Rabu, 19 Agustus 2009

Merekonstruksi Bangunan Umat Islam

“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan,
satu sama lain saling menguatkan.” (Al-Bukhari dan Muslim).

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (Muslim)


Dua hadits di atas melukiskan gambaran ideal umat Islam. Dari situ kita dapat menangkap setidaknya empat ciri umat Islam:

Pertama, umat Islam mewujud bagaikan bangunan kokoh atau tubuh manusia sempurna. Segala kekuatan yang ada padanya semakin menambah kokohnya bangunan atau tubuh itu. Layaknya bangunan, tentu terdiri dari berbagai unsur dan komponen. Bentuk, fungsi, posisi, dan peran setiap komponen berbeda-beda.

Kedua, satu sama lain saling memelihara, saling menjaga, saling menguatkan, dan saling mendukung, sehingga tercipta ikatan sosial yang solid.
Ketiga, semua bagian bangunan itu secara bersama-sama memelihara segala aset kebaikan yang dimilikinya dan meninggalkan atau membuang hal-hal yang merugikan. Aset-aset yang dimaksud baik aset fisik-material seperti kekayaan alam maupun nonfisik seperti tradisi gotong royong dan budaya malu.
Keempat, setiap bagian dari umat itu berada pada posisi masing-masing secara tepat dan di antara mereka ada yang selalu bekerja untuk mencari solusi bagi problem-problem yang dihadapi masyarakat.

Tentu saja itu merupakan kondisi umat Islam yang kita dambakan. Akan tetapi, kondisi itu tidak muncul dengan sendirinya. Masyarakat ideal dengan soliditas tinggi yang ada di zaman Rasulullah saw. adalah hasil tempaan beliau.
Dengan umat yang bercorak seperti itu kita dapat melakukan banyak hal dan mencapai banyak kesuksesan. Konspirasi yang selalu digalang oleh orang-orang kafir juga tidak akan menemukan efektivitasnya manakala umat Islam dalam kondisi solid bagaikan satu tubuh. “Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian bercerai-berai sebab kalian akan gagal dan hilang kekuatan kalian.” (Al-Anfal: 46)
Oleh karena itu, salah satu tugas besar para dai dewasa ini adalah merekonstruksi bangunan umat Islam itu. Untuk tujuan itu, langkah-langkah berikut tidak dapat dibaikan:

Pertama, menegaskan kepada khalayak bahwa Islam bukan agama individual. Ajaran Islam menghendaki setiap orang menjadi orang yang beriman, bertakwa, dan shalih. Namun itu saja tidak cukup. Harus ada keshalihan kolektif. Salah satu indikator adanya keshalihan kolektif adalah adanya perhatian dan kepedulian terhadap nasib sesama muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa tidak peduli terhadap urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” Kebersamaan dalam iman dan ketakwaan ini juga berperan besar dalam menumbuhkan ketahanan dan kesabaran, sesuatu yang amat dibutuhkan dalam kancah pertarungan. Allah swt. berfirman, “Dan bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari dengan mengharapkan ridha-Nya.” (Al-Kahfi: 28).

Kedua, karenanya setiap muslim harus terus dimotivasi untuk menshalihkan diri sendiri dan berusaha menshalihkan orang lain. Dia harus terbiasa melakukan amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar (memerintah kepada yang bajik dan mencegah dari yang buruk). Dan sikap itu merupakan karakter dasar mukmin sejati. Allah swt. menggambarkan hal itu, “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan mencegah dari yang buruk, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Tanggung jawab paling minimal seorang mukmin dalam amar ma’ruf dan nahi munkar adalah terhadap keluarga. Oleh karena itu, seorang mukmin harus merencanakan sejak pernikahan. Dari mulai memilih calon pendamping hidup. Tentang kewajiban ini Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Ketiga, mengarahkan loyalitas dan pembelaan hanya kepada Allah, Rasulullah saw., dan kepada sesama mukmin, bukan kepada figur. Lebih-lebih bila figur itu adalah sosok yang menawarkan penyimpangan dari akidah Islam. Adalah bencana besar bila dakwah melahirkan loyalitas (wala’) kepada figur tertentu, diri sang dai misalnya. Sebab, loyalitas kepada figur merupakan celah yang menganga lebar bagi munculnya sikap kultus. Bangsa Indonesia telah dibuat sengsara oleh makhluk yang bernama kultus itu. Karena kultus artinya adalah tidak ada kebenaran selain yang datang dari figur tersebut.

Loyalitas dasar dan utama seorang muslim adalah kepada Allah, Rasulullah saw. dan kaum mukminin. Allah dan rasul-Nyalah yang dijadikan sebagai sumber kebenaran. Dan Allah dan rasul-Nya pula yang menjadi muara kesetiaan dan kecintaan. Oleh karena itu, loyalitas dan kesetiaan mukmin hanya akan diberikan kepada sesama mukmin. “Wali (pemimpin, kekasih, penolong) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah: 55)

Tanpa loyalitas yang benar, seperti disebutkan dalam ayat di atas, orang bisa tersinggung dan marah karena tokoh idolanya dikoreksi, dikritik, atau diprotes. Namun tapi tidak terusik kalbu dan perasaannya manakala Islam dihujat, hukum Islam diinjak-injak, Rasulullah saw. dihina dan umat Islam dibantai.
Keempat, untuk menunjang upaya di atas, dai hendaknya mampu menonjolkan persamaan-persamaan, bukan sebaliknya: mengekspos perbedaan-perbedaan. Disadari, bahwa ada banyak perbedaan di kalangan umat Islam. Namun bukanlah sikap bijak untuk menggelembungkan perbedaan-perbedaan itu melebihi porsinya. Banyak persamaan yang harus ditegaskan.

Berbeda halnya jika perbedaan itu menyangkut masalah yang asasi, seperti masalah akidah atau masalah-masalah yang para ulama telah menyepakatinya. Contoh untuk yang terakhir adalah perbedaan dalam mensikapi komunisme, zionisme, kristenisasi. Ini masalah prinsipil. Baik dari segi akidah maupun dari tinjaun historis. Al-Qur’an telah dengan tegas memberikan informasi kepada kita bahwa Yahudi adalah musuh yang selalu membuat makar dan memendam kedengkian dan kebencian kepada kaum Muslimin. Namun, ini pun bukan menutup pintu bagi pembahasan dan kajian dalam hal-hal yang dianggap perbedaan. Dengan syarat, hal itu dilakukan secara ilmiah dan hati dingin.
Dan kelima, dai dituntut mampu atau paling tidak berusaha menggali, menumbuhkan, memelihara, mengarahkan, lalu merekat dan merakit potensi umat itu. Umat sesungguhnya memiliki banyak potensi. Permasalahan yang menghadang adalah pemberdayaan potensi tersebut. Dan gerakan dakwah sesungguhnya adalah yang paling bertanggung jawab untuk tugas itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar