Rabu, 12 Agustus 2009

FENOMENA IHSAN

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal sholeh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beramal (bekerja) dengan ihsan.”
(QS Al Kahfi : 30)

“Dan jika kamu semua menginginkan (keri-dhoan) Allah dan Rasul-Nya serta (kebahagiaan) di negeri akherat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja diantara kamu yang berbuat ihsan pahala yang sangat besar.”
(QS Al Ahzab : 29)
“Tidak ada balasan bagi ihsan kecuali ihsan juga” (Surat Ar Rohman : 60)

MENGAPA BERBUAT IHSAN?

Bagi seorang muslim berbuat ihsan bukanlah karena mengejar keuntungan-keuntungan materi atau yang sejenis dengannya, tapi lebih merupakan karena menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya :

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu maka jika kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang ihsan, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara ihsan, dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan dan menentramkan) hewan sembelihan itu”. (Hadits riwayat Imam Muslim)


Tentulah untuk berbuat ihsan dalam Islam tidak hanya sekedar maksimal(dituntut untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu : manusia, binatang dan seluruh isi alam, termasuk terhadap diri sendiri), tetapi juga optimal (karena tidak hanya dituntut untuk berbuat ihsan kepada yang masih hidup, tetapi juga terhadap yang akan menemui kematian sekalipun). Kalau kondisi memaksa seseorang untuk emmbunuh (dalam perang melawan orang kafir, misalnya), maka jika mungkin kita membunuh musuh kita tanpa membuatnya merasa sakit sedikitpun. Atau upayakan agar dia mati seketika dengan memberikan pukulan yang telak dan mematikan. Menyiksa seseorang sebelum dibunuh atau menguliti nya setelah mati jelas bukan merupakan adab Islam. Apa yang dilakukanoleh Hindun terhadap Hamzah dengan mengirim Wahsy sebagai pembunuh bayaran, kemudian dengan tangannya sendirimembelah membelah perut Hamzah setelah syahid dan mengambil hatinya serta memakannya mentah-mentah merupakan contoh terburuk dalam sejarah manusia. Semua itu terjadi sebelum Hindun masuk Islam kalau dalam membawa orang lain kepada kematian, kita dituntut untuk berbuat ihsan bagaimana halnya jika yang menghadapi kematian itu adalah diri kita sendiri? Tentunya kita lebih dituntut untuk berbuat ihsan lagi terhadap diri kita sendiri dalam hal ini. Pernah terjadi di tahun 1979 di Siria rejim An-Nusyariyyah berkedok partai sosialis (Ba’ats) yang diperintah oleh Hafez el Assad menghukum gantung 29 orang anggota Ikhwanul Muslimin. Pada saat eksekusi akan dilangsungkan salah seorang dari mujahidin tersebut (maaf) celananya kedodoran, padahal tali gantungan sudah berada di lehernya. Dengan segera ia meloncat dari kursi pancal dan segera membetulkan celananya yang kedodoran. Tentu saja hal ini membuat eksekusi sempat tertunda sejenak. Karenanya si algojo yang bertugas merasa gusar dan menghardik : mau mati aja pakek ngerapiin celana segala! Kemudian si mujahidin ini menjawab : jangan sembarangan ! Saya mau menghadap Allah tahu? Mungkin kita tidak dapat sehebat mujahidin ini, brgitu ihsannya dalam menghadapi kematian. Tapi minimal ucapkanlah : Asyhadu Allaa Ilaaha Illalloh Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rosulullooh menjelang ajal menjemput kita. Akan sanggupkah kita? Wallahu A’lam!

Ada dua alasan mengapa kita berbuat ihsan : PERTAMA karena adanya mentoring Allah (muraaqabatullaah) terhadap diri kita. Allaahu Ma’ii, Allaahu Syaahidi, Allaahu Nadhiri (Allah beserta aku, Allah menyaksikan aku, Allah Melihat aku) begitulah seharusnya yang dirasakan oleh setiap muslim. Merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi dia. Kalau seorang pegawai merasa selalu diawasi oleh atasannya kemana pun dia berjalan, apa pun yang dia lakukan, tentu dia akan merasa malu. Malu apabila membuat kesalahan atau mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan atasannya atau tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bagaimana halnya jika yang mengawasi seseorang itu adalah Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, sedangkan Dia tidak ada tidak ada yang mengatasi-Nya lagi? Seharusnya seseorang lebih malu lagi, bukan? Tapi, coba kita lihat! Manakah perkataan yang lebih sering muncul dari mulut orang tua yang anaknya hamil duluan : Apaaa kata orang nanti!? Atau Apaa kata Allah nanti!?

Jelaslah bahwa kebanyakan menusia lebih merasakan muraaqabatunnaas (pengawasan manusia) ketimbang muraaqabatullaah (pengawasan Allah). Itu semua pertanda tidak adanya ruhul ihsan pada diri seseorang. Coba ingat kembali apa jawab Rasulullah ketika ditanya oleh Malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia :
“Wahai Muhammad... terangkan kepadaku tentang ihsan” jawab Rasulullah : “Mengabdilah kamu kepada Allah seakan-akan kamu melihat Dia. Jika kamu tidak melihat Dia, sesungguhnya Dia melihat kamu”. (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Alasan KEDUA mengapa kita berbuat ihsan adalah kebaikan Allah (ihsanullah). Betapa selama ini Allah telah banyak berbuat kebaikan kepada kita. Semua sarana hidup di dunia ini Allah berikan gratis kepada kita (lihat paket : Setetes Bismillah dan Alhamdulillah dalam Lautan Al Fatihah). Allah tidak menyodorkan rekening tagihan kepada kita di akherat nanti. Seluruh sarana itu Allah berikan sebagai modal bagi kita di dunia. Mata kita, telinga kita, tangan kita, kaki kita, dan yang lainnya adalah modal bagi kita. Kalau kita manfaatkan mata, telinga, tangan, kaki dan yang lainnya sesuai dengan tujuan-Nya berarti kita telah berhasil mengembangkan modal kita dan beruntunglah usaha kita. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya berarti perusahaan kita bengkrut. Pada Hari Akhir nanti Allah tidak menagih rekening atas seluruh modal yang telah Dia berikan kepada kita. Allah hanya memeriksa Pembukuan Perusahaan kita.

Wahai Fulan, mata yang pernah Aku berikan kepadamu engkau gunakan untuk apa? Wahai Fulan telinga yang pernah Aku berikan kepada engkau gunakan untuk apa? Wahai Fulan ilmu yang pernah Aku berikan kepadamu engkau gunakan untuk apa? Wahai Fulan masa muda yang pernah Aku berikan kepadamu engkau gunakan untuk apa? Untuk apa!? Untuk apa!? Untuk apa!?

Kalau ternyata dari hasil pemeriksaan terhadap Pembukuan Perusahaan kita, Allah menemukan adanya keuntungan, maka keuntungan itu untuk kita sepenuhnya dan Allah tidak meinta pembagian atasnya. Bahkan Allah akan memberikan surga kepada mereka yang memperoleh keuntungan dalam usahanya di dunia. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya Allah menemukan adanya kerugaian dalam Pembukuan Perusahaan kita, maka sedikit pun Allah tidak ikut menanggung kerugaian atasnya. Bahkan Allah akan menambahkan dengan Siksa Neraka. Naudzubillahi min dzalika!
Kalau Allah selalu memberi dan tak harap kembali, maka sudah sepatutnyalah kita merasa malu dan tahu diri. Memanfaatkan semua pemberian tersebut sesuai dengan tujuan-Nya. Coba kita perhatikan Surat Ar Rahman di dalam Al Qur’an! Berapa kali Allah menyindir kita dengan pertanyaan :
“Maka nikmat Robb kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Surat Ar Rahman : 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77).

31 KALI Allah menyindir kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang lembut tapi menghujam. Mempertanyakan kepada kita apakah ada dari seluruh nikmat yang kita enyam selama ini yang bukan merupakan nikmat pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Kalau saja setiap harinya Allah mengejukan pertanyaan-pertanyaan itu kepada kita, maka kita akan sampai pada suatu kesimpulan jawaban : Tiada Hari Hari Tanpa Nikmat Allah! Betapa tidak, jumlah hari terbanyak dalam setiap bulan adalah 31 hari. Sedangkan Allah mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu 31 kali banyaknya kepad kita. Jika dikalkulasi maka setiap satu pertanyaan akan terdistribusi sempurna pada satu hari. Kita tidak memiliki jawaban lain kecuali : Pada hari ini tidak ada nikmat yang bukan pemberian-Mu! Begitu seterusnya setiap harinya. Tidak ada satu haripun yang luput dari naikamt Allah. Astaghfirullahal Azhiim! Apakah kita tidak merasa malu atas tagihan Allah kepada kita?
“Dan berbuat ihsanlah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu, dan janganlah kamu berbuat fasad di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat fasad.” (Surat Al-Qashash : 77)

Dengan mengingat Muraqabatullah (pengawasan Allah) dan menimbang Ihsanullah (kebaikan Allah) kepada kita, maka sudah selaiknya jika kita memutuskan untuk Ihsanun Niyyah (niat yang baik, tapi tidak identik dengan A Good Will). Karena hanya Ihsanun Niyyahlah yang akan melahirkan 3 hal di bawah ini :
1. ikhlasun niyyah (niat yang ikhlas)
2. itqaanul ‘amal (amal yang rapih)
3. jaudatul adaa’ (penyelesaian yang baik)

sebenarnya (1), (2) dan (3) merupakan suatu kontinum dan bukan merupakan tiga hal yang terputus dan terpisah. Kesemuanya menunjukkan kesinambungan keikhlasan seseorang dalam beramal. Adakalanya seseorang ikhlas pada saat hendak beramal, tetapi keikhlasan itu hilang pada saat sedang beramal. Atau adakalanya seseorang ikhlas pada saat akan dan tengah beramal, tetapi setelah amal itu selesai atau akan selesai dikerjakan, keikhlasannya hilang. Contoh untuk hal ini adalah apa yang pernah dialami oleh Ali bin Abi Thalib RA. Suatu saat ia berkhutbah syetan datang membisiki beliau : Wahai Ali, engkau begitu hebat dalam berkhutbah. Cobalah kau lihat! Orang-orang sama menangis mendengar khutbahmu. Ali meneruskan khutbahnya hingga selesai dan tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh syeitan. Tapi setelah selesai berkhutbah dan hendak melintas keluar masjid, Ali bin Abi Thalib RA melihat seorang lelaki tua bersandar dekat pintu keluar masjid masih termenung sendirian. Tergugah hati Ali untuk menegur lelaki tua tersebut, yang nampak memang asing bagi Ali. Wahai bapak, bagaimana pendapat bapak tentang khutbahku tadi? Di luar dugaan si lelaki tua tersebut menjawab : kalau saja engkau tidak mengajukan pertanyaan ini, maka sempurnalah khutbahmu. Lelaki tua itu pun pergi, menghilang entah kemana. Sadarlah Ali akan perkataannya yang telah mengurangi keikhlasannya. Dia pun beristighfar : Astaghfirullah, Astaghfirullah

Astaghfirullah, Astaghfirullah, sambil menangis. Rupanya pengalaman ini betul-betuk menjadi pelajaran bagi Ali. Pernah suatu ketika Ali beradu perang dengan seorang kafir dalam suatu peperangan. Dengan keahlian Ali bermain pedang, maka pedang lawan berhasil dijatuhkan. Pada saat Ali hendak menebas batang leher musuhnya, musuhnya meludahi muka Ali. Panas hati Ali waktu itu, ingin rasanya dia segera menebas batang leher orang kafir tersebut. Tapi segera Ali ingat bahwa syeitan berada di balik maksud-maksud itu. Kalau ia tebas orang kafir itu, sedangkan emosinya sedang naik maka Ali khawatir apa yang dia lakukan tidak lillahi ta’ala, tetapi semata-mata karena melampiaskan amarahnya. Maka Ali pun mengurungkan niatnya, karena ingin tetap memelihara Ihsanun Niyyah-nya. Ditinggalkan orang kafir tersebut dan Ali meminta sahabat lain untuk menglangi dari awal bertempur melawan orang kafir tersebut yang kini sudah menggenggam kembali pedangnya. Kalau kita perhatikan dengan seksama, apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib diatas, ia telah mengeluarkan seluruh kendungan dari ihsanun niyyah : niat yang ikhlas, amal yang rapih, dan penyelesaian yang baik (A good finishing touch).

Apabila seseorang beramal dan amalnya memenuhi ke-3 hal diatas, barulah dikatakan dia telah memiliki : ihsanul ‘amal (amal yang ihsan). Selama ke-3 persyaratan ini belum terpenuhi, maka betapa pun amal seseorang telah memenuhi penampakan ihsan (Zhahiratul ihsan) yang sempurna seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Barat dalam bidang menejemen, ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya, tetapi karena tidak didasari oleh niat yang ikhlas maka pada hakekatnya di mata Allah belum memenuhi kriteria Ihsanul ‘Amal atau amal yang baik. Mungkin dimata manusia dinilai sebagai perfect, excelent, suma cum laude, wonderful, ck! Ck! Ck! Dan sebagainya. Tapi dimata Allah tidak ada nilainya apa-apa. Sungguh kasihan..., sungguh kasihan...

Ada 3 keuntungan jika seorang beramal dengan amal yang ihsan.
1. Dia akan dicintai oleh Allah
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan”
(Surat Al Baqarah : 195)

2. Dia diberikan pahala oleh Allah
“ Maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja diantara kamu yang berbuat ihsan pahala yang besar” (Surat Al Ahzab : 29)

3. Dia akan ditolong oleh Allah
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (Surat An Nahl : 128)

KRITERIA APLIKASI IHSAN

Faktor terpenting dalam mengaplikasikan ihsan adalah mamahami kriterianya.
Ada 2 kriteria dalam mengaplikasikan ihsan dalam kehidupan sehari-hari :
1. Kriteria Zhahirotul Ihsan atau kriteria penampakan ihsan
2. Kriteria Qiimatul Ihsan atau kriteria nilai ihsan.

Yang disebut pertama adalah aspek lahir atau yang berkenaan dengan penampilan ihsan itu sendiri, dan yang disebut terakhir adalah aspek batinnya atau nilai-nilai yang mendasari ihsan itu sendiri.

Dalam penjabarannya masing-masing ini dapat dirumuskan secara sederhana.
Kriteria satu : perumusannya adalah Do The Best!
Kriteria dua : perumusannya adalah To Be Ikhlas, Please!

Masing-masing perumusan dari tiap-tiap kriteria ini dapat diturunkan lagi sampai level yang operasional. Setiap kita pun dapat untuk merumuskannya sendiri dengan bahasa kita sendiri. Contoh : perumusan kriteria satu (do the best) dalam menerima tamu, dapat dirumuskan : suguhkanlah tamu kita susu yang samam kentalnya dengan susu yang kita minum. Dalam belajar, dapat dirumuskan : belajar sampai bisa. Dalam berdagang, dapat dirumuskan : kalau kita pembeli, tentu kita ingin barang yang terbaik. Dan begitu seterusnya, dapat kita turunkan terus dalam berbagai aktivitas lain.

Perumusan kriteria dua (to be ikhlas, please!) Dalam berbagai aktivitas keehidupan pada dasarnya hanya ada satu perumusan yang bahasanya dapat berbeda. Contoh : biar manusia nggak tahu, kalau Allah ridho, mau apa?
Tetapi yang terpenting bukan perumusannya koq, tapi al-amal, al-amal, al-amal, al-amal, Al-amal Huwal Asas!!!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar