Minggu, 07 Maret 2010

"Cinta Rahmat Abdullah"

Oleh : Ir. Tifatul Sembiring

Selasa sore itu Ustadz Rahmat tersenyum penuh makna. Segar dan cerah terlukis jelas pada wajah beliau. Tidak ada keluh kesah. Tidak ada kesan lelah, tidak ada tanda-tanda maupun isyarat. Sesuai janji, beliau datang tepat waktu. Untuk berbincang bersama dalam majelis kita. Membincang tentang kebun¬-kebun kita –yang kerap kali menjadi istilah beliau dalam perumpamaan medan dak¬wah.

Jadi akh Tif, kata beliau suatu waktu, berdakwah itu mirip dengan pekerjaan seorang petani. Biji yang ditanam tidak cukup hanya dibenamkan ketanah lalu ditinggalkan. Kemudian kita berharap akan kembali pada suatu hari untuk memetik hasilnya. Mustahil itu! Mustahil itu, kata beliau. Tanaman itu harus disiram setiap hari, dijaga, dipelihara, dipagari, bahkan kalau tunas-tunasnya mulai tumbuh, kita harus menungguinya, sebab burung-burung juga berminat pada pucuk¬-pucuk segar itu.

Jadi para. mad'u (pengikut dakwah) kita harus di-ri'ayah (dirawat), ditumbuhkan, diarahkan, dinasehati sampai dia benar¬benar matang. Dijaga alur pembinaannya, ditanamkan motivasi-motivasi, dibangun keikhlasan mereka, didengarkan pendapat-¬pendapatnya, bahkan kita perlu sesekali bepergian dengannya. Agar kita me¬mahami betul watak kader dakwah kita sebenarnya.

Bagi orang yang cukup dekat, Ustadz Rahmat Abdullah memang punya bahasa dan perumpamaan-perumpamaan yang khas. Dalam berbahasa, kadang beliau memberi instruksi namun tidak tekesan memerintah. Kalau beliau menasehati tanpa menyinggung perasaan, dan kalau mengajar tanpa terkesan menggurui.

Beliau pernah menguraikan bagaimana mulianya peran seorang da'i (juru dakwah) dalam sebuah perumpamaan. Jadi, lanjut beliau, coba kita bayangkan sebuah pemandangan yang terdiri dari pegu¬nungan, sawah, kubangan kerbau. disana ada sungai yang mengalir serta sebatang pohon yang tumbuh dipinggirnya.

Lalu ada 4 makhluk lain yang melihat pemandangan yang sama, yaitu seekor kerbau, anak kecil, petani dan insinyur pertanian.

Sang kerbau tentu akan senang main dikubangan, berguling-guling dengan lumpur yang basah, setelah pugs kerbau akan terjun berenang di sungai. Sampai ditarik oleh pemiliknya untuk kembali ke kandang. Itulah naluri binatang, dia berbuat berdasarkan instingnya, karma memang tidak dibekali akal oleh Allah swt.

Lain lagi dengan seorang anak kecil. Ketika melihat ada pohon didekat sungai, dia panjat lalu dari dahan yang menjulur kearah sungai itu dia terjun ke air, bere¬nang-renang sejenak terus merapat ke pinggir.

Lalu memanjat pohon kembali, lantas terjun pula kembali, sampai ia bosan dan lelah. Anak-anak lebih berbuat dan me¬mandang sesuatu sebagai sarana bermain. Mereka terkadang tidak terlalu serius memikirkan hasil tanaman, cuaca, kapan panen dst.

Kalau pak Tani sudah lebih maju. Sudah mulai memikirkan sepetak sawahnya, mulai menghitung berapa kebutuhan makan keluarganya selama setahun. Bagaimana memupuk padi supaya hasilnya menjadi berlipat ganda. Yang penting keluarganya bisa makan dan kalau ada lebihnya tentu untuk membeli lank pauk serta kebutuhan-kebutuhan sekunder lainnnya.

Namun yang lebih besar manfaatnya, lanjut beliau, adalah seorang insinyur pertanian. Dia tidak saja berpikir tentang sepetak sawah, dia justru berpikir lebih lugs. Memikirkan seluruh petani didaerah itu, memberikan penyuluhan. Bagaimana supaya hasil panen berlipat ganda. Ba-gaimana membaca peta daerah pertanian, tanaman apa yang cocok bagi daerah setempat, dan lain-lain.

Nah, akh Tif kata beliau, dai itu man¬faatnya bagaikan seorang insinyur per¬tanian itu. Dia tidak saja bermanfaat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, namun juga sangat berfaedah bagi keluarga¬keluarga petani dan masyarakat yang lain.

Dengan cara yang khas itu, beliau telah memotivasi puluh ribu dai, murid-murid beliau, maupun di tempat-tempat dimana beliau pernah berceramah atau mengisi seminar. Kemampuan beliau ini, bahkan sanggup memotivasi kader dakwah dari beragam profesi sehingga menjadi dai-dai yang handal dan tangguh.

Beliau tidak saja berkiprah di dalam negeri, namun sudah pernah merambah ke manca negara. Sehingga hujan tangis serta pesan-pesan singkatpun mengalir dari berbagai belahan dunia ketika mendengar khabar kewafatan beliau. Para mahasiswa yang pernah mendengar ceramah beliau, para diplomat, seniman, semua profesi sangatlah merasa kehilangan.

Apalagi jama'ah majelis Ahad pagi masjid Iqro' Pondok Gede, yang berlokasi tepat disamping rumah beliau. Dimana setiap pekan beliau mengisi pengajian dengan bahasan kitab Manhajul Islam yang ditulis oleh Abu Bakar Jabir Al¬-Jazaairi itu. Pendengarnya bukan saja dari kalangan warga setempat, namun juga berdatangan dari berbagai daerah lain. Ceramah beliau di televisi dan radio juga memiliki pendengar-pendengar yang setia.

Bagi saya pribadi beliau adalah guru cinta. Beliau tidak saja berteori dengan cinta, namun dalam kesehariannya me¬mang kata-kata beliau sangat lembut dan penuh kecintaan. Beliau kerap mengutip sya'ir-syair yang menyentuh hati. Kalimat¬kalimat yang diuntai mengalir begitu saja namun penuh makna yang dalam. Suatu saat beliau bacakan kutipan, bahwa AI¬Busyiri pernah berkata " wal hubbu ya'taridhu alladzaatu bil –alam" (dan cinta dapat menghilangkan segala rasa sakit).

Sehingga wafatnya beliau yang sangat tiba-tiba, kita semua merasa tersentak dan terhenyak. Prosesnya sangat halus dan lembut. Pada saat break rapat untuk menunaikan shalat maghrib, disaat ber¬wudhu' beliau merasa linglung. Kami dudukkan di sofa ruang tamu, beliaupun berbisik "seperti gempa". Beberapa orang mencoba memijit kepala beliau yang dari tadi terns dipegang dengan kedua ta¬ngannya. Setelah diberi minuet air putih hangat beliaupun bersandar dan berulang¬ulang mengucapkan kalimah "Laailaah ilia anta". Lalu beliau mendengkur dan pingsan. Segera saja kami larikan ke klinik terdekat. Ketika dibawa ke rumah sakit yang lebih besar, ditengah perjalanan, beliaupun dipanggil oleh Pemiliknya. Ternyata Allah lebih mencintai beliau, dan segera –insya Allah – memberikan gan¬jaran yang balk dan berlipat ganda bagi beliau. Kita kehilangan guru cinta, guru kelembutan dan guru kasih sayang yang entah kapan lagi bisa mendapatkan ustadz sekaliber beliau. Terakhir saya ingin ungkapkan bahwa, "Kita tidak berpisah ya ustadzuna, kita hanya sedang mem¬persiapkan pertemuan yang kekal". Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar