Senin, 26 April 2010

Berpaling Dari Syariat Menuai Kesempitan Hidup

Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama; sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, lalu siapa saja yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Qs. Thaha [20]: 123-126).

Kedua ayat di atas menuturkan kisah Adam dan Hawa sekaligus pemberitahuan Allah mengenai kejadian pada Hari Kiamat nanti. Kedua ayat itu sebetulnya tidak sekadar menuturkan kejadian masa silam, tetapi juga memaparkan prinsip-prinsip dasar bagi seluruh manusia sepanjang zaman. Oleh karenanya, ia senantiasa relevan sebagai perenungan bagi seluruh manusia.


Tafsir Ayat

Qâla [i]hbithâ min-hâ jamî’a (Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama.”). Seruan ini ditujukan kepada Adam dan Hawa;*1) tercakup di dalamnya semua keturunan mereka.*2) Dhamîr (kata ganti) yang digunakan dalam kalimat berikutnya menunjukkan jamak, seperti pada frasa ba’dhukum atau ya’tiyannakum.*3) Bahkan dalam ayat lainnya, seruan kepada Adam dan Hawa itu menggunakan kata ganti jamak: Qâla [i]hbithû (Qs. al-Baqarah [2]: 36, 38, dan Qs. al-A’raf [7]: 24).

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Ba’dhukum li ba’dhi[n] ‘aduww (sebagian kalian menjadi musuh bagi sebagian yang lain). Menurut sebagian mufasir, maksudnya adalah anak keturunan Adam. Artinya, di antara sesama manusia akan terjadi sikap saling bermusuhan;*4) karena kedengkian, perbedaan agama, atau kezaliman.*5) Mufasir lain berpendapat, maksudnya adalah kelompok manusia dan kelompok iblis.*6) Artinya, permusuhan itu adalah antara kelompok manusia dan kelompok iblis.*7) Menurut Sayyid Quthub, dengan pemberitahuan tersebut sejak awal, tidak ada lagi alasan bagi Adam dan keturunannya untuk mengatakan bahwa mereka telah lalai atau tidak tahu.*8) Penafsiran ini tidak bertentangan, tetapi justru saling melengkapi.

Pada firman Allah, Fa immâ ya’tiyanna-kum min-nî hudâ (Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku), yang dimaksud petunjuk itu adalah nabi dan rasul yang diutus, kitab yang diturunkan,*9) syariat,*10) atau wahyu dari Allah.*11) Al-Qur’an menyebut para nabi sebagai hâd[in]/pemberi petunjuk (Qs. ar-Ra‘d [13]: 7). Al-Qur’an merupakan huda[n] li al-nâs/petunjuk bagi manusia (Qs. al-Baqarah [2]: 185). Dipastikan, Rasulullah Saw menunjuki msnusia ke jalan yang lurus (Qs. asy-Syura [42]: 52).

Berikutnya Allah menjelaskan dua sikap terhadap petunjuk dan konsekuensinya. Sikap pertama: faman [i]ttaba’a hudâ-ya (siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku). Mengikuti petunjuk Allah adalah mengimani rasul-rasul-Nya, membenarkan kitab-kitab-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya.*12) Falâ yadhillu walâ yasyqâ (maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka). Rasulullah Saw bersabda:

Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. [HR. al-Hakim].

Ia juga tidak akan ditimpa kecelakaan. Sebab, al-syaqâ’ (kecelakaan) hakikatnya merupakan hukuman karena kesesatan*13) atau buah dari kesesatan.*14) Jadi, siapa pun yang mengikuti Kitabullah, mengerjakan perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya akan selamat dari kesesatan dan hukuman-Nya.*15) Dia akan mendapatkan keberuntungan, kemenangan, dan kebahagiaan yang kekal.

Lalu kalimat wa man a‘radha ‘an dzikrî (siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku), yakni dari petunjuk-Ku.*16) Maksudnya, siapa saja yang berpaling dari agama dan syariat-Nya yang di bawa oleh Rasul, yaitu tidak mengimani dan/atau tidak mengikutinya (menjalankannya),*17) maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (fa inna lahû ma‘isyatan dhanka[n]), yaitu kehidupan yang amat sempit. Sebab, secara bahasa, ad-dhank berarti adh-dhayyiqah al-syadîdah (kesempitan yang luar biasa).*18) Al-Qasimi,*19) Ibnu Katsir, asy-Syaukani, dan ash-Shabuni*20) lebih memilih bahwa kesempitan hidup itu terjadi dunia, karena ancaman itu diikuti dengan ancaman ukhrawi pada frasa berikutnya.

Kemudian kalimat wa nahsyuruhum yawm al-qiyâmati a‘mâ (dan Kami akan menghimpunkan mereka pada Hari Kiamat dalam keadaan buta). Secara lahiriah, yang dimaksud dengan a‘ma (buta) di sini adalah hilang atau tidak berfungsinya penglihatan mereka,*21) karena semasa di dunia mereka adalah orang-orang yang dapat melihat (Qs. Thaha [20]: 125). Bahkan mereka tidak hanya buta, namun juga bisu dan tuli. Allah SWT berfirman:

Kami mengumpulkan mereka pada Hari Kiamat dalam keadaan buta, tuli, dan bisu. (Qs. al-Isra’ [17]: 97).


Syariat: Penentu Nasib Manusia

Nasib manusia —di dunia maupun di akhirat— amat ditentukan oleh penyikapannya terhadap dînullâh. Siapa pun yang bersedia tunduk dan patuh terhadapnya, hidupnya pasti berjalan di atas petunjuk dan kebenaran. Dia akan memperoleh ketenteraman, kebahagiaan, dan keberuntungan. Sebaliknya, orang yang berpaling dan tidak mau mengikuti petunjuk-Nya akan terjerembab dalam kesesatan, terus dibelit aneka problem, dan senantiasa bergelimang derita. Lebih dari itu, kelak di akhirat dia akan mendapatkan siksaan yang tiada tara. Kisah Adam dan Hawa seputar ayat di atas dan kisah kesudahan umat-umat terdahulu lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran bagi manusia, kecuali bagi orang yang sombong dan pembangkang, pengikut setan.

Selain dua ayat di atas, banyak ayat lainnya yang menunjukkan korelasi pasti antara nasib manusia dan penyikapannya terhadap dînullâh itu. Tidak hanya di akhirat, di dunia pun orang yang beriman dan menaati syariat-Nya dijanjikan anugerah kehidupan yang baik.

Siapa saja yang mengerjakan amal salih —baik laki-laki maupun perempuan— dalam keadaan beriman sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik. (Qs. al-Nahl [16]: 97).

Bahkan Allah SWT berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa (Qs. al-A‘raf [7]: 96). Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari kebenaran dîn-Nya dan menolak untuk menaati-Nya, hidupnya akan diliputi kehinaan dan kenistaan.

Tidak ada yang janggal dalam hal ini. Tatkala manusia —secara individual maupun kolektif— berpaling dari agama-Nya, dia akan tunduk terhadap ideologi, sistem, atau hukum buatan manusia. Faktanya, setiap ideologi, sistem, atau hukum produk manusia pasti mengandung kelemahan yang jika diterapkan akan menciptakan nestapa dan derita. Misalnya, Kapitalisme-Sekularisme yang kini menguasai dunia; terbukti gagal menciptakan kebahagian, ketenteraman, dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Sedangkan Komunisme-Sosialisme telah bangkrut ambruk lebih dulu.

Sebaliknya, ideologi, sistem, dan hukum dari Allah SWT terbebas dari segala kelemahan. Sistem kehidupan dari Rabb al-‘âlamîn ini juga tidak akan pernah kehilangan relevansinya dengan pergantian zaman. Sebab, tidak ada satu pun perkara yang luput dari pengetahuan-Nya, yang tampak maupun yang gaib; dulu, kini, maupun yang akan datang. Karena sifat-Nya Yang Mahabijaksana (al-Hâkim), maka semua hukum-hukum Allah SWT pasti mencerminkan keadilan dan tidak zalim, sekalipun hanya kepada satu orang. Semua hukum-Nya sempurna dan tanpa cacat sebagaimana sifat-Nya Yang Mahasempurna.


Tanpa Khilafah, Dunia Merana

Sejak Khilafah Islamiah di Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924, syariat Islam tidak lagi diterapkan secara total dalam kehidupan. Sebagai gantinya, didirikan negara-negara yang menerapkan Sekularisme-Kapitalisme. Islam sebagai dîn syâmil kâmil —yang memiliki tatanan komprehensif dan sempurna tentang kehidupan— direduksi sedemikian rupa hingga yang tersisa hanya ajaran tentang ketuhanan, keruhanian, ritual ibadah, atau nilai-nilai moral saja.

Sejak itu, umat Islam tidak henti ditimpa berbagai prahara. Aneka problem datang bertumpang tindih. Satu masalah belum selesai, datang masalah yang lebih besar. Umat Islam berada dalam cengkeraman dan penjajahan negara-negara imperialis Barat. Sebagian besar mereka dililit kemiskinan, bahkan terjerat utang yang menggunung. Padahal, negeri-negeri mereka menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Semua itu terjadi karena Islam dipisahkan dari pengaturan kehidupan dan syariat Islam diabaikan.

Musuh-musuh Islam yang mengingkari dînullâh memang tampak perkasa dan menikmati kehidupan yang lebih baik. Namun sebenarnya, mereka ditimpa bermacam masalah, derita, dan nestapa. Tidak terbendungnya AIDS, maraknya aborsi, meningkatnya single parents, menyebarnya homoseksual, meluasnya peredaran narkoba, dan perilaku nista lainnya hanyalah sebagian kecil dari apa yang menimpa mereka akibat Sekularisme-Kapitalisme.

Bahkan jiwa mereka pun sempit. Orang-orang kafir itu, kendati bisa berpakaian, makan, atau tinggal sesukanya, selama hatinya tidak sampai pada keyakinan dan petunjuk, kehidupannya akan senantiasa diliputi kegelisahan, kebingungan, dan keraguan.*22) Tidak aneh, meski mereka bergelimang materi, angka bunuh diri mereka justru tertinggi di dunia.

Jelaslah, setiap penolakan terhadap syariat pasti mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan, di dunia dan akhirat. Jadi, yakinlah bahwa tanpa syariat yang diterapkan secara total —yang hanya mungkin terjadi dengan tegaknya Khilafah Islamiah —dunia akan terus merana. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Majalah al-wa'ie, Edisi 51]


Catatan Kaki:

1. Al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, 2/60. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut; Abu ‘Ali al-Fadhl, Majmâ’ al-Bayân, 7/55, Dar al-Ma’rifah, Beirut.

2. Abu Thayyib al-Qanuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, 8/289, Idarat Ihya’ al-Tsarwah al-Islamiyyah, Qathar. 1989

3. Dhamîr ‘kum’ menunjukkan kata ganti jamak. Lihat: al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, 3/92, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut; al-Qanuji, ibid, 8/289.

4. Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, 15/294, Dar al-Fikr, Beirut. 1991

5. Sa’id Hawa, al-Asâs fî al-Tafsîr, 7/3409, Dar al-Salam, Kairo. 1999.

6. Burhanuddin al-Baqa’i, Nadzm al-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, 5/54, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.

7. Abd al-Haq al-Andalusi, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, 4/69, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.

8. Sayyid Quthub, Tafsîr fî Dzilâl al-Qur’ân.

9. Syihabuddin al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 8/584, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1993; asy-Syawkani, Fath al-Qadîr, 3/391, Dar al-Fikr, Beirut, 1983; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni at-Tanzîl, 3/218, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut; al-Baydhawi, op. cit, 2/60.

10. Az-Zamakhsyari, op. cit., 3/92.

11. Sa’id Hawa, op. cit., 7/3409.

12. Abu Husayn al-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân fî îdhâh al-Qur’ân, 4/125. Dar al-Fikr, Beirut.

13. Burhanuddin al-Baqa’i, Nadzm ad-Durar fî Tanâsub al-Ayât wa as-Suwar, 5/54, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.

14. Sayyid Quthb, op. cit.

15. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhith, 7/265. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1993.

16. Al-Baqa’i, op. cit., 5/54.

17. Al-Khazin, op. cit., 217.

18. Al-Alusi, op. cit., 8/585.

19. Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 7/153. Dar al-Fikr, Beirut.

20. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, 3/1205, Dar al-Fikr, Beirut, 2000; asy-Syaukani, op cit., 3/391; ‘Ali ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsîr, 2/229. Dar al-Fikr, Beirut, 1996.

21. Ibid, 266; Abd al-Rahman al-Sa’di, Taysîr ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, 3/232, âlam al-Kutub; al-Alusi, op. cit., 8/586; asy-Syanqithi, op. cit., 4/127.

22. Ibnu Katsir, op. cit., 3/1205.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar