Kamis, 23 Juli 2009

Adabiyat musyawarah

Hari itu, Sabtu sore tanggal 7 Syawwal tahun 3 H. Rasulullah saw dan para sahabatnya baru saja tiba dari bukit Uhud. Datang dengan membawa duka yang mendalam. Duka atas gugurnya 70 prajurit Madinah. 65 syuhada' dari Anshar, 4 syuhada' dari Muhajirin dan satu orang Yahudi yang juga ikut tewas dalam peristiwa itu. Salah seorang diantara 69 syuhada' itu adalah Hamzah bin Abdul Muttalib. Beliau sangat bersedih atas syahidnya sang paman dan saudara sesusuannya itu.

Saat itu berkembang berbagai versi tentang kenapa kaum muslimin 'kalah' dalam perang Uhud. Salah satu versi yang sangat perlu kita renungkan adalah berkembangnya 'isyu' yang mengatakan bahwa 'kekalahan' Uhud terjadi karena kaum muslimin lebih mengutamakan syuro (musyawarah) daripada pendapat Rasulullah saw.
Bukankah sebelum peristiwa Uhud terjadi, Rasulullah saw telah bermimpi. Dalam mimpinya, Rasulullah saw melihat sapi yang disembelih, melihat bagian yang tajam dari pedangnya rompal dan melihat bahwa beliau saw memasukkan tangannya ke dalam baju besi yang sangat kokoh?!


Lalu, bukankah beliau saw telah menafsirkan mimpinya itu dengan mengatakan: "Sapi yang disembelih artinya akan ada beberapa sahabat beliau yang terbunuh, pedang yang rompal artinya akan ada seseorang dari keluarga beliau yang terbunuh, dan baju besi itu adalah Madinah?!
Bukankah ini berarti bahwa Rasulullah saw telah mengetahui akhir dari peperangan yang akan dijalani?!

Dan bukankah sebelum peristiwa terjadi Rasulullah saw telah berpendapat agar kaum muslimin bertahan di dalam kota Madinah saja, kalau sekiranya orang-orang musyrik Makkah datang ke Madinah, kaum muslimin akan memeranginya di mulut-mulut gang dan kaum wanita juga bisa ikut berperang dari atap rumah?

Saat itu berkembang 'isyu' yang mengatakan: "Peristiwa 'kekalahan' Uhud terjadi karena kaum muslimin lebih mementingkan hasil syuro daripada pendapat Rasulullah saw!!! Dan keputusan syuro itu terkesan 'memaksa' Rasulullah saw untuk mengikutinya, sebab keputusan itu di dukung oleh mayoritas kaum muslimin, terutama dari kalangan para pemuda!!!".

Keputusan syuro saat itu memang terasa pahit, dan tanda-tanda 'ketidak-tepatan' hasilnya sudah mulai tampak sejak sebelum perang Uhud benar-benar terjadi.
Diantara tanda-tandanya adalah saat kaum muslimin sedang berjalan menuju ke bukit Uhud, ada sekitar sepertiga pasukan yang kembali ke Madinah, di bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul. Alasannya, takut terjadihal-hal yang tidak diinginkan, sebab keberangkatan ke Uhud itu bertolak belakang dengan pendapat awal Rasulullah saw yang hendak bertahan di dalam kota Madinah saja. Dan hampir saja manuver Abdullah bin Ubay bin Salul ini di dukung oleh dua suku, yaitu Bani Haritsah dari Aus dan Banu Salimah dari Khazraj. (Ali Imran: 122).

Ini artinya "syuro telah menjadi penyebab pecahnya shaff kaum muslimin sebelum pertempuran terjadi!!! Padahal saat itu musuh sudah jelas-jelas ada di depan mata!!!
Setelah perang Uhud selesai, -dengan segala hasilnya yang terjadi- 'isyu' yang dilontarkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul itu semakin menguat: "Kekalahan ini gara-gara kaum muslimin tidak mengikuti pendapat Rasulullah saw, malahan mengikuti syuro yang didukung oleh 'anak-anak muda', sementara kalangan 'tua' tidak mendukungnya"!!!
Namun, ternyata komentar Allah swt sangat lain dan bahkan bertolak belakang dengan 'isyu' yang berkembang itu.

Setelah peristiwa Uhud itu, Allah swt menurunkan 80 ayat untuk menjelaskan berbagai hal yang terjadi sebelum, saat berlangsung dan setelah perang Uhud (mulai ayat 120 sampai 200 dari surat Ali Imran).

Diantara 80 ayat itu ada satu ayat yang memerintahkan Rasulullah saw untuk melibatkan kaum muslimin melalui majlis syuro, dan sudah barang tentu dengan segala hasil yang diputuskan dalam majlis syuro itu, meskipun terasa pahit, getir atau manis. (lihat QS Ali Imran: 159).

Dalam fi Zhilalil Qur'an Sayyid Qutub mengatakan:
"Sebenarnya, merupakan hak Rasulullah saw untuk mengabaikan keputusan syuro, akan tetapi, beliau tetap menjalankan keputusan itu, meskipun beliau saw telah mengetahui apa yang ada di balik keputusan itu yang berupa berbagai rasa sakit, berbagai kerugian dan berbagai pengorbanan, sebab, menetapkan sebuah prinsip (yaitu prinsip syuro), mengajari jama'ah, dan mentarbiyyah ummat lebih besar daripada kerugian-kerugian temporer.

Sungguh, merupakan hak qiyadah nabawiyyah untuk membuang jauh prinsip syuro itu setelah perang usai, sebab syuro itu 'telah menyebabkan' perpecahan shaff saat sedang dalam kondisi yang sangat kritis, dan 'telah menyebabkan' pula berbagai hasil pahit pada ujung pertempuran itu! Akan tetapi, Islam hendak membangun satu ummat, hendak mentarbiyahnya dan mempersiapkannya sebagai pemimpin seluruh ummat manusia. Dan Allah swt mengetahui bahwa sebaik-baik sarana untuk mentarbiyah ummat itu dan mempersiapkannya untuk kepemimpinan yang lurus itu adalah dengan:

# Mendidiknya dengan syuro dan
# Melatihnya untuk memikul beban hasil syuro itu.
# Dan agar ummat itu melakukan kesalahan, - betatapun besarnya kesalahan itu dan betapapun pahitnya hasil kesalahan itu - agar:
- Ummat itu mengetahui bagaimana kesalahannya, dan agar
- Ummat itu konsekuen untuk memikul beban-beban akibat pendapat dan tindak tanduknya. Sebab ummat tidak akan mengetahui yang benar kecuali setelah melakukan kesalahan.

Adapun kerugian yang diderita, ia tidaklah berarti apa-apa jika hasilnya adalah munculnya ummat yang terlatih, yang tahu betul dan mampu memikul beban-bebannya. Memperpendek kesalahan dan kekeliruan serta memperkecil kerugian dalam kehidupan ummat tidaklah memberi keuntungan apa-apa, jika menghasilkan ummat yang seperti anak kecil yang tidak pernah dilatih oleh orang tuanya untuk berjalan, dengan alasan agar tidak jatuh, namun pada akhirnya anak kecil itu betul-betul tidak mampu berjalan!!!. (Zhilal ha: 495-496).

Syuro memang sering membawa keputusan yang tidak memuaskan, namun, marilah kita belajar memiliki kedewasaan sikap dan adabiyyat (sikap menghormati) yang dulu di miliki oleh para sahabat Ridhwanullah 'alaihim.

Tersebutlah bahwa Rasulullah saw meminta masyuroh para sahabatnya berkenaan dengan tawanan perang Badar.
'Umar bin Al Khaththab (ra) berpendapat: "Bunuh saja semua".
Abu Bakar (ra) berpendapat: "Mereka kan masih kerabat kita, kita suruh bayar tebusan saja".

Singkat cerita Rasulullah saw cenderung kepada pendapat Abu Bakar (ra).
Setelah semuanya dilaksanakan sesuai dengan pendapat Abu Bakar (ra), wahyu turun.
Isi wahyu yang turun itu cukup membuat ngeri dan merinding seluruh rambut. Allah swt berfirman:

"Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah swt menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (QS Al Anfal: 67 - 68).
Rasulullah saw mengangis atas teguran Allah swt ini, begitu pula Abu Bakar Ash-Shiddiq (ra). Tidak lama kemudian, Umar bin Al Khaththab (ra) datang. Rasulullah saw bersabda: "Kalau saja adzab Allah swt itu turun, niscaya tidak ada yang selamat kecuali Umar".

Mendapatkan pendapatnya dibenarkan oleh wahyu, Umar tidak lantas kegirangan, GR, dan ujub, apalagi sampai mengatakan misalnya: "Tuh kan, pendapat saya yang benar, coba dari dulu mengikuti pendapat saya, tidak akan ada teguran seperti ini". Justru Umar bin Al Khaththab-pun ikut menangis.

Pertama karena teguran itu tidak hanya ditujukan kepada Rasulullah saw dan Abu Bakar saja, akan tetapi juga kepada seluruh kaum muslimin, bukankah keputusan itu berlaku bagi kaum muslimin seluruhnya, dan bukankah pula kaum muslimin itu satu badan, dan satu organ, yang jika sebagiannya sakit, maka yang lainnya-pun ikut merasakannya, dan bukankah keputusan itu diambil dari syuro?!

Kedua karena Umar bin Al Khaththab takut terkena 'Ujub, sebab 'ujub itu menghapuskan amal, sebagaimana hujan deras menghapus tanah yang ada di atas batu yang licin.
Marilah kita tarbiyah diri kita agar memiliki adabiyyat syuro yang begitu tinggi, sebagaimana yang dimiliki oleh para sahabat Ridhwanullah 'alaihim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar