Kamis, 23 Juli 2009

Segmentasi dalam Aspek-aspek Da'wah

Muqoddimmah
Dalam berbagai kesempatan jaulah dan memberikan taujih, sering terlontar pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Mengapakah banyak kader dakwah sekarang ini cenderung kepada dunia? Apakah mereka lupa kepada asal mereka saat periode awal dulu mereka itu tidak punya apa-apa? Tidakkah mereka melihat ikhwahnya yang lain yang tidak semujur dirinya dalam rizqi, lalu dimanakah ukhuwwah?” Atau kadang ada juga pertanyaan yang sebaliknya: “Akhi, kenapa ikhwah kita nampaknya tidak siap melihat ikhwah yang lain diberi kemudahan oleh ALLAH? Padahal ALLAH menyediakan perhiasan dunia ini untuk dinikmati oleh orang yang beriman? Adapun ikhwah yang lain, maka bukankah ALLAH menentukan rizqi berbeda-beda pada setiap orang, di zaman Nabi SAW pun sudah ada perbedaan tersebut dan tidak dihapuskan oleh Nabi SAW.”

Ada juga ikhwah yang menyampaikan masalah lain lagi: “Mengapa kader sekarang koq pada genit ya? Mereka mulai rame-rame pakai celana jeans segala, lalu dimana lagi al-wala’ wal bara’ mereka?” Ada pula yang bertanya kebalikannya: “Akhi, kita ini kan harus masuk ke segala lapisan masyarakat, lha kalau semuanya bertahan dengan baju koko (baca: baju taqwa) lalu siapa yang akan menggarap kelompok-kelompok yang alergi terhadap baju seperti itu? Padahal mereka yang demikian itu jauh lebih banyak jumlahnya, lagian baju taqwa itu juga kan asalnya juga bukan dari Islam tapi dari China?”


Demikianlah sekelumit kegalauan yang menimpa sebagian ikhwan dan akhwat dalam ber-ta’ammul (berinteraksi) dengan masyarakat di era mu’assasi ini, dan semua ini insya ALLAH adalah merupakan kebaikan belaka, karena semuanya didasarkan kepada ghirah-islamiyyah (kecemburuan/semangat keislaman). Yang berbahaya adalah kalau dasarnya disebabkan karena ghill wal hasad, maka apapun yang dilakukan ikhwahnya yang lain akan nampak selalu salah dan cela dimatanya, sekalipun telah ditegakkan atasnya berbagai hujjah wal barahin[1]. Wal ‘iyadzu biLLAAH…

Tafsir Ayat Menurut Ulama Salafus-Shalih

Berkata Imam At-Thabari tentang makna syakilah: ALLAH SWT berfirman kepada Nabi SAW: Katakan wahai Muhammad kepada manusia: Setiap kalian itu beramal sesuai dengan keadaannya masing-masing, keinginannya yang beragam, jalannya yang berbeda-beda, maka RABB-mu lah yang lebih mengetahui siapa yang lebih mendapat petunjuk yang lebih dekat kepada kebenaran dibandingkan dengan yang lainnya[2]. Dalam bagian yang lain beliau – rahimahuLLAH - menyitir pendapat lainnya yang menyatakan bahwa makna syakilah juga berarti niatnya[3].

Sementara Imam Ibnu Katsir menambahkan bahwa ALLAH SWT lebih mengetahui antara kami maupun kalian, dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan amalnya, karena sesungguhnya bagi ALLAH SWT tiada yang tersembunyi sedikitpun dari-NYA[4]. Imam Al-Baghawi menambahkan: Yaitu menurut jalan yang dipilih dan disukainya[5]. Imam Al-Biqa’iy menafsirkannya: Katakanlah (wahai para tokoh) setiap kalian (baik yang bersyukur maupun yang kufur)[6] berbuat menurut keadaannya masing-masing (yaitu apakah baik ataupun buruk)[7]. [8]

Berkata Ibnu Hayyan saat memberikan taujihnya mengulas ayat ini[9], ia - rahimahuLLAH - menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut sudah terjadi di era terbaik, yaitu Abubakar RA berkata bahwa ayat yang paling beliau sukai adalah[10]: “Yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukuman-Nya..”(Ghofir(40):3); sementara Utsman RA berkata tiada ayat yang lebih kusukai daripada ayat: “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya AKU-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan sesungguhnya azabku adalah azab yang pedih..”(al-Hijr(15):49-50); berkata Ali RA tiada ayat yang lebih kusukai kecuali ayat: “Katakanlah: Hai hamba-hamba-KU yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat ALLAH..”(az-Zumar(39):53); demikianlah perbedaan sudut-pandang di kalangan para sahabat RA tentang suatu masalah, semoga ALLAAH SWT meridhai mereka semuanya.

Maka hendaklah kita - wahai ikhwah wa akhwat fiLLAH - mengarahkan diri kita semua kepada ridha ALLAH SWT, apakah dengan wasilah (sarana) kemiskinan maupun kekayaan, karena itu bukanlah titik masalahnya karena baik miskin atau kaya bukan menjadi sebab haram atau halal, titik masalahnya adalah bagaimana dampak kedua hal tersebut kepada keimanan kita, kepada dakwah kita dan kepada jihad kita. Apabila dengan kemiskinan itu kita menjadi tidak sempat beribadah, terhambat dari dakwah dan jihad - padahal kita mampu untuk mengubahnya - maka wajib bagi kita untuk mengubahnya, dan mengingat berbagai dalil yang menjelaskan tentang keutamaan kekayaan.

Demikian pula bagi ikhwah wa akhwat yang diberikan kekayaan oleh ALLAH SWT maka apakah asal kekayaan tersebut jelas halalnya dan juga dalam pengalokasiannya maslahat? Jika jawabannya tidak, maka hendaklah resapi berbagai dalil tentang keutamaan kemiskinan dibanding harta yang haram. Demikianlah dengan ini maka semua dalil yang ada akan bertemu pada titik inshaf (adil dan moderat) biduni ifrath wala tafrith (tidak berlebihan tidak pula berkurangan), dan janganlah sekali-kali kita mempertentangkan dalil, karena yang demikian itu adalah sifat orang-orang munafiq, na’udzu biLLAHi min dzalik.. Ingatlah kata-kata Sayyid Quthb – ja’alahuLLAHu syahidan - saat mengomentari ayat ini, beliau menyatakan bahwa ayat ini merupakan statement yang tersirat akan akibat dari setiap perbuatan dan tujuan seseorang, maka hendaklah setiap orang mengusahakan - dengan semua hal yang mampu ia usahakan - dan agar ia mengarahkan seluruh hati, fikiran dan amalnya untuk menempuh jalan petunjuk, yaitu jalan yang akan mempertemukannya dengan ALLAH SWT[11]..

Antara Kaya dan Miskin: Pelajaran dari As-Sunnah
Jika kita teliti berbagai hadits dan atsar yang menceritakan peri-kehidupan para Shahabat RA maka kita akan dapati kehidupan mereka amat beragam, ada yang kaya dan ada pula yang miskin, di antara yang kaya tersebut ada yang menyimpan dan menikmati sebagian kekayaannya dan ada pula yang menginfakkan seluruh kekayaannya tersebut. Demikianlah sebagaimana ayat yang telah saya bahas pada kajian sebelumnya, marilah kita simak bagaimana sirah kehidupan mereka, sebagai berikut:

1. Khalifah Abubakar RA: Namanya AbduLLAAH bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr Al-Quraisyi At-Taimiy[12]. Beliau adalah seorang yang berkulit putih, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya sering melorot melewati mata-kaki), wajahnya selalu berkeringat, hitam matanya, keningnya lebar, tidak bisa bersajak dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai (pacar/katam)[13]. Beliau adalah seorang yang kaya, saat awal keislamannya saja beliau menginfakkan hartanya 40.000 dirham, memerdekakan budak-budak yang disiksa[14] dan lain-lainnya.

2. Khalifah Umar RA: Namanya Umar bin Khattab bin Nufail bin Adiy bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin AbduLLAH bin Qurth bin Razah bin Adiy bin Ka’b bin Lu’ay[15]. Beliau adalah seorang yang tinggi besar, kepala bagian depan sulah (botak), dua matanya hitam, kulitnya putih kemerahan, giginya putih bersih berkilau, selalu mewarnai janggutnya dan menyisir rambutnya dengan inai[16]. Beliau adalah orang yang kaya namun zuhud dan wara’, saat menikahi Ummu Kultsum binti Ali RA beliau memberikan maharnya sebanyak 40.000 dirham[17]. Beliau jarang tertawa dan tidak pernah bergurau dengan siapapun, cincinnya bertuliskan: KAFA’ BIL MAUTI WA’IZHAN YA UMAR (Cukup Kematian itu Menjadi Peringatan Bagimu Hai Umar)[18].

3. Khalifah Utsman RA: Namanya Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay[19] bergelar Abu AbduLLAH Al-Quraisyi Al-Umawiy, juga Abu Amr atau Dzun Nurain[20]. Beliau adalah seorang yang amat rupawan, lembut, jenggotnya lebat, perawakannya sedang, persendiannya besar, bahunya bidang, rambutnya lebat, mulutnya bagus[21], dahinya lebar dan kedua tapak kakinya besar[22]. Beliau adalah seorang yang amat sangat kaya, Ash-Sham’i berkata: Ibnu Amir mengangkat Quthn bin ‘Auf Al-Hilaly sebagai gubernur Karman, maka datang pasukan muslimin 4000 personil, tapi terhalang oleh air besar, maka ia berkata barangsiapa bisa melintas akan diberi hadiah 1.000 dirham, maka akhirnya semua pasukan berhasil melintas dan jumlah hadiah sebesar 4.000.000 dirham, maka Ibnu Amir menulis surat pada Utsman RA lalu beliau memberikannya, sehingga hadiah itu terkenal dalam sejarah sebagai hadiah Penyebrangan Lembah[23]. Demikian kaya dan dermawannya Utsman RA sehingga saat peperangan di musim paceklik ia datang ke kamar Nabi SAW membawa uang 1.000 dinar emas, sehingga beliau SAW bersabda: Tiada dosa bagi Utsman setelah hari ini (diucapkan 2 kali)[24].

4. Khalifah Ali RA: Namanya Ali bin Abu Thalib bin Abdi manaf bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi manaf bin Qushayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ayy bergelar Abul Hasan wal Husain atau Abu Turab[25]. Beliau berkulit coklat karena sengatan matahari, namun yang tidak tersengat matahari seperti dada dan pundaknya padat/tegap dan putih, matanya besar dan kemerahan, perutnya besar/gendut dan kepalanya botak, badannya pendek dan janggutnya lebat, bulu dada dan bahunya lebat, langkahnya ringan dan cepat, wajahnya tampan dan giginya bagus[26]. Ia adalah seorang yang amat miskin, saat Makkah tertimpa paceklik Nabi SAW mengambilnya dari ayahnya dan menanggungnya sehingga ia tinggal bersama Nabi SAW, diriwayatkan bahwa karena berat beban hidupnya maka istrinya Fathimah RA meminta khadim (pembantu) pada Nabi SAW, tapi Nabi SAW memerintahkan mereka membaca takbir 34x, tasbih 33x dan tahmid 33x saat naik ke pembaringan[27].

(Bersambung Insya ALLAAH…)
___
Catatan Kaki:
[1] Pembahasan bagi kelompok ahlul-ghill wal hawa’ dalam jama’ah ini telah berlalu, tafadhal dilihat lagi tulisan ana berjudul: Manhajut Tatsabbut wat-Tabayyun fil Harakah
[2] Tafsir At-Thabari, XVII/540
[3] Ibid, XVII/541
[4] Tafsir Ibnu Katsir, V/113
[5] Tafsir Al-Baghawy, V/124
[6] Ini juga pendapat Imam An-Nasafiy, lih. Juga dalam Tafsirnya, II/215
[7] Tafsir Al-Biqa’iy, V/98
[8] Imam Ibnul Jauzy meringkasnya menjadi 3 pendapat: Keinginan, niat dan agamanya; lih. Zadul Masir, IV/189
[9] Tafsir Al-Bahrul Muhith, V/392
[10] Maksudnya adalah ayat yang mendahulukan rahmat dari azab ALLAAH SWT
[11] Az-Zhilal, 5/42
[12] Thabaqat libni Sa’d, III/169; Tarikhut Thabari, III/425
[13] Thabaqat libni Sa’d, III/188
[14] Al-Bidayah wan Nihayah, III/26
[15] Thabaqat Libni Sa’d, III/265; Nasab Quraisy Liz Zubairi, hal. 103; Jamharatu Ansab Al-Arab Libni Hazm hal. 44; Al-Isti’ab Libni Abdil Barr hal. 1144
[16] Thabaqat Libni Sa’d, III/324; Tarikhut Thabari, IV/196
[17] Al-Bidayah wan Nihayah, IV/199
[18] Ibid.
[19] At-Thabaqat Al-Kubra, III/53; Tarikh Ar-Rusul wal Muluk, IV/420
[20] Al-Fath Libni Hajar, VII/52
[21] At-Thabaqat Al-Kubra, III/58; Tarikh Ar-Rusul wal Muluk, IV/419
[22] Tarikh Ar-Rusul wal Muluk, IV/419
[23] HR Ibnu Asakir dalam Tarikhu Dimasq, XI/265
[24] HR Ahmad, V/63; Tirmidzi, V/626
[25] HR Bukhari no. 441, 3703, 3280; Muslim no. 2409
[26] At-Thabaqatul Kubra, III/25, 27; tarikhut Thabari, V/153
[27] HR Bukhari, XII/472 no. 3705


Tidak ada komentar:

Posting Komentar