Jumat, 30 Oktober 2009

Muraqabah dan Muhasabah

Muqaddimah

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)


Ayat Allah SWT tersebut di atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil. Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Ia juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.

Memang hanya satu insan kamil yang ma'shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau menjalani proses pembedahan dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril karena beliau dipersiapkan untuk mengemban tugas mulia. Namun beliau juga pernah mengatakan bahwa kalau bukan karena rahmat Allah niscaya tak akan ada yang selamat dari siksa Allah dan neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.

Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala penjuru.
Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur'an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.

Qarin alias syaithan yang selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita berpaling dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur'an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan yang lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang benar dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.

Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup maupun setelah meninggal dunia.

Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.

Pengertian Muraqabah dan Muhasabah

Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.

Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.

Urgensi Muraqabah dan Muhasabah

Bila setiap Muslim senantiasa memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia selalu merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.

Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang aman karena semua orang sudah memiliki pengawasan melekat.

Orientasi Ukhrawi membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam perspektif Ukhrawi. Ia juga akan terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan, kezhaliman, penindasan dan kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan menyengsarakannya di akhirat kelak.

Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS. 22:77) agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam, bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau menuai hasilnya, kelak.

Bila demikian keadaannya, Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” (negeri yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan. Selain tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul 'alam” (soko guru dunia).

Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul 'alam yang sekaligus khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari bencana, kerusakan dan kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).

Namun bila para Muslim tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur'an (QS. 47:25-26) maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja yahudi la'natullah alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.

Tahapan-tahapannya

Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.

Mu'ahadah

Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (QS. 7:172)

Dengan bermu'ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita.

Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30).

Muraqabah

Setelah bermu'ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.

Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.

Muhasabah

Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.

Mu'aqabah

Selain mengingat perjanjian (mu'ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng'iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri).

Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu'aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.

Mujahadah

Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni Ka'ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka'ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.

Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.

Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi 'abdan syakuran?”.

Mutaba'ah

Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu'ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.

Muraqabah

Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat 'waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat Allah berikut ini:

“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 57:4).

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16).

“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)

(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS. 31:16)

Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.

Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma'iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita” ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir'aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.

Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal 'afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan kehendak-Nya.

Muhasabah

Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.

Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri, memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat). Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS. 59:18).

Persiapan diri yang dimaksud tentu saja membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang paling baik dan berharga adalah taqwa.

Umar r.a pernah mengucapkan kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu” (Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).

Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya yang seluas langit dan bumi, diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS 3:133)

Begitu pentingnya kita melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala perkataan dan perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS. 99:7-8)

Bila kita mengingat betapa dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, maka wajar sajalah jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan sebaik mungkin.

Dalam QS. 80:34-37, tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara, kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat lari?. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu saja pada hari itu tempat kembali”.(QS. 75:7-12)

Ummul Mu'minin Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu dalam keadaan telanjang bulat di padang mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari itu begitu dahsyat sampai-sampai tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain naungan/perlindungan Allah (Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda yang lekat hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan meneteskan airmata karena takut kepada Allah.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang berjihad, berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda Rasulullah SAW di hadits lainnya: “Ada 70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do'akan aku termasuk di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo'akan termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain meminta yang serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat”. Subhanallah.

Di riwayat lain dikisahkan bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.

Dan memang ada 3 harta yang tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya berupa 1 kamar untuk bernaung, pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi makanan setiap hari yang sekedar cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga dengan bergerombol seperti kawanan burung.

Betapa beruntungnya mereka semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah, malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.

Yaumul Hisab itu bahkan juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja demikian keadaannya, bagaimana pula kita?.

Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan pertanggungjawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak sehingga kita harus menebusnya di neraka. Na'udzubillah min dzalik

Hasil Muraqabah dan Muhasabah

Seseorang yang rajin me'muraqabah'i dan me'muhasabah'i dirinya akan mau dan mudah melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti, mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan.

Kemudian hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi, bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin melakukan muraqabah dan muhasabah :

1. Mengetahui aib, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.

2. Istiqamah di atas syari'at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar apapun tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga Rasulullah SAW sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).

3. Insya Allah akan aman dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS. 3:30).


Mengenal Indikator Keimanan

Iman memiliki tanda-tanda, mempunyai rasa serta memberikan dampak, juga memiliki cahaya dan ikatan yang senantiasa di pegang oleh pemiliknya. Maka perlu bagi kita kaum muslimin yang notaben juga mukmin mengenal tanda-tanda keimanan, agar dapat mengukur diri kita masing-masing apakah kita masuk orang orang yang difirmankan Allah, yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.” (QS. 19:96).

Di antara indikator iman yang benar adalah sebagai berikut:


1. Ittiba' Kepada Rasul Shalallaahu alaihi wasalam Dengan Sebenarnya

Seorang mukmin senantiasa menerima apa saja yang disampaikan oleh Nabinya n, sebab khawatir termasuk golongan yang disabdakan oleh beliau :
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga kemauan (hawa nafsunya) tunduk terhadap segala yang kusampaikan."
Hawanya, cintanya, angan-angan dan keinginanya senantiasa diukur dengan apa yang dibawa oleh Nabinya Shalallaahu alaihi wasalam, tidak menyelisihi perintahnya dan tidak melanggar larangannya, lisannya senantiasa berucap, yang Artinya:
“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. 3:53)

2. Tunduk Terhadap Hukum Allah

Apabila telah ada ketetapan dari Allah baik berupa perintah atau pun larangan, maka seorang mukmin tidak pikir-pikir lagi atau mencari alternatif yang lain. Namun menerima dengan sepenuh hati terhadap apa yang ditetapkan Allah tersebut dalam segala permasalahan hidup. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perem-puan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. 33:36)

3. Membenarkan Apa yang Di-sampaikan Allah dan Rasul-Nya, Tanpa Ragu Sedikitpun

Seorang mukmin harus percaya dan membenarkan segala yang disampaikan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasul Shalallaahu alaihi wasalam, meskipun belum mengetahui fadhilah atau hikmahnya. Jika kita telah memiliki sifat yang demikian, maka niscaya akan menjadi orang yang beruntung. Sebab Allah Subhannahu wa Ta'ala akan memasukkan kita dalam golongan yang disebutkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firman Nya, yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. 49:15)

Sebagai misal, ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengatakan, bahwa wanita (pada mulanya) diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk yang memiliki sifat bengkok, maka seorang mukmin dan mukminah harus membenarkannya tanpa ragu sedikit pun. Wanita mukminah sejati tidak keberatan menerima hadits ini dan tidak meragukannya, demikian pula terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan wanita.

4. Senantiasa Bertaubat, Beristighfar dan Takut Su'ul Khatimah

Di antara ucapan seorang mukmin adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya :
“Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Rabbmu", maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang- orang yang berbakti.” (QS. 3:193)

Seorang mukmin selalu melihat keburukan dirinya dan takut serta bersedih atas dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Barang siapa yang bersedih terhadap keburukannya dan bergembira terhadap kebaikannya, maka dia seorang mukmin." (HR. Ahmad)

Maka bukan merupakan sifat seorang mukmin kalau bangga tatkala dapat melakukan keburukan dan kejahatan, atau malah bersedih apabila berbuat kebaikan.

5. Besar Rasa Takut dan Harapnya

Rasa takut dan harap yang sangat besar berkumpul di dalam hati seorang mukmin, dia takut nanti kalau pada Hari Kiamat masuk ke dalam neraka, namun sekaligus berharap agar Allah menyelamatkannya, percaya akan rahmat Allah dan berharap agar segala amal perbuatannya diterima. Mereka memohon kepada Allah, yang artinya:
“Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di Hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji".(QS. 3:194)

6. Sungguh-Sungguh dan Taat Beribadah

Seorang mukmin selalu bersungguh-sungguh dan taat dalam beribadah kepada Allah, selalu beristighfar, terutama di waktu sahur. Firman Allah:
“(Yaitu) orang-orang yang berdo'a, "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka". (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.”(QS. 3:16-17)

Inilah di antara beberapa tanda-tanda iman, dan tentunya masih banyak lagi tanda-tanda lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Yang penting adalah kita mencoba mengukur diri sampai di mana keimanan kita, kalau seluruh tanda keimanan yang tersebut di atas ada pada diri kita, maka hendaklah memuji Allah karena telah memberikan karunia yang amat besar. Dan sebaliknya kalau masih banyak yang belum ada pada diri kita, maka marilah bersegera meraih dan mengejar ketertinggalan kita, sebelum pintu kehidupan ini tertutup.

Ikatan Iman yang Terkuat

Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Abu Dawud)

Seorang mukmin hendaknya selalu melihat apakah dirinya telah menda-patkan tali terkuat ini atau kah belum? Sudahkah dirinya mampu mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, atau kah malah justru mencintai dan membenci tergantung pada hawa nafsu dan pendapat sendiri?
Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu pernah berkata, "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memusuhi karena Allah, loyal (berwala) karena Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan perwalian (cinta dan pembelaan) dari Allah dengan sebab tersebut. seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman, meskipun banyak shalat dan puasa, sehingga dia bersikap demikian itu."

Sinar Keimanan

Iman akan memancarkan sinar yang terbit menyinari di dalam hati, sehingga hati menjadi hidup. Amr Ibnu Qais berkata, "Aku mendengar bukan hanya dari seorang shahabat saja yang berkata, "Cahaya iman adalah tafakkur."

Yaitu merenungkan dan memikirkan segala kebesaran dan kekuasaan Allah, segenap makhlukNya, memikirkan asma' dan sifat sifat Allah yang Maha Luhur, sehingga kalau itu semua memenuhi hati, maka akan membuatnya bersinar dan bercahaya, yang itu akan terus menambah kedekatan dan rasa cinta terhadap Allah Rabb Pencipta dan Pemeliharanya.

Iman, Musik dan Lagu

Musik dan lagu tidak akan dapat bersatu di dalam hati seorang mukmin sejati, sehingga amatlah sulit untuk dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan iman. Sebab hati yang seharusnya ditempati secara keseluruhan untuk iman, ternyata ada jatah yang di sediakan untuk nyanyian dan musik, akan berbahaya kalau jatah untuk musik dan nyanyian lebih besar daripada jatah untuk keimanan. Sebab musik dan lagu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dapat menumbuhkan kamunafikan.

Maka seorang mukmin hedaknya memakmurkan dan memenuhi hatinya dengan iman, jangan sampai nyanyian mendominasi hati karena itu dapat menjerumuskan ke dalam su'ul khatimah. Sebagaimana hal itu pernah terjadi di dalam kisah nyata, yaitu seorang yang akan meninggal dunia ketika dituntun untuk membaca syahadat dia tidak bisa mengucapkannya dan justru malah menyanyi. Na'udzu billah min dzalik.

Manisnya Iman

Manisnya iman dapat diraih dengan tiga hal sebagaimana yang disabdakan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yang artinya:
"Tiga hal yang barang siapa memilki ketiganya, maka akan merasakan manisnya iman, (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dia cintai daripada selain keduanya, apabila menyintai seseorang, maka tidaklah dia mencintai, kecuali karena Allah, serta benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyela-matkan darinya sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke neraka."(HR. Al-Bukhari)

Maka masing-masing kita hedaklah melihat, apakah Allah dan Rasul telah kita tempatkan di atas semua orang, termasuk anak, istri atau suami, serta segala kesenangan hidup? Lalu kita lihat juga apakan cinta kita terhadap sesama manusia sudah karena Allah, atau kah karena ada sebab-sebab lain seperti materi, tujuan keduniaan, kelompok dan golongan dan sebagai-nya? Lalu yang ketiga, apakah kita telah membenci kekufuran, termasuk pelakunya dan segala yang berkaitan dengan diri, kehidupan dan gayanya? Atau kah sebaliknya kita malah meniru (tasyabbuh), taklid dan ikut-ikutan terhadap prilaku kaum kufar?

Sikap Mukmin Terhadap Dosa

Abdullah Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya ibarat kalau dia sedang duduk di bawah gunung dan takut kalau gunung itu runtuh menimpanya. Sedangkan seorang fajir (pelaku dosa) melihat dosanya ibarat (melihat) lalat yang terbang di depan hidungnya seraya mengatakan begini." Para ulama manafsirkan, yaitu dengan menggerak-kan tangannya di depan hidung layak-nya mengusir lalat.

Sikap seseorang terhadap dosa akan sangat berpengaruh terhadap sikap-sikapnya di dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini disebabkan karena tatkala seseorang menganggap kecil dan remeh sebuah dosa, maka cenderung akan berbuat semaunya.

Maka seorang mukmin kalau berbuat dosa akan merasa sedih, takut dan gelisah karena kekuatan imannya mendorong demikian. Ia tidak melihat besar kecilnya dosa, namun melihat kepada siapa berbuat dosa. Demikian hendaknya masing-maing kita menyi-kapi dosa, karena hal itu akan mendorong ke arah sikap-sikap positif se-perti introspeksi (muhasabah), mawas diri, hati-hati serta banyak beristighfar.

Mudah-mudahan Allah Subhannahu wa Ta'ala memasukkan kita semua ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan iman yang sejati dan benar, serta menghapuskan dosa dan kesalahan kita baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Amin.

Sumber: Kutaib,”Min ‘alamatil iman ash shadiq,” Asma’ binti Abdur Rahman Al Bani, bittasharruf wazzi-yadh

Makrifatullah 2

At-Thoriq Ila Makrifatillah
Sinopsis

Apabila kita ingin mencapai sesuatu sasaran, pastinya kita mesti tahu
apakah dan bagaimanakah jalan yang akan menyampaikan kita kepada sasaran
itu. Begitu juga dengan sasaran untuk mengenal Allah bukan sebarangan
cara boleh digunakan kerana jalan yang tidak betul akan membawa kepada
pengenalan yang salah. Jalan menuju kepada makrifatullah adalah menerusi
ayat-ayat yang terang dan jelas sebagai satu penyataan dari Allah (ayat
qauliah). Ayat ini adalah penyataan-penyataan pengenalan yang
difirmankan oleh Allah sendiri di dalam al-Quran. Selain itu, ada juga
ayat-ayat kauniah yang menjadi bahan berfikir manusia terhadap kejadian
alam yang begitu unik ini. Dari dua jalan ini Islam mengajak manusia
menggunakan akal dan juga naql untuk menuju makrifatullah . Kedua-dua
metod ini akan melahirkan keyakinan, langsung mencetuskan pembenaran
(tasdiq) dalam hati kecil manusia yang akhirnya membuahkan keimanan yang
mantap terhadap Allah s.w.t.


Selain metod ini, ada juga manusia yang menggunakan metod duga-dugaan
dan hawa nafsu untuk mengenal Allah. Paling pasti adalah mereka tidak
akan bertemu sasarannya yang sebenar malah dia boleh dipermainkan oleh
syaitan seperti yang berlaku kepada penganut hindu, budha dan lain-lain
lagi yang menggambarkan tuhan itu mengikut apa yang mereka khayalkan.
Metod ini akan berakhir dengan kekufuran.

Hasyiah

1.Jalan menuju pengenalan terhadap Allah s.w.t .

Syarah

Allah s.w.t tidak menampilkan kewujudan Zatnya Yang Maha Hebat di
hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti
kita melihat sesama makhluk bahkan selagi kita boleh nampak dengan mata
kepala kita, maka itu bukanlah tuhan . Allah juga menganjur kepada
manusia menerusi Nabi s.a.w supaya berfikirlah pada makhluk-makhluk
Allah tetapi jangan sekali anda berfikir tentang zat Allah.
Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah
yang disarankan di dalam banyak ayat al-Quran agar menjadi bahan
berfikir tentang kebesaran Allah.

2.Ayat Qauliah

Syarah

Ayat-ayat qauliah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah s.w.t di
dalam al-Quran. Ayat-ayat ini boleh menyentuh pelbagai aspek termasuklah
jalan-jalan kepada makrifatullah.

Dalil

95:1-5 : Allah mengajak kita berfikir tentang kejadian makhluknya
termasuk buah-buahan, bukit-bukau bahkan diri manusia itu sendiri
sehingga akhirnya manusia dapat menyimpulkan satu keyakinan bahawa
penciptanya adalah Allah.

3.Ayat Kauniah

Syarah

Ayat Kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling kita yang
diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda,
kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh
kerana alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem
dan peraturan nya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan
keagungan Penciptanya.

Dalil

41:53: Allah menjelaskan bahawa Dia akan tunjukkan ayat-ayat kauniah-Nya
diufuq dan juga pada diri manusia sendiri sehingga menjadi terang dan
jelas akan kekuasaan Allah.

3:190: Pada kejadian langit dan bumi serta pertukaran siang dan malam
juga adalah ayat kauniah kepada kekuasaan Allah bagi sesiapa yang
berakal.

4.Metod Islam dengan naqli dan akal

Syarah

Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia kerana dengan sarana
akal ini manusia mampu berfikir dan memilih antara yang benar atau
salah. Walau bagaimanapun, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari
Pencipta akal pencapai pemikiran cukup terbatas. Apa lagi jika
dicampurkan dengan anasir hawa nafsu dan zhan. Gabungan antara kemampuan
akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang
tepat dan mantap terhadap Allah s.w.t. Menjadi satu kesalahan apabila
manusia tidak menggunakan akalnya untuk berfikir.

Dalil

10:100-101: Tiadalah seseorang itu beriman melainkan dengan izin Allah.
Dia menjadikan siksaan atas orang-orang yang tidak berfikir.
KatakanlahPerhatikanlah apa-apa yang dilangit dan dibumi. Tetapi tidak
bermanafaat keterangan dan peringatan bagi kaum yang tidak beriman.

65:10 Ancaman Allah dengan siksaan bagi mereka yang berakal tapi tidak
berfikir

67:10 Penyesalan yang pasti bagi mereka yang tidak berfikir

6.Tasdiq (membenarkan)

Syarah

Hasil dari berfikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman
yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan
keagungan Allah . Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah 53:11(
Tiadalah hatinya mendustakan (mengingkari) apa-apa yang dilihatnya).
Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.

Dalil

3:191: Orang-orang yang mengingati Allah setiap ketika akan terungkap
pada lisannya ucapan Maha Suci Engkau ya Allah.

50:37: Yang demikian itu menjadi peringatan bagi orang yang mempunyai
hati atau mendengarkan sedang hatinya hadir.

7.Menghasilkan iman

Syarah

Metod pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif
secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada
Allah azzawajalla.

8.Metod selain Islam

Syarah

Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga di bawa oleh
pemikir-pemikir dari serata dunia tetapi tidak berlandaskan kepada metod
yang sebenar. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan
dan hawa nafsu. Pastinya metod cacamerba ini tidak akan sampai kepada
natijah yang sebenar kerana bayang-bayang khayalan tetap menghantui
pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan
dengan rupa-rupa yang berbeza seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha
dan seumpamanya.

9.Dugaan dan hawa nafsu

Syarah

Dua unsur utama dalam metod mengenal Tuhan yang tidak berlandaskan
disiplin yang sebenar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu.
Campurtangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah
yang tepat dan sahih.

Dalil

2:55 : Kaum Nabi Musa mengambil anak lembu sebagai tuhan dan cabar untuk
tidak beriman dengan Musa kecuali setelah melihat Allah secara terang,
lalu mereka disambar oleh halilintar.

10:36: Kebanyakan mereka tidak mengikut kecuali duga-dugaan semata-mata.
Sesungguhnya dugaan itu tidak cukup untuk mendapat kebenaran sedikitpun.

6:115 : Telah tamatlah kalimah Tuhanmu dengan kebenaran dan keadilan.

10.Ragu-ragu

Syarah

Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang
di dapati juga sangat tidak menyakinkan. Mungkin ada hasil yang
didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin
mengenal Allah tetapi kaedah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut
neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala
sayyidina umar tersenyum sendirian mengenangkan kebodohannya menyembah
patung yang dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliah , apabila
terasa lapar dimakannya pujaan itu.

Dalil

22:55: Orang-orang kafir sentiasa dalam keraguan.

24:50: Apakah ada dalam hati mereka penyakit, atau mereka masih
ragu-ragu atau takut

11.Berakibat kufur

Semua metod pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh
Islam iaitu menerusi aql dan Naql akan menemui jalan serabut iaitu
kekufuran terhadap Allah s.w.t.

-------------

Mawani' Makrifatullah
Sinopsis

Walaupun ayat-ayat Allah sama ada ayat-ayat qauliah mahupun kauniah
adalah terbuka kepada sesiapa sahaja yang ingin membaca dan menelitinya
, namun terdapat berbagai halangan yang akan berhenti di hadapan kita
yang didokong oleh iblis dan hawa nafsu bagi memastikan anak cucu adam
terus berada di dalam kesesatan dan jauh dari petunjuk Allah s.w.t.
Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat peribadi yang
kontradik berpunca dari syahwat seperti nifaq, takabbur, zalim, dusta
dan sifat-sifat yang berpunca dari salah faham atau syubhat seperti
jahil, ragu-ragu, menyimpang. Kesemua ini menatijahkan kekufuran
terhadap Allah s.w.t.

Hasyiah

Sifat yang berasal dari penyakit syahwat
1. Fasiq

Syarah

Iaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang
diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana
di atas muka bumi

Dalil

2:26-27: Sesungguhnya Allah tidak malu menjadikan nyamuk untuk menjadi
perumpamaan atau benda yang lebih hina daripadanya. Adapun orang-orang
yang beriman mengetahui bahawa yang demikian itu suatu kebenaran dari
Tuhan tetapi orang-orang yang kafir berkata: Apakah maksud Allah dengan
perumpamaan ini ?

59:19: Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah lalu
Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang fasiq.

2. Sombong

Syarah

Adalah orang yang hatinya engkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah
dan mereka tidak beriman dengan Allah

Dalil

16:22 : Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Akhirat, hati mereka
indkar dan merekaitu orang-orang yang sombong

40:35: Orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah tanpa keterangan yang
sampai kepada mereka. Amat besarlah kebencian di sisi Allah dan di sisi
orang-orang yang beriman (terhadap mereka). Demikianlah Allah mengecap/
menutup tiap-tiap hati orang yang sombong lagi ganas.

40:56 : Orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah tanpa keterangan

7:12: Allah telah menghalau Iblis dari syurga kerana bersikap sombong
dan tidak mahu tunduk kepada arahan Allah.

3. Zalim

61:7: Siapakah yang terlebih zalim daripada orang yang mengada-adakan
dusta terhadap Allah sedang dia diseru kepada Islam ? Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

32:22 : Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang diberikan
peringatan dengan ayat-ayat tuhannya kemudian dia berpaling daripadanya…

4. Dusta

2:10 : Dalam hati mereka ada penyakit (syak wasangka) lalu ditambah
Allah penyakit itu dan untuk mereka itu siksa yang pedih kerana mereka
berdusta.

77:9-19: Kecelakaan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah.

5. Banyak dosa

83:14 : Berkarat hati mereka kerana dosa yang mereka lakukan.

Semua sifat-sifat yang disebutkan di atas tadi akan berakhir dengan
kemurkaan dari Allah s.w.t. Walau bagaimanapun sifat-sifat ini boleh
dirawati dan diubati dengan usaha yang penuh mujahadah. Manakala
kelompok kedua adalah sifat-sifat yang berasal dari penyakit syubhat
yang ada pada personaliti seseorang.
7. Jahil

39-65: Orang-orang yang tidak mengambil iktibar dari wahyu

8. Ragu-ragu

22:55: Orang-orang kafir sentiasa di dalam keraguan

9. Menyimpang

5:13 : Oleh kerana mereka melanggar perjanjian , Allah kutuk mereka dan
menjadikan hati mereka keras sehingga mereka mengubah kalimat Allah.

10. Lalai

7:179 : Mereka memiliki hati, mata dan telinga tetapi semuanya tidak
difungsikan dan mereka menjadi seumpama binatang lalu disediakan kepada
mereka jahannam.

Semua sifat-sifat yang berpunca dari syubhat ini akan berakhir dengan
kesesatan kerana ia menghalang dari menerima hidayah daripada Allah.
Fenomena ini boleh diubati dengan ilmu-ilmu Islam yang di dapati lalu
diaplikasikan dalam bentuk amalan .

----------------

Adillah Ala Wujudillah
Sinopsis

Kewujudan Allah s.w.t adalah sesuatu yang cukup terang sehingga
sesetengah pihak yang ekstrem berpendapat kewujudan Allah tidak perlu
kepada dalil lantaran terlalu jelas. Walau bagaimanapun dalil-dalil yang
membuktikan kewujudan Allah ini boleh kita lihat dari berbagai aspek,
antaranya dari aspek fitrah, aspek pancaindera, dari aspek logik /aqal,
dari aspek nas/naql dan juga dari aspek sejarah. Bila kita membicarakan
dalil-dalil kewujudan Allah, kita tidak bermaksud
perbincangan-perbincangan falsafi yang merumitkan tetapi bagaimana
dalil-dalil itu dapat difahami dengan mudah dan menunjangkan keyakinan
terhadap Allah s.w.t.

Hasyiah

1. Dalil Fitrah

Syarah

Adalah dalil yang lahir dari fitrah asal manusia itu sendiri. Hal ini
banyak dirakamkan di dalam al-Quran, bagaimana manusia umumnya mengakui
kewujudan Allah.

Dalil

7:172 : Allah bertanya: Bukankah Aku Tuhan kamu ? Sahutnya: Ya, Kami
menjadi saksi

29:61 : Demi kalau engkau tanyakan kepada mereka siapakah yang
menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan, nescaya
mereka menjawab: Allah.

43:9 : Demi jika engkau tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan
langit dan bumi, nescaya mereka menjawab: yang menciptakan semuanya
adalah (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

75:14-15: Bahkan manusia jadi saksi atas dirinya sendiri meskipun ia
menerangkan beberapa keuzuran

2. Dalil Indera

Syarah

Adalah dalil-dalil yang dapat dinikmati, dilihat, dirasai atau disentuhi
oleh indera.

Dalil

54:1: Telah hampir saat kiamat dan bulan pun terbelah

17:1 : Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambanya di malam hari
dari Masjidil Haram

8:9 : Sesungguhnya Aku menolong kamu dengan seribu malaikat yang
beriringan

3:125: Ya, jika kamu sabar dan taqwa dan datang orang-orang kafir itu
bersegera kepadamu tuhanmu menolongmu dengan lima ribu malaikat

3. Dalil Aqli

Syarah

Adalah dalil-dalil yang berasaskan akal

Dalil

41:53: Nanti akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (tanda-tanda
kekuasaan) Kami di ufuk-ufuk dan pada diri mereka sendiri.

27:88 : Engkau lihat gunung-gunung, engkau kira ia tetap padahal ia lari
seperti larinya awan

87:1-4: Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi yang menciptakan semua
alam lalu meyempurnakan kejadiannya, dan yang menentukan dan memberi
petunjuk dan yang menumbuhkan padang rumput (tanam-tanaman).

4. Dalil Naqli

Syarah

Adalah dalil-dalil yang bersandarkan kepada nas-nas.

Dalil

4:82 : Tidakkah mereka mentadabbur al-Quran ? Sekiranya al-Quran itu
dari sisi selain Allah nescaya mereka mendapati banyak perselisihan di
dalamnya.

17:88 : Katakanlah: Demi jika jika berhimpun manusia dan jin hendak
memperbuat seumpama al-Quran ini, nescaya mereka tidak dapat memperbuat
seumpamanya.

15:9: Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan dan Kami
memeliharanya.

5. Dalil Sejarah

Syarah

Adalah dalil-dalil kekuasaan dan keagungan Allah yang diambil dari
peristiwa-peristiwa yang telah berlaku di atas muka bumi.

Dalil

3:137 : Sesungguhnya telah lalu beberapa peraturan (Allah) sebelum kamu,
maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah, bagaimana akibatnya
orang-orang yang mendustakan agama.

7:176 : Demikianlah umpamanya kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Sebab itu kisahkanlah kisah itu, mudah-mudahan mereka berfikir.

12:111: Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu ada ibrah (pengajaran)
bagi orang-orang yang berakal.

11:120: Setiap riwayat kami kisahkan kepadamu di antara perkhabaran para
rasul supaya Kami tenteramkan hatimu dengannya.

Mengagung Allah dan Mentauhidkan Allah

Syarah

Dari semua dalil-dalil yang dapat dilihat di atas itu adalah berfungsi
menguatkan pandangan kita betapa keagungan Allah s.w.t begitu luarbiasa
dan menundukkan kita sendiri di hadapan keagungan ini. Langsung
mencetuskan tauhidullah yang luarbiasa.

Dalil

21:92 : Sesungguhnya ini, umat kamu (hai mukminin) umat yang satu dan
Aku tuhanmu, sebab itu sembahlah Aku.


Ma'rifatullah 1

Pendahuluan

Mungkin ada dikalangan kita yang bertanya kenapa pada saat ini kita
masih perlu berbicara tentang Allah pada hal kita sudah sering mendengar
dan menyebut nama-Nya dan kita tahu bahawa Allah itu Tuhan kita.
Tidakkah itu sudah cukup untuk kita ?


Saudaraku, jangan sekali kita merasa sudah cukup dengan pemahaman dan
pengenalan kita terhadap Allah kerana semakin kita memahami dan
mengenali-Nya kita merasa semakin hampir dengan-Nya. Kita juga mahu agar
terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru terhadap Allah dan
terhindar juga dari sikap-sikap yang salah dari kita terhadap Allah .

Ketika kita membicarakan tentang makrifatullah, bermakna kita berbicara
tentang Rabb, Malik dan Ilah kita. Rabb yang kita fahami dari istilah
al-Quran adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa.
Manakala Ilah pula mengandungi erti yang dicintai, yang ditakuti dan
juga sebagai sumber pengharapan. Kita boleh lihat hal ini di dalam surah
An-Naas : 1-3.

Dengan demikian maka jelaslah bahawa usaha kita untuk lebih jauh
memahami dan mengenal Allah adalah merupakan bahagian terpenting di
dalam hidup ini. Bagaimanakah jalan atau metod yang harus kita lalui
untuk mengenal Allah s.w.t. dan apakah halangan-halangan yang sentiasa
menghantui manusia daripada mengenal dan berdampingan dengan-Nya ?
Mungkin boleh kita merujuk kepada satu riwayat yang bermaksud:
"Kenalilah dirimu nescaya engkau akan mengenali Tuhanmu" . Dari
pengenalan diri sendiri , maka ia akan membawa kepada pengenalan
(makrifah) yang menciptakan diri iaitu Allah. Ini adalah kerana pada
hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan
merupakan asas segala kehidupan rohani.

Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada
Nabi dan Rasul, makrifah kepada Alam nyata dan alam ghaib dan makrifah
kepada alam akhirat.

Keyakinan terhadap Allah s.w.t menjadi mantap apabila kita mempunyai
dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan Allah lantas
melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian
diri kita hanya semata-mata kepada Allah sahaja. Ini memberi erti kita
menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan
oleh syirik kepada-Nya.

Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid
dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar
tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafussoleh. Kita juga harus
memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di
dalam al-Quran mahupun sunnah iaitu tauhid asma-wa-sifat, tauhid
rububiah, tauhid mulkiah dan tauhid uluhiah . Dengan pemahaman ini kita
akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan
utama dari setiap empat tauhid tersebut.

Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus
kecintaannya kepada yang Maha Pengasih. Oleh kerana itu kita harus mampu
membezakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selain-Nya
serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang
menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyedari pentingnya melandasi
seluruh aktiviti hidup dengan kecintaan kepada Allah , Rasul dan
perjuangan secara minhaji.

Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami
bahawasanya Allah adalah merupakan sebagai sumber ilmu dan pengetahuan.
Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu adalah menerusi dua jalan yang
membentuk dua fungsi iaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana
hidup. Kitab juga sepatutnya menyedari kepentingan kedua bentuk ilmu
Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap taqwa yang
lebih cemerlang.

-----------------

Ahammiah Makrifatullah
Sinopsis

Makrifatullah atau mengenal Allah adalah subjek utama yang mesti
disempurnakan oleh seorang muslim. Para mad'u yang diajak untuk terlibat
sama di dalam dakwah mestilah dipastikan betul mereka memiliki kefahaman
dan pengenalan yang sahih terhadap Allah s.w.t. Mesti terpacak kukuh di
dalam hati sanubari bahawa Allah adalah sebagai "Rabb" kepada sekelian
alam. Keyakinan ini tentu sekali bersandarkan kepada berbagai dalil dan
bukti yang kukuh. Dari keyakinan ini, akan membuahkan peningkatan iman
dan taqwa. Personaliti merdeka dan bebas adalah yang lahir dari
pengenalan yang mantap terhadap Allah. Juga akan lahir ketenangan,
keberkatan dan kehidupan yang baik sebagai manifestasi dari mengenali
Allah. Di akhirat akan dikurniakan pula dengan balasan syurga Allah.
Semua ini adalah bergaris penamat di keredhaan Allah s.w.t.

Hasyiah

1. Kepentingan ilmu makrifatullah

Syarah:

Riwayat ada menyatakan bahawa perkara pertama yang mesti dilaksanakan
dalam agama adalah mengenal Allah (awwaluddin makrifatullah) . Bermula
dengan mengenal Allah,maka kita akan mengenali diri kita sendiri.
Siapakah kita, dimanakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang
lain, apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di
bumi ini, apakah tanggungjawab kita dan kemanakah kesudahan hidup kita.
Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali
betul-betul Allah sebagai Rabb dan Ilah. Yang Mencipta, Yang
Menghidupkan, Yang Mematikan dan seterusnya.

Dalil:

47:19. Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan bahasa (ketahuilah
olehmu) bahawasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk
dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila al-Quran menggunakan
sighah amar (perintah) maka ia menjadi wajib menyambut perintah
tersebut. Dalam konteks ini mengetahui atau mengenali Allah
(makrifatullah ) adalah wajib.

3:18: Allah menyatakan bahawa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah
mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah
berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa
dan Maha Bijaksana.

22:72-73: Allah telah menjanjikan kepada mereka yang mengingkari
ayat-ayat Allah samada ayat qauliah atau kauniah dengan api neraka.
Janji ini Allah turunkan di dalam surah al-Hajj ayat 72-73: Apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang kamu dapati pada
muka-muka orang kafir kemarahan. Hampir-hampir mereka menendang
orang-orang yang membacakan kepada mereka ayat-ayat kami. Katakanlah
kepada mereka : Hendakkah aku khabarkan kepada kamu dengan yang lebih
buruk daripada itu , iaitulah neraka yang telah dijanjikan oleh Allah
kepada mereka yang kufur dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Wahai
manusia, dibawakan satu permisalan maka hendaklah kamu dengar !
Sesunggguhnya orang-orang (berhala-berhala) yang engkau sembah selain
Allah tidak akan mampu mencipta seekor nyamuk sekalipun seluruh mereka
berkumpul untuk tujuan itu. Dan jika mereka dihinggapi oleh seekor
lalat, mereka tidak mampu untuk menyelamatkan diri. Lemahlah orang yang
menuntut dan orang yang dituntut (sembah).

Oleh yang demikian makrifatullah menerusi ayat-ayatNya adalah suatu
kepentingan utama perlu dilaksanakan agar terselamat dari api neraka.

39:67 : Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya
sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggaman-Nya pada Hari
Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan Kanan-Nya. Maha Suci Dia dan
Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.

Orang-orang kafir tidak mentaqdirkan Allah dengan taqdir yang sebenarnya
kerana mereka tidak betul-betul makrifatullah. Ayat ini menarik kita
agar tidak salah taqdir terhadap hakikat ketuhanan Allah yang
sebenarnya. Oleh itu memerlukan makrifatullah yang sahih dan tepat.

2. Tema perbicaraan makrifatullah - Allah Rabbul Alamin

Syarah:

Ketika kita membicarakan tentang makrifatullah, bermakna kita berbicara
tentang Rabb, Malik dan Ilah kita. Rabb yang kita fahami dari istilah
al-Quran adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa.
Manakala Ilah pula mengandungi erti yang dicintai, yang ditakuti dan
juga sebagai sumber pengharapan. Kita boleh lihat hal ini di dalam surah
An-Naas : 1-3. Inilah tema di dalam makrifatullah. Jika kita menguasai
dan menghayati keseluruhan tema ini, bermakna kita telah mampu
menghayati makna ketuhanan yang sebenarnya.

Dalil:

13:16 : Katakanlah: Siapakah Rabb segala langit dan bumi ? Katakanlah :
Allah. Katakanlah: Adakah kamu mengambil wali selain daripada-Nya, yang
tiada manafaat kepada dirinya dan tidak pula dapat memberikan mudarat ?
Katakanlah: Adakah bersamaan orang yang buta dengan orang yang melihat ?
Bahkan adakah bersamaan gelap dengan Nur (cahaya)? Bahkan adakah mereka
mengadakan bagi Allah sekutu-sekutu yang menjadikan sebagaimana Allah
menjadikan, lalu serupa makhluk atas mereka ? Katakanlah : Allah Allah
yang menciptakan tiap-tiap sesuatu dan Dia Esa lagi Maha Kuasa.

6:12: Katakanlah : Bagi siapakah apa-apa yang dilangit dan dibumi ?
Katakanlah: Bagi Allah. Dia telah menetapkan ke atas diri-Nya akan
memberikan rahmat. Demi sesungguhnya Dia akan menghimpunkan kamu pada
Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang merugikan
diri mereka, maka mereka tidak beriman.

6:19: Katakanlah : Apakah saksi yang paling besar ? Katakanlah:
Allah-lah saksi di antara aku dan kamu . Diwahyukan kepadaku al-Quran
ini untuk aku memberikan amaran kepada engkau dan sesiapa yang sampai
kepadanya al-Quran. Adakah engkau menyaksikan bahawa bersama Allah ada
tuhan-tuhan yang lain ? Katakanlah: Aku tidak menyaksikan demikian.
Katakanlah: hanya Dialah tuhan yang satu dan aku bersih dari apa yang
kamu sekutukan.

27:59: Katakanlah: Segala puji-pujian itu adalah hanya untuk Allah dan
salam sejahtera ke atas hamba-hambanya yang dipilih. Adakah Allah yang
paling baik ataukah apa yang mereka sekutukan.

24:35: Allah memberi cahaya kepada seluruh langit dan bumi

2:255 Allah. Tidak ada tuhan melainkan Dia. Dia Hidup dan Berdiri
Menguasai seluruh isi bumi dan langit.

3. Didukung dengan dalil yang kuat:, 75: 14-15

Syarah:

Makrifatullah yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil
dan bukti-bukti kuat yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia
dalam berbagai bentuk agar manusia berfikir dan membuat penilaian . Oleh
kerana itu banyak fenomena alam yang disentuh oleh al-Quran diakhirkan
dengan persoalan tidakkah kamu berfikir, tidakkah kamu melihat, tidakkah
kamu mendengar dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan itu boleh
mendudukkan kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua alam
cakerawala ini adalah di bawah milik dan pentadbiran Allah s.w.t.

Dalil:

Naqli - 6:19: Allah menurunkan al-Quran kepada Rasul sebagai bahan
peringatan untuk manusia
Aqli - 3:190: Kejadian langit, bumi dan pertukaran siang malam menjadi
bukti bagi orang yang berfikir
Fitri - 7:172 : Pertanyaan Allah kepada anak adam di alam fitrah, bukan
Aku tuhanmu ? Lalu diakuri

4. Dapat menghasilkan : peningkatan iman dan taqwa

Syarah:

Apabila kita betul-betul mengenal Allah menerusi dalil-dalil yang kuat
dan kukuh, hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita
hampir dengan Allah, Allah lebih lagi hampir kepada kita. Setiap ayat
Allah samada dalam bentuk qauliah mahupun kauniah tetap akan menjadi
bahan berfikir kepada kita dan penambah keimanan serta ketakwaan. Dari
sini akan menatijahkan personaliti hamba yang merdeka, tenang, penuh
keberkatan dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat abadi baginya adalah
syurga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang telah
diredhaiNya.

5. Kemerdekaan

6:82 : Orang-orang yang beriman dan tidak memcampurkan keimanannya
dengan kezaliman, untuk merekalah keamanan sedang mereka itu mendapat
petunjuk.

6. Ketenangan

13:28 : Orang-orang yang beriman dan tenteram hatinya dengan mengingati
Allah. Ingatlah (bahawa dengan mengingati Allah itu, tenteramlah segala
hati.

7. Barakah

7:96: Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, nescaya
kami tumpahkan kepada mereka keberkatan dari langit dan bumi tetapi
mereka itu mendustakan sebab itu Kami siksa mereka dengan sebab usahanya
itu.

8. Kehidupan yang baik

16:97: Sesiapa yang melakukan kebaikan baik lelaki mahupun perempuan
sedang dia beriman nescaya Kami siapkan dia dengan kehidupan yang baik

9. Syurga

10:25-26: Mereka yang melakukan kebaikan akan mendapat kebaikan dan
tambahan dari Allah dan mereka akan menjadi penduduk tetap syurga Allah.

10. Mardhotillah:

98:8: Balasan untuk mereka di sisi tuhannya ialah syurga Adne yang
mengalir sungai dibawahnya sedang mereka kekal selama-lama di dalamnya .
Allah redha kepada mereka dan mereka redha kepada Allah. Syurga itu
untuk orang-orang yang takut kepada Allah.



Silaturrahim

Diantara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembicaraan masalah ini -dengan memohon pertolongan Allah- akan saya bahas melalui empat point berikut.

Pertama : Makna Silaturrahim
Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Diantara Pintu-Pintu Rizki
Ketiga : Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim .?
Keempat : Tata Cara Silaturrahim Dengan Para Ahli Maksiat.


Pertama : Makna Silaturrahim

Makna 'ar-rahim' adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Ar-rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak".

Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.

Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian. [Fathul Bari, 10/414]

Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. [Lihat, Murqatul Mafatih, 8/645]

Kedua : Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Kunci Rizki

Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kelapangan rizki. Diantara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah.

[1]. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) [1] maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahim" [Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no. 5985, 10/415]

[2]. Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim". [Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no. 5986, 10/415]

Dalam dua hadits yang mulia diatas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.

Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh mahluk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka barangsiapa menginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan benihnya, yaitu silaturrahim. Demikian, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan "Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim" [Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, Bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, 10/415).Artinya, dengan sebab silaturrahim. ('Umdatul Qari, 22/91)]

Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu dalam Kitab Shahihnya dan beliau memberi judul dengan "Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim". [Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabul Birri wal Ihsan, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, 2/180]

[3]. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda.

"Artinya : Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyak - nya harta dan bertambahnya usia" [2]

Dalam hadits yang mulia ini Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturrahim itu membuahkan tiga hal, diantaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.

[4]. Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

"Artinya :Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim" [3]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jujur dan terpercaya, mejelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat ; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki.

[5]. Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu ia berkata.

"Artinya : Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyambung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya, dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya" [Al-Adabul Mufrad, Bab Man Washala Rahimahu Ahbbahu Allah, no. 59, hal. 37]

[6]. Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam berkembangnya harta dan benda dan menjauhkan kemiskinan, sampai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah Ta'ala.

Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya keta'atan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluarga yang ahli maksiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan)". [Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, Bab Shilaturrahim wa Qath'iha, no. 440, 2/182-183. Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth menshahihkan hadits ini ketika menyebutkan dalil-dalil pada catatan kaki Al-Ihsan. (Lihat, 2/183-184)].

[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syiakh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 45-51 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc]


Sebab-sebab Kemerosotan Akhlak

Akhlak, memiliki sebab-sebab yang dapat menjadikannya tinggi dan mulia, dan sebaliknya juga mempunyai sebab-sebab yang dapat menjadikannya merosot dan jatuh ke dalam keterpurukan. Di antara sebab-sebab yang menjadikan merosotnya akhlak adalah sebagai berikut:

1. Lemah Iman

Lemahnya iman merupakan pertanda dari kerendahan dan rusaknya moral, ini disebabkan karena iman merupakan kekuatan (untuk membina akhlak) dalam kehidupan seseorang.

2. Lingkungan

Lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat bagi perilaku seseorang, karena -seperti dikatakan pepatah- bahwa seseorang adalah anak lingkungannya. Kalau dia hidup dan terdidik dalam lingkungan yang tidak mengenal makna adab dan akhlak serta tidak tahu tujuan hidup yang mulia, maka akhlaknya akan rusak sebagai mana hasil didikan lingkungannya.

3. Kondisi tak Terduga

Terkadang seseorang secara tak terduga mendapati kondisi yang menjadi sebab bagi berubahnya perilaku dan kehidupannya. Yang tadinya baik tiba-tiba berubah menjadi buruk, jahat, tak bermoral dan sebagainya. Di antara kondisi tak terduga tesebut adalah:

-Terkucil
Keterkucilan terkadang menyebab kan seseorang berperilaku buruk, dadanya menjadi sempit dikarenakan rasa kecewa yang mendalam atau kurangnya kesabaran.

-Kaya
Seseorang yang baik dapat berubah akhlaknya menjadi buruk dengan sebab kekayaan, yaitu menjadi sombong dan buruk perilakunya.

-Fakir
Kefakiran, sebagaimana juga kekayaan dapat menjadi pemicu bagi perubahan perilaku seseorang dari baik menjadi buruk. Mungkin karena merasa kedudukannya menjadi rendah, atau karena kecewa atas hilangnya kekayaan yang selama ini dimilikinya.

-Kesedihan
Kesedihan yang dibiarkan berlurut-larut dalam hati akan menyebabkan hati terobsesi dengannya sehingga menyebabkan seseorang tidak tahan dan tidak sabar menanggungnya. Akibatnya dia lari kepada hal-hal yang buruk sebagai pelampiasan, sehingga dikatakan bahwa kesedihan itu seperti racun.

-Sakit
Yaitu sakit yang menyebabkan perubahan tabi'at, sebagaimana juga perubahan pada anggota badannya. Maka akhirnya tidak lagi mampu untuk bersikap lurus proposional (i'tidal) dan tidak kuasa menahan berbagai penderitaan.

-Usia Lanjut
Usia lanjut sangat berpengaruh terhadap berubahnya kondisi fisik atau anggota badan. Demikian juga terkadang berpengaruh terhadap akhlak seseorang, karena menurunnya kemampuan, kecantikan dan kondisi diri sehingga dia merasa lemah untuk bersikap sabar dalam menerima kenyataan.

4. Ujub

Dari sikap ujub ini muncul berbagi akhlak tercela seperti sombong/ merendahkan orang/takabbur/besar kepala dan semisalnya.

Abu Wahb al-Marwazi berkata, ،§Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, ،§Apakah kibr (sombong) itu?،¨ Dia menjawab, ،§Jika engkau merendahkan orang lain.،¨ Lalu aku bertanya tentang ujub, maka dia menjawab jika engkau memandang bahwa dirimu memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, aku tidak tahu sesuatu yang lebih buruk bagi orang yang shalat daripada ujub.،¨ (Siyar A،¦lam an-Nubala،¦ 8/407).

Iman Ibnul Qayyim berkata, "Biang akhlak yang tercela adalah bermula dari kesombongan dan rendah diri. Dari kesombongan muncul sikap bangga, sok tinggi, hebat, ujub, hasad, keras kepala, zhalim, gila pangkat, kedudukan dan jabatan, senang dipuji padahal tidak berbuat sesuatu apa pun dan lain sebagainya.

Sedangkan sikap rendah diri dan kekerdilan jiwa melahirkan dusta, khianah, riya', makar, penipuan, tamak, inkonsisten, pengecut, kikir, lemah, malas, hina bukan karena Allah Æ’¹, memilih yang rendah daripada yang baik dan semisalnya. (Periksa al-Fawaid, 143-144)

5. Tidak Mengingkari Orang yang Berakhlak Buruk

Membiarkan orang lain berbuat keburukan, memberikan toleransi dan tidak peduli terhadap mereka adalah bukan sebuah sikap yang baik. Bahkan itu merupakan kelemahan serta memberikan peluang kepada mereka untuk terus melakukan perbuatan buruk, bahkan merupakan sebuah andil dalam perbuatan buruk mereka.

6. Rumah Tangga

Jika sebuah rumah tangga penghuninya membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak akan ikut terbiasa juga dengan akhlak tersebut. Sebaliknya jika sebuah rumah tangga tidak pernah mengenalkan dan membiasakan akhlak yang baik, maka seorang anak juga akan tidak tahu adab dan ketinggian moral.

7. Lupa Aib Diri Sendiri

Tatkala seseorang melupakan aib diri sendiri, maka dia tidak akan mengoreksi dan introspeksi diri. Dan hal ini merupakan salah satu sebab merosotnya ketinggian akhlak seseorang. Karena lupa akan kekurangan diri sendiri adalah sebuah kekurangan.

8. Kekerdilan Jiwa (Rendah Diri)

Ketika jiwa seseorang kerdil maka dia tidak mampu untuk memenuhi berbagai macam hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya karena merasa berat dengan itu semua. Oleh karena itu dia mencari-cari alasan yang tidak benar atas kesalahannya dengan berbagai cara seperti berdusta, berkhianat atau bersikap munafik. Tak jarang juga melemparkan kesalahan kepada pihak lain yang sebenarnya tidak bersalah.

9. Teman yang Buruk

Ketika seseorang berteman dengan orang yang buruk perangai maka dia biasanya akan terpengaruh dengan temannya tersebut, dan ini merupakan sebab akhlak seseorang menjadi rendah. Berteman dengan orang buruk juga terkadang menjadikan tumbuhnya su'udzan (buruk sangka) terhadap orang baik-baik.

10. Peristiwa Kehidupan

Salah satu sebab yang menjadikan akhlak seseorang rendah adalah terjadinya suatu peristiwa yang menyenangkan atau menyedihkan dalam kehidupan seseorang. Jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka dia akan menyikapi setiap peristiwa dengan benar. Dia akan bersyukur ketika mendapatkan kebaikan dan akan bersabar ketika ditimpa sesuatu yang menyedihkan. Sedangkan jika imannya lemah, maka dia akan sombong dan takabbur ketika meraih kenikmatan atau akan putus asa ketika tertimpa bencana.

11. Maksiat

Di antara akhlak rendah yang diakibatkan oleh kemaksiatan adalah berupa hilangnya cemburu dan rasa malu, lalu disusul dengan berbagai perbuatan keji dan buruk lainnya. Di dalam kitab ad-Daa' wad-Dawaa' hal 71-72 disebutkan, "Seseorang apabila semakin asyik dengan dosa, maka akan berkurang dari qalbunya rasa cemburu terhadap diri, keluarganya dan orang lain pada umumnya. Dan terkadang jika qalbu benar-benar lemah, maka keburukan tidak lagi dianggap sebagai keburukan. Jika telah sampai pada tingkat ini, maka berarti dia telah masuk pada pintu kebinasaan, bahkan amat banyak yang bukan hanya sekedar tidak menganggap buruk perbuatan buruk, namun lebih dari itu yaitu menganggap keburukan sebagai kebaikan.

12. Tabi'at (Watak Asli)

Ada sebagian orang yang memang memiliki tabi'at/watak asli yang buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Dan tabi'at ini lebih mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.

13. Media Massa

Salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan adalah munculnya berbagai media massa dan stasiun-stasiun televisi yang beraneka macam dengan menyiarkan acara yang merusak dan cenderung mengajak kepada kerendahan moral. Tidak sedikit masyarakat yang gandrung dan kecanduan dengan seorang artis atau acara tertentu, sehingga dengan tanpa ilmu ikut-ikutan terhadap perilaku mereka yang rendah. wal ،¥iyadzu billah.

Sumber: Bina،¦ul Akhlaq, Abdullah bin Salim al-Qurasyi hal 92-101, secara ringkas


Tanda Kebaikan Islam Seseorang

"Diriwayatkan dari Abi Hurairah radhiyallah 'anhu , ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: "Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya." (HR At-Tirmidzi dan periwayat lainnya).

Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676H) mengatakan dalam kitabnya, "Al-Arba'in" bahwa hadits ini derajatnya hasan. Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan dalam kitab Shahih al-Adzkar wa dh'ifuhu bahwa hadits ini shahih lighairihi (shahih karena adanya riwayat lainnya). Kesimpulannya, hadits ini benar adanya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .


Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat 795H) mengatakan: "Hadits ini merupakan pondasi yang sangat agung di antara pondasi-fondasi adab." Dia mengatakan pula tentang pengertian hadits ini: "Sesungguhnya barangsiapa yang baik keislamannya pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting baginya; ucapan dan perbuatannya terbatas dalam hal yang penting baginya." ( lihat Kitab Jami'ul 'Ulum wal Hikam).

Ukuran penting di sini bukan menurut rasa atau rasio/ akal kita yang tidak lepas dari pengaruh hawa nafsu, akan tetapi berdasarkan tuntunan syari'at Islam.

Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting adalah meninggalkan hal-hal yang haram, atau hal yang masih samar, atau sesuatu yang makruh, bahkan berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah (diboleh-kan) sekalipun, apabila tidak dibutuhkan maka termasuk kategori hal-hal yang tidak penting.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan pula: "Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna, sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Tidaklah seorang mengucapkan satu ucapan kecuali padanya ada malaikat yang mengawasi dan mencatat." (Qaaf: 18).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya tentu ia akan sedikit berbicara kecuali dalam hal-hal yang penting."

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al-Adzkaar: "Ketahuilah, sesungguhnya setiap mukallaf (muslim yang dewasa dan berakal hingga terbebani hukum syari'at, red) diharuskan menjaga lisannya dari segala ucapan kecuali yang mengandung maslahat. Apabila sama maslahatnya, baik ia berbicara ataupun diam, maka sunnah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat mengakibatkan suatu hal yang akhirnya menjurus kepada yang haram atau makruh, dan ini sering terjadi secara umum. Padahal mencari keselamatan itu tidak ada bandingannya." Artinya mencari keselamatan itu sangat penting sekali.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah (wafat th 751H) berkata: "Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia. Apabila ia berkata hendaklah berkata yang diharapkan terdapat kebaikan padanya dan manfaat bagi dien (agama)nya. Apabila ia akan berbicara hendaklah ia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan dikeluarkan terdapat manfaat dan kebaikan atau tidak? Apabila tidak bermanfaat hendaklah ia diam, dan apabila bermanfaat hendaklah ia pikirkan lagi, adakah kata-kata lain yang lebih bermanfaat atau tidak? Supaya ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang pertama (tidak bermanfaat) itu. (Dinukil dari Kitab Ad-Daa'u wad Dawaa').

Selanjutnya beliau dalam kitabnya itu pula mengatakan, "Adalah sangat mengherankan bahwa manusia mudah dalam hal menghindari dari memakan barang haram, berbuat dzalim, berzina, mencuri, minum minuman keras, memandang pan-dangan yang diharamkan, dan lain sebagainya; tetapi sulit untuk menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai seseorang yang dipandang sebagai ahli agama, zuhud, gemar beribadah, tetapi dia berbicara dengan ucapan yang membuat Allah marah kepadanya. Dengan ucapannya tersebut, tanpa ia sangka-sangka menyebabkan ia terjerumus ke neraka jahanam lebih jauh jaraknya dibanding jarak antara timur dan barat.

Betapa banyak orang yang demikian, yang engkau lihat dalam hal wara', meninggalkan kekejian dan kedzaliman, tetapi lisannya diumbar ke sana ke mari menodai kehormatan orang-orang yang hidup dan yang telah meninggal dunia, tanpa mempedulikan akibat dari kata-kata yang diucapkannya."

Ancaman yang disebutkan itu berlandaskan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (apakah baik ataukah buruk) di dalamnya maka ia tergelincir disebabkan kata-kata itu ke dalam api neraka sejauh antara timur dan barat." (Muttafaq 'alaih).

Marilah kita simak pula nasihat dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin hafizhahullah, yang kami ringksakan dari kitabnya, Syarah Riyadhus Shalihin:

Seorang muslim apabila ingin baik keislamannya maka hendaklah ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya. Contoh, apabila engkau bingung terhadap suatu amalan, apakah engkau kerjakan atau tidak, maka lihatlah amalan itu apakah penting untukmu dalam hal dien dan dunia atau tidak penting. Jika penting maka lakukanlah, kalau tidak maka tinggalkanlah, karena keselamatan itu harus lebih diutamakan.

Demikian pula janganlah engkau ikut mencampuri urusan orang lain jika kamu tidak memiliki kepentingan dengannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini, yaitu rasa ingin tahu terhadap urusan orang lain; apabila ada dua orang yang sedang berbincang-bincang lalu ia datangi keduanya dengan rasa ingin tahu apa yang sedang diucapkan oleh mereka berdua. Atau terkadang mengutus orang lain untuk men-dengarkannya.

Contoh (kurang baik) yang lain lagi, jika engkau berjumpa dengan orang lain engkau bertanya kepadanya dari mana kamu, apa yang telah dikatakan si fulan kepadamu, dan apa yang kamu katakan kepadanya, dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak ada gunanya dan tak ada faedahnya, bahkan hanya membuang-buang waktu, membuat hati gelisah, dan mengacaukan pikiran serta menyia-nyiakan sebagian besar hal-hal yang penting lagi bermanfaat.

Engkau dapati seorang yang dinamis aktif dalam beramal, memiliki perhatian penuh terhadap kebaikan bagi dirinya dan hal-hal yang bermanfaat baginya, maka engkau dapatkan dia sebagai orang yang produktif.

Kesimpulannya, jika engkau ingin melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan, maka perhatikanlah: Apakah hal itu penting bagimu atau tidak. Jika tidak penting maka tinggalkanlah, apabila penting maka kerjakanlah sesuai dengan prioritasnya. Demikian-lah manusia yang berakal, dia sangat memperhatikan amal kebaikan sebagai persiapan menghadapi kematian. Dan dia selalu mengoreksi diri terhadap amal-amalnya selama ini.


Sifat Jahiliyah

Masa jahiliyah seperti yang pernah terjadi di jazirah Arab belasan abad yang silam memang telah berlalu, namun demikian pada dasarnya pemikiran akan selalu ada dan setiap kaum itu ada pewarisnya. Maka meskipun Abu Jahal dan Abu Lahab serta antek-anteknya telah tiada, akan tetapi tidak menutup kemungkinan gaya dan karakter mereka masih melekat pada sebagian ummat yang hidup di masa ini.

Syaikh Muhammad at-Tamimi, seorang imam dakwah tauhid di masanya, telah menyebutkan lebih dari seratus karakteristik jahiliyah yang kita semua diperintahkan untuk menyelisihinya. Karena keterbatasn tempat maka dalam kesempatan ini hanya kami sebutkan sebagiannya saja. Di antara yang terpenting untuk diketahui adalah sebagai berikut:


1.Syirik Dalam Beribadah

Orang-orang jahiliyah melakukan syirik atau penyekutuan di dalam beribadah dan berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala. Di samping memohon kepada Allah subhanahu wata’ala mereka juga memohon kepada orang orang shaleh yang telah mati, mereka meminta syafaatnya di sisi Allah dengan persangkaan bahwa Allah dan orang-orang shalih tersebut menyintai hal itu. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya,
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa'atan, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". (QS.Yunus:18).

Di dalam ayat lain disebutkan, artinya,
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS.az-Zumar:3)

Kemusyrikan semacam ini merupakan masalah paling besar yang diingkari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau mengajarkan keikhlasan (pemurnian/tauhid) dalam beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan bahwa agama yang beliau bawa adalah agama seluruh rasul, dan Allah subhanahu wata’ala tidak akan menerima kecuali orang yang ikhlas. Juga menjelaskan bahwa siapa saja yang melakukan kesyirikan dengan dasar istihsan (menganggap baik) maka Allah subhanahu wata’ala mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka.

Masalah inilah yang menjadi garis pemisah antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan dengan sebab itulah terjadi perseteruan antara tauhid dengan syirik. Dan untuk inilah (memerangi kesyirikan) Allah subhanahu wata’ala mensyari'atkan jihad, sebagaimana difirmankan, artinya,
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. al-Anfal:39)

2.Bercerai Berai Dalam Agama

Di antara sifat jahiliyah adalah bercerai berai (tafarruq) dalam agama, sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. 30:31-32)

Demikian pula dalam urusan dunia, mereka juga berpecah belah, dan masing-masing memandang diri mereka yang paling benar. Maka datanglah Islam menyeru untuk bersatu dalam agama, sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu, “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura:13)

Kita dilarang untuk meniru-niru mereka dan dilarang berpecah belah. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS.Ali Imran:105)

Dalam ayat sebelumnya disebutkan, artinya,
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran:103)

3.Tidak Menaati Ulil Amri

Menurut mereka, menyelisihi ulul amri (pemegang urusan ummat, red) dan tidak menaati mereka merupakan keutamaan dan kemuliaan. Sedangkan mendengarkan dan taat kepada waliyul amri adalah kerendahan dan kehinaan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mendengarkan dan taat kepada ulul amri,bersabar atas kezhaliman penguasa dan memberikan nasehat kepada mereka. Beliau sangat menekankan itu, menjelaskannya serta mengulang-ulanginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya,
"Sesungguhnya Allah ridha pada kalian dalam tiga hal; "Jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun; Jika kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah; dan jika kalian saling memberi nasehat kepada orang yang diserahi oleh Allah untuk memegang urusan kalian." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Berbagai problem yang dihadapi manusia baik dalam masalah agama ataupun keduniaan tidak lain disebabkan karena adanya masalah dalam tiga hal ini, atau salah satu dari ketiganya.

3.Membangun Agama di Atas Taqlid

Bahwa agama orang jahiliyah sebagian besarnya dibangun di atas landasan taqlid (ikut-ikutan), dan ini merupakan kaidah terbesar seluruh orang kafir baik yang dulu maupun di masa kini, sebagaimana difirmankan Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguh nya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguh nya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (QS.az-Zukhruf:23)

Dalam ayat lainnya disebutkan, artinya,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab, "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakan nya".Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. 31:21)

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dengan menyerukan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Katakanlah, "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu.” (QS.Saba':46)

Juga firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (QS. Al-A'raf:3)

5. Bangga dengan Banyaknya Pengikut

Di antara prinsip yang dipegang olah kaum jahiliyah adalah merasa bangga dan terlena dengan banyaknya jumlah mereka, dan mereka menjadikanya sebagai hujjah atas kebenaran sesuatu. Dan sebaliknya mereka berhujjah bahwa yang batil adalah segala sesuatu yang asing bagi mereka dan sedikit pengikutnya.

6. Mengukur Kebatilan dengan Orang Lemah

Orang jahiliyah menganggap bahwa segala sesuatu yang pengikut nya orang-orang lemah adalah kebatilan. Mereka mengatakan sebagaimana di dalam firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Mereka berkata, "Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?"

Mereka juga menggunakan qiyas yang keliru dan mengukur kebatilan dengan kecerdasan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja ." (QS.Hud:27)

Sumber: “Masailul Jahiliyyah Allati Khalafa fiha Rasulullah Ahlal Jahiliyyah” Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab


KEUTAMAAN DAN ETIKA SALAM

Keutamaan Salam.
Mengucapkan salam merupakan salah satu perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Sallam, sebagaimana dalam hadits Barra’ bin Azib, ia berkata: “Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk melakukan tujuh perkara, yaitu; menjenguk orang yang sakit, mengikuti jenazah, mendo’akan orang bersin yang mengucapkan alhamdulillah, membantu orang yang lemah, menolong orang yang dizhalimi, mengucapkan salam dan memenuhi sumpah.” (Muttafaq alaih).


Menimbulkan kasih sayang antar sesama, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak akan masuk surga sampai kamu beriman, dan tidak beriman sehingga kamu saling mencintai. Dan maukah aku tunjukkan suatu perbuatan yang bisa membuatmu saling mencintai; yaitu tebarkan salam antar sesamamu.” (HR. al Bukhari - Muslim).

Merupakan amalan yang terbaik dalam Islam. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Apakah amalan yang paling baik dalam Islam?” Beliau menjawab: “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang telah kamu kenal maupun yang belum kamu kenal”. (HR. al Bukhari - Muslim).
Mendapatkan berkah dan kebaikan dari Allah, sebagaimana firmanNya: “Maka ketika kamu masuk rumah, ucapkan salam untuk dirimu sebagai penghormatan dari Allah yang berisi berkat dan kebaikan.” (An-Nur: 61).

Termasuk di antara perbuatan yang bisa memasukkan pelakunya ke dalam surga. Abu Yusuf Abdullah bin Salam Radhiallaahu anhu berkata; saya pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makan, lakukan silaturrahim, dan shalatlah ketika orang lain tidur malam, maka engkau akan masuk ke surga dengan selamat.” (HR. At Tirmidzi, dia berkata: “hasan shahih”).

Cara Mengucapkan Salam

Imam an-Nawawi berkata; Disunahkan untuk memulai salam dengan mengucapkan: “Assalaamu ‘alaikum warahmatullah”, dengan memakai dhamir jamak (kum), sekalipun sendirian. Dan menjawabnya dengan ucapan” Wa’alaikumus-salam warahmatullah wabarakatuh”, dengan menambah “wa” pada kata wa’alaikum. (Riyadhush-shalihin halaman 290). Orang yang mendapatkan salam, wajib menjawabnya dengan yang lebih baik atau semisal dengan salam yang dia terima. Sebagai-mana firman Allah: “Apabila kamu diberi hormat (salam), maka hendaklah engkau menjawabnya dengan salam yang lebih baik atau yang serupa dengan yang diucapkannya.” (An-Nisa; 86)

Apabila mendatangi para sahabat, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam mengucapkan salam sampai tiga kali (HR. al Bukhari dari Anas bin Malik). Imam an Nawawi mengomentari hadits ini dengan mengatakan; hal ini mungkin dilakukan karena sahabat dalam jumlah yang besar (Riyadhush-shalihin halaman 290).

Orang yang mengendarai kendaraan mengucapkan salam kepada yang berjalan kaki. Yang berjalan kaki mengucapkan salam kepada yang duduk. Dan yang sedikit mengucapkan salam kepada yang banyak, dan yang kecil (muda) mengucapkan salam kepada yang besar (tua). sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al Bukahri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu.

Mengucapkan salam dengan suara sebatas yang bisa didengar oleh orang yang diberikan salam, sebagai-mana yang diriwayatkan oleh Miqdad beliau berkata; kami menyediakan susu untuk Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau datang di waktu malam dan mengucapkan salam yang bisa didengar oleh orang yang terjaga dan tidak membuat orang yang tidur terbangun. (HR. Muslim).

Tidak boleh memulai salam kepada orang kafir sebagaimana yang diriwayatkakn oleh Abu Hurairah Radhiallaahu anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Jangan kamu memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani, apabila kamu bertemu dengan mereka di jalan maka sempitkan jalannya”. (HR.Muslim).
Dan jika mereka mengucapkan salam kepada kita, cukup dijawab dengan ucapan “Wa’alaikum” (Muttafaq alaih). Apabila di sebuah majlis bercampur antara orang muslim dan non muslim maka boleh mengucapkan salam, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam ketika melewati sebuah majlis yang di sana ada orang muslim, musyrik, penyembah patung, beliau memulai mengucapkan salam. (Muttafaq Alaih).

Waktu Mengucapkan Salam.

Ketika bertemu dengan orang lain baik yang sudah dikenal maupun yang belum. Dan yang lebih baik adalah orang yang pertama memulai, sebagaimana hadits Abi Umamah al-Bahili, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, artinya: “Sesungguhnya orang yang lebih baik di sisi Allah adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang baik). Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Apabila kamu bertemu dengan saudaramu maka ucapkanlah salam, Jika terhalang dengan pohon, tembok atau batu, maka ucapkan salam ketika menemuinya”. (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih).

Mengucapkan salam juga disunahkan ketika bertemu dengan anak kecil sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau mengucapkan salam kepada anak kecil (Muttafaq alaih). Imam al Bukhari dalam kitabnya al Adabul Mufrad menyebutkan bahwa Salamah bin Wirdan berkata; saya melihat Anas bin Malik menyalami orang-orang dan berkata kepadaku: “Siapa kamu?” Saya menjawab: “Saya seorang anak dari Bani Laits”, kemudian beliau mengusap kepalaku tiga kali dan berkata; “Semoga Allah memberkati-mu.” (Imam Albani berkata sanadnya hasan).

Juga boleh mengucapkan salam kepada wanita, baik yang mahram maupun orang lain selama tidak menimbulkan fitnah. Sebaliknya wanita juga boleh mengucapkan salam kepada laki-laki seperti yang dilakukan oleh Umi Hani, ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam di waktu terjadinya penaklukan kota Makkah. (HR. Muslim).

Ketika akan memasuki rumah orang lain. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu masuk ke rumah orang lain, hingga kamu minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni-nya”. (QS.An-Nur; 27). Juga ketika memasuki rumah sendiri sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nur ayat 61.

Ketika masuk dan keluar dari sebuah majlis, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
”Apabila seorang masuk ke sebuah majlis maka hendaknya mengucapkan salam. Dan jika dia mau pergi hendaklah mengucapkan salam, tidaklah (salam) yang pertama tadi lebih berhak (untuk diucapkan) daripada yang akhir.”. (HR. Abu Daud, Imam al Albani berkata; hadits hasan dan shahih). Maksudnya, kedua salam tersebut sama haknya untuk diucapkan.

Apabila ada orang yang menitipkan salam, maka yang menerima titipan salam tersebut mengatakan “Wa’alaihis-salam warahmatullahi wabara-kaatuh”. Sebagaimana yang dilakukan Aisyah ra ketika menerima titipan salam dari Jibri as lewat Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam. (HR.al Bukhari- Muslim).

Rujukan: 1. Riyadhus Shalihin, oleh Abu Dzakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, 2. Kitabul Adab oleh Fu’ad bin Abdul ‘Aziz al Syalhub.


Itsar Meluluhkan Individualisme

Lembaran kita kali ini akan mengangkat sebuah tema yang mengingatkan kita kepada salah satu sisi kehidupan para shahabat dan pengikut mereka as salafus shalih. Hadits-hadits yang akan kami kemukakan kepada para pembaca merupakan sebuah sikap dan perangai yang secara langsung telah diterjemahkan oleh para shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam kehidupan mereka. Sikap dan perilaku tersebut tak lain adalah "itsar" yakni mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang lain sekalipun dia sendiri sangat membutuhkannya, dan ini merupakan tingkatan tertinggi dari sifat derma. Sebab memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan merupakan hal yang amat berat. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memuji para shahabat ra karena sikap itsar yang melekat pada diri mereka, sebagaimana firmannya:

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 59:9)


Itsar adalah salah satu akhlaq mulia dan luhur, ia merupakan salah satu sifat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sehingga Allah menyebut beliau sebagai 'ala khuluqin 'adzim, senantiasa berada di atas akhlaq yang luhur. Maka tidak mengherankan jika para shahabat yang merupakan hasil didikan dan gemblengan beliau menjadi manusia-manusia pilihan. Sehingga sejarah kemanusiaan rasanya sulit sekali dapat melahirkan manusia-manusia semisal mereka.

Hal itu sangatlah berbeda jauh dengan realita kehidupan di masa kini, dimana egoisme, individualisme, mau menang sendiri dan tidak memikirkan orang lain benar-benar telah melanda sebagian besar umat manusia, tak terkecuali umat Islam pun banyak yang terkena virus ini. Asalkan dirinya telah kaya raya, dapat menumpuk harta, hidup serba enak dan kecukupan, maka sudah cukup, itulah kira-kira prinsip mereka. Orang lain susah, tetangga kelaparan, miskin dan menderita itu urusan mereka sendiri, tidak ada urusan dengan dirinya. Jangankan sampai ke tingkat itsar, sekedar sedikit membantu atau meringankan beban saja terkadang enggan, alasannya karena harta yang didapat adalah hasil kerja dan usahanya sendiri, sehingga sayang kalau diberikan dengan percuma dan cuma-suma kepada orang lain. "Enak saja, saya yang bekerja mengapa orang lain ikut-ikutan menik-matinya," demikian kira-kira ungkapan yang mungkin keluar dari mereka. Sungguh memprihatinkan memang.!!

Maka membuka kembali lembar kehidupan para shahabat yang menggambarkan sikap pengorbanan, mendahulukan orang lain dan mengalah adalah sangat perlu bagi kita, apalagi ketika krisis dan kemiskinan tengah melanda bangsa kita seperti saat ini. Dari mereka dan juga para ulama, kita akan mendapatkan pelajaran dan teladan yang berharga, sebagaimana tersebut di dalam riwayat-riwayat berikut ini.

Seorang Shahabat dengan Tamunya

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa suatu ketika ada seorang tamu datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, seluruh istri beliau tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya air. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Barang siapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya." Seorang laki-laki kaum Anshar berdiri dan berkata, "Saya akan menjamunya wahai Rasulullah." Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, "Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, "Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita." Maka diapun berkata kepada istrinya, "Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan, bahwa kita juga sedang makan. Apabila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, "Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, Nabi bersabda, "Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam," maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9).
(HR. Al Bukhari dan Muslim)

Kisah Sa'ad bin ar-Rabi' dengan Abdur Rahman bin Auf

Abdur Rahman bin Auf mengisahkan, "Ketika kami sampai di Madinah, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mempersaudarakan aku dengan Sa'ad bin ar Rabi', maka Sa'ad bin ar Rabi' mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka aku akan bagikan untukmu separuh hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan, maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi. Perawi mengatakan, "Abdur Rahman berkata, "Tidak usah, aku tidak membutuhkan yang demikian itu."
(HR al Bukhari dan Muslim, lafal hadits milik al Bukhari)

Umar Ibnul Khaththab dengan saudaranya Zaid Ibnul Khaththab

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umarzdia berkata, "Umar bin Khaththab berkata kepada saudaranya Zaid Ibnul Khaththab pada waktu perang Uhud," Aku bersumpah agar kamu mau memakai baju besiku ini, maka Zaid pun memakai baju besi itu namun ia melepaskannya lagi. Maka Umar berkata kepadanya, "Ada apa denganmu (mengapa kau lepas)?“ Maka zaid menjawab, "Aku menghendaki terhadap diriku sebagaimana yang engkau kehendaki terhadap dirimu."
(HR Ibnu Sa'd dan ath Thabrani dalam al Ausath)

[Tiga Shahabat Menjelang Naza'

Dari Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, "Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, "Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu. Dalam versi lain perawi menceritakan, "Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, "Berikan air itu kepadanya." Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, "Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah mening-gal tanpa sempat merasakan air tersebut (sedikitpun).
(HR Ibnu Sa'ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa'ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi'ah sebagai ganti Suhail bin Amr)

Abu Thalhah dengan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah pada perang Uhud menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dia memang seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah memanah maka Rasulullah memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena. Maka Abu Thalhah mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata, "Begini wahai Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh, biarlah yang terkena adalah leherku bukan lehermu."
(HR Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih)

Hadiah Kembali Kepada si Pemberi

Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, "Salah seorang dari shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, "Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita." Ibnu Umar mengatakan, "Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu di kirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan."
(Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu'ab 3/259)

Ibnu Umar dan Pengemis

Nafi' maula (klien) Ibnu Umar meriwayatkan, "Ibnu Umar suatu ketika sakit, dia sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia mengutus Shafiyah (istrinya) dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur segar. Ketika pelayan (utusan) mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang pengemis. Setelah sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata pengemis, "Ada pengemis." Maka Ibnu Umar berkata, "Berikan anggur itu kepadanya." Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis.(HR al Baihaqi dalam asy Syu'ab 3/260).
Dan demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.

Ummul Mukminin Aisyah Radhiallaahu anha dan Orang Miskin

Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, "Berikan roti itu kepadanya," si pembantu menyahut, "Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau berkata lagi, "Berikan roti itu kepadanya." Perawi mengatakan, "Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, "Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, "Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi."
(HR Malik dalam al Muwaththa' 2/997)

Bersama Para Salaf.
1. Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, "Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain?” Namun al Hasan enggan mengambil semua nya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)

2. Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,"Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, "Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, "Ini keseluruhan yang aku miliki." (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)

3. Dari Aun bin Abdullah dia berkata, "Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, "Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar." Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, "Min-talah apa saja yang kau kehendaki." Dia menjawab, "Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata, "Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!" Dia berkata, "Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan." (riwayat ad Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)

Wallahu a’lam bish shawab

Sumber : Kutaib “Mawaaqif min Itsar as-Shahabah was salafus shaleh” al-Qism al-Ilmi Darul Wathan, bittasharruf wazziyadah