Kamis, 08 April 2010

Tawakkal kepada ALLAH Ta'ala dan Keutamaannya

Allah berfirman, yang artinya :

"Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal". (Ali Imran: 122)

"Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". (Ath-Thalaq: 33)

Di dalam hadits diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa di antara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda,

"Yaitu mereka yang tidak membual, tidak mencuri, tidak membuat ramalan yang buruk-buruk dan kepada Rabb mereka bertawakal". (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)


Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Andaikan kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia kan menganugerahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang." *)

Diantara doa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepada-Mu". (Hadits mursal, diriwayatkan Abu Nu'aim)

Tawakal harus didasarkan kepada tauhid. Adapun tauhid itu ada beberapa tingkatan. Diantaranya:

Hati harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir. Jika dia membenarkan lafazh ini, namun tidak mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan keyakinan orang awam.

Hamba melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu melihatnya berasal dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang taqarab.

Hamba melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut dan kepada-Nya pula dia berharap serta bertawakal. Karena pada hakekatnya Allahlah satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya semua tunduk kepada-Nya.

Dia tidak mengandalkan hujan agar tanaman bisa tumbuh, tidak mengandalkan kepada mendung agar hujan turun, tidak mengandalkan kepada angin untuk menjalankan perahu. Bersandar kepada semua ini merupakan ketidaktahuan terhadap hakekat segala urusan. Siapa yang bisa menyibak berbagai hakikat tentu akan mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan sendirinya. Angin itu harus ada yang mengerakkannya. Seseorang yang melihat angin sebagai penyelamat, serupa dengan orang yang ditangkap untuk dipenggal lehernya. Lalu setelah dilaporkan kepada raja, ternyata raja mengeluarkan lembaran catatan yang isinya memaafkan kesalahannya. Lalu dia banyak bercerita tentang tulisan dalam catatan itu, bukan melihat kepada siapa yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu. Tentu saja ini suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen tidak mempunyai kekuasaan hukum, tentu dia kan berterimakasih kepada orang-orang yang telah menggunakan pulpen itu, bukan kepada pulpennya. Semua makhluk di dalam kekuasaan Khaliq, lebih nyata daripada sekedar pulpen di tangan orang yang menggunakannya. Allahlah yang menciptakan segala sebab dan berkuasa untuk berbuat apa pun menurut kehendak-Nya.

BEBERAPA GAMBARAN KEADAAN TAWAKAL

Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan, "Wakkala Fulan amruhu ila Fulan", artinya Fulan yang pertama menyerahkan urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam urusan ini.

Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang diwakilkan. Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali setelah dia bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah simpati, kekuatan dan petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal ini, maka bandingkanlah dengan tawakal kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa mantap bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah semata, jika engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan rahmat-Nya sempurna, di belakang kekuasaan-Nya tidak ada kekuasaan lain, di belakang ilmu-Nya tidak ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat lain, berarti hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapatkan keadaan yang seperti ini di dalam dirimu, maka ada satu di antara dua sebab, entah karena lemahnya keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena ketakutan hati yang disebabkan kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati menjadi gelisah tak menentu karena adanya kebimbangan, sekalipun masih tetap ada keyakinan. Siapa yang menerima madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia akan menolak untuk menerimanya.

Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan atau di tempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu, sekalipun dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati. Tapi tabiat dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang sekali oang yang terbebas darinya. Bahkan terkadang ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup rapat-rapat.

Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah bahwa keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan:

Keadaan benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia tunjuk sebagai wakilnya.

Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan mau bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, "Ibu..!" Siapa yang pasrah kepada Allah, memandang dan bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang yang bertawakal, yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada selain yang ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang pertama adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti ditawakali.

Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah seperti mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah melainkan dia melihat dirinya seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang kepada ujung baju ibunya.

Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.

Footnote:
*) Hadits tersebut di takhrij oleh Imam Ahmad (1/30), At-Tirmidzi (2/55), Al-Hakim (4/318) dari Hayah bin Syuraih: "Telah bercerita kepadaku Bakar bin 'Amer, bahwa dia mendengar Abdullah bin Hubairah, yang mengatakan bahwa Ibnu Hubairah mendengar Abu Tamim Al-Jisyani memberitahukan bahwa ia mendengar Umar bin Al-Khatab ra yang mengatakan: "Sesungguhnya dia telah mendengar Nabi saw bersabda: (lalu menyebutkan hadits di atas). Selanjutnya Imam At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini ber-sanad shahih dan hasan." Sedangkan Imam Al-Hakim berkomentar : "Hadits tersebut shahih dipandang dari segi sanad-nya." Pernyataan senada juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi. Al-Albani berkomentar: Sebenarnya hadits di atas adalah shahih sesuai syarat Imam Muslim. Karena perawi-perawinya adalah perawi yang dipakai oleh Asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Hubairah dan Abu Hatim, kedua perawi yang akhir ini adalah perawi Iman Muslim. Hadits di atas juga memiliki hadits mutabi' riwayat Ibnu Luhai'ah dari Ibnu Hubairah. Hadits di atas juga di-takhrij Imam Ahmad (1/52) dan Ibnu Majah (hadits no. 4164). Menurut Ibnu Majah, dia mendapat hadits tersebut dari riwayat Abdullah bin Wahab, yang juga ber-sanad shahih. (Syaikh Muhammad Nashiruddin A-Albani, "Silsilah Hadits Shahih")

PERILAKU ORANG-ORANG YANG BERTAWAKAL

Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.

Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan, ataupun menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:

Gambaran pertama:
Mendatangkan manfaat. Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan:

Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang tidak mungkin ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu, sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan ke makan itu seraya berkata, "Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal adalah meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu pula mengunyah dan menelannya". Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata dan sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang tidak tahu Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa berjima', maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan ini bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut makananmu. Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.


Sebab-sebab yang tidak meyakinkan, tetapi biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi. Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi sebagai musafir melewati lembah-lembah yang jarang sekali dilewati manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal yang memadai. Orang seperti ini sama dengan orang yang hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala hijrah ke Madinah.

Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada penyebab, tanpa disertai keyakinan yang riel, seperti orang yang membuat pertimbangan secara terinci dan teliti dalam suatu usaha. Selagi tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan syariat, maka hal ini tidak mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan orang-orang yang ambisius jika maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah. Namun meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan dengan sebutan tawakal. Umar Radhiyallahu Anhu berkata, "Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah."

Gambaran kedua:
Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan barang. Siapa yang mendapatkan makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan pokok itu tidak mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai tanggungan orang yang harus diberi nafkah.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir, lalu menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu tahun.

Jika ada yang bertanya, "Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?".

Jawabnya: Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika dijamin tidak akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan) memang tidak selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah menyimpan harta yang halal.

Gambaran ketiga:

Mencari sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat. Bukan termasuk syarat tawakal jika meninggalkan sebab-sebab yang dapat menyingkirkan mudharat. Misalnya, tidak boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat aliran air, di bawah tembok yang akan runtuh. Semua ini dilarang.

Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,

"Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata". (An-Nisa':102)
Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah aku melepasnya dan bertawakal?" Beliau menjawab, "Ikatlah dan bertawakallah". (Diriwayatkan At-Tirmidzy)
Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan pada sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya dicuri orang, padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun mengeluh setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.

Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka dia gembira dan berkata, "Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan datang." Kalau pun makanan itu pun tidak ada, maka dia tetap gembira dan berkata, "Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan itu membuatku tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku."

Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika barang-barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha' dan menghalalkan barang-barangnya bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama, karena dia dirampok di tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu berkata, "Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu yang dirampok itu daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada orang-orang Muslim?"

Gambaran keempat:

Usaha menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi tiga macam:

Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan lapar. Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.

Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam, minum urus-urus dan lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di antara mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, tatkala dia ditanya, "Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib untuk mengobatimu?" Dia menjawab, "Tabib sudah melihatku.", "Apa katanya?", tanya orang itu. Abu Bakar menjawab, "Katanya, 'Aku dapat berbuat apa pun yang kukehendaki'." Al-Mushannif Rahimahullah berkata, "Yang perlu kami tegaskan bahwa berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah berobat, dan tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari tanda-tanda tertentu." Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah dihamparkan Allah di bumi ini.

Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk sesuatu yang keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam mensifati orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan api. Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam sabda beliau, "Tidak menyundut dengan api", ialah cara yang biasa dilakukan semasa Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh sakit. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah kecuali setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As'ad bin Zararah Radhiyallahu Anhu. Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal. Orang-orang salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata, "Aku suka sakit jika tidak ada yang menjengukku." Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, "Bagaiman keadaanmu?" Al-Iman Ahmad berjawab, "Baik-baik." "Apakah semalam engkau demam?" tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, "Jika sudah kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang kubenci." Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka berkata, "Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku." Jadi dia menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas penyakit itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Aku sakit demam seperti dua orang di antara kalian yang sakit demam". (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)

(Dinukil dari "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk".)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar