukup untuk mengamalkan dakwah tablig yang di sokong oleh banyak pengikut umum.

Mengkultuskan dai yang infiradi sulit ditengah mengingat keadaan ini didasari oleh emosi dan perasaan yang kemudian wujud kharisma secara pribadi. Keadaan ini bukan wujud kerana amal atau program tetapi lebih peribadi yang membawa dakwah.
• Perasaan diri hebat juga keadaan maknawiyah dai yang cenderung infiradiyah. Kehebatan ini disebabkan kerana kerjanya sendiri dan tidak ada yang mencuba menasehati apabibila mengalami kesalahan dan tidak ada yang menegurnya. Hebat dengan ukuran banyak njemputan dkawak dan banyak orang yang mendengarkan ceramahnya adalah standard yang berorientasikan kepada duniawi dan lebih kepada pengaruh jahiliyah. Standard ini juga yang dugunakan oleh iblis ketika enggan tunduk kepada Nabi Adam AS.
• Meremehkan orang lain juga suatu akibat dari perasaan hebat dan merasa dirinya baik dan pandai.Keadaan ini yang memungkinkan peribadi dai menjadikan meremehkan orang lain dan merendahkan kemampuan yang ada di antara dai. Dialah seorang yang hebat dan yang lain kurang apabila dibandingkan dengan kepakaran menyampaikan dakwah.
• Secara amaliyah
Syarah
• Dai yang infiradi cenderung dakwah yang dilakukannya secara sembarangan tidak mengikuti cara dan tidak mengikuti msistem kecuali system yang dibuatnya sndiri dan juga bergantung kepada peribadi. Bahaya infiradi dalam berdakwah adalah dakwah yang tidak jelas kemana akan di bawadan kemana orientasi serta natiujah yang dicapai. Dakwah secara infiradi yang penting berdakwah dan masyarakat senang kemudian memanggilnya kembali pada saat berikutnya.
• Dakwah secara parsial iaitu dakwah sebahagian dan tidak sempurna yang juga merupakan akibat dari dakwah infiradiyah. Kemampuannya terbatas kerana tidak bersama-sama sehingga dakwah hanya disampaikan yang sesuai kemampuannya sedangkan dakwah itu sendiri bersifat luas dan integral yang tidak mungkin dikerjakan secara bersendirian. Kelemahan peribadi kerana infiradi ini memungkinkan peribadi dai menjadi letih kerana kerja sendiri.
• Pendekatan yang tradisioanal biasanya dibawa oleh dai infiradi. Alasan yang perlu dikemukakan kerana dai tradisional yang meluli pendekatan kitab kuning biasanya tidak mengenal dakwah beramal jamai. Ilmu yang diperolehnya adalah bagaimana ilmu itu di kembangkan kepada orang lain. Mereka kurang memahami bagaimana dakwah secara bersama. Dakwah tradisional biasnya berorientasikan kepada buku dan kemudian disyarahkan tanpa melihat keadaan sekitar atau isu-isu semasa.
• Dakwah tambal sulam adalah dakwah yang melakukan pendekatan tidak sempurna dan tidak mempunyai minhaj sehingga dakwah ini hanya berorientasikan kepada perminyaan mad’u dan mengikuti kemahuan pelanggan. Selian itu dakwah tambal sulam ini berjalan mengikuti persoalan semasa yang di buat oleh orang lain, sedangkan kesibukan dakwah kita ini menjadikan kita lupa kemana daakwah kita yang sebenarnya dan bagaimana dakwah berjalan.

5.ubat(ilaj)
Syarah
• Ubat keatas penyakit dakwah infiradi ini adalah dakwah dengan cara beramal jamai. Beramal jamai memerlukan indivivu tersebut mempunyai kesadaran yang bersumber kepada pengetahuan ; berorientasikan kepada islamiyah bukan jahiliyah infiradiyah; mesti menjadi peribadi yang rendah hati sebagai bekal neramal jamai;bersikap adil kerana nantinya akan bekerja sma dan merasakan kesusahan dan kebahagiaan bersama; dakwah yang perlu dibawa mesti menyeluruh tidak sebagian dan membagikan tugasa ini secara bersama untuk mencapai tujuan bersama; pendekatan yang moden tidak tradisional iaitu dengan menggunakan berbagai fasiliti dan wasilah seperti komputer atau pendekatan yang menarik; dakwah yang di bawa mempunyai konsep yang canggih dalam menjawab permasalahan ummat masa kini dan minhaj yang berorientasi kepada perubahan dan pembentukan ummat.

6.Amal jamai
Syarah
• Amal jamai ini merupakan sunnahnya mahluk hidup terhadap perlaksanaan aktiviti kehidupan untuk meneruskan kehidupannya secara sempurna sebagai mahluk. Tanpa amal jamai, maka masalah tidak akan diselesaikan dan dakwah semakin terbantut. Keadaan yang membawa kepada dakwah amal jamai mesti menjalnkan prinsip-prinsip islam dengan dai atau ahli yang mempunyai berbagai kesamaan aqidah, fikrah dan amal. Sunatullah beramal jamai ini dapat dilihat bagaimana semut beramal jamai, burung-burung yang hidup bersamaa, pookok dan juga lam semesta dengan usrah bumi, bulan, mars, matahari dan beberapa planet lainnya seperti Pluto senantiasa berjamaah dan beramal jamai dengan pusingan yang saling berkaitan dan taawum diantaranya. Dalam keadaan ini matahari sebagai masul yang bertanggung jawab dan planet ynag menjadi pusat bagi planet di sekitarnya.

Ringkasan
• Penyakit ummat pangkalnya adaah: infiradiyah: 1. Secara maknawiyah(mentl): emosional, berorientasi tookoh, merasa hebat, merendahkan orang lain. 2. Secara aktivi: asal-asalan, parsial, sebahagian-sebahagian, tradisional, tambal sulam.
• Diobati oleh amal jamai dengan: kesedaran yang bersumber dari pengetahuan, brorientasi Islami, rendah hati, adil, menyeluruh. Modern, konsep dan minhaji merubah secara total.

Objektif
• Memahami permasalahan umat islam yang dihadapi seorang dai dan dapat menyebutkan penyebab
• Memahami bahawa tarkiz dari penyelesaian permasalahan tersebut adalah membentuk syakhsiyah Islamiyah dan umat Islam
• Menyedari peranan sikap komitmen terhadap akhlak dan tsaqofah islamiyah dalam membentuk syakhsiyah islamiyah mutakamilah

Sinopsis
Setelah perbincangan masalah umat di dalam dakwah yang memfokuskan infiradi sebagai bahagian penting dan isu utama di dalam keadaan dakwah saat ini. Persoalan dakwah yang berlaku secara umumnya da[at dibahagikan kepada persoalan yang senantiasa ada pada manusia dan mungkin berterusan ada kerana perkara ini tidak mengkin terlepas dari keadaan dakwah secara umumnya. Beberapa keadaan ini adalah di sebabkan kerana kejiwaan manusia dengan kecenderungannya, watak, syahwat dan instink.

Sedangkan persoalan berikutnya adalah berkaitan dengan persoalan semasa yang juga bergantung kepada keadaan tempatan negara islam tersebut berada seperti persoalan yang di sebabkan oleh sisa-sisa masa penyelewengan seperti: dengan raja/penguasa dictator, adanya kebaikan yang berpenyakit, peninggalan para penyeru ke neraka jahanam, bekas penjajah yang meninggalkan hokum sampai ditinggalkannya sholat. Perkara-perkara diatas menyebabkan kaum muslimin jahil terhadap islam. Persoalan lainnya adalah penyakit-penyakit hasil penjajahan seperti: wujudnya berbagai lembaga kekufuran, akibat penjajahan yang akhirnya keterbelakangan iptek, masyarakat islam yang cara berfikirnya salah, kejiwaan ummat yang salah seperti rendah diri. Keadaan ini menyebabkan adanya dominasi musuh-musuh terhadap ummat. Kemudian persoalan lainnya yang wujud adalah terdapatnya kekuatan yang menantang seperti: musuh yang menyusn aktivitinya dengan perencanaannya, dengan penyusunannya dan dengan sarananya yang canggih. Mereka melkukan perang jahiliyah yang tersusun dengan rapi.Akibatnya ummat islam seperti buih(hadist) yang ringan timbangannya dan mengikut arus.

Jalan keluar dari masalah yang dihadapi ummat demikian adalah mesti betul-betul bersedia dan berdakwah secara serius. Beberapa jalan keluarnya adalah muslim mesti memiliki ilmu pengetahuan, melaksanakan pembinaan/tarbiyah dan juga jihad. Penumpuan jihad hendaknya membangun syakhsiyah islamiyah.

Hasyiah
1.Persoalan ummah

Syarah
• Persoalan ummah disebabkan kerana dakwah yang tidak berjalan atau kurang berkesan. Dakwah dan jihad ini adalah sebagai penyokong dan atap bagi akhlak dan ibadah yang akan di bangun secara baik sehingga rumah islam ini dapat di bangun secara baik Tanpa dakwah maka permasalahan akan bermunculan secara bertahap dan kemudian memuncak keatas diri ummat islam. Masalah ummat kerana dakwah tidak berkesan tidak di sebabkan oleh permasalah pembawa dakwah itu sendiri yang senantiasa ada mengiringi dakwah dan persoalan yang di sebabkan oleh keadaan semasa sebagai respon dan kesan keadaan sebelumnya dan keadaan akan dating.
• Persoalan yang senantiasa ada

Syarah
• Persoalan yang selalu muncul adalah persoalan mengnai manusia, persoalan ini selalu ada selama manusia ini tetap hidup dan bersama dakwah. Dari zaman Nabi Adam hingga sekarang, keadaan manusia adalah isu permasalahan utama yang tidak pernah habis dan tak kunjung padam.Masalah yang perlu dihadapi adalah bagaimana kita menghadapi keadaan manusia ini dengan baik dan dapat mengatasi pernasalahan sebagai sarana meningkatkan keupayaan dan ketahan diri. Beberapa persoalan manusia ini adalah masalah kejiwaan manusia yang unik dan mudah berubah mengikuti keadaan dan suasana, kecenderungan peribadi ke arah tertentu, masalah watak yang beragam, pengaruh syahwat dan keadaan instink manusia.
• Persoalan kontemporer

Syarah
• Keadaan semasa yang merupakan masalah yang ada pada reality saat ini berdasarkan kepada persoalan-persoalan sebelumnya seperti akibat dari sisa masa penyelewengan, penyakit dari penjajah dan adanya kekuatan yang menantang. Dari permasalahn ini akan mewarnai bagaimana keadaan dan masalah ummat sekarng ini. Pertimbangn kepada isu semasa ini merupakan suatu yang penting bagi menjalankan dakwah yang benar dan baik di tengah kancah perjuangan yang banyak dipengaruhi banyak factor.

4. Sisa masa penyelewengan
Syarah
• Sebahagian dari negara dan masyarakat islam barulah lepas dari keadaan yang dikuasai oleh dictator yang kejam dan raja yang tidak menjalankan islam, juga berbagai keadaan yang muncul sebelum seperti pengaruh aliran sesat atau dakwah yang membawa kehancuran seperti dakwah yang berorientasikan kepada jihad senjata, dakwah sebelumnya yang membawa kesan dan imej yang negatif, dan kekuasaan yang menjadikan muslim tidak mengerjakan amalan islam termasuk sholat.
• Persoalan manusia yang selalu menyertai dakwah ini dan persoalan semasa akan menjadikan ummat bodoh kepada islam.

5.Penyakit akibat penjajahan
Syarah
• Penyakit yang juga diambil kira sebagai sebab munculnya suatu kekalahan dan kehancuran islam adalah berbagai lembaga-lembaga kekufuran seperti mahkamah, hokum jahiliyah, system pentadbiran dan juga berbagai aturan yang dilembagakan seperti industrial court; penjajah juga meninggalkan keterbelakangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang sengaja diciptakan oleh penjajah sehingga menjadikan umat semakin bodoh; penjajah juga menjadikan ummatsalah berfikir atau mempunyai pemikiran yang tidak betul dan kejiwaan yang menyertainya tidak normal seperti rasa rendah diri dan tidak percaya diri.
• Keadaan ini menjadikan ummat islam di dominasi oleh musuh-musuh islam.

6.Kekuatan yang menentang
Syarah
• Kekuatan-kekuatan yang menentang terhadap dakwah islam sangat banyak di dalam masyarakat sekuler saat ini. Kepentingan-kepentingan sekuler merasa tidak terjaga apabila islam berjaya.Keinginan hawa nafsu mereka tidak akan tersalurkan dengan tegaknya dakwah islam sehingga mereka berusaha mati-matian menentang kekuatan islam dan memadamkan dakwah islam. Kekuatanyang menentang ini dirancang dengan perencanaannya dan sarana yang bak.Mereka melakukan perang jahiliyah yang disusun rapi.
• Akibat kekuatan ini adalah ummat islam seperti buih yang ringan timbangannya dan mengikuti arus.

7.Jalan keluar
Syarah
• Jalankeluar dari permasalahan ini adalah masyarakat muslim mesti berilmu sehingga dengan ilmu ini tidak akan terpengaruh sesat dan umat islam mempunyai benteng yang kuat.Ilmu yang benar tsaqofah yang luas perlu dipelihara dan diamalkan dengan menjalankan tarbiyah atau pembinaan. Kemudian jihad menjadi penegak dan pemeliharaan masalah walaupun demikian jihad yang dimaksudkan adalah lebih kepada dakwah untuk membangun syaksiyah islamiyah.

Ringkasan dalil
• Persoalan dakwah :1. Persoalan yang senantiasa ada : kejaiwaan manusia dengan kecenderungan, watak, syahwat dan instink. 2. Persoaalan semasa:A.sisa-sisa mesa penyelewengan dengan:Raja/penguasa dictator, kebaikan yang berpenyakit, para penyeru ke neraka jahanam, ditinggalkannya hukumsampai ditinggalkannya sholat. Dua perkara diatas menyebabkan kaum muslimin jahil terhadap islam. B. penyakit penyakit hasil penjajahan : berbagai lembaga kekufuran, keterbelakangan iptek, cara berfikir yang salah, kejiwaan yang salah. Hal ini menyebabkan adanya dominasi musuhh-musuh terhadap ummat. C. Kekuatan yang menantang: dengan perencanaannya, dengan penyusunannya dan dengan sarananya. Mereka melakukan perang jahiyah yang tersusun rapi.
• Akibat ummat islam seperti buih(yang ringan timbangannya dan mengikuti arus.
• Jalan keluarnya adalah ilmu pengetahuan, pembinaan/tarbiyah: dan jihad. Penumpuan jihad hendaknya membangun syakhsiyah islamiyah.


Waspadai Matinya Inisiatif Beramal

Segala perilaku kita adalah format kehendak kita. Demikianlah kita menjalani hidup. Begitu pula dalam melakoni ajaran agama kita. Amal shalih perilakunya, sedang niat yang ikhlas adalah kehendaknya.
Amal shalih tanpa ikhlasnya niat akan sia-sia. Sebagaimana niat baik tanpa wujud amal hanya omong kosong belaka. Karenanya, tuntutan beramal shalih menjadi sama besarnya dengan tuntutan berkehendak. Tapi kehendak dan niatan-niatan itu tak selamanya segar. Kadang layu, bahkan mati. Itu sebabnya, inisiatif yang berkesinambungan menjadi syarat mutlak bagi kesegaran niatan-niatan dan amal-amal shalih itu.


Kemampuan orang untuk berinisia-tif berbeda-beda. Hakekat inisiatif lebih dekat untuk disebut sebagai sebuah keahlian, tapi berbasiskan pengetahu-an. Namun, bukan berarti hanya orang-orang tertentu yang bisa memacu inisiatif. Tidak. Semua orang bisa meningkatkan daya inisiatif untuk beramal shalih, sesuai kadar pengeta-huan dan kemampuannya. Karenanya, memahami hal-hal yang bisa mempe-ngaruhi-baik positif dan negatif-daya inisiatif sangatlah penting. Kemampu- an dan keahlian adalah pengaruh internal. Sedang pengaruh luarnya adalah kultur atau budaya yang mengitari seseorang. Kultur dimaksud, antara lain :

1. Kultur Sosial
Maksudnya, iklim atau budaya yang lahir dari proses interaksi seseorang dengan orang lain. Atau bergaulnya seseorang dengan orang lain, dalam lingkup kecil maupun besar. Dengan anggota keluarga, dengan teman kerja, teman belajar, dengan sesama aktivis da’wah, mapun dalam lingkup lebih luas yaitu masyarakat. Kultur sosial punya dampak pada tingkat kemampuan orang untuk ber inisiatif, karena manusia punya tabiat ”saling pengaruh mempengaruhi”. Pada umumnya anak-anak muda pecandu narkoba, memulai inisiatif buruknya itu karena ajakan teman. Hal yang sama juga terjadi pada kebiasaan merokok mereka. Mulanya diajak dan ikut-ikutan teman.

Anak-anak yang hidup nyaman dan serba berkecukupan sejak kecil, yang segala keperluannya siap sedia, dan tidak dikenalkan Islam secara baik, umumnya punya daya inisiatif beramal lebih kecil dari anak-anak yang lahir dalam keadaan susah, harus membantu mencari nafkah, hidup serba kekura-ngan, dan diajarkan norma-norma Is-lam. Karenanya, Rasulullah menasihati umatnya agar sekali-kali latihan hidup susah, ”Ikhsyausyinu, fainnanni’mata la tadumu”. Bersusah-susahlah, karena sesungguhnya nikmat Allah itu tidak selamanya (bersama kita).

Setiap muslim, apalagi para aktivis da’wah harus pandai menyiasati kultur sosialnya. Kita mesti tahu dengan siapa harus berteman. Tapi kita juga harus pandai menjaga persaudaraan dengan orang-orang baik yang menjadi mitra sosial kita, sesama muslim, maupun sesama da’i. Dari sana konsep ukhuwah menjadi ladang penggalian inisiatif yang tak pernah kering. Maka jangan heran, bila ada salafush shalih yang mengatakan, ”ikhwani ahabbu ilaiyya min ahlii”. Maksudnya, ikhwah, saudara-saudara seiman saya, kadang lebih aku cintai dari keluargaku sendiri. Ia memberi alasan, ”lianna ikhwaniyudzakkiruni bil akhirah, wa ahli yudzakkiruni bid dunya”. Sebab menurutnya, ”ikhwah saya mengingatkan saya tentang akhirat, sedang keluarga saya mengingatkan saya tentang dunia.”

Teman adalah cermin dari wajah perilaku kita sendiri. Jangan sampai kultur sosial itu merusak kemampuan inisiatif untuk beramal. Proses saling mempengaruhi itu lambat atau cepat pasti terjadi. Tergantung siapa yang lebih kuat. Rasulullah menegaskan, seseorang itu tergantung bagaimana temannya. (HR. Tirmidzi)

2. Kultur Organisasi
Bila orang bergabung dalam sebuah organisasi, termasuk organisasi da’wah, ia akan memasuki kultur yang ada dalam organisasi tersebut. Tidak saja itu, ia dituntut untuk mentaati kultur yang ada. Ada organisasi politik, organisasi profesi, organisasi sosial dan lain sebagainya. Masing-masing punya kultur berbeda. Organisasi da’wah pun demikian, ada organisasi kader da’wah, ada juga yang sebatas organisasi simpatisan da’wah.

Salah satu budaya umum yang dikenal dalam berorganisasi adalah soal lahirnya kebijakan. Pola yang biasa dikenal adalah ”dari atas ke bawah” (top-down) dan sebaliknya dari bawah ke atas (bottom-up). Sejauh mana dua pola ini dominan, sejauh itu pengaruhnya terhadap daya inisiatif dalam berorganisasi itu. Karenanya, dalam sebuah organisasi (jama’ah) da’wah, setiap muslim yang bergabung di dalamnya, harus pandai mengasah inisiatif beramalnya. Jangan selalu menunggu komando, tapi juga jangan kelewat agresif. Pelajari dan fahami rambu-rambu organisasi da’wah yang ada, lalu berprestasilah semaksimal mungkin, ada atau tidak ada perintah, dalam lingkup rambu-rambu itu.

Barangkali, untuk memicu semangat inisiatif beramal shalih dalam sebuah organisasi, bisa meminjam teori Mc Waber. Ia membuat dua parameter untuk mengukur kultur sebuah team atau organisasi. Yaitu, ”orientasi hasil” dan ”refleksivitas sosial”. Keduanya digambarkan dalam dua buah garis yang bersilangan. Ukuran yang dipakai adalah positif dan negatif. Dari sana muncul empat kwadran.

Kwadran pertama, team yang disfungsi karena hasil kerjanya minus. Kedua, organisasi yang menyenangkan, karena suasana sosialnya yang positif tetapi orientasi hasilnya negatif. Ketiga, organisasi yang kaku. Karena baik hasil maupun suasana sosialnya negatif semua. Adapun yang keempat, dia sebut dengan ”team yang berfungsi penuh”, karena hasilnya positif dan suasana sosialnya juga positif.
Apa yang disampaikan Mc Weber bukan hal yang baru dalam Islam. Rasulullah adalah contoh pemimpin yang mendorong para sahabat sebagai para anggota jama’ah da’wahnya untuk berprestasi, tidak saja di dunia, bahkan di akhirat. Ia bersabda, ”Barangsiapa lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya”. Selain dorongan berprestasi, Rasulullah menerapkan konsep ukhuwah sebagai aturan interaksi sosial. Karenanya, bila kita bergabung dengan organisasi Islam, atau organisasi da’wah, daya inisiatif kita harus terus kita asah. Agar lahir kultur organisasi yang baik, bukan malah kultur yang mematikan budaya inisiatif.

3. Kultur Pekerjaan
Dalam batas tertentu, jenis pekerjaan punya pengaruh kepada daya inisiatif seseorang untuk beramal shalih. Sopir angkutan yang berpacu mengejar tingginya setoran, mahasiswa yang berjibaku dengan diktat, seorang pengusaha mapan, pedagang di lampu merah, pegawai negeri, petani dan lain sebagainya, punya kultur pekerjaan yang berbeda-beda. Suasana kerja yang berbeda-beda itu memberi pengaruh berbeda pula kepada tingkat inisiatif orang untuk melakukan amal shalih. Betapa banyak dari mereka yang tidak punya inisiatif untuk shalat, misalnya, karena alasan pekerjaannya. Padahal, sebenarnya masalahutamanya adalah hati mereka, bukan pekerjaan. Karena-nya, setiap muslim maupun seorang da’i harus mengenali betul karakter kultur pekerjaannya. Ia harus tahu seluk beluk dan lika-liku pekerjaannya. Dari situ ia lantas punya pengetahuan yang cukup untuk mengubah hambatan-hambatan inisiatif menjadi pendorong-pendorong inisiatif untuk beramal shalih.

Maka, pilihlah pekerjaan yang halal. Lalu kendalikan pekerjaan itu, dan jangan sebaliknya, pekerjaan yang mengendalikan kita. Bila pekerjaan di bawah kendali, kita akan bisa menjad-wal diri untuk melakukan kewajiban-kewajiban beragama kita maupun kewajiban-kewajiban da’wah kita.

4. Kultur Dasar Pendidikan
Latar belakang kultur pendidikan kadang turut mempengaruhi daya inisiatif seseorang untuk beramal shalih. Kultur ilmu-ilmu eksak mempe-ngaruhi kekuatan logika rasional lebih banyak dibanding ilmu-ilmu sosial. Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial punya dorongan akomodatif dan toleransi yang lebih besar terhadap norma-norma tertentu. Apapun yang kita pelajari, sedikit banyak akan memben-tuk kepribadian kita. Sebelum orang melakukan pekerjaan atau beramal, pertama kali diawali oleh pemikiran atau persepsinya tentang pekerjaan itu. Seperti kata imam Ibnul Qoyyim, bahwa fikrah (pola pikir) itu mendahuli pekerjaan. Atau seperti ungkapan Ibnu Khaldun, ”Kamu adalah seperti apa persepsi kamu tentang kamu”.

Bukan berarti ada pendidikan yang mematikan inisiatif seseorang. Tapi masalahnya lebih kepada sejauh mana seseorang dengan latar pendidikan tertentu tetap punya inisiatif beramal shalih yang tinggi. Dan, itu membutuh kan kearifan dari setiap orang.

5. Kultur Bawaan Lahir
Adakalanya, matinya inisiatif beramal merupakan dampak dari karakter bawaan lahir. Ada orang yang sejak lahir kemampuan berinisiatifnya lemah. Bisa karena faktor genetis, bisa juga karena salah urus pada masa kecil. Faktor genetis, yang oleh Rasulullah disebut dengan al-’irq memang tajam. Setiap bayi lahir pasti mewarisi unsur-unsur tertentu dari gen orangtua maupun kakek neneknya. Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah, ia mengadu karena anaknya hitam negro, padahal ia dan istrinya tidak seperti itu. Rasulullah mengatakan, bisa jadi yang negro adalah kakek-neneknya di atas yang jauh sekalipun.

Adapun soal pembinaan sejak kecil, perhatian terhadap perkembangan kecerdasan anak, akan mempengaruhi tingkat kemampuan mereka dalam berinisiatif beramal. Baik kecerdasan intelektualnya, maupun kecerdasan emosinya. Menurut para ahli, otak manusia atau kecerdasan intelektual itu bisa diperbaiki dan dibentuk hingga anak berusia sekitar 18 tahun. Sedang kecerdasan emosi bisa dibenahi hingga usia tua sekalipun.

Kemampuan berinisiatif tetap bisa diasah, sesuai kadar kecerdasan. Setidaknya, orang secara umum bisa menimbang mana yang baik dan harus ia amalkan. Dan mana yang buruk yang harus ia tinggalkan. Allah swt. berfirman, ”Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”. (QS. Asy-Syamsy : 8). Pada taraf selanjutnya, setiap muslim dan setiap da’i harus terus belajar mengenali tabiat dirinya, menghafal karakter bawaannya. Lalu dari pengetahuan tentang dirinya sendiri itu, ia tahu betul kapan saat jenuhnya, dan bagaimana kiat membangun kembali semangat inisiatif beramal shalih. Sesuatu yang orang lain belum tentu tahu.

Semua kultur tersebut di atas, hanya peluang dan potensi yang bisa mempengaruhi kadar inisiatif seseorang dalam beramal shalih. Tak selamanya kultr-kultur itu menjadi penghalang, apalagi menjadi sebab matinya inisiatif beramal shalih. Segalanya masih kembali kepada masing-masing kita. Bagaimana kita mengasah dan menumbuhkan terus semangat untuk berinisiatif. Agar apapun kultur yang mengitari diri kita, tetap menjadi pemacu untuk beramal shalih dan berda’wah lebih serius lagi.


ETOS KERJA MUSLIM

Kehidupan ekononi kita yang sulit sekarang ini, semangat kita dalam bekerja harus semakin dipupuk dan dikembangkan, bukan malah semangat mengemis atau meminta-minta yang kita kembangkan, masih banyak sebenarnya peluang bekerja untuk memenuhi nafkah diri dan keluarga kita selama kita masih punya kesungguhan untuk bekerja dan mempertahankan harga diri untuk tidak menempuh alternatif meminta-minta. bila ketaqwaan kita mantapkan, Allah Swt tidak hanya akan memberi peluang rizki yang tidak kita duga-duga, tapi juga akan memudahkan urusan-urusan yang kita hadapi. Keyakinan dan usaha yang maksimal memang merupakan modal yang sangat mahal harganya.

Dalam dunai kerja modern, sebagai muslim kita harus memahami dengan baik etos dan etika kerja dalam pandangan Islam sehingga untuk merumuskan sebuah mekanisme kerja yang baik bisa kita gali dari kedalaman ajaran Islam sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para pengikutnya yang setia. Nilai-nilai etos dan etika kerja seorang muslim itulah yang kemudian perlu kita bicarakan.

1. Selalu Melakukan Perhitungan dan Perencanaan.
Segala sesuatu harus diperhitungkan dan direncanakan secara matang, apa yang sudah dikerjakan dan apa yang akan dikerjakan dengan segala daya dukungnya merupakan hal-hal yang harus dilakukan. Perhitungan yang matang membuat seseorang dapat terhindar dari tindakan yang salah. Prinsip perencanaan yang baik adalah tawazun dalam arti rencana yang hendak dilakukan adalah yang memang memungkinkan, baik dari segi dana, waktu, tenaga, personil dan kepentingannya. Rasulullah Saw menghendaki agar kita bekerja untuk mencapai prestasi duniawi secara maksimal sehingga diumpamakan seperti orang yang akan hidup selamanya tapi juga harus meraih prestasi ukhrawi yang optimal hingga diumpamakan seperti orang yang hendak mati esok hari.

Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt juga menegaskan keharusan melakukan perencanaan yang matang, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS 59:18).

2. Menghargai Waktu.
Waktu merupakan anugerah besar yang diberikan Allah kepada kita. Seorang muslim yang memiliki etos kerja yang baik tentu menghargai waktu dengan selalu memanfaatkannya untuk hal-hal yang benar. Dengan waktu yang tersedia, target kerja ditetapkan dan direncanakan serta mencapai target dan mengevaluasinya. Dalam kerja seorang muslim harus berprinsip bekerja dengan rencana dan kerjakan rencana itu. Prinsip ini sangat penting agar jangan sampai seorang muslim bekerja tanpa perencanaan atau perencanaan tidak dikerjakan sebagaimana mestinya. Prinsip ini juga punya arti penting agar setiap kali melakukan perencanaan, maka rencana itu tidak muluk-muluk, tapi memang membuat rencana yang mungkin dikerjakan.

Manakala perputaran waktu terabaikan dari aktivitas kerja yang shaleh, maka kerugian akan dialami seseorang, Allah berfirman yang artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (QS 103:1-3).

Dengan demikian, dalam kaitan menghargai waktu, seorang muslim harus mengefektifkan waktu kerjanya dengan sebaik mungkin, tidak suka menunda-nunda pekerjaan yang hendak dilakukan dan segera mengerjakan pekerjaan yang lain apabila telah selesai dalam melaksanakan suatu pekerjaan.

3. Selalu Ingin Yang Terbaik.
Etos kerja seorang muslim membuat dia tidak ingin berhenti dalam mencapai keberhasilan. Apa yang sudah dicapai merupakan sesuatu yang harus disyukuri, tapi dia tidak puas sampai disitu. Kepuasan terhadap sesuatu yang telah dicapai membuat seseorang berhenti sampai disitu, bahkan bila kepuasan tanpa iman bisa membawa kepada riya dan lengah sehingga dia hanya bertahan sampai disitu tanpa ada niat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjanya.

Seorang muslim selalu dituntut untuk meraih yang terbaik, ilmu yang banyak harus terus diperbanyak, prestasi yang tinggi harus disempurnakan dan begitulah seterusnya. Allah berfirman yang artinya: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain (QS 94:7).

4. Hemat.
Cita-cita seorang muslim sangat tinggi nilainya, yakni terwujudnya nilai-nilai Islam yang mulia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam nilai-nilai budaya kerja. Perwujudan ini merupakan perjuangan yang panjang dan berliku. Maka ibarat seorang pelari maratonj, mencapai tujuan ini harus diatur dengan baik, salah satunya adalah dengan menggunakan prinsip efektif dan efisien.

Karena itu etos kerja seorang muslim membuat dia sangat efisien dan jauh dari prilaku boros, tidak hanya dalam masalah harta, tapi juga waktu, tenaga, sumber daya, fasilitas dan sebagainya, Allah berfirman: Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros, sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (QS 17:26-27).

5. Fastabikul Khairat.
Etos kerja seorang muslim memacu semangat kompetitip sehingga seorang muslim itu sangat dituntut untuk ber-fastabikul khairat (berpacu dalam kebaikan). Kekurangan yang ada pada diri kita buhkanlah harus menjadi alasan untuk menyerah dan menerima apa adanya lalu menjadi fatalis yang tidak ada pikiran dan usaha untuk merubah keadaan dirinya.

Oleh karena itu seorang muslim sangat dituntut untuk mengenal potensi diri, melatih dan mengembangkannya sehingga dia nanti dapat menentukan bidang apa saja yang harus digelutinya agar dia dapat berkarya dan berprestasi meskipun hanya dalam satu bidang. Itu sebabnya, seorang muslim tidak pantas kalau tidak ada satupun bidang yang dikuasai dan digelutinya. Keharusan kita berlomba-lomba dalam kebajikan dikemukakan Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: Dan tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebajikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS 2:148).

6. Bersikap Mandiri.
Mandiri merupakan sesuatu yang penting dalam etos kerja seorang muslim. Sikap mandiri membuat seseorang memiliki keyakinan dan harga diri yang lebih, sehingga dia tidak terlalu memiliki ketergantungan pada orang lain dan dapat menentukan serta mengambil keputusan yang terbaik. Bila kemandirian tidak dimiliki, biasanya seseorang tidak berani untuk mengambil keputusan dan bingung bila menghadapi suatu persoalan.

Kemandirian sikap kadangkala harus dimulai dari kemandirian ekonomi, hal ini apabila seseorang kehidupan ekonomi ditunjang oleh pihak lain, maka dia tidak bisa leluasa menunjukkan sikapnya, apalagi bila sikap itu bertentangan dengan keinginan yang memberikan tunjangan ekonomi. Kemandirian ekonomi ini dicontohkan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf yang tidak mau diberi setengah harta dari Sa’ad bin Rabi di Madinah.

Etos kerja yang tinggi dikalangan para sahabat membuat mereka berhasil dalam mengemban amanah, bahkan dalam usia mereka yang masih muda, banyak prestasi yang sudah dicapai, ini berarti pemuda muslim sangat dituntu untuk banyak berperan pada masa-masa mendatang dalam pengembangan etos kerja modern agar manajemen kerja betul-betul diwarnai dengan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalam Islam.


Rabu, 26 Agustus 2009

AMRADHUD DA’WAH

Amradhud Da’wah merupakan materi yang membahas tentang penyakit-penyakit dalam da’wah. Amradhud Da’wah terbagi menjadi 2 kelompok yaitu:

1.Penyakit-penyakit da’wah terkait dengan ma’nawiyah (moral)
Amradhud Da’wah kelompok ini terdiri dari:
a. Munculnya da’wah-da’wah yang bersifat infi’aliyah (reaktif )
Da’wah ini hanya memberikan reaksi karena aksi pihak lain. Da’wah ini adalah da’wah yang tidak menyentuh substansi permasalahan karena ia akan bergarak setelah ada aksi pihak lain yang tidak memiliki program tersendiri.


b. Da’wah yang munculnya Al Wujahiyah (adanya figuritas)
Da’wah ini hanya mengharapkan hadir tidaknya seorang figur dan da’wah seperti ini tidak akan langgeng. Dalam Hadistnya Rasulullah berwasiat ketika haji wada’ “ Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang dengannya kalian tidak akan sesat jika memeganggang teguh keduanya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah” , ini berarti Rasulullah mendidik untuk berorientasi kepada program bukan kepada figur. Da’wah seperti ini banyak menimbulkan masalah karena jika figur dalam organisasi da’wah tersebut menghilang maka tercerai belahlah da’wah itu.

c. Da’wah yang bersifat Al ‘itijaziyah
Da’wah ini bersifat bahwa hanya kelompok da’wahnyalah yang terbaik sehingga para anggota kelompok da’wah tersebut merasa ujub (paling hebat) dan mengakibatkan tidak dapat melihat kekurangan atau kelemahan dirinya. Da’wah ini juga menyebabkan anggotanya menjadi ghurur (terlena).

d. Da’wah yang bersifat Al intiqasiyah
Da’wah yang selalu mengecilkan pihak lain sehingga organisasi-organisasi da’wah yang lain tidak dianggap mitra da’wahnya . Penyakit da’wah seperti ini biasanya seiring dengan sifat da’wah Al ‘Itijaziyah.

2. Penyakit-penyakit da’wah yang terkait dengan amaliyah (operasional)
Amradhud da’wah yang terkait dengan amaliyah terdiri dari :
a. Da’wah yang juz’iyah (bersifat lokal)
Da’wah ini hanya bersifat sektoralisme yang seharusnya sumuliyah (segala aspek).

b. Da’wah yang At Ta’lidiyah
Da’wah ini membuat para anggotanya hanya mengikuti sesuatu tanpa memahami. Dalam kelompok da’wah harus dilakukan secara bashiroh (hujjah yang nyata) sebagaimana dalam Qs.12 : 108. Imam Hasan Al Bana menekankan dalam merumuskan pilar-pilar komitmen pada da’wah Islamiyah adanya 10 rukun bai’at pada rukun yang pertamanya dan utama adalah rukun Al Fahmu.

c. Da’wah yang Al Afwaiyah atau Al Irtijaliyah
Da’wah yang tidak mempunyai kejelasan, tidak ada sasaran dan perencanaan sehingga tidak ada yang dapat dievaluasi. Setiap anggota da’wah harus mempunyai wawasan kedepan sesuai dengan Qs. 59 : 18.

d. Da’wah yang At Tarki’iyah
Da’wah yang tambal sulam yang seharusnya da’wah inqilabiyah yaitu menginginkan perubahan yang total. Ungkapan Sayyid Qutb “Bagaiman mungkin dunia yang sekarang tengelam dalam kejahiliyahan kemudian sekali-sekali meminta Islam memberikan solusi kepada permasalahannya. Semestinya Jalankan dahulu Islam secara menyeluruh baru menanyakan masih adakah masalah yang dapat diselesaikan oleh Islam”. Da’wah ini harus menjelaskan kepada seluruh manusia ketika jalan hidup yang ditempuh bukan jalan Allah sesungguhnya jalan tersebut adalah jalan yang bathil yang harus ingkari. Dan mengajak umat manusia khususnya umat Islam kepada Islam yang menyeluruh.

Sebagai solusi terhadap penyakit-penyakit da’wah baik dalam ma’nawiyah atau amaliyah adalah dengan jalan membentuk Hizbullah yaitu suatu tandzim (organisasi) dimana seluruh umat Islam masuk kedalam tandzim tersebut. Dizaman yang tidak tegak khilafah Islam sekatrang ini maka tidak dapat mengharapkan tandzim yang dapat menghimpun seluruh umat Islam. Sejak runtuhnya khilafah Islam terakhir yaitu Daulah Usmani di Turki pada tahun 1924 Sekarang ini munculnya Jama’atul-Jama’atul minal Muslimin, seperti berdirinya Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan pendirinya Imam Hasan Al Bana, Hizbut Tahrir di Yordania, Jama’ah Tabligh di Pakistan, Salaffi di Saudi Arabiyah dll. Ini merupakan usaha untuk memberikan suatu penawaran kepada umat Islam pentingnya ada hizbullah untuk menghimpun umat Islam yang penataannya mendunia yang sifatnya tunggal dengan kepemimpinan yang mempersatukan umat Islam yang disebut jama’atul Muslimin.Sekarang ini belum ada Jama’ah Muslimin tetapi sudah terbentuk jama’ah minal Muslimin dan diharapkan jama’ah-jama’ah minal Muslimin saling fastabikul khairat dan saling bekerja sama.

Pertanyaan:
1. Bagaimana solusi mencari figuritas dizaman sekarang ini yang dapat dijadikan tauladan selain Rasullah?
2. Bagaimana merasa kalau kelemahan umat Islam karena dirinya?

Jawaban :
1. Pada Qs. 33 : 21 menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang terbaik, ini berarti hanya Rasulullah yang patut dijadikan tauladan yang tidak mempunyai sisi kelemahan sedangkan dizaman sekarang ini jika ditemukan figur yang dijadikan tauladan pasti akan ditemukan ketidak sempurnaan. Sekarang ini tidak dapat diharapkan individual leader tetapi yang harus ada adalah kolektif leadership yang terdiri dari beberapa sosok yang saling mengisi. Seperti yang dikatakan oleh Imam Hasan Al Bana Sesungguhnya sebaik-baiknya Qiyadah (pemimpin) adalah jika dalam hal istifadah ilmiah (pemanfaatan keilmuannya) dia seorang ustad, dalam hal ribatil qulb (keterikatan hatinya) dia seorang ayah, dalam hal tarbiyah ruhiyah dia seorang syekh dan dalam hal siasia da’wah dia seorang panglima.
2. Sikap seperti itu baik karena jangan dibiasakan ketika terdapat permalahan mencari kambing hitam tetapi sebaiknya nmenyalahkan lebih dahulu. Tetapi ada sisi kelemahannya kalau sikap ini terlalu dominan akan menyebabkan rendah diri sampai akhirnya tidak akan melakukan da’wah lagi. Sikap ini akan terpuji jika memacunya untuk memaksimalkan kerjanya dengan keterbatasan dirinya.

Pertanyaan :
Apa tanggapan ustad dengan masyarakat sekarang ini yang tidak dapat membedakan antara budaya hidup modern dan western sedang mereka banyak terperangkap dengan pengaruh buruk dari budaya western?

Jawaban :
Hal ini banyak terjadi pada kaum muslimin khususnya bagi mereka yang sempat merasakan pendidikan di barat (luar negeri) dan sebelum pergi ke barat mereka belum mempunyai kepribadian Islam yang matang sehingga belum kebal terhadap budaya hidup di barat, terlebih lagi terleena dan terpesona dengan kemajuan di negeri barat dan bahayanya lagi setelah pulang menganggap Islam tidak dapat memberi kontribusi apa-apa. Muslim harus bersikap seperti yang disabdakan Rasulullah “ Hikmah adalah barang mutiara milik muslim” jadi dimanapun ditemukan seorang muslimlah yang paling berhak memanfaatkannya.

Pertanyaan:
Darimana umat Islam memulai untuk memperbaiki kelemahan-kelemahannya?
Jawaban:
Dari munculnya Hizbullah dari suatu barisan umat Islam yang telah dihasilkan dari proses kaderisasi yang kader-kadernya mempunyai beragam potensi dan kafaah (keahlian) masing-masing dan merekan diberikan peluang seluas-luasnya untuk mengekspresikannya sehingga akan muncul proses proyeksi, promosi dan nominasi kepemimpinan yang akan datang. Dan proses itulah yang dilakukan Rasulullah saw ketika mulai menggagaskan penataan barisan umat Islam sejak di Mekkah. Kongkrotnya dilakukan dengan small islamic inpirement harus membentuk kelompok-kelompok kecil, lingkungan pergaulan kaum muslimin yang berada didalam suatu proses kaderisasi tarbiyah yang dibimbing oleh seorang murabbi (pembina) yang mengoptimalkan potensi dan kafaah binaannya.

Pertanyaan :
Apakah ada cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan umat Islam secara keseluruhan?
Jawaban :
Gerakan da’wah menjadi inti perubahan umat maka aktivis da’wah harus memperbaiki diri sendiri dahulu baru da’wah kepada orang lain. Sekarang ini proyek Islam yang harus ditekankan pada kegiatan da’wah dan tarbiyah. Da’wah dalam konteks yang umum mengajak orang yang tidak faham Islam untuk mengenali Islam sedangkan tarbiyah untuk mengajak orang yang sudah kenal Islam agar berubah menjadi kader-kader inti dalam da’wah.