Selasa, 27 April 2010

Ja'far Bin Abi Thalib Dan Tekadnya Pertahankan Islam

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah saw. sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah:

Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw. sekaligus sebagai saudara sesusuannya.

Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw.

Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim, kakek Syafi'i r.a.

Ja'far bin Abi Thalib, yaitu saudara Ali bin Abi Thalib.

Hasan bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw. Beliau ini paling mirip dengan Nabi saw. di antara mereka berlima.

Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul

KH Hilmi Aminuddin

Kun kitaaban mufiidan bila 'unwaanan, wa laa takun 'unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.

Senin, 26 April 2010

Menjadikan Krisis sebagai Motivasi

Sesungguhnya, manusia diciptakan lengkap dengan rezekinya. Hanya saja, kemudian manusia diberikan kewajiban untuk menjemputnya, bukan mencarinya.Tidak mungkin Allah menciptakan perut, kecuali sudah dengan isinya Firman Allah, "Dan tidak ada..sesuatu yang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rezekinya" (QS.Huud[11]:6)

Namun demikian, kita harus memahami bahwa menjemput rezeki ini membutuhkan kegigihan dalam meyakini jaminan Allah dan juga butuh kegigihan dalam menyempurnakan ikhtiar, karena ada juga orang yang mencari rezeki dengan menggadaikan akhirat. Kadangkala, ada orang yang yakin kepada Allah tetapi tidak disempurnakan ikhtiarnya. Akibatnya, dia tidak berhasil untuk menjemput jatahnya sendiri. Demikian, ada juga yang tidak mencari rezeki dan tidak yakin akan jaminan Allah, inilah orang yang paling rugi. Na'udzubillahi min dzalik

Dalam menghadapi keadaan krisis keuangan seperti sekarang ini, kita semua membutuhkan beberapa langkah untuk menghadapi semua ini. Lalu apa saja kiat yang dapat ditempuh? Insya Allah akan kita bahas berikut ini.

1. Kita harus yakin bahwa yang membagikan rezeki adalah Allah Swt. Tidak mungkin Allah menciptakan kita tanpa rezeki-Nya, masalahnya kita harus luar biasa mengerahkan segenap kemampuan kita untuk menggapai jatah kita.

2. Kita harus mulai sekuat tenaga mengevaluasi sikap kita terhadap apa yang diberikan Allah kepada kita selama ini. Mungkin Allah telah memberikan cukup, tetapi malah kita gunakan untuk yang sia-sia bahkan maksiat. Na'udzubillahi min dzalik

3. Kita harus mulai meningkatkan kegigihan kita dalam bekerja. Lihatlah burung yang berangkat mencari makan dengan perut kosong dan berikhtiar dengan mengepakan kedua sayapnya dan akhirnya pulang dengan perut berisi makanan.Subhanallah

4. Kita harus meningkatkan ibadah karena Allah yang membagikan rezeki. Firman Allah, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dengan tiada terkira. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia mencukupkannya." (QS. Ath Thalaaq[65]: 2-3)

Percayalah, Allah Mahatahu kebutuhan kita daripada diri kita sendiri. Allah Mahakaya dan tidak mungkin lalai kepada hamba-hamba yang Dia ciptakan dan mau gigih ikhtiar di jalan yang Allah sukai. Musibah dan kesulitan ini adalah ladang kreatifitas bagi kita, karena siapa tahu dengan kesulitan ini kita jadi tahu potensi diri kita yang sebenarnya, membuat semakin dekat kepada Allah Swt., karena tidak akan pernah rugi dengan krisis kecuali orang yang tidak memperbaiki dirinya sendiri. Wallahu a'lam

Agar Dapat Menikmati Islam

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al Maidah: 3).

Hari itu adalah hari pertama Ali Thanthawi (alm) mengajar di sekolah menengah umum. Beliau adalah guru agama yang ditugaskan di situ. Begitu beliau sampai di depan kelas, siswa-siswi langsung gaduh, ribut tidak karuan. Beliaupun heran, tadinya anak-anak baik-baik saja, kok sekarang ribut? Ada apa?

Beliau bertanya kepada mereka, “Kenapa begitu saya datang kalian ribut?” Mereka menjawab, “Sebab sekarang adalah jam pelajaran agama, pelajaran santai dan asal-asalan atau asal ada!”


Itulah gambaran pengalaman Syekh Ali Thanthawi (alm) sewaktu beliau menjadi guru agama Islam di sebuah sekolah di salah satu Negara Timur Tengah. Pengalaman ini menggambarkan bahwa agama Islam sudah sedemikian parah dipahami dan dimengerti oleh para anak didik, sampai-sampai mata pelajaran agama dan jamnya dijadikan sebagai saat untuk santai, gaduh dan ribut yang sama sekali tidak ada konsentrasi. Itu dulu.

Sekarang, Amerika sedang memelopori gerakan perang melawan terorisme. Dan salah satu proyeknya adalah mengganti kurikulum pendidikan agama Islam dengan konsepsi dan pemahaman yang diinginkan Amerika. Proyek penggantian kurikulum ini terus digalakkan, termasuk di Negara-negara Timur Tengah. Dan jika proyek ini berhasil dan sukses, bisa kita bayangkan akan seperti apakah pemahaman masyarakat terhadap Islam nantinya?

Pada suatu hari, Syekh Ali Thanthawi (alm) bertanya kepada para muridnya, “Mungkinkah kita menjelaskan tentang Islam dalam tempo satu jam kepada orang-orang yang belum memahami Islam?” Para murid menjawab, “Tidak mungkin, bagaimana kita mungkin menjelaskan apa itu Islam hanya dalam tempo satu jam kepada seseorang yang sama sekali belum mengerti tentang Islam.”

Syekh Ali Thanthawi (alm) menjawab, “Tetapi, Rasulullah Saw. dahulu mampu menjelaskan tentang Islam hanya dalam beberapa kalimat saja, dan seorang badui yang untuk pertama kali mendengarnya, langsung bisa memahaminya dan bahkan mampu menjelaskannya kembali kepada kaumnya. Padahal yang namanya orang badui itu adalah seseorang yang hidupnya nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain, sesuai dengan wilayah hujan dan rumput. Mereka tidak mengenal budaya perkampungan, perkotaan, apalagi peradaban, termasuk juga mereka tidak mengenal agama. Yang mereka kuasai hanyalah logika yang sederhana saja.”

Kalau begitu, marilah kita sekarang mencoba mengerti dan memahami Islam dalam tempo yang singkat, namun padat dan jelas, insya Allah. Semoga Allah Swt. memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin

Pada hari Jum'at, tanggal 09 Dzul Hijjah tahun 10 H, Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sedang berkumpul di Arafah, sebuah tempat dekat kota Makkah di Semenanjung Arabia. Mereka sedang menjalani sebuah ritual yang dikenal dengan nama wukuf. Saat mereka sedang wukuf itulah Allah Swt. menurunkan keterangan tentang agama yang dibawa oleh utusan-Nya yang terakhir. Keterangan itu (dan selanjutnya kita sebut Firman) berbunyi,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا


Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah: 3).

Firman Allah Swt. menjelaskan kepada kita beberapa hal, yaitu,

1. Agama Islam ini adalah agama yang sempurna. Istilahnya kamil. Di dalam agama ini terdapat berbagai penjelasan dan jalan hidup dalam berbagai sisi kehidupan, baik kehidupan ritual, seremonial, pergaulan, sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan dan sisi-sisi kehidupan lainnya. Tidak ada satu pun sisi kehidupan kecuali agama ini menjelaskan mana yang baik dan membawa manfaat dan mana yang buruk yang mendatangkan mara bahaya.

2. Agama Islam ini adalah kenikmatan yang Allah Swt. berikan kepada kita secara lengkap. Istilahnya tamam. Terkait dengan Islam adalah nikmat, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita agar selesai makan, atau minum, kita mengucapkan doa, “Al-hamdulillah al-ladzii ath'amana wa saqana waja'alana Muslimin” (segala puji milik Allah Swt. yang telah memberikan makan dan minum kepada kami, dan menjadikan kami orang-orang Islam). Dalam doa yang diajarkan Rasulullah Saw. kepada kita ini ada satu hal yang menarik, yaitu Beliau Saw. merangkaikan kenikmatan makan dan minum dengan kenikmatan kita sebagai orang Islam. Hal ini menegaskan kepada kita bahwa agama Islam dan ber-Islam adalah sebuah kenikmatan.

Mungkin ada sebagian kita yang bertanya, “Kenapa selama ini kita kok tidak atau kurang begitu merasakan Islam sebagai kenikmatan?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat kasus tidak bisa merasakan nikmatanya makan dan minum, yang memang oleh Rasulullah Saw. dirangkaikan dengan kenikmatan Islam dan ber-Islam.

Paling tidak ada dua penyebab, kenapa kita tidak atau kurang merasakan nikmat Islam atau ber-Islam sebagaimana kita tidak atau kurang merasakan nikmat makanan dan minuman.

Pertama, mungkin karena lemahnya pemahaman kita terhadap Islam,. Karena ketidaktahuan kita, makanan yang sebenarnya lezat, nikmat dan bergizi, tidak mau kita konsumsi. Sepeti anak kecil, untuk mengkonsumsi makanan bergizi, kita harus menyuapinya, dan bahkan mengejar-ngejarnya. Setelah dia dewasa, dan paham, dialah yang gantian mengejar-ngejar kita untuk memenuhi permintaannya. Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan pengetahuan, wawasan dan pemahaman kita terhadap agama kita, agar bisa merasakan nikmat Islam dan ber-Islam.

Kedua, atau mungkin karena adanya penyakit dalam diri kita, sariawan misalnya. Sehingga, makanan yang lezat dan enak itu menjadi tidak nikmat dan tidak lezat. Oleh karena itu, marilah kita bersihkan diri kita dari berbagai penyakit hati dan jiwa, agar kita bisa menikmati Islam dan ber-Islam.

3. Agama Islam adalah agama yang diterima dan diridhai Allah Swt. Istilahnya, agama yang mardhiy. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt pada ayat lain dari Al Qur'an, yaitu,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ اْلإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah Swt. hanyalah Islam” (QS Ali Imran: 19).

Bahkan, pada ayat lain, Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia tidak akan menerima agama selain Islam, dan siapa saja yang mengikuti selain Islam, di dunia amalnya tidak akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi. Allah Swt., berfirman,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS Al Maidah: 85)

Itulah satu sisi gambaran tentang Islam, dan masih banyak lagi gambaran-gambaran lainnya, baik yang ada dalam Al-Qur'an maupun yang ada dalam hadits Rasulullah Saw., ataupun dalam kehidupan para sahabat Nabi Saw., generasi yang pertama-tama menerapkan dan mempraktekkan Islam dan ber-Islam dalam kehidupan mereka, semoga Allah Swt. senantiasa memberikan bimbingan kepada kita untuk terus meningkatkan wawasan dan pemahaman kita, dan semoga kita tidak meninggal kecuali dalam keadaan muslim, amin.

Wallahu a’lam bishshawab.

Berpaling Dari Syariat Menuai Kesempitan Hidup

Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama; sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, lalu siapa saja yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Qs. Thaha [20]: 123-126).

Kedua ayat di atas menuturkan kisah Adam dan Hawa sekaligus pemberitahuan Allah mengenai kejadian pada Hari Kiamat nanti. Kedua ayat itu sebetulnya tidak sekadar menuturkan kejadian masa silam, tetapi juga memaparkan prinsip-prinsip dasar bagi seluruh manusia sepanjang zaman. Oleh karenanya, ia senantiasa relevan sebagai perenungan bagi seluruh manusia.


Tafsir Ayat

Qâla [i]hbithâ min-hâ jamî’a (Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama.”). Seruan ini ditujukan kepada Adam dan Hawa;*1) tercakup di dalamnya semua keturunan mereka.*2) Dhamîr (kata ganti) yang digunakan dalam kalimat berikutnya menunjukkan jamak, seperti pada frasa ba’dhukum atau ya’tiyannakum.*3) Bahkan dalam ayat lainnya, seruan kepada Adam dan Hawa itu menggunakan kata ganti jamak: Qâla [i]hbithû (Qs. al-Baqarah [2]: 36, 38, dan Qs. al-A’raf [7]: 24).

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Ba’dhukum li ba’dhi[n] ‘aduww (sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain). Menurut sebagian mufasir, maksudnya adalah anak keturunan Adam. Artinya, di antara sesama manusia akan terjadi sikap saling bermusuhan;*4) karena kedengkian, perbedaan agama, atau kezaliman.*5) Mufasir lain berpendapat, maksudnya adalah kelompok manusia dan kelompok iblis.*6) Artinya, permusuhan itu adalah antara kelompok manusia dan kelompok iblis.*7) Menurut Sayyid Quthub, dengan pemberitahuan tersebut sejak awal, tidak ada lagi alasan bagi Adam dan keturunannya untuk mengatakan bahwa mereka telah lalai atau tidak tahu.*8) Penafsiran ini tidak bertentangan, tetapi justru saling melengkapi.

Pada firman Allah, Fa immâ ya’tiyanna-kum min-nî hudâ (Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku), yang dimaksud petunjuk itu adalah nabi dan rasul yang diutus, kitab yang diturunkan,*9) syariat,*10) atau wahyu dari Allah.*11) Al-Qur’an menyebut para nabi sebagai hâd[in]/pemberi petunjuk (Qs. ar-Ra‘d [13]: 7). Al-Qur’an merupakan huda[n] li al-nâs/petunjuk bagi manusia (Qs. al-Baqarah [2]: 185). Dipastikan, Rasulullah Saw menunjuki msnusia ke jalan yang lurus (Qs. asy-Syura [42]: 52).

Berikutnya Allah menjelaskan dua sikap terhadap petunjuk dan konsekuensinya. Sikap pertama: faman [i]ttaba’a hudâ-ya (siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku). Mengikuti petunjuk Allah adalah mengimani rasul-rasul-Nya, membenarkan kitab-kitab-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya.*12) Falâ yadhillu walâ yasyqâ (maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka). Rasulullah Saw bersabda:

Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. [HR. al-Hakim].

Ia juga tidak akan ditimpa kecelakaan. Sebab, al-syaqâ’ (kecelakaan) hakikatnya merupakan hukuman karena kesesatan*13) atau buah dari kesesatan.*14) Jadi, siapa pun yang mengikuti Kitabullah, mengerjakan perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya akan selamat dari kesesatan dan hukuman-Nya.*15) Dia akan mendapatkan keberuntungan, kemenangan, dan kebahagiaan yang kekal.

Lalu kalimat wa man a‘radha ‘an dzikrî (siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku), yakni dari petunjuk-Ku.*16) Maksudnya, siapa saja yang berpaling dari agama dan syariat-Nya yang di bawa oleh Rasul, yaitu tidak mengimani dan/atau tidak mengikutinya (menjalankannya),*17) maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (fa inna lahû ma‘isyatan dhanka[n]), yaitu kehidupan yang amat sempit. Sebab, secara bahasa, ad-dhank berarti adh-dhayyiqah al-syadîdah (kesempitan yang luar biasa).*18) Al-Qasimi,*19) Ibnu Katsir, asy-Syaukani, dan ash-Shabuni*20) lebih memilih bahwa kesempitan hidup itu terjadi dunia, karena ancaman itu diikuti dengan ancaman ukhrawi pada frasa berikutnya.

Kemudian kalimat wa nahsyuruhum yawm al-qiyâmati a‘mâ (dan Kami akan menghimpunkan mereka pada Hari Kiamat dalam keadaan buta). Secara lahiriah, yang dimaksud dengan a‘ma (buta) di sini adalah hilang atau tidak berfungsinya penglihatan mereka,*21) karena semasa di dunia mereka adalah orang-orang yang dapat melihat (Qs. Thaha [20]: 125). Bahkan mereka tidak hanya buta, namun juga bisu dan tuli. Allah SWT berfirman:

Kami mengumpulkan mereka pada Hari Kiamat dalam keadaan buta, tuli, dan bisu. (Qs. al-Isra’ [17]: 97).


Syariat: Penentu Nasib Manusia

Nasib manusia —di dunia maupun di akhirat— amat ditentukan oleh penyikapannya terhadap dînullâh. Siapa pun yang bersedia tunduk dan patuh terhadapnya, hidupnya pasti berjalan di atas petunjuk dan kebenaran. Dia akan memperoleh ketenteraman, kebahagiaan, dan keberuntungan. Sebaliknya, orang yang berpaling dan tidak mau mengikuti petunjuk-Nya akan terjerembab dalam kesesatan, terus dibelit aneka problem, dan senantiasa bergelimang derita. Lebih dari itu, kelak di akhirat dia akan mendapatkan siksaan yang tiada tara. Kisah Adam dan Hawa seputar ayat di atas dan kisah kesudahan umat-umat terdahulu lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran bagi manusia, kecuali bagi orang yang sombong dan pembangkang, pengikut setan.

Selain dua ayat di atas, banyak ayat lainnya yang menunjukkan korelasi pasti antara nasib manusia dan penyikapannya terhadap dînullâh itu. Tidak hanya di akhirat, di dunia pun orang yang beriman dan menaati syariat-Nya dijanjikan anugerah kehidupan yang baik.

Siapa saja yang mengerjakan amal salih —baik laki-laki maupun perempuan— dalam keadaan beriman sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik. (Qs. al-Nahl [16]: 97).

Bahkan Allah SWT berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa (Qs. al-A‘raf [7]: 96). Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari kebenaran dîn-Nya dan menolak untuk menaati-Nya, hidupnya akan diliputi kehinaan dan kenistaan.

Tidak ada yang janggal dalam hal ini. Tatkala manusia —secara individual maupun kolektif— berpaling dari agama-Nya, dia akan tunduk terhadap ideologi, sistem, atau hukum buatan manusia. Faktanya, setiap ideologi, sistem, atau hukum produk manusia pasti mengandung kelemahan yang jika diterapkan akan menciptakan nestapa dan derita. Misalnya, Kapitalisme-Sekularisme yang kini menguasai dunia; terbukti gagal menciptakan kebahagian, ketenteraman, dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Sedangkan Komunisme-Sosialisme telah bangkrut ambruk lebih dulu.

Sebaliknya, ideologi, sistem, dan hukum dari Allah SWT terbebas dari segala kelemahan. Sistem kehidupan dari Rabb al-‘âlamîn ini juga tidak akan pernah kehilangan relevansinya dengan pergantian zaman. Sebab, tidak ada satu pun perkara yang luput dari pengetahuan-Nya, yang tampak maupun yang gaib; dulu, kini, maupun yang akan datang. Karena sifat-Nya Yang Mahabijaksana (al-Hâkim), maka semua hukum-hukum Allah SWT pasti mencerminkan keadilan dan tidak zalim, sekalipun hanya kepada satu orang. Semua hukum-Nya sempurna dan tanpa cacat sebagaimana sifat-Nya Yang Mahasempurna.


Tanpa Khilafah, Dunia Merana

Sejak Khilafah Islamiah di Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924, syariat Islam tidak lagi diterapkan secara total dalam kehidupan. Sebagai gantinya, didirikan negara-negara yang menerapkan Sekularisme-Kapitalisme. Islam sebagai dîn syâmil kâmil —yang memiliki tatanan komprehensif dan sempurna tentang kehidupan— direduksi sedemikian rupa hingga yang tersisa hanya ajaran tentang ketuhanan, keruhanian, ritual ibadah, atau nilai-nilai moral saja.

Sejak itu, umat Islam tidak henti ditimpa berbagai prahara. Aneka problem datang bertumpang tindih. Satu masalah belum selesai, datang masalah yang lebih besar. Umat Islam berada dalam cengkeraman dan penjajahan negara-negara imperialis Barat. Sebagian besar mereka dililit kemiskinan, bahkan terjerat utang yang menggunung. Padahal, negeri-negeri mereka menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Semua itu terjadi karena Islam dipisahkan dari pengaturan kehidupan dan syariat Islam diabaikan.

Musuh-musuh Islam yang mengingkari dînullâh memang tampak perkasa dan menikmati kehidupan yang lebih baik. Namun sebenarnya, mereka ditimpa bermacam masalah, derita, dan nestapa. Tidak terbendungnya AIDS, maraknya aborsi, meningkatnya single parents, menyebarnya homoseksual, meluasnya peredaran narkoba, dan perilaku nista lainnya hanyalah sebagian kecil dari apa yang menimpa mereka akibat Sekularisme-Kapitalisme.

Bahkan jiwa mereka pun sempit. Orang-orang kafir itu, kendati bisa berpakaian, makan, atau tinggal sesukanya, selama hatinya tidak sampai pada keyakinan dan petunjuk, kehidupannya akan senantiasa diliputi kegelisahan, kebingungan, dan keraguan.*22) Tidak aneh, meski mereka bergelimang materi, angka bunuh diri mereka justru tertinggi di dunia.

Jelaslah, setiap penolakan terhadap syariat pasti mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan, di dunia dan akhirat. Jadi, yakinlah bahwa tanpa syariat yang diterapkan secara total —yang hanya mungkin terjadi dengan tegaknya Khilafah Islamiah —dunia akan terus merana. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Majalah al-wa'ie, Edisi 51]


Catatan Kaki:

1. Al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, 2/60. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut; Abu ‘Ali al-Fadhl, Majmâ’ al-Bayân, 7/55, Dar al-Ma’rifah, Beirut.

2. Abu Thayyib al-Qanuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, 8/289, Idarat Ihya’ al-Tsarwah al-Islamiyyah, Qathar. 1989

3. Dhamîr ‘kum’ menunjukkan kata ganti jamak. Lihat: al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, 3/92, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut; al-Qanuji, ibid, 8/289.

4. Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, 15/294, Dar al-Fikr, Beirut. 1991

5. Sa’id Hawa, al-Asâs fî al-Tafsîr, 7/3409, Dar al-Salam, Kairo. 1999.

6. Burhanuddin al-Baqa’i, Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, 5/54, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.

7. Abd al-Haq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, 4/69, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.

8. Sayyid Quthub, Tafsîr fî Dzilâl al-Qur’ân.

9. Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 8/584, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1993; asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, 3/391, Dar al-Fikr, Beirut, 1983; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni at-Tanzîl, 3/218, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut; al-Baydhawi, op. cit, 2/60.

10. Az-Zamakhsyari, op. cit., 3/92.

11. Sa’id Hawa, op. cit., 7/3409.

12. Abu Husayn al-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân fî îdhâh al-Qur’ân, 4/125. Dar al-Fikr, Beirut.

13. Burhanuddin al-Baqa’i, Nadzm ad-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, 5/54, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.

14. Sayyid Quthb, op. cit.

15. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhith, 7/265. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1993.

16. Al-Baqa’i, op. cit., 5/54.

17. Al-Khazin, op. cit., 217.

18. Al-Alusi, op. cit., 8/585.

19. Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 7/153. Dar al-Fikr, Beirut.

20. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 3/1205, Dar al-Fikr, Beirut, 2000; asy-Syaukani, op cit., 3/391; ‘Ali ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, 2/229. Dar al-Fikr, Beirut, 1996.

21. Ibid, 266; Abd al-Rahman al-Sa’di, Taysîr ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, 3/232, âlam al-Kutub; al-Alusi, op. cit., 8/586; asy-Syanqithi, op. cit., 4/127.

22. Ibnu Katsir, op. cit., 3/1205.

Amanah

Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah).*1)

Amanah adalah lawan dari khianat. Amanah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah (titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan).*2)


Dengan demikian, sikap amanah dapat berlangsung dalam lapangan yang sangat luas. Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.


Istilah Amanah Dalam al-Qur’an Dan as-Sunnah

Al-Qur’an menyatakan kata amanah dalam enam ayat. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Qs. al-Ahzâb [33]: 72).

Ada berbagai pendapat mengenai makna amanah dalam ayat ini. Al-Qurthubi menyatakan, amanah bersifat umum mencakup seluruh tugas-tugas keagamaan. Ini adalah pendapat jumhur.*3)


Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda (yang artinya):

Allah berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, Aku telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak sanggup mengembannya. Apakah engkau sanggup mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya?”

Adam bertanya, “Apa yang ada di dalamnya, wahai Rabb-ku?”

Allah menjawab, “Jika engkau mengembannya maka engkau diberi pahala dan jika engkau mengabaikannya maka engkau akan diazab.”

Adam lalu mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya. Adam tidak tinggal di Surga kecuali seukuran antara shalat yang pertama sampai shalat Ashar hingga setan mengeluarkannya dari surga. [HR. at-Tirmidzi].

Berdasarkan hadis ini, Ibn ’Abbas berpendapat, bahwa amanah dalam ayat ini maknanya adalah kewajiban-kewajiban dimana seorang hamba diberi diamanahi Allah untuk melaksanakannya.*4)

Asy-Syaukani menukil pendapat al-Wahidi, bahwa amanah di sini menurut pendapat seluruh ahli tafsir adalah ketaatan dan kewajiban-kewajiban yang penunaiannya dikaitkan dengan pahala dan pengabaiannya dikaitkan dengan siksa. Ibn Mas‘ud berkata, bahwa amanah di sini adalah seluruh kewajiban dan yang paling berat adalah amanah harta. Sedangkan Ubay bin Ka‘ab berpendapat bahwa di antara amanah adalah dipercayakannya kepada seorang wanita atas kehormatannya.*5)

Mujahid berpendapat, amanah dalam ayat ini adalah kewajiban-kewajiban dan keputusan-keputusan agama. Sedangkan Abu al-’Aliyyah berpendapat, amanah adalah apa-apa yang diperintahkan-Nya dan apa-apa yang dilarang-Nya.*6)

Seluruh pendapat tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa amanah dalam ayat tersebut adalah seluruh apa yang dipercayakan Allah kepada manusia mencakup seluruh perintah dan larangan-Nya, juga seluruh karunia yang diberikan kepada manusia. Sebagian ulama memerinci apa-apa saja yang termasuk amanah yang penting.


Kepemimpinan Adalah Amanah

Kepemimpinan merupakan amanah. Ini bisa dilihat dari dua segi. Pertama, karena kepemimpinan adalah perintah Allah dengan segala konsekuensinya berupa kewajiban dan hak. Kedua, kepemimpinan merupakan amanah dari orang yang dipimpin kepada pemimpin. Dalam konteks penguasa, kekuasaan adalah milik umat yang kemudian diamanahkan kepada kepala negara (Khalifah) dengan jalan bai’at. Tujuannyanya adalah untuk menerapkan hukum-hukum Allah, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dan mengurusi segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Sedangkan penguasa selain Khalifah dan pegawai negara, mereka mendapatkan amanah jabatannya dari Khalifah.

Pengabaian terhadap amanah bisa dikatakan sebagai perbuatan khianat. Khianat kepemimpinan ini bisa dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum syariat oleh pemimpin; pengabaian terhadap kewajiban pemimpin; penerapan hukum selain hukum syariat; penyelesaian perkara atau persengketaan dengan selain syariat; pengabaian urusan dan kepentingan rakyat; dan sebagainya.

Salah satu bentuk disia-siakannya amanah ini seperti disebutkan dalam hadis:

“Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya.” Sahabat bertanya, “Bagaimana amanah disia-siakan?” Jawab Rasul, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak maka tunggulah kehancurannya.” [HR. Bukhari dan Ahmad].

Dengan demikian, diangkatnya orang-orang yang tidak kapabel untuk menangani suatu urusan atau suatu jabatan adalah bentuk khianat kepemimpinan. Ini akan berakibat tidak terurusnya suatu urusan.

Mengkhianati amanah dilarang oleh Allah SWT. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul; janganlah pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahuinya. (Qs. al-Anfal [8]: 27).

Sebaliknya, Rasulullah bersabda:

Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahimu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu. [HR. Abu Dawud dan Ahmad].

Dengan adanya indikasi (qarînah) bahwa menunaikan amanah merupakan salah satu sifat orang Mukmin (Qs. al-Mu’minun [23]: 8 dan Qs. al-Ma‘arij [70]: 32), hal itu menunjukkan perintah menunaikan amanah tersebut bersifat tegas (jâzim) dan oleh karenanya menunaikan amanah adalah wajib. Sebaliknya, larangan mengkhianati amanah merupakan larangan yang bersifat tegas sehingga hukumnya haram.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Majalah Al-Wa’ie Edisi 46 Juni 2004]

--------------------------------------------------------------------------------
[1] Al-Munawir, Kamus al-Munawir, Pustaka Progressif, Surabaya.

[2] Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, 13/22, Dar al-Fikr, Beirut.

[3] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 14/253, Dar asy-Sya’b, Kairo.

[4] Ibid.

[5] Asy-Syaukani, Tafsîr fath al-Qadîr 4/308, Dar al-Fikr, Beirut.

[6] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl 3/546, Dar al-Ma’rifah, Beirut.

Selasa, 20 April 2010

Partai Politik dalam Islam

by : Ust. Suherman Pks

Dalam hal ini memang ada dua titik ekstrem dikalangan umat Islam. Pertama, kaum sekuleris yang beranggapan bahwa: Islam Yes Partai atau Politik Islam No. Kedua, sebagian aktifis gerakan atau aliran keislaman yang membidahkan partai Islam karena mereka beranggapan tidak ada contohnya dimasa Rasul SAW.

Islam adalah agama yang sempurna (QS 2:208), mencakup aspek diin (agama) dan daulah (negara). Dan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan pemimpin Islam selanjutnya -jika kita menggunakan konteks sekarang- adalah para pemimpin negara. Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnahpun sebagian besarnya tidak mungkin diterapkan kecuali dalam ruang lingkup negara.

Disebutkan dalam literatur Islam bahwa tugas pemimpin adalah hirasatudin wa siyasatudunya bihi (memelihara agama dan menegatur urusan dunia dengan aturan agama ) (Al-Mawardi dalam Al-Ahkaam As-Sulthoniyah hal 3). Jadi mengatur segala urusan dunia(negara) adalah politik. Jika kita kembali kepada ayat-ayat Alquran maka kita akan menemukan banyak kisah-kisah yang sarat dengan dunia perpolitikan seperti kisah Ibrahim AS vs Namrud, Musa AS vs Firaun, Thalut vs Jalut dan Rasullulah SAW vs kuffar Quraisy, Yahudi dan Nasrani. Ini semua berkaitan dengan dimensi politik, namun kita bisa membedakan siapa diantara mereka yang selalu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan yang selalu membaking nilai-nilai kebatilan (QS 9:32). Imam Al-Bujairimi dalam kitabnya at-Tajrid linnafi al-abid vol 2, hal 178 berkata: Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ilamul Muaqiin vol 4 hal 375 membagi siyasah menjadi dua, siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah), siyasah yang benar adalah bagian dari syariah. Maka bernegara, mengangkat pemimpin dan berpolitik adalah kewajiban yang disepakati ulama. Apabila politik ini merupakan kendaraan atau sarana untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan keindahan yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW.

Setiap muslim wajib melakukan gerakan dakwah dengan seluruh potensi yang dimilikinya sebagai mana yang pernah dilakukan oleh para nabi dan salafu shalih berikutnya. Bahkan berdakwah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dholim merupakan jihad yang paling utama. Hanya saja media apa yang paling tepat pada saat ini untuk menyuarakan kemarufan itu dan membrangus kebatilan ?

Kami yakin bahwa kita semua sepakat media dakwah yang paling ideal pada saat ini di Indonesia- adalah lembaga atau institusi formal. Institusi formal yang dapat digunakan untuk dakwah diantaranya: Sekolah, Pesantren, Yayasan Sosial dll. Salah satu lembaga yang penting adalah orpol (organisasi politik) atau partai politik.

Anehnya ada sebagian umat Islam atau sebagian kelompok Islam yang membidahkan partai politik atau berdakwah lewat partai politik. Lalu apakah mendirikan, sekolah dan yayasan sebagai sarana dakwah adalah bid'ah? Apakah pesantren atau berdakwah melalui pendidikan di pesantren juga bid'ah ? Karena pesantren tidak ada dimasa Rasulullah SAW. Apakah berdakwah melalui mas media cetak maupun elektronik juga bidah ? Karena kebanyakan masmedia milik umat non Islam. Apakah berdakwah melalui komputer itu bid'ah ? Karena komputer itu produk umat non Islam.

Partai politik, yayasan, pesantren, mas media dan komputer adalah sarana. Disini justru umat Islam dianjurkan untuk melakukan ibda (kreatifitas) dalam hal sarana dan metodologi dakwah sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi itu semua harus sesuai dengan koridor Islam. Dalam alam demokrasi salah satu dakwah yang paling penting dan efektif adalah dakwah melalui partai politik. Karena nilai-nilai Islam dapat diperjuangkan dilembaga-lembaga tinggi negara. Di lembaga legislatif dalam bentuk undang-undang, di lembaga eksekutif dalam bentuk pelaksanaan undang-undang tersebut dan di lembaga yudikatif dalam bentuk kontrol terhadap undang-undang.

Memang dalam suatu negara yang bercirikan kerajaan tidak dapat membuat partai politik dan itu dibid'ahkan oleh raja dan seluruh jajarannya. Di Saudi misalnya, berpartai dan berpolitik adalah bid'ah dan haram hukumnya, sedangkan di Indonesia di masa Orde Baru partai politik hanya sekedar alat yang dijadikan kendaraan politik rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasannya. Lalu apakah kita akan mengikuti raja atau presiden yang kekuasaannya seperti raja, atau mengikuti ulama yang loyal kepada raja dan kerajaan atau mengikuti Alquran dan Sunnah ?
Kalau kita ingin mengikuti Alquran dan As-sunnah maka disana ada hizbullah (partai Allah) (QS 5 : 54-56), dan umat Islam wajib wala kepada partai Allah atau partai Islam tersebut.

Wallahu alam bishawab.

Selasa, 13 April 2010

Kisah Imam Al Layts Sang Ulama Fiqih Yang Paling Cerdas

Imam al-Layts bin Sa’d adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kapasitas keilmuan setingkat empat imam madzhab, bahkan ada para ulama yang mengunggulkannya atas imam Malik dari segi keilmuan.

Sayang, tidak ada murid atau pengikut yang menyebarkan madzhab fiqihnya sehingga tidak berkembang seperti para imam madzhab yang empat.

Dari Lu’luah, pelayan khalifah Harun ar-Rasyid, ia berkata, “Terjadi silang pendapat antara Harun ar-Rasyid dan anak perempuan pamannya (sepupunya), Zubaidah yang telah menjadi isterinya.

Harun berkata, ‘Kamu ditalak bila aku bukan termasuk ahli surga.’ Kemudian beliau menyesal atas ucapannya itu, lalu mengundang para ahli fiqih agar berkumpul guna memecahkan masalahnya.

Setelah berkumpul dan berdiskusi, mereka pun berbeda pendapat bagaimana sebenarnya status sumpahnya tersebut. Khalifah Harun menulis surat kepada seluruh negeri agar menghadirkan para ulama terkemuka mereka ke istana. Tatkala mereka sudah berkumpul, ia menanyai mereka mengenai sumpahnya tersebut, yaitu “Kamu ditalak jika aku tidak masuk surga”.

Mereka kembali berselisih pendapat, lalu tinggallah seorang ulama (syaikh) lagi yang belum berbicara dan berada di deretan paling akhir dari majlis tersebut.

Beliau lah Imam al-Layts bin Sa’d. Ia berkata, ‘Bila Amirul Mukminin mengosongkan majlsnya ini, aku bersedia berbicara dengannya.’ Lalu sang khalifah pun menyuruh para ulama yang ada disitu untuk meninggalkan majlis tersebut. Ia berkata lagi, ‘Saya mohon Amirul Mukminin didekatkan kepadaku.’ Maka ia pun mendekatinya. Syaikh yang ‘Alim ini berkata, ‘Apakah aku mendapatkan jaminan keamanan kalau berbicara.?”

Amirul Mukminin menjawab, ‘Ya.’ Maka al-Layts memerintahkan agar dibawa kepadanya sebuah mushaf. Ketika mushaf itu sudah dihadirkan, ia berkata, ‘Tolong dibuka wahai Amirul Mukminin hingga surat ar-Rahman. Lalu bacalah.

Sang khalifah membacanya dan tatkala ia sampai pada ayat, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” maka, al-Layts memerintahkan, ‘Tahan dulu, wahai Amirul Mukminin! Katakanlah, Wallaahi (Demi Allah).’ Ucapan syaikh ini membuat berat hati khalifah. Syaikh itu kembali berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, persyaratanku tadi adalah jaminan keamanan bukan.?

(maksudnya, agar khalifah tidak murka kepadanya atas permintaannya tersebut-red) Maka khalifah pun mengucapkan, ‘Wallaahi (Demi Allah),’ setelah itu berkatalah al-Layts, ‘Katakanlah, ‘Aku takut akan saat menghadap Tuhanku’ Maka khalifah menuruti perintah ulama langka itu dan mengulangi seperti apa yang diucapkannya. Al-Layts berkata lagi, ‘Wahai Amirul Mukminin, pahalanya dua surga bukan hanya satu surga.’!”

Periwayat mengatakan, “Lalu kami mendengar suara tepuk tangan dan luapan gembira di balik tirai. Maka berkatalah Harun ar-Rasyid, ‘Bagus apa yang kau putuskan itu.’ Lalu ia menghadiahi al-Layts dengan beberapa hadiah dan mengalokasikan honor untuknya.”

Ini merupakan sikap mulia yang menunjukkan indahnya ilmu di mana kebenaran dan etika sama-sama dijunjung tinggi.

Anda melihat bahwa Imam al-Layts mengetahui kemana arah fatwa, yaitu thalaq tersebut tidak jatuh bila ar-Rasyid adalah termasuk orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya. Ia juga melihat dirinya tidak boleh mengeluarkan fatwa begitu saja hingga syaratnya sudah kuat, yaitu takut kepada Allah Ta’ala.

Dan ini dilakukan dengan cara meminta ar-Rasyid bersumpah hingga diri al-Layts merasa tenang bahwa fatwanya sudah benar. Ia juga meminta agar orang-orang yang ada di majlis dibubarkan dulu agar sumpah yang dimintanya dari ar-Rasyid tidak dilihat orang banyak, di samping agar ar-Rasyid tidak terpancing seperti yang ingin dilakukannya andaikata ia (al-Layts) tidak terlebih dahulu mengajukan persyaratan mendapatkan perlindungan darinya supaya dirinya bisa tentram.

Jadi, fatwa yang dikeluarkan al-Layts tidak semata-mata spontanitas. Ia bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, karena itu ia meminta al-Layts agar membaca ayat tersebut, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga”

Maka tenanglah hati ar-Rasyid dengan hal itu dan tahulah ia bahwa dirinya masih bisa mempertahankan isterinya secara halal dan sah berdasarkan nash yang pasti dari Kalamullah.
Ini tentunya merupakan anugerah Allah, yang dalam kebanyakan kondisi tidak terlepas dari adab yang bagus bagi orang yang mau berpikir dan memahami.

Hubungan antara Amal Tarbawi dan Amal Siyasi

Oleh: Syeikh Muhammad Abdullah Al-Khathib; Anggota Maktab Irsyad Ikhwanul Muslimin

Amal Siyasi Islami mempunyai dua titik tolak mendasar:

Pertama: Amal Siyasi Islami adalah amal sepanjang hayat, sebab, medan amal siyasi adalah keseluruhan amal kehidupan dan keduniaan semata, baik sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Dan ia tidak mempunyai hubungan dengan urusan-urusan agama murni, semisal ibadah, ritual dan aqidah, di mana medannya adalah amal dakwah dan bukan amal siyasi. Jadi, amal siyasi adalah amal madani, hanya saja, hukum-hukumnya dan berbagai pengorganisasiannya, sumbernya adalah syariat Islam; tercakup di dalam pengertian syariat Islam ini adalah keseluruhan nash-nash ilahiyah dan seluruh ijtihad-ijtihad aqli dan ilmi dari manusia

Senin, 12 April 2010

Rahasia Sukses Berwirausaha

Ingin sukses berwirausaha atau berbisnis lainnya ?
Berikut 5 rahasia untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis.

RAHASIA PERTAMA
[BERBAKTI KEPADA ORANGTUA]
Berbaktilah sebaik baiknya kepada ibumu. Karena ibu adalah orang yang melahirkan Kita ke muka bumi ini. Mulai mengandung 9 bulan lebih, itu sangat berat. Ibu melahirkan kita dengan susah payah, sakit sekali, nyawa taruhannya.
Banyak orang sekarang yang salah memberikan porsi bakti antara kepada orangtua dengan para guru, kiyai atau murobbi. . Para guru, kyai, murobbi dilayani, sementara kepada ibunya hanya sedikit. Para guru, kyai, murobi dipuja dan dielukan, diberi sumbangan materi jutaan rupiah, keringat dikuras untuk mereka, dibuatkan rumah, namun ibunya sendiri di rumah dibiarkan atau diberi materi tapi sedikit sekali. Rasa sayang kepada orangtua kongkritnya hanya minta dilayani dan bermanja kepada mereka. Seharusnya melayani mereka. Kesulitan mereka harus menjadi tanggung jawab kita. Bukan sebaliknya, kesulitan kita menjadi tanggungjawab orangtua. Apabedanya kita yg sudah dewasa dengan Balita?. Banyak orang yang memberangkatkan haji guru atau kyainya, padahal ibunya sendiri belum dihajikan. Itu terbalik.
Pesan Nabi : Ibumu, ibumu, ibumu... baru kemudian Ayahmu.. Adapun gurumu atau yg lainnya sama sekali tidak disebut..
Ridho Allah tergantung pada ridho kedua orang tua. Kumpulkan seribu ulama seribu ustad, seribu sahabat untuk berdoa. Maka doa Ibu jauh lebih mustajab. Nasihat Ibu tidak mempunyai tujuan lain kecuali kebaikan untuk anaknya. Pertimbangan Ibu harus lebih dikedepankan daripada seribu kiyai sekalipun.

RAHASIA KEDUA
PER BANYAK SEDEKAH
Banyaklah memberi, Banyaklah bersedekah. Allah berjanji membalas setiap uang yang kita keluarkan itu dengan berlipat ganda. Sedekah mampu mengalahkan angin. Sedekah bisa mengalahkan besi. Sedekah membersihkan harta dan hati kita. Sedekah melepaskan kita dari marabahaya. Allah mungkin membalas sedekah kita dengan rejeki yang banyak, kesehatan, terhindarkan kita dari bahaya, keluarga yang baik, ilmu, kesempatan, dan lain-lain. Sedekah ibarat pompa air yg sering digunakan airnya. Semakin sering digunakan maka sumber air (tanahnya) justru semakin banyak melimpah, dan airnyapun semakin bening. Adapun sumur air yg jarang digunakan airnya akan sedikit dan keruh.
Jangan sepelekan bila ada pengemis datang meminta-minta kepadamu. Karena saat itulah sebenarnya Anda dibukakan pintu rejeki. Beri pengemis itu dengan pemberian yang baik dan sikap yang baik. Kalau punya uang kertas, lebih baik memberinya dengan uang kertas, bukan uang logam. Pilihkan lembar uang kertas yang masih bagus, bukan yang sudah lecek. Pegang dengan dua tangan, lalu ulurkan dengan sikap hormat kalau perlu sambil menunduk (menghormat) . Pengemis yang Anda beri dengan cara seperti itu, akan terketuk hatinya, 'Belum pernah ada orang yang memberi dan menghargaiku seperti ini.' Maka terucap atau tidak, dia akan mendoakan Anda dengan kelimpahan rejeki, kesehatan dan kebahagiaan.

Banyak orang yang keliru dengan menolak pengemis yang mendatanginya, bahkan ada pula yang menghardiknya. Perbuatan itu sama saja dengan menutup pintu rejekinya sendiri.

Dalam kesempatan lain, ketika saya berjalan-jalan dengan beliau, beliau jelas mempraktekkan apa yang diucapkannya itu. Memberi pengemis dengan selembar uang ribuan yang masih bagus dan memberikannya dengan dua tangan sambil sedikit membungkuk hormat. Saya lihat pengemis itu memang berbinar dan betapa berterima kasihnya.

RAHASIA KETIGA
JADIKAN DIRI KITA BAGIAN DARI RENCANA ALLAH DALAM MEMULIAKAN HAMBA HAMBANYA
"Allah berjanji memberikan rejeki kepada kita dari jalan yang tidak disangka-sangka, Tapi sedikit orang yang tahu, bagaimana caranya supaya itu cepat terjadi? Kebanyakan orang hanya menunggu setelah berdoa, Padahal hal tersebut ada jalannya."

Allah berfirman yang artinya; Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya diadakan-Nya jalan keluar baginya dan memberinya rejeki dari jalan/pintu yang tidak diduga-duga". (QS Ath Thalaq 2-3).
didasari ayat ini, Mak a jadikan diri kita bagian dari rencana Allah dalam memberi jalan keluar bagi orang orang soleh/taqwa. Terlebih lagi untuk menyempurnakan ketaqwaannya. Misalkan Ketika ada seorang Ustadz yang waro, dan senantiasa menjaga izzah dan iffahnya dalam kesulitan terlebih lagi tanpa diketahui orang lain (misal istrinya perlu oprasi melahirkan). Maka Kita ambil bagian dalam memberi bantuan. Contoh lain Bila ada dua orang aktivis da’wah menikah karena menjaga kesucian diri sementara secara ekonomi mereka perlu dibantu, maka kita ambil bagian dalam memberikan jalan keluar. Demi Allah yang Maha Kaya, Harta kita tidak akan pernah habis karena berinfaq di jalan Allah, dan Allah menjanjikan justru akan meluaskan rizkyNya.
Banyaklah menolong orang, banyaklah memberi. Usahakan sekuat kemampuan Kita, Bahwa kita akan senantiasa memberi kepada orang yang meminta kepada kita. Pertolongan dan pemberian tidak mesti berbentuk Harta. Yang penting, bila bertemu orang yang kesulitan, langsung Kita menjadi solusinya, bantu!. Mungkin hanya sekedar mendorong mobil mogok, mengangkat belanjaan dari seorang Ibu, dan lain sebagainya.
Terkadang kita enggan memberi sedekah karena pengemisnya dianggap malas, atau berpura-pura. "Walaupun benar ber pura-pura minta sumbangan rumah ibadah, atau pura-pura belum makan, dan semua bohongan. Sebenarnya dia makan sendiri," Pastikan kita memberi sebatas kemampuan kita. Sungguh Allah memberi rizky baik kpd org soleh ataupun pelaku maksiat. Dan sebenarnya orang yg meminta sedekah dgn berbohongpun tidak suka melakukan kebohongan itu. Dia itu sudah frustasi karena tidak bisa bekerja atau tidak punya pekerjaan yang benar. Dia itu butuh makan, namun sudah buntu pikirannya. Akhirnya itulah yang bisa dia lakukan. Soal itu nanti, serahkan pada Allah. Allah yang menghakimi perbuatannya, dan Allah yang membalas niat dan pemberia n Kita.

RAHASIA KEEMPAT
"JANGAN KHIANATI WANITA".
Mungkin sebagain kita bertanya, apakah yang dimaksud kita membuat janji dengan teman wanita, lalu tidak kita tepati? Atau jangan biarkan wanita menunggu seperti di film-film? Maksudnya adalah seseorang memiliki istri, atau suami. Itu adalah pasangan hidup baik di saat susah maupun senang. Ketika seseorang pergi meninggalkan rumah untuk mencari nafkah, istrinya di rumah menunggu dan berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan. Doa istri mengikuti seorang di kala susah, penghasilan yang pas-pasan, makan dan pakaian seadanya, dia mendampingi dan mendukung segala usaha Anda untuk berhasil. Tapi banyak orang yang kemudian ketika sukses, uangnya banyak, punya jabatan, lalu menikah lagi, atau mulai bermain wanita (atau bermain pria , bagi yang perempuan). Baik menikah lagi secara terang-terangan, atau diam-diam, itu menyakiti hati pasangan hidup. Ingat, pasangan hidup yang dulu mendampingi di kala susah, mendukung dan berdoa untuk kesuksesan. Namun ketika Anda mendapatkan sukses itu, Anda meninggalkannya. Atau Anda menduakannya. "
Banyak orang yang lupa hal ini. Begitu sudah jadi orang besar, uangnya banyak, lalu cari istri lagi. Menikah lagi, dan rumah tangganya menjadi kacau. Ketika merasa ditinggalkan, pasangan hidupnya menjadi tidak rela. Akhirnya uangnya habis untuk biaya sana-sini. Banyak orang yang jatuh karena hal seperti ini. Dia lupa bahwa pasangan hidupnya itu sebenarnya ikut punya andil dalam kesuksesan dirinya. Mungkin tulisan ini menggambarkan konsep anti poligami. Pada dasarnya sama sekali tidak. Tidak mungkin apa-apa yang dibolehkan oleh Allah dalam syari’atnya membawa bencana dan kemudhorotan. Kata kuncinya adalah seberapa besar rasa sakit hati dan keikhlasan seorang istri. Hati hatilah melangkah, berpikirlah matang sebelum membuat langkah.

RAHASIA KELIMA
JANGAN PERNAH BERKHIANAT
Dalam perjalanan berhubungan muamalah, seseorang itu akan memiliki keterkaitan dengan pihak lain. Seorang karyawan memilik bos dikantornya. Seorang pebisnis memiliki mitra. Seorang Boss memiliki karyawan, Seorang dokter memiliki pasien. Seorang pengacara memiliki client. Jangan pernah berbuat khianat kepada mereka. Karena saat berkhianat itu pada dasarnya seseorang sedang menutup sebagian dari rizky Allah. Dihadapan manusia bisa saja seseorang bersilat lidah untuk menyelamatkan diri atau menyelamatkan muka agar dirinya senantiasa dianggap benar. Atau menggunakan kelemahan-kelemahan hukum manusia. Dan dia tahu persis memanfaatkan itu semua untuk berkhianat dan mencampakan budi dari manusia yang telah memberinya kebaikan, adab atau etika dilabrak. Tapi ingatlah Allah Maha Mengetahui akan segala kelicikan orang seperti ini. Sulit dijumpai orang yang bahagia di atas pekhianatan orang lain. Dipastikan orang seperti ini sangatlah membenci silaturahim. Dan ajaran langit memerintahkan menjaga habluminallah dan habluminannas. Dan silaturahim adalah bagian dari habluminannas yang diantara keutamaannya adalah memanjangkan umur dan meluaskan rizky.

Kamis, 08 April 2010

Tawakkal kepada ALLAH Ta'ala dan Keutamaannya

Allah berfirman, yang artinya :

"Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal". (Ali Imran: 122)

"Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". (Ath-Thalaq: 33)

Di dalam hadits diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa di antara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda,

"Yaitu mereka yang tidak membual, tidak mencuri, tidak membuat ramalan yang buruk-buruk dan kepada Rabb mereka bertawakal". (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)


Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Andaikan kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia kan menganugerahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang." *)

Diantara doa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepada-Mu". (Hadits mursal, diriwayatkan Abu Nu'aim)

Tawakal harus didasarkan kepada tauhid. Adapun tauhid itu ada beberapa tingkatan. Diantaranya:

Hati harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir. Jika dia membenarkan lafazh ini, namun tidak mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan keyakinan orang awam.

Hamba melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu melihatnya berasal dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang taqarab.

Hamba melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut dan kepada-Nya pula dia berharap serta bertawakal. Karena pada hakekatnya Allahlah satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya semua tunduk kepada-Nya.

Dia tidak mengandalkan hujan agar tanaman bisa tumbuh, tidak mengandalkan kepada mendung agar hujan turun, tidak mengandalkan kepada angin untuk menjalankan perahu. Bersandar kepada semua ini merupakan ketidaktahuan terhadap hakekat segala urusan. Siapa yang bisa menyibak berbagai hakikat tentu akan mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan sendirinya. Angin itu harus ada yang mengerakkannya. Seseorang yang melihat angin sebagai penyelamat, serupa dengan orang yang ditangkap untuk dipenggal lehernya. Lalu setelah dilaporkan kepada raja, ternyata raja mengeluarkan lembaran catatan yang isinya memaafkan kesalahannya. Lalu dia banyak bercerita tentang tulisan dalam catatan itu, bukan melihat kepada siapa yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu. Tentu saja ini suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen tidak mempunyai kekuasaan hukum, tentu dia kan berterimakasih kepada orang-orang yang telah menggunakan pulpen itu, bukan kepada pulpennya. Semua makhluk di dalam kekuasaan Khaliq, lebih nyata daripada sekedar pulpen di tangan orang yang menggunakannya. Allahlah yang menciptakan segala sebab dan berkuasa untuk berbuat apa pun menurut kehendak-Nya.

BEBERAPA GAMBARAN KEADAAN TAWAKAL

Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan, "Wakkala Fulan amruhu ila Fulan", artinya Fulan yang pertama menyerahkan urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam urusan ini.

Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang diwakilkan. Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali setelah dia bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah simpati, kekuatan dan petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal ini, maka bandingkanlah dengan tawakal kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa mantap bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah semata, jika engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan rahmat-Nya sempurna, di belakang kekuasaan-Nya tidak ada kekuasaan lain, di belakang ilmu-Nya tidak ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat lain, berarti hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapatkan keadaan yang seperti ini di dalam dirimu, maka ada satu di antara dua sebab, entah karena lemahnya keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena ketakutan hati yang disebabkan kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati menjadi gelisah tak menentu karena adanya kebimbangan, sekalipun masih tetap ada keyakinan. Siapa yang menerima madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia akan menolak untuk menerimanya.

Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan atau di tempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu, sekalipun dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati. Tapi tabiat dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang sekali oang yang terbebas darinya. Bahkan terkadang ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup rapat-rapat.

Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah bahwa keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan:

Keadaan benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia tunjuk sebagai wakilnya.

Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan mau bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, "Ibu..!" Siapa yang pasrah kepada Allah, memandang dan bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang yang bertawakal, yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada selain yang ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang pertama adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti ditawakali.

Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah seperti mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah melainkan dia melihat dirinya seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang kepada ujung baju ibunya.

Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.

Footnote:
*) Hadits tersebut di takhrij oleh Imam Ahmad (1/30), At-Tirmidzi (2/55), Al-Hakim (4/318) dari Hayah bin Syuraih: "Telah bercerita kepadaku Bakar bin 'Amer, bahwa dia mendengar Abdullah bin Hubairah, yang mengatakan bahwa Ibnu Hubairah mendengar Abu Tamim Al-Jisyani memberitahukan bahwa ia mendengar Umar bin Al-Khatab ra yang mengatakan: "Sesungguhnya dia telah mendengar Nabi saw bersabda: (lalu menyebutkan hadits di atas). Selanjutnya Imam At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini ber-sanad shahih dan hasan." Sedangkan Imam Al-Hakim berkomentar : "Hadits tersebut shahih dipandang dari segi sanad-nya." Pernyataan senada juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi. Al-Albani berkomentar: Sebenarnya hadits di atas adalah shahih sesuai syarat Imam Muslim. Karena perawi-perawinya adalah perawi yang dipakai oleh Asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Hubairah dan Abu Hatim, kedua perawi yang akhir ini adalah perawi Iman Muslim. Hadits di atas juga memiliki hadits mutabi' riwayat Ibnu Luhai'ah dari Ibnu Hubairah. Hadits di atas juga di-takhrij Imam Ahmad (1/52) dan Ibnu Majah (hadits no. 4164). Menurut Ibnu Majah, dia mendapat hadits tersebut dari riwayat Abdullah bin Wahab, yang juga ber-sanad shahih. (Syaikh Muhammad Nashiruddin A-Albani, "Silsilah Hadits Shahih")

PERILAKU ORANG-ORANG YANG BERTAWAKAL

Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.

Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan, ataupun menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:

Gambaran pertama:
Mendatangkan manfaat. Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan:

Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang tidak mungkin ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu, sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan ke makan itu seraya berkata, "Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal adalah meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu pula mengunyah dan menelannya". Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata dan sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang tidak tahu Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa berjima', maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan ini bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut makananmu. Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.


Sebab-sebab yang tidak meyakinkan, tetapi biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi. Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi sebagai musafir melewati lembah-lembah yang jarang sekali dilewati manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal yang memadai. Orang seperti ini sama dengan orang yang hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala hijrah ke Madinah.

Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada penyebab, tanpa disertai keyakinan yang riel, seperti orang yang membuat pertimbangan secara terinci dan teliti dalam suatu usaha. Selagi tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan syariat, maka hal ini tidak mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan orang-orang yang ambisius jika maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah. Namun meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan dengan sebutan tawakal. Umar Radhiyallahu Anhu berkata, "Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah."

Gambaran kedua:
Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan barang. Siapa yang mendapatkan makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan pokok itu tidak mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai tanggungan orang yang harus diberi nafkah.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir, lalu menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu tahun.

Jika ada yang bertanya, "Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?".

Jawabnya: Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika dijamin tidak akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan) memang tidak selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah menyimpan harta yang halal.

Gambaran ketiga:

Mencari sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat. Bukan termasuk syarat tawakal jika meninggalkan sebab-sebab yang dapat menyingkirkan mudharat. Misalnya, tidak boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat aliran air, di bawah tembok yang akan runtuh. Semua ini dilarang.

Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,

"Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata". (An-Nisa':102)
Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah aku melepasnya dan bertawakal?" Beliau menjawab, "Ikatlah dan bertawakallah". (Diriwayatkan At-Tirmidzy)
Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan pada sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya dicuri orang, padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun mengeluh setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.

Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka dia gembira dan berkata, "Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan datang." Kalau pun makanan itu pun tidak ada, maka dia tetap gembira dan berkata, "Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan itu membuatku tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku."

Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika barang-barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha' dan menghalalkan barang-barangnya bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama, karena dia dirampok di tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu berkata, "Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu yang dirampok itu daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada orang-orang Muslim?"

Gambaran keempat:

Usaha menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi tiga macam:

Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan lapar. Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.

Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam, minum urus-urus dan lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di antara mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, tatkala dia ditanya, "Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib untuk mengobatimu?" Dia menjawab, "Tabib sudah melihatku.", "Apa katanya?", tanya orang itu. Abu Bakar menjawab, "Katanya, 'Aku dapat berbuat apa pun yang kukehendaki'." Al-Mushannif Rahimahullah berkata, "Yang perlu kami tegaskan bahwa berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah berobat, dan tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari tanda-tanda tertentu." Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah dihamparkan Allah di bumi ini.

Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk sesuatu yang keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam mensifati orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan api. Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam sabda beliau, "Tidak menyundut dengan api", ialah cara yang biasa dilakukan semasa Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh sakit. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah kecuali setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As'ad bin Zararah Radhiyallahu Anhu. Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal. Orang-orang salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata, "Aku suka sakit jika tidak ada yang menjengukku." Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, "Bagaiman keadaanmu?" Al-Iman Ahmad berjawab, "Baik-baik." "Apakah semalam engkau demam?" tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, "Jika sudah kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang kubenci." Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka berkata, "Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku." Jadi dia menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas penyakit itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Aku sakit demam seperti dua orang di antara kalian yang sakit demam". (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)

(Dinukil dari "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk".)

Pengangguran Haraki

Syeikh Muhammad Ghazali Rahimahullah berkata, “Dalam suasana pengangguran terlahir ribuan keburukan dan menetas berbagai bakteri kebinasaan, jika kerja merupakan message kehidupan, maka para penganggur adalah orang-orang yang mati, dan jika dunia ini merupakan efek dari tanaman kehidupan yang lebih besar, maka para penganggur adalah sekumpulan manusia yang paling pantas dikumpulkan dalam keadaan bangkrut, tidak ada panen bagi mereka selain kehancuran dan kerugian.”