Jumat, 02 Oktober 2009

TIDAK BERLEBIHAN DALAM MENGKONSUMSI YANG MUBAH

Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan materi ini, peserta diharapkan mampu:
1. Memahami bahwa dalam hal mubah ada batas-batasnya.
2. Menyadari bahwa dorongan hawa nafsu bukan hanya kepada hal-hal yang haram, tetapi juga pada yang mubah.
3. Membiasakan tidak berlebihan dalam mengkonsumsi yang mubah.


Titik Tekan Materi
Ujian bagi orang yang beriman tidak hanya terhadap hal-hal yang haram yang harus dihindari dan ditinggalkan, tetati juga pada hal-hal yang mubah, agar tidak berlebihan dalam menikmati, seperti makan, tidur, bergurau, dll. Sesuai dengan tabiat dasarnya, kita menyukai hal-hal yang mubah. Namun demikian, jika kita melakukan yang mubah secara berlebihan dan tanpa kendali, tidak jarang kita terjerumus pada perilaku yang melalaikan. Jika seseorang telah lalai, setan pun akan mudah menggodanya.

Pokok-Pokok Materi
1. Pengertian Mubah
2. Mensikapi hal-hal yang mubah
3. Tidak berlebihan dalam hal-hal yang mubah
4. Melakukan hal-hal yang mubah akan mendekatkan kelalaian
5. Jiwa yang lali dan godaan syaithan

Pengertian Mubah
Sesuatu disebut mubah adalah jika ia boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Semua urusan keduniaan hukum asalnya adalah mubah, sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya. Namun demikian, seorang muslim harus memiliki sikap yang benar dalam mengkonsumsi hal-hal yang mubah. Antara lain sebagai berikut:

1. Berniat ibadah dalam mengkonsumsinya, sehingga mendapat pahala dari Allah swt., sebagaimana sabda Rasulullah saw.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ . رواه مسلم
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. (HR Bukhari Muslim).

2. Mendahulukan yang terpenting kemudian yang penting, atau mendahulukan yang mendesak daripada yang kurang mendesak. Memang, kebutuhan manusia sangat banyak sedangkan kemampuannya untuk memenuhi terbatas, karenanya ia harus selektif dan memiliki skala prioritas yang jelas.

3. Meninggalkan hal-hal mubah yang dapat mengantarkan kepada yang haram. Rasulullah saw. bersabda,
لاَ يَبْلُغُ أَحَدُكُمْ دَرَجَةَ التَّقْوَى حَتَّى يَدَعَ مَالَيْسَ بِهِ بَأْسٌ إِلىَ مَا بِهِ بَأْسٌ . رواه الترمذي
Tidaklah salah seorang di antara kalian dapat mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan sesuatu yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus pada hal-hal yang tidak diperbolehkan. (HR Tirmidzi).

Meneladani Nabi Muhammad saw. dan salafusaleh dalam mengkonsumsi yang mubah. Rasulullah saw. selalu bersikap sederhana dan tidak berlebihan dalam hal yang mubah. Begitu juga dengan para sahabat dan ulama salaf. Beliau saw. bersabda, Orang mukmin makan dengan satu perut, sedang orang kafir makan dengan tujuh perut. (HR Bukhari)
Banyak ulama salaf yang zuhud dan meninggalkan gaya hidup berlebihan. Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, “Cukuplah seseorang disebut pemboros bila ia selalu makan apa-apa yang diinginkan.” (Riwayat Ahmad).

4. Tidak berlebihan dalam hal yang mubah baik secara kualitas maupun kuantitas. Allah swt. berfirman,
وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا ...
Dan janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
(Al-Isra’/17: 26)

Tercelanya Sikap Berlebihan dalam Mengkonsumsi yang Mubah

Sikap berlebihan dalam mengkonsumsi yang mubah adalah sesuatu yang dilarang dan amat tercela, karena menimbulkan dampak negatif yang fatal, di antaranya adalah:

1. Terhalang dari kecintaan Allah. Allah swt. berfirman, Janganlah engkau berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Al-A’raf/7: 31)

2. Menjadi saudara seitan. Firman Allah swt., Dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros, sesungguhnya pemboros itu saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra’/17: 26-27).

3. Allah menamainya sebagai orang yang bodoh. Allah swt. berfirman, Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (bodoh) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (An-Nisa’/4: 5). Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa “orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha’)” adalah orang-orang yang boros dalam menggunakan hartanya.

4. Terjerumus dalam kekafiran dan nafsu syahwat, misalnya Fir’aun dan kaum nabi Luth a.s. Allah swt. berfirman, Dan sungguh ia (Fir’aun) termasuk orang yang melampaui batas (boros). (Yunus/10:83)
Tentang kaum Nabi Luth, Allah swt. berfirman, Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (Al-A’raf/7: 81)

Terjerumus dalam kerusakan fisik dan psikis, seperti kelemahan fisik, kekesatan hati, tumpulnya fikiran, kehendak yang buruk, tidak memiliki daya tahan menghadapi masalah, dan kebangkrutan. Karenanya sebagai bentuk antisipasi terhadap semua dampak buruk ini, Rasulullah saw. bersabda,
“Tiga hal yang mendatangkan keselamatan ... sederhana dalam keadaan kaya atau miskin” (HR.....).

5. Mendapat siksa di akhirat. Sabda Rasulullah saw.,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ .... عَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اِكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ . رواه الترمذي
Kedua kaki seorang hamba tidak beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal... tentang hartanya, darimana ia memperoleh dan untuk apa ia membelanjakan. (HR Tirmidzi).

Maraji’
1. Abdul Hamid Hakim, Tahdzibul Akhlaq.
2. Sayyid Muhmammad Nuh, Afatun ‘Alaa Thariq.
3. An-Nawawiy, Riyadhus-Shalihin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar