Secara istilah, Islam berarti wahyu Allah, diin para nabi dan rasul, pedoman hidup manusia, hukum-hukum Allah yang ada di dalam Al Qur'an dan As Sunnah, dan dia merupakan jalan yang lurus, untuk keselamatan dunia dan akhirat. Agar memudahkan pembahasan, insya Allah akan saya bagi pembahasan kita kali ini menjadi sebagai berikut:
1. Islam adalah Wahyu Illahi (Wahyu Allah)
2. Islam adalah diin para Nabi dan Rasul
3. Islam adalah pedoman hidup manusia
4. Islam adalah Hukum-hukum Allah
5. Islam adalah jalan yang lurus
6. Islam adalah keselamatan dunia dan akhirat
Baiklah, mari kita kaji bagian yang pertama.
I. Islam adalah Wahyu Illahi (Wahyu Allah).
Makna pertama, Islam adalah wahyu Illahi. Sebagaimana yang kita ketahui, Islam memiliki pedoman utama yaitu Al Qur'an dan As Sunnah. Al Qur'an adalah wahyu Allah, sehingga ajaran Islam sepenuhnya adalah dari Allah SWT, bukan dari ciptaan manusia. Atau dengan kata lain, Islam adalah dari firman Allah, bukan buatan manusia. Sedangkan As Sunnah hukum kedua setelah Al Qur'an, dia merupakan apa-apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Rasul sendiri merupakan manusia pilihan Allah SWT yang menyampaikan firman-firman Allah melalui perantara malaikat Jibril AS. Yang Rasul katakan tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat berikut ini:
"...dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS. An Najm: 3-4)
Karena sumbernya yang jelas dan hakiki, yaitu wahyu Illahi, dengan demikian Islam tidak dapat disamakan dengan agama, kepercayaan, atau isme/paham lainnya. Selain itu, Islam tidak mungkin kurang, tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan manusia. Akan tetapi Islam sangat sesuai dengan manusia, karena sumber Islam dan yang menciptakan manusia adalah sama, yaitu Allah SWT. Allah yang menciptakan manusia pasti tahu dan mengenal siapa itu manusia, dan mengetahui apa yang dia butuhkan, termasuk tahu apa tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan manusia, belum tentu mengenal secara sempurna manusia itu sendiri. Sehingga pedoman hidup, agama, atau paham buatan manusia (misalnya kapitalisme, komunisme, dll) tidak akan sesuai dengan manusia, bahkan akan membawa kehancuran bagi seluruh manusia.
Selain itu, karena sumber Islam adalah dari Allah SWT, maka tidak ada keragu-raguan dalam Islam. Tidak ada ketimpangan di dalamnya, sehingga tidak membuat kita bingung sebagaimana dalam agama atau paham lainnya. Karena wahyu merupakan simbol keterarahan dan keteraturan.
Islam bukan pula sebuah tradisi, apalagi kalau dikatakan tradisi bangsa Arab. Islam adalah rahmatan lil'alamin (rahmat bagi seluru semesta alam), karena bersumber dari yang menciptakan alam semesta. Berbeda dengan agama dan isme lainnya yang bisa jadi merupakan tradisi atau pemikiran tertentu, karena diciptakan oleh manusia. Jika Islam (wahyu Allah) dapat ditegakkan maka kezaliman akan hilang/kalah. Dan bila tidak mengikuti wahyu Allah, maka manusia akan ditimpa kemiskinan, bencana, dan kemurkaan dari Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Al Anbiyaa ayat 1 - 15.
Dengan demikian, maka sudah seharusnya seorang muslim memiliki ketundukan kepada wahyu Allah SWT. Segala yang Allah perintahkan harus dilaksanakan, dan segala yang Allah larang harus dijauhi. Termasuk di dalamnya adalah mengikuti apa -apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Al istislam (berserah diri)
Al istislam juga memiliki huruf dasar yang sama dengan "Islam", yaitu Sin, Lam, dan Mim. Sehingga Al istislam atau berserah diri merupakan makna lain dari Islam secara bahasa. Dengan demikian, seorang muslim seharusnya adalah manusia yang sepenuhnya berserah diri dan tunduk patuh kepada Allah SWT. Tanpa menerima dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, terhadap hukum-Nya, Islam yang dia anut tidaklah Islam yang seutuhnya.
Seluruh alam semesta ini, termasuk sebagian manusia, semuanya berserah diri kepada Allah. Matahari, bulan, bintang, bumi, semuanya berserah diri dan tunduk kepada Allah, baik secara sadar maupun tidak sadar, secara suka atau terpaksa. Andaikan semua itu tidak berserah diri, tidak tunduk kepada perintah Allah, maka niscaya alam semesta ini hancur.
Kita ambil contoh matahari. Mari kita pikirkan bagaimana jadinya kalau matahari "membangkang", tidak tunduk mengikuti perintah Allah agar tetap beredar pada lintasannya. Maka bisa jadi matahari itu akan bertabrakan dengan benda-benda langit lainnya, dan kehancuran tata surya akan terjadi. Atau bagaimana jadinya jika bumi tidak mematuhi perintah Allah untuk berevolusi dan berotasi pada porosnya? Niscaya bumi sisi satu akan senantiasa gelap membeku dan sisi lainnya akan terik terbakar cahaya matahari. Selain itu di bumi tidak ada pergantian hari. Ujung-ujungnya tiada kehidupan di muka bumi. Kerusakan itu semua adalah akibat adanya ketidakpatuhan. Tapi alhamdulillah matahari dan bumi adalah makhluk Allah yang senantiasa berserah diri kepada Allah hingga kita semua bisa merasakan nikmatnya sunnatullah kauniyah ini.
Demikian pula kita sebagai manusia, apabila manusia tidak berserah diri dan tunduk terhadap perintah Allah, niscaya kerusakan akan terjadi di muka bumi. Mari kita tanya pada diri kita sendiri, kepada siapa lagi kalau bukan kepada Allah kita berserah diri? Apakah kepada manusia lain? Ataukah kita lebih berserah diri kepada hawa nafsu kita sendiri? Allah SWT berfirman,
"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan." (QS. Ali Imran: 83)
Bagi orang-orang yang berserah diri, Rasulullah SAW memberikan kabar gembira dalam sabdanya,
"Sungguh beruntunglah orang-orang yang berserah diri, yang diberi rizki dengan rasa cukup, dan merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah baginya." (HR. Ahmad).
Sobat muda, mari kita menjadi manusia yang senantiasa berserah diri kepada Allah, yang senantiasa menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Karena hanya kepada Allah-lah kita semua kembali.
"Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An'am: 162-163)
As Salaamah (suci bersih)
As salaamah berarti suci bersih. Di dalam Al Qur'an dijelaskan bahwa penganut dinul Islam memiliki hati yang bersih (qalbun salim) saat menghadap kepada Allah Yang Maha Suci.
"...kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih..." (QS. Ash Shu'araa: 89)
Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang suci dan bersih. Islam membawa ajaran kesucian dan kebersihan. Suci bersih di sini adalah dalam segala hal, baik dari segi fisik, akhlaq, pikiran, dan sebagainya. Dalam hal fisik misalnya Islam mengajarkan penganutnya agar bersih pakaian dan tempat. Sebelum shalat, kita pun diwajibkan untuk bersuci dengan berwudhu. Kalaupun tidak ada air, bersuci tetap diwajibkan, yaitu dengan tayamum.
Kalau contoh suci bersih dari segi akhlaq, Islam mengajarkan penganutnya agar bersih hati dari prasangka, malas, riya, kebencian, dendam, marah, dan sebagainya. Islam pun mengajarkan kita untuk membersihkan diri kita dari kekikiran dan cinta berlebihan-lebihan terhadap harta dengan berzakat.
Sobat semua, dengan demikian kita semua harus senantiasa berusaha agar diri ini suci dan bersih. Terutama hati kita, usahakanlah agar hati ini senantiasa dalam keadaan suci (qalbun salim). Karena orang yang menghadap Allah adalah orang yang berhati bersih sebagaimana disebutkan pada surat Ash Shu'araa ayat 89 di atas. Dan hal ini dicontohkan pula oleh Nabi Ibrahim SAW ketika mengikhlashkan hatinya kepada Allah sepenuhnya dengan hati yang bersih.
"(lngatlah) ketika ia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci." (QS. Ash Shaaffaat: 84)
As Salaam (selamat / sejahtera)
Saat ini banyak orang yang bingung kemana untuk mencari keselamatan, kemana untuk mencari kesejahteraan. Ada yang mencarinya sampai ke ujung timur, ada yang mencarinya sampai ke ujung barat. Ada juga yang merasa dirinya sudah meraih keselamatan, padahal mungkin hanya selamat di dunia, tapi belum tentu di akhirat.
Islam adalah agama keselamatan. Karena As Salaam sendiri secara lafaz berarti selamat dan sejahtera. Jadi, jika kita ingin mendapatkan keselamatan dunia akhirat, maka jawabannya ada di dalam ISLAM itu sendiri, jika kita memang benar-benar menjalankan Islam seutuhnya. Islam identik dengan keselamatan. Dengan kata lain, Islam tidak akan membawa umatnya kepada kejahatan dan kerusakan. Oleh karena itu, seharusnya sebagai umat Islam, kita juga tidak perlu dibingungkan oleh stigma-stigma atau fitnah yang menyatakan bahwa Islam identik dengan kekerasan. Islam justru membawa umatnya dan segala yang ada di alam semesta ini selamat dan sejahtera.
Berkaitan dengan hal ini, salah satu ajaran dalam Islam adalah menganjurkan umatnya agar senantiasa menyebarkan salam. Di mana pun kita bertemu sesama muslim, maka kita mengucapkan "Assalamu'alaikum". Lebih lengkapnya lagi, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh". Dan bagi yang diberi salam wajib menjawabnya dengan "Wa'alaikumsalam (warahmatullahi wabarakatuh)".
Allah SWT berfirman
"Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al An'am : 54)
Ucapan "salaamun'alikum" artinya mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu. Bila semua umat Islam melakukan hal ini, niscaya Islam ini tidak akan berpecah belah dan umatnya saling mencintai satu sama lain. Inilah salah satu rahasia keselamatan yang ada di dalam Islam. Dengan salam kita menjalin ikatan persaudaraan yang kuat (keselamatan di dunia), dan salam juga merupakan do'a kepada sesama kita (keselamatan di akhirat).
Rasulullah SAW bersabda,
"Kalian semua tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman terlebih dahulu, dan kamu tidak beriman sehingga kamu saling mencintai sesamamu. Sukakah kalian semua aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu kerjakan, niscaya kamu akan saling mencintai sesamamu? Sebarkanlah salam antar sesamamu." (HR. Muslim)
As-silmu
As-Silmu bermakna perdamaian. Lafaz As-silmu ini tersirat dalam Al Qur-an pada surat Muhammad (47) ayat 35 yang berbunyi:
"Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu." (QS. Muhammad: 35)
Pada ayat di atas, istilah 'damai' tertera di Al Qur-an dengan ucapan as-salmi.
Ayat ini menjelaskan tentang Rasulullah SAW yang diminta oleh Allah SWT agar tidak meminta perdamaian hanya karena ketakutan. Karena pada dasarnya mereka (orang kafir) adalah lemah dan selalu menghalangi umat dari agama Islam. Sedangkan Allah sudah memberikan motivasi kepada umat Islam dengan firman-Nya, "padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu". Apalagi Allah sudah menjamin dengan firman-Nya, "Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu." Oleh karenanya, janganlah kita merasa lemah, takut, dan meminta perdamaian.
Lalu, apakah semua ini berarti Islam anti perdamaian? Tentu tidak, Islam adalah dien yang penuh kedamaian. Ayat di atas pada dasarnya menyiratkan suatu kondisi ketika umat Islam dalam keadaan 'terserang' dan merasa takut. Artinya, pada saat Islam sedang dalam kondisi diserang, maka sikap yang harus diambil oleh umat Islam adalah tidak akan menyerah dan minta damai hanya karena takut (dengan kata lain, menyerah untuk dijajah). Sekali lagi, karena Allah sudah mengatakan bahwa kitalah yang berada di atas dan Allah bersama kita. Dan ini juga berarti, kondisi tidak damai itu pada dasarnya bukan umat Islam penyebabnya, tapi merekalah (orang-orang kafir) itu yang menjadikan adanya kondisi tidak damai karena keonaran mereka.
Namun ketika umat Islam berada di atas angin, penuh kemenangan dari orang-orang kafir, maka yang terjadi biasanya adalah orang-orang kafir itu memohon perdamaian kepada kita. Jika mereka condong kepada kedamaian, maka Islam pun akan menerimanya dengan syarat. Allah SWT berfirman,
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Anfal: 61).
Beberapa pendapat mengatakan, ketika Islam menerima tawaran perdamaian dari orang-orang kafir, maka kita menerimanya dengan syarat - salah satunya - orang-orang kafir itu harus membayar jizyah (semacam pajak) kepada umat Islam. Dan mereka dijamin akan hidup damai berdampingan dengan umat Islam selama tidak mengkhianati perjanjian.
Sobat semua, kini posisinya sudah jelas bahwa Islam adalah agama perdamaian. Mari kita perhatikan ke sudut-sudut dunia. Jika umat Islam menjadi golongan yang terjajah, maka di sana biasanya tidak ada kedamaian, yang ada hanyalah peperangan, penyiksaan, penculikan, pembunuhan, dan sebagainya, terhadap umat Islam. Dan di tempat itu pasti ada perlawanan dari umat Islam yang tetap ingin menjaga izzahnya (kemuliaan dan kehormatannya).
Tapi ketika Islam menjadi pemimpinnya, Islam menjadi pedoman hidup warganya, tuntunan ibadah Islam menjadi kebutuhan sehari-harinya, dan seterusnya, maka di sana Insya Allah kedamaian yang terjadi.
Sullam
Sullam memiliki huruf dasar yang sama dengan Islam, yaitu Sin Lam dan Mim. Sullam artinya tangga. Istilah Sullam digunakan di beberapa ayat di Al Qur'an. Contohnya pada surat At Tur ayat 38 berikut ini:
"Ataukah mereka mempunyai tangga / sullam (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata." (QS. At Tur: 38)
Contohnya lainnya yaitu pada surat Al An'am ayat 35 berikut ini:
"Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga / sullam ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu'jizat kepada mereka (maka buatlah)..." (QS. Al An'am: 35)
Istilah "tangga" digunakan dalam Al Qur'an dengan sebutan "Sullam". Dari istilah tersebut, yang hendak kami sampaikan di sini adalah Islam juga bermakna "Sullam", tangga, dengan kata lain berarti bertahap (tadarruj), gradual.
Sobat muslim, manusia secara fitrah tercipta dalam kebertahapan dan keseimbangan yang nyata. Kebertahapan selalu melekat dalam seluruh kiprah manusia, baik secara individu maupun kolektif. Kita pun mengenal fase / tahapan kehidupan, mulai dari alam rahim, alam dunia, alam kubur, dan seterusnya. Al Qur'an pun diturunkan secara bertahap ke dunia melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, tidak diturunkan secara langsung keseluruhan. Surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al Alaq ayat 1 sampai 5. Dalam mengenalkan Islam ke seluruh manusia juga ada tahapannya, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam proses belajar pun kita melakukannya secara bertahap, diawali dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar, sampai ke tingkat lanjut. Hidup ini tidak terlepas dari yang namanya kebertahapan. Bertahap juga bisa diartikan : tidak tergesa-gesa.
Kaitannya antara Sullam (bertahap) dengan Islam, misalnya dalam menerapkan Islam ada tahapannya, bersungguh-sungguh mulai dari menguatkan aqidah, ibadah, dan seterusnya hingga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu bagi yang baru ingin mengenal Islam, janganlah sungkan-sungkan untuk mempelajari dasar-dasar Islam, mulai dari Aqidah (misalnya tentang syahadat, tentang Allah, Rasul, Kiamat, dan seterusnya). Selanjutnya pelajarilah tentang ibadah (misalnya tentang shalat, puasa, zakat, dan seterusnya). Setelah itu baru yang lain. Namun ini bukan berarti dapat dijadikan alasan untuk menyimpangkan diri dari Islam, misalnya untuk tidak shalat, dengan alasan masih mempelajari aqidah. Shalat tetaplah wajib hukumnya, tidak berubah dari dulu hingga sekarang. Apalagi shalat merupakan bagian dari rukun Islam. Demikian pula dengan yang lain, misalnya puasa, zakat, dan seterusnya.
Saudaraku, di dalam Al Qur'an, penggunaan istilah "Sullam" selalu dikaitkan dengan "tangga menuju langit". Maka, tahapan yang kita lalui dalam Islam adalah tahapan menuju tingkat yang lebih tinggi, lebih mulia, salah satunya yaitu derajat taqwa. Dengan demikian menganut Islam itu sendiri merupakan "tahapan" bagi kita untuk memperoleh derajat taqwa. Ini artinya, kita tidak diarahkan untuk menjadi muslim yang stagnan, tidak ada peningkatan keimanan. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu." (QS Al Hujurat: 13).
Atau yang lebih parah, jangan sampai kita justru "secara bertahap" semakin terpuruk, semakin jauh dari iman dan taqwa (bahasa gaulnya yaitu "Islam KTP"). Jika kita lihat teman-teman kita yang lain, tidak sedikit di antara mereka yang secara gradual aqidahnya terkikis, tergantikan oleh ideologi lain, misalnya hedonisme yang "mempertuhankan" materi keduniawian, hanya untuk kesenangan belaka. Atau komunisme yang lebih dekat kepada atheis (tidak mengakui keberadaan Tuhan), kapitalis yang semuanya dipandang dari segi keuntungan duniawi, dan sebagainya. Yang lebih mengerikan lagi ada yang secara bertahap justru keluar dari Islam, pindah ke agama lain. Naudzubillah min dzalik.
Manusia yang normal tentu menginginkan derajat yang mulia, dan itu hanya ada di dalam Islam. Nabi Ibrahim berpesan, sebagaimana yang tertera di Al Qur'an berikut ini:
"(Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam"." (QS. Al Baqarah: 132).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar