Kamis, 23 Juli 2009

Sikap terhadap Hasil Syuro

Asas Penyikapan
Sebuah keputusan syuro akan bisa dijalankan dengan baik oleh sebuah komunitas, maka syuro yang dilaksanakan haruslah sebuah syuro yang bermutu. Ada beberapa nilai yang menentukan mutu sikap dan keputusan da’wah, yaitu:
1. Sejauh mana keputusan itu tepat dengan situasi, tempat, momentum, orang dan institusinya. Tidak hanya benar, tapi benar yang tepat, karena benar dan tepat adalah substansi sebuah keputusan.

2. Sejauh mana keputusan da’wah itu efektif dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. Efektivitas sebagian terkait dengan kebenaran dan ketepatan, lainnya adalah pada pengekspresian.

3. Sejauh mana kita dapat mempertahankan konsistensi dalam penyikapan dan pengambilan keputusan. Konsistensi yang menentukan warna dasar dari karakter kita secara kolektif: apakah itu berupa kebenaran atau kepentingan, idealisme atau pragmatisme.

Ketiga hal di atas terkait dengan dua sisi yang selalu melekat pada sikap dan keputusan da’wah.
• Sisi pertama adalah muatan kebenaran syar’i
• Sisi kedua adalah cara yang kita tempuh (proses)

Muatan dan Proses
Muatan di sini adalah muatan kebenaran (syar’i) yang ditentukan oleh referensi, metode yang kita gunakan. Metode berupa ijtihad, tidak lain adalah dengan menggabungkan dua pengetahuan sekaligus, yaitu :
• Fiqhi wahyu : pegetahuan tentang sariat Islam yang mendalam
• Fiqhi realitas : pengetahuan yang mendalam dan mendetil tentang realitas kehidupan dakwah yang kita hadapi.


Yang dilakukan dalam ijtihad adalah bagaimana memberlakukan kebenaran-kebenaran wahyu Allah SWT dalam realitas kehidupan manusia. Secara substansi, ajaran syariat Islam berorientasi pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia. Sebagaimana Ibnu Taimiyah: “…dimana ada kemashlahatan bagi manusia, di situ pasti terdapat syariat Alloh SWT”.
Dengan kata lain syariat Islam mengakomodasi segala hal yang menciptakan kemashlahatan sebanyak-banyaknya bagi manusia.

Jadi asas penentuan sikap dan pengambilan keputusan adalah ‘asumsi‘ mashlahat yang terdapat dalam perkara itu. Asumsi bersifat relatif, sedangkan yang digunakan dalam sebuah ijtihad adalah asumsi yang kuat (zhonn rajih).
Yang terkait dengan proses adalah lembaga pengambilan keputusan atau apa yang disebut ’syuro’.
Karena kemashlahatan itu didefinisikan melalui sejumlah asumsi dasar, dengan merujuk pada realitas, rasionalitas dan idealitas sudah tentu akal kolektif lebih baik dari akal individu. Karena itu keputusan bersama lebih baik daripada keputusan individu.

Resiko Sebuah Keputusan
Yang menjadi pertanyaan umum terkait dengan masalah syuro adalah apakah keputusan yang lahir dari syuro tidak mungkin salah?
Prinsip ini (keunggulan akal kolektif atas akal individu) sering dipertentangkan dengan masalah pengendalian kolektif atas proses kreativitas individu. Adanya anggapan keputusan syuro selalu benar dapat menjadikan para pengambil keputusan abai terhadap antisipasi resiko.

Hakikat yang perlu dipahami dalam syuro dan keputusannya adalah:
1. Para pengambil keputusan adalah manusia biasa, tidak makhsum. Yang dilakukan adalah ijtihad jama’i yang bersifat relatif, dalam arti ada resiko kesalahan;
2. Penentuan dan pendefinisian mashlahat ammah pada suatu masa dan situasi tertentu adalah ruang yang sangat dinamis terus berubah dan berkembang dalam tempo cepat. Bisa jadi mashlahat hari ini adalah mudhorot esok hari.

Antisipasi resiko
Produk syuro selalu mengandung resiko kesalahan atau setidaknya tempo kebenaran yang sangat pendek, dalam pendefinisian mashlahat ammah dan mudhorot yang bersifat asumtif.

Kesalahan yang terjadi sebagai produk syuro, masih memberikan ruang perbaikan (perubahan keputusan) dan keuntungan dikarenakan 2 hal:
1. Secara kolektif telah diambil prosedur pengambilan keputusan yang benar. Sehingga dapat dengan mudah ditemukan letak kesalahan2nya , yaitu pada asumsi yang mendasari keputusan atau perkembangan baru yang tidak terduga sama sekali. Jika keputusan itu berasal dari individu maka kesalahannya terletak pada prosedur dan muatan keputusan sekaligus.
2. Ijtihad jama’i lebih bisa ditanggung resikonya secara bersama-sama. Meskipun bisa jadi keputusan syuro mungkin berasal dari gagasan seorang individu anggota majelis syuro. Distribusi beban tanggung jawab tersebar secara merata sehingga dapat memperkuat tingkat soliditas organisasi dan menjaga rasa saling percaya antara sesama anggota dan antara junud engan qiyadah (pimpinan). Ijtihad jama’i ini merupakan ruang yang sangat dinamis dan terus berubah.

Optimalisasi Sebuah Syuro
Hal yang berkaitan dengan antisipasi resiko adalah bagaimana menghasilkan sebuah keputusan syuro yang bermutu. Ini bisa diartikan dengan bagaimana mengoptimalkan syuro.
Secara umum ada 2 fungsi syuro:
• fungsi psikologis dan
• fungsi instrumental

Fungsi psikologis terlaksana jika:
1. Ada jaminan kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi setiap peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran2nya secara wajar dan apa adanya. Jika ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik akan terjadi konflik yang kontra produktif dalam syuro. Peserta syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk menerima keunikan-keunikan individu lainnya.
2. Kemerdekaan dan kebebasan sebagai landasan menciptakan keterbukaan dan transparansi. Rasa aman dan bebas dari rasa takut, rasa nyaman karena diterima secara wajar, apa adanya akan menjadi suasana yang kondusif bagi terciptanya kreativitas dan keragaman yang produktif.

Fungsi syuro yang sesungguhnya adalah mewadahi keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif. Tapi yang menjamin terciptanya keseimbangan yang optimal antara kebebasan berekspresi dan penerimaan yang wajar apa adanya adalah kekhlasan pertanggujawaban dan kelapanagn dada setaiap peserta syuro.
Fungsi instrumental sebuah syuro jika mekanisme pengambilan keputusan berjalan dengan baik maka organisasi itu akan punya soliditas dan resisitensi yang tinggi terhadap berbagai bentuk goncangan yang bisa mengakhiri organisasi.

Fungsi instrumental ini hanya terlaksana apabila beberapa syarat terpenuhi:

1. Sumber informasi yang cukup untuk menjamain bahwa keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan da’wah.Informasi akurat berkorelasi positif dan kuat (signifikan) dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh menyatakan hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang suatu itu.

2. Tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif harus dimiliki setiap peserta syuro sangat menentukan mutu analisis pikiran dan gagasan yang dilontarkan.Faktor lain adalah dominasi akal atas emosi (rajahatul ‘aql) serta sikap rasional yang konsisten. Sikap itu menjamin sikap emosional dan temperamental yang sebagian besar kontraproduktif, tidak terjadi dalam syuro.

3. Adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro-syuro terkelola dengan baik (seleksi, penyaringan dan integrasi ilmiah). Pikiran-pikiran baru yang sulit dibayangkan lahir dari seorang individu.Tradisi ilmiah mengharuskan kita menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu pengetahuan, mengklaim gagasan orang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain dst.

Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro
Pengalaman keikhlasan yang penting adalah tunduk dan patuh pada sesuatu yang kita tidak setujui dan taat dalam keadaan terpaksa.
Dalam kaitan ini sangat relevan muncul pertanyaan, bagaimana mengelola ketidaksetujuan terhadap hasil syuro?

Sebelum sampai kepada jawaban pertanyaan tersebut ada baiknya kita lakukan langkah-langkah berikut, sebagaimana dalam tulisan Anis matta.

1. Bertanya pada diri sendiri, apakah pendapat kita telah terbentuk melalui suatu ‘upaya ilmiah’ seperti kajian, perenungan, pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan kuat untuk mempertahankannya.Dalam kaitan ini harus dibedakan pendapat yang lahir dari proses sistematis dengan sekedar ‘lintasan pikiran’. Seyogyanya kita mengindari pendapat hanya untuk sekedar berbicara (asbun). Karena itu adalah kebiasaan buruk, akan tetapi ngotot adalah kebiasaan yang lebih buruk lagi.Jika memang pendapat kita telah lahir dari proses yang sistemastis maka tawadhu adalah sikap yang lebih utama. Pendapat kita memang benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka salah, tapi mungkin benar.

2. Apakah pendapat kita merupakan ‘kebenaran obyektif ‘atau ‘obsesi jiwa’ tertentu sehingga menjadi ngotot. Jika obsesi jiwa, maka tidak lain ini adalah salah satu bentuk hawa nafsu, maka segera bertobat karena ini adalah salah satu jebakan setan. Jika pendapat kita adalah kebenaran obyektif dan bukan berasal dari obsesi jiwa, yakinlah bahwa syuro pun membela hal yang sama. Sebagaimana salah satu sabda Rasululloh SAW: “ummatku tidak akan pernah bersepakat atas suatu kesesatan” .

3. Seandainya kita tetap percaya pendapat kita lebih benar dan pendapat umum yang menjadi keputusan syuro lebih lemah atau bahkan salah, hendaklah kita percaya “mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaf jama’ah da’wah lebih utama dan penting dari sekedar memenangkan pendapat yang boleh jadi benar”. Karena berkah dan pertolongan hanya turun kepada jama’ah yang bersatu padu dan utuh.Seandainya pilihan syuro itu terbukti salah, dengan keutuhan shaff da’wah, Alloh SWT akan mengurangi dampak negatif dari kesalahan itu berupa misalnya:
o Mengurangi tingkat resikonya atau mencipatakan kesadaran kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman salah seperti itu.
o Mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara logis.

4. dalam ketidaksetujuan itu kita belajar banyak makna imaniyah:
o makna keikhlasan yang tidak terbatas,
o makna tajarrud dari semua hawa nafsu,
o makna ukhuwah dan persatuan,
o makna tawadhu dan kerendahan hati
* tentang menempatkan diri yang tepat dalam kehidupan berjamaah
* tentang cara kita memandang diri kita dan orang lain secara tepat,
o makna tradisi ilmiah yang kokoh dan kelapanagan dada yang tidak terbatas ,
o makna keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Alloh SWT yang tidak terbatas
o makna tsiqoh kepada jama’ah

Jangan pernah merasa lebih besar dari jama’ah atau lebih cerdas dari kebanyakan orang. Yang perlu diperkokoh adalah tradisi ilmiah kita, dalam bentuk:
• memperkokoh tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam
• memperkuat daya tampung hati terhadap beban perbedaan,
• memperkokoh kelapangan dada dan kerendahan hati.
Semua ini akan menentukan apakah kita matang secara tarbawi atau tidak.
Syubhat di Sekitar Sikap Kritis
Sikap kritis diperlukan dalam jama’ah sebagai kontrol, pengendalian dan perbaikan yang berkesinambungan. Sikap kritis dan kultur introspeksi menjadi instrumen penting dalam proses penyempurnaan kehidupan berjamaah.
Umar bin Khoththob mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang menghadiahkan ‘aibnya’ kepadanya.
Al Mutarabbi (penyair Arab) :’…orang yang sempurna adalah yang ‘aibnya dapat dihitung’….’

Akan tetapi ada beberapa syubhat dari implementasi sikap kritis, terutama saat sikap kritis bertemu dengan suasana keterbukaan dan kebebasan menyampaikan pendapat.
1. Apabila sikap kritis itu bersumber dari kebencian bukan dari semangat untuk saling memperbaiki. Benci menjadikan kita bersikap kritis bahkan sangat kritis, sedangkan cinta bisa menjadikan kita bersikap longgar. Rasululloh SAW selalu berdoa untuk diberi kemampuan untuk diberi kemampuan bersikap adil ketika sedang suka dan ketika sedang benci.
2. Apabila sikap kritis itu lahir dari keinginan untuk berbeda dengan orang lain dan dijadikan sarana untuk memperjelas identitas diri sendiri. Karena sikap kritis adalah citra yang baik.
3. Apabila sikap kritis ini dijadikan cara untuk mendapatkan ‘image’ sebagai pemberani. Bahwa dirinya tidak takut pada siapa2 termasuk pada atasan, berani menanggung resiko dari sikap kritisnya.
4. Apabila sikap kritis itu dijadikan kedok untuk merusak nama baik orang lain atau membuka aib sesama. MIsalnya mengkritik di depan umum, tidak dianjurkan dalam Islam.
5. Apabila sikap kritis berkembang menjadi ghibah. Kritik meski bermuatan kebenaran disampaikan tidak pada orang yang tepat akan tidak efektif.

Kritik akan efektif memperbaiki seseorang atau suatu keadaan apabila unsur2nya terpenuhi:
1. ada niat yang benar dari si pengkritik bahwa yang dilakukan sebagai kewajiban munashohah sesama muslim dan ia mengharapkan pahala dengan melaksanakan kewajiban,
2. ada kesalahan obyektif yang harus dikritik. Baik kesalahan personal maupun kesalahan kebijakan.
3. kritik disampaikan dengan cara yang benar dan tepat sesuai dengan adab-adab munshohah dalam Islam

Menyikapi Orang Kreatif dan Kritis
Sikap kritis umumnya merupakan indikator kesehatan hidup berjama’ah. Karena instrumen dan proses perbaikan berkesinambungan bekerja dengan baik.
Suatu ketika Umar bin Khottob berkata, ” Semoga Alloh SWT merahmati seseorang yang telah menghadiahkan aibku kepadaku”.
Yang perlu dikhawatirkan adalah sikap kritis berkembang secara tidak positif dan memicu konflik pribadi yang tidak sehat.
Apa dan bagaimana seharusnya para pemimpin amal Islami menyikapi kritik dan kreativitas yang pasti selalu ditemui sepanjang kehidupan berjamaah.

1. Pemimpin harus bersikap dingin-sedingin2nya terhadap kritik yang ditujukan kepadanya atau kepada kebijakan2nya. Selama kritik itu merupakan indikator kesehatan jamaah tidak ada alasan untuk bereaksi secara berlebihan karena bisa mengarah kepada konflik pribadi yang kontra produktif.

2. Pemimpin harus punya kerendahan hati yang memadai untuk mau mendengar berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Sikap dingin tidak sama dengan cuek, apatis, atau masa bodoh.Sikap dingin adalah sikap mempertahankan kondisi emosional yang stabil sehingga tidak terganggu bekerja dalam lautan kritik. Karena mendengar adalah pekerjaan seorang pemimpin. Dengan menjadi pendengar yang baik seorang pemimpin telah menunjukkan kematangan pribadi. Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki kerendahan hati, obyektivitas, kesediaan yang permanen untuk mengikuti kebenaran dari manapun.

3. Seorang pemimpin harus bersikap obyektif dalam menanggapi berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Kritik yang baik dan benar adalah hadiah terbaik yang harus disyukuri para pemimpin. Karena inilah Alloh melindungi pemimpin dari kesalahan yang mungkin terjadi seandainya kritik itu tidak disampaikan.

4. Seorang pemimpin harus tetap mempertahankan prasangka baiknya terhadap semua pengkritiknya. Ada orang yang berniat baik tapi gagal berkomunikasi atau punya kultur karakter yang kasar, sehingga kritik yang baik dan benar tidak tersampaikan dengan cara yang tidak baik.Prasangka baik adalah bagian dari sikap tasamuh dan kasih sayang yang
diperlukan untuk hidup langgeng dalam berjamaah. Dibutuhkan pemimpin yang senantiasa menyisakan ruang dalam dirinya untuk berdamai saling memahami, bersepakat dan bekerja sama kembali.

5. Yang menentukan sikap seorang pemimpin adalah pemahamannya yang dalam tentang visi dan misi da’wah, marhalah dimana dia bekerja, strategi yang disusun dengan berbagai konsiderannya, kebijakan yang dia ambil serta berbagai pertimbangan dasarnya, langkah2 taktis tertentu yang ia lakukan dan mengapa ia melakukan itu.Ia harus mandiri dan independen dalam berpendapat. Sikap inilah yang menjadi dasar untuk menentukan bagaimana sebuah kritik itu dikelola dan diakomodasi dalam kerangka kebijakan dasarnya atau sebaliknya ditolak atau ditunda masa akomodasinya.

Keragaman yang Produktif
Dalam konteks qiyadah-jundiyah yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengelola perbedaan pendapat dalam jamaah da’wah dan mengubahnya menjadi faktor produktif bagi da’wah?

Beberapa tradisi yang kuat yang dengan sendirinya akan mengubah keragaman menjadi faktor produktif.

1. Tradisi ilmiah
o Da’wah bekerja pada domain yang sangat luas dan rumit, yang tidak mungkin dicerna, dianalisis dan disikapi tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan kemampuan berfikir sitematis dan obyektif. Ada tiga landasan utama tradisi ilmiah:
* sistematika berpikir yang solid
* struktur pengetahuan yang kokoh
* kemampuan pembelajaran yang cepat
o Dengan tradisi ilmiah kita mencegah setiap orang berbicara dari pikiran yang hampa dan hati yang kosong, dari kesembronoan dan kelatahan. Tradisi ilmiah mengajarkan makna pertanggungjawaban atas kata yang kita ucapkan.

2. Tradisi verbalitas
o Tradisi ilmiah hanya bisa tumbuh dengan baik apabila diwadahi dengan keterbukaan yang wajar.
o Tradisi ini berkembang bila secara individual punya tradisi verbalitias yaitu kebiasaan mengungkapkan pikiran secara wajar, alami dan apa adanya.
o Dengan tradisi verbalitas kita mengajarkan makna keberanian yang natural dan kehormatan yang wajar.

3. Tradisi pembelajaran kolektif
o Baik individu maupun jama’ah berkembang melalui referensi normatif maupun pengalaman sejarah. Da’wah yang kita lakukan adalah mata rantai perjalanan manusiawi dan relatif . Walaupun Alloh sanggup membuat seluruh penduduk bumi beriman seketika, tapi Ia menghendaki itu terjadi melalui da’wah yang dilakukan manusia. Kemampuan kita untuk belajar secara kolektif hanya dapat ditingkatkan jika kita memiliki semangat dan kejujuran yang memadai untuk belajar, seperti:
* kemauan untuk mendengar semua pendapat yang beragam,
* mencerna
* menganalisis
* memikir ulang pendapat2 orang lain
o Dengan tradisi ini kita bisa mengakselarasi pertumbuhan kapasitas da’wah .

4. Tradisi toleransiDengan tradisi ini kita harus membiasakan diri untuk memiliki:
o kelapangan dada
o kerendahan hati
o membebaskan diri dari kepicikan
o prasangka buruk
o mengkondisikan diri untuk menghargai waktu

Karena sebuah gagasan terkadang harus diuji di lapangan dan perlu waktu. Tapi membuat seseorang mentoleransi orang lain adalah menunjukkan keluasan ilmu dan wawasannya. Itu yang membantunya memahami orang secara tepat. Memahami alasan-alasan yang mendorong seseorang memiliki sebuah sikap.

Mengokohkan Tradisi Ilmiah
Beberapa ciri tradisi ilmiah yang kokoh, yang dapat mengubah keragaman menjadi produktivitas kolektif:
1. berbicara dan bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan,
2. tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahuinya dengan akurat,
3. selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan,
4. mendengar lebih banyak daripada berbicara,
5. gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu,
6. lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dan kesendirian,
7. selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, obyektif dan proporsional,
8. gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana, ide-ide tapi tidak suka berdebat kusir,
9. berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kemenangan,
10. berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional serta meledak-ledak,
11. berfikir secara sistematis dan berbicara secara teratur,
12. tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar,
13. menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan
14. rendah hati dan bersedia menerma kesalahan,
15. lapang dada dan toleran dalam perbedaan,
16. memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan oang lain dan senantiasa menguji kebenarannya,
17. selalu memikirkan gagasan-gagasan baru secara produktif .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar