Rabu, 29 Juli 2009

Haji dan Kecerdasan Spiritual Masyarakat

HARI-hari ini jemaah haji asal Indonesia sudah mulai berdatangan. Tawa gembira serta derai air mata ikut menyambut kedatangan mereka. Terpancar rasa bahagia bisa kembali bertemu dengan keluarga dalam keadaan sehat dan selamat. Hal ini sangatlah wajar mengingat begitu beratnya ibadah haji.

Setiap tahun sekira 200.000 (dibatasi kuota) Muslim Indonesia menunaikan ibadah haji. Begitu tingginya daya tarik "pergi" haji sehingga di daerah yang sedang dilanda kerusuhan/bencana pun, jumlah jemaah hajinya masih besar. Dari segi jumlah, tentu hal tersebut menggembirakan karena hal ini memperlihatkan adanya semangat untuk melaksanakan ibadah haji. Namun cukuplah itu?


Tentu tidak. Karena bila demikian, hikmah ibadah haji menjadi tidak terimplementasikan. Ibadah haji hanya menjadi perjalanan "rekreasi" semata, yang sibuk dengan aktivitas "jalan-jalan" mencuci mata dan belanja oleh-oleh, bahkan tidak tertutup kemungkinan gelar "haji" hanya akan membuatnya semakin takabur. Sayangnya hal inilah yang banyak terjadi di negeri ini.
Jumlah masyarakat dan pejabat termasuk para artis yang sudah lulus "haji" (ditandai dengan seringnya kita temui "gelar" H. atau Hj. di depan nama seseorang) cukup banyak dan semakin banyak.

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini sudah jutaan penduduk Indonesia yang mampu melaksanakan ibadah haji. Dengan kondisi tersebut, seharusnya kualitas masyarakat Indonesia semakin baik, semakin bermoral. Namun mengapa kenyataannya justru sebaliknya? Mengapa bangsa Indonesia justru kian kacau saja?

Mengapa KKN ada di mana-mana? Mengapa kekerasan makin marak? Mengapa main hakim sendiri menjadi hal yang lumrah? Mengapa krisis ekonomi kian parah saja? Mengapa pornografi dan pornoaksi (ingat goyang "ngebor" Inul) semakin merajalela? Mengapa bencana alam terjadi di mana-mana?

Singkatnya, mengapa kondisi bangsa dan masyarakat Indonesia tidak semakin aman, sejahtera, dan "benar"?

Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi di atas antara lain disebabkan oleh belum terbentuknya kecerdasan spiritual (spiritual intelligence - SQ) masyarakat walaupun selama ini kita mengklaim diri sebagai masyarakat beragama. Dalam konteks inilah pengamalan intisari ibadah haji dalam hidup keseharian menjadi urgen. Bukankah perjalanan ibadah haji sarat dengan nilai pendidikan yang berpengaruh pada upaya membentuk kecerdasan spiritual?

Kecerdasan spiritual
Di awal abad ke-20 manusia menemukan kecerdasan intelektual (intellegence quotient - IQ), sebuah perangkat untuk mengukur kemampuan seseorang dalam mengingat serta memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan logis dan strategis. Pada pertengahan tahun 1990-an, Daniel Goleman memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang kecerdasan emosional (emotional intellegence EQ). Kemudian berkembang pula istilah kecerdasan moral (moral intellegence - MQ). ntuk pertama kali, MQ dicetuskan oleh seorang dokter anak terkemuka, Dr. Ustin McIntosh. Kemudian disebarluaskan oleh Robert Coles, seorang psikiater pada Harvard university Healty Services, melalui bukunya The Moral Intellegence of Children: How to Raise a Moral Child (1997). Menurutnya, kecerdasan moral dihidupkan oleh imaji moral yaitu kemampuan manusia yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar/salah dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikiran manusia dan di pengujung abad ke-20 ini diperkenalkan SQ.

Menurut fisikawan dan psikoterapis dari Oxford University, Danah Zohar & Ian Marshall dalam Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence (2000), SQ merupakan alat untuk membangun berbagai perspektifk baru dalam kehidupan, yang dapat menimbulkan a sense of something beyond, melahirkan a sense of something more yang akan selalu memberikan nilai tambah dan makna lebih di manapun manusia itu berada.
Haji dan kecerdasan spiritual

Sesungguhnya ibadah haji tidak hanya untuk mengenang perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Bapak Monoteisme tiga agama besar dunia, tetapi lebih merupakan "jalan" untuk membantu umat Muslim mencapai kecerdasan spiritual.
Ritual sa'i misalnya yang berupa berlari-lari kecil Sofa-Marwah sebanyak tujuh kali melambangkan kegigihan Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) mencari air untuk anaknya (Nabi Ismail) yang masih kecil. Seharusnya umat Islam pun demikian, mau berupaya dengan keras dan tekun dalam mencapai tujuan. Bukan sebaliknya, ingin cara yang tercepat (maunya serbainstan), tak peduli itu benar atau salah.

Bahkan, atmosfer ibadah haji pun sangat baik untuk mencerdaskan spiritual umat. Hingga kini ibadah haji masih dianggap sebagai perjalanan menuju kematian. Ketika berpamitan, selain mohon didoakan agar menjadi haji mabrur (diterima) seorang calon haji juga minta didoakan agar ia bisa pulang dalam keadaan hidup. Apalagi, cerita haji tidak bisa lepas dari berbagai kepercayaan bahwa tindakan buruk akan langsung mendapat balasan. Seharusnya umat Islam pun demikian, takut untuk melakukan hal yang buruk karena pasti akan memperoleh balasan. Bukan seperti sekarang, ketakutan tersebut hanya ada ketika di Tanah Suci. Ketika kembali ke Tanah Air, kembali melakukan hal yang tercela (gemar mencaci maki, korupsi, pungli, boros, angkuh, sombong, dsb).

Sementara ritual kurban yang biasanya selalu menyertai ibadah haji, yang melambangkan peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya Nabi Ibrahim yang kemudian diganti kambing setidaknya mengajarkan tiga hal. Pertama, bahwa jangankan terhadap diri orang lain, terhadap dirinya sendiri pun manusia tidak memiliki hak apa-apa. Itulah sebabnya tidak pantas untuk sombong, ria, dan takabur.
Kedua, mengajarkan agar kita tidak mencintai sesuatu secara berlebihan. Orang yang sangat mencintai diri sendiri akan membuat ia meremehkan orang lain. Orang yang sangat mencintai harta benda akan berupaya dengan segala cara, termasuk yang haram untuk mencapai jumlah harta yang diinginkannya. Orang yang mencintai kekuasaan akan merasa ketakutan bila kekuasaan itu akan diambil orang, karenanya ia membentengi diri agar orang tidak dapat masuk ke daerah kekuasaannya. Entah dalam bentuk membuat pagar kekuasaan ataupun menghidupkan kezaliman.

Sedihnya, justru kondisi inilah yang terjadi di negeri ini, tampak dari maraknya kasus korupsi. Yang kian hari justru semakin merajalela.
Pada tahun 1999, The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC, Hongkong) menyimpulkan bahwa dari 12 negara yang disurvei, tingkat korupsi di Indonesia paling tinggi (skor 9,91) dan sarat dengan kroniisme (skor 9,09). Hasil yang identik juga tampak dari indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparency International (Nerlin). Pada tahun 2001, hasil survei TI menempatkan Indonesia di urutan ke-89 (skor 1,9 yang skor 10 berarti sangat bersih dan 0 berarti sangat korup) dari 91 negara. Peringkat ini lebih buruk dari tahun 1999 yang berada di urutan ke-97 (1,7) dari 99 negara maupun bila dibandingkan dengan tahun 2000 yang berada di urutan 86 (skor 1,7) dari 90 negara. Bahkan, hasil survei PERC pada tahun 2002, memperlihatkan bahwa tingkat korupsi dan kroniisme di Indonesia paling tinggi di Asia (peringkat 3 di dunia).

Ketiga, untuk mengajak umat Muslim hidup asketis yaitu mampu menunda kenikmatan sesaat guna memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya yang langgeng. Namun apa nyatanya? Ternyata kita sangat serakah dan rakus. Buktinya, tidak mampu menahan diri untuk tidak seenaknya saja menggerogoti hutan. Dalam foto udara Citra Landsat tahun 1997, ternyata hutan alam tropis di Peg. Kapuas (Kalimantan), tinggal 20%. Padahal, hutan tersebut merupakan daerah tangkapan air hampir smua hulu sungai di Kalimantan (Kompas, 16/8/00). Data dari Badan Planologi Kehutanan (BPK) tahun 2000 menunjukkan bahwa kawasan yang tidak lagi berhutan sudah mencapai 40,26 juta Ha, atau 33% dari luas semula ( 119,7 juta ha) (Kompas, 17/1/2001). Padahal setiap tahun, sedikitnya ada 1,8 juta ha hutan yang ditebang sehingga diprediksikan seluruh hutan alami di Sumatra akan hilang pada tahun 2005-2010, sedangkan yang di Kalimantan pada tahun 2010-2015 (Kompas, 5/8/01).

Bagaimana dengan kondisi hutan di Jawa Barat? Sangat memprihatinkan. Hanya 5% lahan hutan yang kondisinya masih baik sehingga diperkirakan pada tahun 2004 atau 2005 nanti hutan di Jawa Barat sudah habis (Kompas, 8/1/03).
Buktinya, kita juga sembrono dalam mengeksploitasi laut. Indonesia memiliki laut seluas di dunia, memiliki areal terumbu karang seluas 85.000 km2 (nomor dua di dunia setelah Australia). Sesungguhnya, bila dikelola dengan benar, akan diraih keuntungan 4.2 miliar dolar AS/tahun. Namun kenyataannya, justru rugi 12 juta dolar AS/th (Kompas, 15/2/00).

Hal ini akibat kerakusan kita dalam mengeksploitasi laut sehingga tidak mengiraukan kehidupan biota laut. Hasil Program Reff Check 1999 dari Yayasan WWF Indonesia Wallacea memperlihatkan bahwa hanya 5,56% terumbu karang Indonesia yang dalam kondisi baik. Sisanya dalam kondisi sedang (47,22%) bahkan buruk (47,22%). Padahal, hasil penelitian LIPI pada tahun 1997 memperlihatkan bahwa 6,2% masih dalam kondisi sangat baik, 23,72% sedang, dan 41,78% buruk (Kompas, 22/12/99).

Buktinya, kita sangat boros dalam mengeksplorasi tambang. Selama ini kita sombong dan menganggap negara ini kaya akan tambang. Minyak misalnya. Memang diperkirakan cadangan minyak Indonesia sebesar 9,5 miliar barrel. Namun cadangan pasti hanya 4,8 miliar barrel. Padahal, setiap tahun Indonesia memproduksi 550 juta barrel (4-5%) sehingga diperkirakan dalam waktu tujuh tahun, cadangan minyak Indonesia akan habis. Bahkan dalam waktu lima tahun lagi, Indonesia akan menjadi pegimpor neto minyak bumi (Kompas, 11/9/0).

Akibat dari ketidakmampuan menahan diri, kesembronoan dan keborosan kita, maka terjadilah kondisi negara ini tidak hentinya didera berbagai bencana. Di musim hujan, bencana banjir dan longsor terjadi silih berganti. Di musim kemarau, kekeringan dan kekurangan pangan selalu terjadi dan di setiap saat kira didera oleh polusi air, polusi tanah, dan polusi udara serta belum lepas dari kemiskinan. Selain itu kita juga didera berbagai aksi kekerasan.

Seharusnya kita malu terhadap negara-negara yang tidak banyak memiliki "haji", namun justru lebih memahami dan melaksanakan hikmah ritual haji dan kurban. Prancis misalnya, karena keberhasilannya menghargai hutan, maka sekarang dapat menikmati devisa dari ekspor air hasil ekosistem hutannya. Vietnam, sejak 1997 sudah menghentikan penebangan hutan alamnya untuk difungsikan sebagai penyangga kesuburan lahan pertanian, sedangkan Finlandia merupakan negara yang terbersih dari korupsi.

Menjadi teladan
Akankan kondisi di atas dibiarkan saja? Seharusnya tidak. Di sinilah pengamalan hikmah ibadah haji memegang peranan. Bukankah selama ini ibadah tersebut dianggap sebagai puncak ritual umat Muslim (karena memadukan kekuatan fisik, ketangguhan rohani, dan kemampuan harta)? dan bukankah sesunguhnya para alumni haji tersebut memiliki kewajiban moral untuk mencerdaskan secara spiritual masyarakat sekiranya? Setidaknya menjadi teladan bagi mereka.

Akhirnya, selamat datang para Bapak Haji dan Ibu Hajjah. Semoga Anda mampu menularkan kecerdasan spiritual bagi sekiranya. Ingat, mengabaikan pengalaman hikmah ibadah haji berarti mengabaikan peluang pemberdayakaan diri, sebagai inti dari pemberdayan masyarakat. Bukankah Anda tidak ingin bangsa ini terus berkubang dalam kebodohan, kekerasan, penyelewengan, korupsi, kemiskinan, banjir, longsor...?

IBADAH haji adalah salah satu bentuk ibadah yang memiliki makna multiaspek, ritual, individual, politik psikologis, dan sosial. Dikatakan aspek ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho'a), pelaksanaannya diatur secara jelas dalam Al Qur'an.
Haji sebagai ibadah individual, keberhasilannya amat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji. Haji juga termasuk bentuk ibadah politik, karena persiapan sampai pelaksanaanya masih memerlukan intervensi atau campur tangan pihak lain (pemerintah).
Dari aspek psikologis, ibadah haji berarti tiap-tiap jemaah harus memiliki kesiapan mental yang tangguh dalam menghadapi perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang sangat berbeda dengan situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah penting dari ibadah haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jemaah haji memiliki pengetahuan, pemahaman mengaplikasikan pesan-pesan ajaran yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan transendental (antara manusia dengan Allah) tetapi yang paling penting adalah dijadikan pelajaran para pelakunya untuk membentuk kepribadian atau moralitas pergaulan antara sesama manusia. Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jemaah haji khususnya.

Substansi ibadah haji
"Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya Allah, kami datang ke-Hadlirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah, segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah ".

Kalimat itu selalu menggema di saat musim haji seperti sekarang ini; maknanya adalah pengakuan, kepasrahan, ketaatan, dan kepatuhan dari seorang hamba (makhluk) kepada Sang Pencipta (Kholiq) Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha penyayang. Kepatuhan dan ketaatan, dan pengakuan terhadap keagungan Allah merupakan sarana paling efektif untuk mewujudkan kejujuran, keikhlasan yang bisa menghilangkan aneka bentuk kejahatan dan kesombongan manusia dalam menjalankan tugas, peran, dan tanggung jawab sehari-hari.

Siapa pun yang memiliki pengakuan terhadap keagungan Allah berarti manusia memiliki kesiapan untuk bersikap dan berbuat yang sesuai perintah Allah dalam arti tidak akan mau melanggar aturan, etika, dan norma yang berlaku.

Ibadah haji tidak cukup dengan ketepatan, rutinitas syarat dan rukunnya. Siapa pun yang berniat melaksanakan ibadah haji senantiasa harus memelihara ucapan agar tidak mudah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan orang lain tersinggung. "Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji" (QS. Al-Baqarah: 197).

Dalam tafsir al-maroghi, kata rafats diartikan segala ucapan, sikap dan perilaku yang bisa menimbulkan birahi, tidak senonoh, ketersinggungan, malapetaka bagi orang lain yang mendengar dan melihat. Selama menjalankan ibadah haji, para jemaah dianjurkan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 198). Dzikir tidak hanya sekadar bagaimana manusia melafalkan kalimat "Laa ilahaillallaah", tetapi yang terpenting bagaimana mengimplementasikan makna kalimah dzikir dalam kehidupan sehari-hari.

Barang siapa yang menjalankan ibadah haji hendaknya memahami dan mampu mengambil hikmah dari tiga peristiwa masa lalu (sejarah). Peristiwa pertama, pada bulan haji ini, secara serentak umat Islam dianjurkan melaksanakan shalat sunah Idul Adha di lapangan terbuka.

Kekompakan itu melambangkan adanya pelajaran bagi umat islam, baik yang melaksanakan ibadah haji maupun yang belum agar selalu menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan (ukhuwah) di antara sesama manusia. Predikat haji yang diperoleh bukan untuk sarana kebanggaan atau kesombongan, melainkan sebagai sarana untuk melatih dan membangun kesabaran, penghargaan, penghormatan kepada sesama umat manusia.
Peristiwa kedua, pada bulan haji ini semua umat Islam bagi yang mampu, melakukan penyembelihan hewan (kurban) serta ada mengalir darah hewan di mana-mana. Hal ini menandakan kesediaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji harus berusaha membunuh atau membuang sifat-sifat kebinatangan (nafsu hewaniyah) yang hanya menitikberatkan pada masalah nafsu emosional, keserakahan tanpa mengenal aturan dan etika, berganti menjadi mentalitas manusia yang selalu menjunjung tinggi rasional, akal budi, perasaan, menghargai dan menjunjung tinggi etika, norma dan aturan yang berlaku baik secara sosial maupun agama.

Peristiwa ketiga, pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci akan dihadiri oleh jutaan manusia di dunia yang berasal dari berbagai negara dan memiliki budaya, karakter, warna kulit, yang sangat berbeda-beda. Mereka semua bisa bersatu padu tanpa memperhatikan dan mempersoalkan asal usul, warna kulit maupun budaya. Artinya, siapa pun yang memiliki niat menjalankan ibadah haji harus berusaha menumbuhkan perasaan atau mentalitas pluralistik dalam segala hal, dengan cara menumbuhkan semangat kebersamaan, toleransi, saling menghormati dan menghargai manusia.

Makna sosial
Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat ke Tanah Suci dan datang kembali di tanah air dengan disertai cerita-cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna. Padahal, ibadah haji lebih banyak makna sosialnya daripada makna ritual (transendental), hal ini didasarkan substansi Islam sebagai agama rohmatan lil'alamiin (QS. Al-Anbiya:107).
Makna sosial ibadah haji dapat diambil dari serangkaian kegiatan yang dilakukan selama ibadah haji berlangsung dan juga dikategorikan sebagai syarat dan rukun ibadah haji. Di antara kegiatan ritual haji yang mengandung makna sosial antara lain sebagai berikut.

Pertama, Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta kesewenang-wenangan.

Umat Islam yang telah memakai pakaian ihram harus berjiwa stabil, tidak dikendalikan nafsu emosional terhadap material (kekayaan/harta), kalaupun mencari kekayaan/harta harus selalu memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi aturan yang ada. Praktek KKN, menumpuk kekayaan sementara orang lain menderita; menimbun barang pada saat orang lain kesulitan mencari, harus segera ditinggalkan kalau umat Islam sudah mengenakan pakaian ihram di Tanah Suci.

Kedua, Thowaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas dan masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling menghargai dan saling menghormati. Sebelum thowaf, jamaah haji lebih dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar. Itu artinya setiap jemaah haji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya.

Ketiga, Sa'i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung jawab (berjalan) bagi jemaah haji ke arah hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Artinya, siapa pun yang sudah menjalankan ibadah haji harus bisa mengambil makna Sa'i yakni menyadari perlunya perilaku yang positif, baik untuk dirinya maupun orang lain (masyarakat).

Keempat, Al-hulqu/Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berpikir kotor yang masih berada dalam kelopak kepala masingmasing manusia. Jemaah haji yang telah menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara pikir dan konsep kehidupan yang bersih, tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama. Dengan kata lain tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengekspresikan pikiran yang baik dan positif serta menerapan dalam tindakannya sehari-hari.
Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan jamaah haji khususnya, agar senantiasa mengubah pikiran, sikap, serta perilaku (tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain. Jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling esensial adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, dan menghargai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar