Senin, 26 April 2010

Amanah

Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa, amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (al-wadî‘ah).*1)

Amanah adalah lawan dari khianat. Amanah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadî’ah (titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan).*2)


Dengan demikian, sikap amanah dapat berlangsung dalam lapangan yang sangat luas. Oleh karena itu, sikap amanah merupakan sesuatu yang dipercayakan untuk dijaga, dilindungi, dan dilaksanakan.


Istilah Amanah Dalam al-Qur’an Dan as-Sunnah

Al-Qur’an menyatakan kata amanah dalam enam ayat. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menyampaikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Qs. al-Ahzâb [33]: 72).

Ada berbagai pendapat mengenai makna amanah dalam ayat ini. Al-Qurthubi menyatakan, amanah bersifat umum mencakup seluruh tugas-tugas keagamaan. Ini adalah pendapat jumhur.*3)


Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda (yang artinya):

Allah berfirman kepada Adam, “Wahai Adam, Aku telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi, tetapi mereka tidak sanggup mengembannya. Apakah engkau sanggup mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya?”

Adam bertanya, “Apa yang ada di dalamnya, wahai Rabb-ku?”

Allah menjawab, “Jika engkau mengembannya maka engkau diberi pahala dan jika engkau mengabaikannya maka engkau akan diazab.”

Adam lalu mengembannya dengan apa yang ada di dalamnya. Adam tidak tinggal di Surga kecuali seukuran antara shalat yang pertama sampai shalat Ashar hingga setan mengeluarkannya dari surga. [HR. at-Tirmidzi].

Berdasarkan hadis ini, Ibn ’Abbas berpendapat, bahwa amanah dalam ayat ini maknanya adalah kewajiban-kewajiban dimana seorang hamba diberi diamanahi Allah untuk melaksanakannya.*4)

Asy-Syaukani menukil pendapat al-Wahidi, bahwa amanah di sini menurut pendapat seluruh ahli tafsir adalah ketaatan dan kewajiban-kewajiban yang penunaiannya dikaitkan dengan pahala dan pengabaiannya dikaitkan dengan siksa. Ibn Mas‘ud berkata, bahwa amanah di sini adalah seluruh kewajiban dan yang paling berat adalah amanah harta. Sedangkan Ubay bin Ka‘ab berpendapat bahwa di antara amanah adalah dipercayakannya kepada seorang wanita atas kehormatannya.*5)

Mujahid berpendapat, amanah dalam ayat ini adalah kewajiban-kewajiban dan keputusan-keputusan agama. Sedangkan Abu al-’Aliyyah berpendapat, amanah adalah apa-apa yang diperintahkan-Nya dan apa-apa yang dilarang-Nya.*6)

Seluruh pendapat tersebut bermuara pada kesimpulan bahwa amanah dalam ayat tersebut adalah seluruh apa yang dipercayakan Allah kepada manusia mencakup seluruh perintah dan larangan-Nya, juga seluruh karunia yang diberikan kepada manusia. Sebagian ulama memerinci apa-apa saja yang termasuk amanah yang penting.


Kepemimpinan Adalah Amanah

Kepemimpinan merupakan amanah. Ini bisa dilihat dari dua segi. Pertama, karena kepemimpinan adalah perintah Allah dengan segala konsekuensinya berupa kewajiban dan hak. Kedua, kepemimpinan merupakan amanah dari orang yang dipimpin kepada pemimpin. Dalam konteks penguasa, kekuasaan adalah milik umat yang kemudian diamanahkan kepada kepala negara (Khalifah) dengan jalan bai’at. Tujuannyanya adalah untuk menerapkan hukum-hukum Allah, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia, dan mengurusi segala urusan dan kemaslahatan rakyat. Sedangkan penguasa selain Khalifah dan pegawai negara, mereka mendapatkan amanah jabatannya dari Khalifah.

Pengabaian terhadap amanah bisa dikatakan sebagai perbuatan khianat. Khianat kepemimpinan ini bisa dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum syariat oleh pemimpin; pengabaian terhadap kewajiban pemimpin; penerapan hukum selain hukum syariat; penyelesaian perkara atau persengketaan dengan selain syariat; pengabaian urusan dan kepentingan rakyat; dan sebagainya.

Salah satu bentuk disia-siakannya amanah ini seperti disebutkan dalam hadis:

“Jika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya.” Sahabat bertanya, “Bagaimana amanah disia-siakan?” Jawab Rasul, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang tidak layak maka tunggulah kehancurannya.” [HR. Bukhari dan Ahmad].

Dengan demikian, diangkatnya orang-orang yang tidak kapabel untuk menangani suatu urusan atau suatu jabatan adalah bentuk khianat kepemimpinan. Ini akan berakibat tidak terurusnya suatu urusan.

Mengkhianati amanah dilarang oleh Allah SWT. Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul; janganlah pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahuinya. (Qs. al-Anfal [8]: 27).

Sebaliknya, Rasulullah bersabda:

Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahimu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu. [HR. Abu Dawud dan Ahmad].

Dengan adanya indikasi (qarînah) bahwa menunaikan amanah merupakan salah satu sifat orang Mukmin (Qs. al-Mu’minun [23]: 8 dan Qs. al-Ma‘arij [70]: 32), hal itu menunjukkan perintah menunaikan amanah tersebut bersifat tegas (jâzim) dan oleh karenanya menunaikan amanah adalah wajib. Sebaliknya, larangan mengkhianati amanah merupakan larangan yang bersifat tegas sehingga hukumnya haram.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Majalah Al-Wa’ie Edisi 46 Juni 2004]

--------------------------------------------------------------------------------
[1] Al-Munawir, Kamus al-Munawir, Pustaka Progressif, Surabaya.

[2] Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, 13/22, Dar al-Fikr, Beirut.

[3] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 14/253, Dar asy-Sya’b, Kairo.

[4] Ibid.

[5] Asy-Syaukani, Tafsîr fath al-Qadîr 4/308, Dar al-Fikr, Beirut.

[6] Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl 3/546, Dar al-Ma’rifah, Beirut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar