Kamis, 10 September 2009

FIQHUZ_ZAKAT

Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan pembahasan ini, para peserta diharapkan mampu untuk :
1. Mengetahui urgensi zakat bagi individu maupun masyarakat.
2. Mengetahui hukum zakat (dalam tinjauan fiqhul ahkam).
3. Mengetahui kriteria person yang termasuk mustahik (obyek penerima) zakat dan yang tidak termasuk.
4. Mengetahui jenis-jenis zakat dan cara penunaiannya (dalam tinjauan fiqhul ahkam).
5. Mengetahui adab dalam berzakat.

Tujuan Khusus
1. Menunaikan zakat dengan ihsan sesuai dengan nishab-nya, sehingga terbentuk sifat shahihul_’ibadah pada diri kita.
2. Memiliki bekal pemahaman pada tataran dasar dalam menjalankan peran dan fungsi ‘amil zakat.


Pokok Materi
1. Definisi Zakat dalam Syari’at Islam.
2. Dalil dan Hukum Zakat.
3. Perbedaan Zakat dengan Pajak.
4. Urgensi Zakat
5. Mustahik (obyek penerima) zakat
6. Ketentuan Wajib Zakat
7. Ketentuan Jenis Zakat
8. Zakat Fitrah
9. Adab Berzakat

PENDAHULUAN
Zakat adalah pembersih jiwa dari sifat-sifat bakhil dan aniaya, selain ia juga pembersih harta kita dari hak-hak yang dimiliki oleh para mustadh’afiin. Penunaiannya memiliki arti besar dalam mewujudkan tatanan makro dari kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis, bukan saja sekedar upaya pengentasan kemiskinan.
Sayangnya, pola kepengelolaan ZIS (Zakat-Infaq-Shadaqah) di kalangan kebanyakan kaum muslimin masih tampak ‘primitif’’ dan celakanya nampak cenderung telah mengalami pergeseran nilai akhlaq. Dirunut dari program dengan prospek tak jelas, inventarisasi mustahik yang tidak akurat hingga kepada pendistribusian yang dikacaukan kekentalan nepotisme/primordialisme. Walhasil tujuan utama zakat yaitu pengentasan kemiskinan, eliminasi jurang sosial-ekonomi dan pengangkatan harkat mustadh’afiin (kaum lemah) semakin jauh dari efektif dan adil. Determinan dari semua kekisruhan tersebut ternyata berujung kepada keremang-remangan pemahaman kita terhadap konsep zakat itu sendiri.
Bertumpu pada fenomena riil sedemikian inilah kita mengkaji fiqhuz_zakat ini.

DEFINISI ZAKAT DALAM SYARI’AT ISLAM.
Ditinjau dari aspek etimologi (kebahasaan), zakat berasal dari kata dasar zaka yang berarti : berkah, tumbuh, bersih dan baik. Juga berarti suci, tumbuh, berkah dan terpuji yang semuanya dipergunakan dalam Qur-an dan Hadits.

Sedangkan dalam tinjauan terminologi fiqhul ahkam diantaranya :
1. Imam Az_Zamakhsyari : “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang yang berhak”.
2. Imam Nawawi mengutip keterangan Imam Wahidi : “Sejumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itulah yang disebut zakat, karena yang dikeluarkan itu (sebenarnya) menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan”.
3. Imam Mawardi (menafsirkan kata ‘shadaqah’ dalam QS. 9 : 103) : “Shadaqah adalah zakat dan zakat adalah shadaqah, berbeda nama tetapi artinya sama”.

DALIL DAN HUKUM ZAKAT.
Meskipun telah turun ayat-ayat yang menyebutkan kata zakat pada fase Makkiyah – misalnya QS. Al Mu’minuun (23) : 4 - tetapi ayat-ayat yang diturunkan Allah di Madinah-lah – tepatnya mulai th. 2 H sebelum turun ayat shaum - yang menegaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Misalkan QS. Al Baqarah (2) : 110 dan masih banyak lainnya. Qur-an surat At Taubah adalah salah satu surat yang menumpahkan perhatian besar pada zakat, misalkan ayat ke-5, 11, 18, 34-35, 58-60, 71 dan 103. Singkatnya, terdapat 30 kata zakat dalam Qur-an, dengan perincian : 27 berdampingan dengan kata shalat dalam satu ayat dan selebihnya terpisah.

Ayat-ayat diataslah yang menjadikan dalil/landasan mengapa harta kekayaan seluruh kaum Muslimin harus dikenakan zakat. Tetapi perlu dirincikan bahwa zakat pada periode Makkah tidak mengikat, tidak ditentukan mekanisme pengumpulan dan pembagian, tak dijelaskan nishab dan persentasenya, tetapi diserahkan kepada iman, kemurahan hati dan kepekaan tanggung jawab sosial dari seseorang belaka; tidak sebagaimana di periode Madinah.

Nabi Muhammad saw. pun menegaskan di Madinah bahwa zakat adalah wajib dan menjelaskan kedudukannya dalam Rukun Islam pada rukun yang ketiga, berdasarkan peristiwa Jibril mengajarkan agama kepada kaum Muslimin (para shahabiyun saat itu) dengan cara bertanya kepada Nabi saw. : “Apakah Islam itu ?” Lalu Nabi menjawab : “ Islam adalah mengikrarkan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan haji bagi yang mampu” (HR. Muttafaqun ‘alaihi). Dan masih banyak lagi hadits-hadits serupa, bahkan yang merincikan detil tentak seluk beluk teknis dalam berzakat.

PERBEDAAN ZAKAT DENGAN PAJAK
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan oleh negara kepada wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentaun, yang digunakan untuk pembiayaan dan pengeluaran negara serta untuk merealisir tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara.
Zakat - menurut para fuqaha – adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT atas harta kaum Muslimin yang diperuntukan bagi kaum mustadh’afin sebagai tanda syukur kepadaNya dan sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri kepadaNya.
Maka, dari definisi di atas kita dapat temukan :

Persamaan antara Pajak dengan Zakat :
1. Adanya unsur paksaan dan kewajiban untuk penunaiannya, bahkan dengan dihadirkannya ketentuan hukuman.
2. Pada dasarnya : disetorkan kepada lembaga yang mengayomi masyarakat (negara), baik pusat maupun daerah.
3. Tak ada imbalan penghargaan, melainkan kemudahan dalam menerima pelayan negara, perlindungan dan memperoleh berbagai fasilitas dalam kapasitas sebagai masyarakat biasa.
4. Memiliki tujuan sosial, ekonomi, politik, dsb.

Perbedaan antara Pajak dengan Zakat :
1. Nama dan etiketnya.
Arti zakat menurut bahasa adalah : suci, tumbuh dan berkah; menghadirkan gambaran indah secara kejiwaan.
Arti pajak (dharibah) menurut bahasa adalah hutang, pajak tanah, upeti, kutipan, dsb.; menghadirkan dalam nurani nuansa beban, paksaan dan sesuatu yang ingin dijauhi.

2. Hakikat dan tujuannya :
Zakat adalah ibadah karena menunaikan kewajiban dari Allah, membersihkan harta dari yang haram, menumbuhkan kesucian jiwa dari bakhil (bagi muzakki) dan dengki (bagi mustahik), dipastikan oleh Allah menumbuhkan kekayaan yang bersih dan menyebarkan kemakmuran.
Pajak hanya sebuah penunaian beban kewajiban kepada negara, sesuatu yang harus dibayar dan mengarahkan kepada kemiskinan, diragukan hadirnya kemanfaatan timbal-balik (tergantung tingkat amanah penguasa). Tidak lebih.

3. Batas Nisab dan ketentuannya :
Zakat adalah ditentukan bukan oleh nabi sekalipun, melainkan hanya Allah sebagai pembuat syari’at, Yang Maha Adil Lagi Maha Bijaksana; tidak bakal mencekik si kaya maupun menelantarkan si miskin.
Pajak adalah ditentukan tergantung pada kebijakan dan kekuatan penguasa baik mengenai obyek sasaran, persentase, harga dan ketentuannya, bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak tersebut tergantung pada penguasa : masih dibutuhkan atau tidak.

4. Keabadian dan kelangsungannya :
Zakat adalah kewajiban yang berlaku sejak tahun 2 H hingga hari kiamat; tidak gugur karena keterlambatan penunaian.
Pajak selagi dibutuhkan ia bisa diadakan dan dilenyapkan bila dirasa efektif secara profit.

5. Sasaran Pengalokasiannya :
Zakat memiliki sasaran yang sangat terang, jelas dan terbakukan.
Pajak memiliki sasaran yang relatif acak bahkan klise, tergantung kepada tujuan, kepentingan, keahlian dan keamanahan penguasa.

6. Hubungan :
Zakat menjembatani hubungan timbal-balik yang harmonis antara hamba dengan Rabb-nya secara (indirect) dan hubungan mutualisma timbal-balik dengan masyarakat manusia secara (direct).
Pajak hanya menjembatani hubungan antara wajib pajak dengan negara; manfaat timbal balik hanyalah sesuatu yang berada pada batasan ‘diharapkan’.

7. Zakat adalah ibadah dan pajak sekaligus.

URGENSI ZAKAT
Urgensi dan manfaat zakat bagi diri orang yang berzakat adalah :
1. Mensucikan harta yang halal.
2. Mensucikan jiwa dari bakhil.
3. Mendidik berinfaq dan memberi.
4. Mengobati hati dari hubbud_dunya.
5. Mengembangkan kekayaan batin.
6. Mengembangkan harta.
7. Manifestasi rasa syukur.
8. Menarik rasa simpati dan cinta

Urgensi dan manfaat zakat bagi diri orang yang menerima zakat adalah :
1. Mengentaskan dari belenggu kemiskinan.
2. Menghilangkan rasa dengki dan benci.

Urgensi dan manfaat zakat bagi kehidupan masyarakat adalah :
1. Mendidik ummat untuk jauh dari sikap meminta-minta.
2. Menjamin penghidupan bagi kalangan yang tak mampu bekerja.
3. Memberikan pengharapan bagi orang yang tertimpa musibah dan kesulitan.
4. Memperkeci jumlah orang yang hidup membujang.
5. Mengayomi dan menafkahi para pengungsi.

KALANGAN MUSTAHIK (OBYEK PENERIMA) ZAKAT
Qur-an secara khusus telah merincikan terhadap siapa saja zakat harus diserahkan, yaitu dalam QS. At Taubah (9) : 58-60. Jika diuraikan ayat tersebut, maka golongan yang dihalalkan menerima zakat adalah :
1. Kaum fakir.
2. Kaum miskin.
3. ‘Amil zakat
4. Muallaf
5. Dalam rangka memerdekakan budak belian
6. Gharimin (Orang yang berhutang)
7. Mujahid fii sabiilillah
8. Ibnu Sabil

Kepada siapa zakat yang lebih prioritas ditunaikan ? Lihat firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 273 :
“Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah. Mereka tak dapat berusaha di muka bumi. Sementara itu, orang-orang yang tak mengetahui menyangka mereka orang kaya, disebabkan mereka memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenali mereka dengan melihat sifa-sifat mereka yang tidak meminta kepada orang-orang secara mendesak”.
Diktum ilahi di atas menggariskan ketentuan bagi kita untuk memprioritaskan pengalokasian infaqnya kepada kaum fakir yang terikat berjihad di jalan Allah, bukan kalangan orang yang mempertontonkan kemiskinannya dan peminta-minta di tempat umum, pasar-pasar, pintu-pintu masjid, sebagaimana yang telah menjadi asumsi klasik selama ini. Siapakah mereka ? Mereka itulah para du’at fii sabiilillah, yang sedemikian sibuknya menghabiskan jerih upaya dalam berda’wah hingga kurang mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, sedangkan mereka sedemikian baik berlakon untuk tidak meminta belas kasih manusia. Mereka itulah seutama sosok mustahiq, yang justeru kerap diabaikan orang. Lihat pula pernyatan Nabi saw dalam sebuah hadits shahihnya :
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta agar diberi sesuap makanan atau satu-dua biji kurma, tetapi ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah dan mereka tidak pergi meminta-minta kepada orang”. (HR. Bukhari-Muslim)

Karena zakat adalah ‘pajak’ yang memiliki ketentuan khusus (untuk merealisir tujuan-tujuan tertentu), maka tidak dibenarkan bagi sembarang manusia untuk menerima/mengambil zakat; begitupula tidak dibenarkan bagi si pemilik harta maupun penguasa menyalurkan zakat sekehendak hati tanpa tepat pada sasaran. Secara umum golongan yang diharamkan menerima zakat adalah :

1. Orang kaya, termasuk anak kecil yang dianggap kaya karena orang tuanya kaya.
2. Orang dewasa yang sehat dan kuat yang mampu bekerja, kecuali jika setelah ia berusaha maksimal memenuhi nafkah dan kebutuhan keluarganya tetapi tetap tak mendapatkannya (QS. Adz_Dzaariyaat (51) : 19).
3. Mulhidin (orang tak beragama/atheis), kafir harbi (orang kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslimin) menurut jumhur ‘ulama dan kafir zimmi (orang kafir yang tidakmemerangi Islam dan kaum Muslimin, tunduk kepada penguasa Islam dan membayar pajak) menurut jumhur fuqaha. Adapun bagi kalangan orang yang fasik – misalkan orang yang tidak melaksanakan shalat fardhu – maka Ibnu Taimiyah berfatwa : “Jangan diberi zakat kepada orang yang orang yang tidak bias ditolong untuk taat kepada Allah SWT, sebab sesungguhnya Allah SWT mewajibkan zakat untuk menolong ketaatan kepadanya. Barang siapa yang tidak shalat dari kelompok mustahik zakat, maka jangan diberi suatu apapun juga sehingga ia bertaubat dan mengerjakan shalat”.
4. Keluarga dari si pemilik harta/pembayar zakat, yaitu : anak, kedua orang tua dan (para) isterinya. Tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama dan fuqaha, juga termasuk hal berzakat kepada anggota keluarga yang lainnya.
5. Keluarga Nabi Muhammad saw. dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib.

KETENTUAN WAJIB ZAKAT
Secara umum, segala sesuatu yang Allah SWT telah rizqikan kepada manusia yang berharga disebut dengan al amwaal (harta kekayaan). Rumah hunian, pakaian, buku-buku, kendaraan, komputer, perangkat komunikasi dsb. adalah termasuk harta kekayaan. Wajibkah atasnya zakat ? Dan pedagang yang memiliki modal dan barang dagangan tetapi ia juga berhutang, wajibkah ia berzakat atas miliknya itu ? Sementara di lain sisi, seorang yang berharta tetapi sebagaian hartanya itu sedang dipinjam oleh orang lain, apakah harta pinjaman itu wajib dizakatkan ?
Keadilan yang diajarkan oleh syari’at Allah dan prinsip muruunah (kemudahan/keluwesan) yang ada di dalamnya, tidak mungkin membebani kaum muslimin dengan sesuatu yang di luar kemampuannya apalagi menyungkurkan mereka ke dalam kesulitan yang Allah sendiri tidak menginginkannya. Oleh karena itu, haruslah diberikan pembatasan yang definitif tentang karakter al amwaal yang wajib dizakatkan dan syarat-syaratnya sebagaimana penjelasan berikut :

Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib Zakat
1. Milik penuh
2. Harta Berkembang
3. Telah cukup se-nishab
4. Kelebihan dari kebutuhan pokok
5. Bebas dari hutang
6. Telah haul (berlalu setahun dari masa kepemilikan)

Keterangan no. 1 :
Nash : QS. Al Baqarah (2) : 254, Ali Imran (3) : 180, An Nuur (24) : 33, Al Hadiid (57) : 7

Bagiamanapun pemilikan penuh di sini bukanlah pemilikan sesungguhnya karena pemilik sesunguhnya hanya Allah SWT. Kepemilikian di sini berarti penyimpanan, pemakaian dan pemberian wewenang yang Allah berikan kepada manusia, sehingga dijadikan sang manusia menjadi khalifahNya dan agar memiliki rasa tanggung jawab atas sesuatu yang diamanahkanNya itu.

Milik penuh adalah dua kata yang dapat diuraikan menjadi dua terminologi : kepemilikan dan penuh-utuhnya kepemilikan. Kepemilikan adalah infinitif yang berarti menguasai dan dapat dipergunakannya . Syaikh Ahmad Abdurrahim Ad Dahlawi – fuqaha dari India – menyatakan : “Makna pemilikan sesuatu oleh manusia adalah bahwa ia lebih berhak menggunakan sesuatu daripada orang lain” . Sedangkan milik penuh adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di bawah kekuasaannya . Sebagian fuqaha mensyaratkan bahwa : kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya harta milik orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya . Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa seorang pedagang tidak wajib zakat bila barang yang dibelinya belum sampai di tangannya; begitu pula dengan barang yang di rampok atau diselewengkan. Sebab lain suatu harta tidak wajib zakat misalnya barang yang digadaikan . Segolongan lain ahli fiqh – dari mazhab Zaidiyah - mensyaratkan adanya kemantapan dalam pemilikan penuh status kekayaan : harus ditangan pemiliknya, pemiliknya tahu barang itu berada, tak ada penghalang untuk mengambilnya. Termasuk dalam kategori ini barang yang dipinjam atau dititpkan tetapi mantap/dapat diharapkan untuk kembali ke pemiliknya. Perhitungan zakatnya berlaku sejak barang itu kembali dibawah kekuasaannya .

Penjabaran lebih lanjut dari keterangan di atas :
1. Ghanimah (seperlima harta rampasan perang) tidak wajib zakat, karena penggunaannya akan kembali bagi kepentingan komunal kaum Muslimin .
2. Tanah waqaf tidak wajib zakat, karena hanya diberikan bagi para mustahiq penerima zakat dan/atau penggunaannya akan kembali bagi kepentingan komunal kaum Muslimin.
3. Harta haram (yang diperoleh dari hasil rampokan, curian, sogokan, riba, judi, dll.) tidak wajib zakat. Contoh yang paling konkrit adalah kekayaan para penguasa zhalim, koruptor kecil maupun besar dan lintah darat : kekayaan yang diperoleh secara ilegal tersebut pada hakikatnya dianggap bukan milik mereka sekalipun telah bercampur dengan harta sah milik mereka. Mayoritas fuqaha berpendapat : kekayaan yang diperoleh secara tidak sah tersebut tidaklah wajib dizakatkan. Sebab kekayaan itu harus dishadaqahkan (dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak) tidak saja sebagian tetapi secara keseluruhan. Hal ini didasari oleh sebuah hadits dengan sanad periwayatan shahih yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya tentang pernyataan Rasulullah saw. : “Tidak diterima shadaqah dari kekayaan ghulul (yang diperoleh secara tidak sah)”

Bahkan dalam tinjauan lain, fuqaha seperti Imam Sarkhasi dan lainnya berfatwa : “Boleh memberikan shadaqah (zakat) kepada penguasa yang korup, karena pada hakikatnya jika kekayaan mereka yang merupakan milik orang banyak itu dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, mereka adalah orang yang tidak memiliki apa-apa dan jatuh miskin”.
4. Harta pinjaman (hutang atau piutang).
Apakah zakatnya wajib bagi pemiliknya (pemberi pinjaman) ataukah peminjamnya ? Banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para fuqaha bahkan para ‘ulama salaf (generasi shahabiyun ra.). Di antaranya sebagai berikut :
Pendapat 1 : Sahabat Rasulullah saw bernama Ikrimah ra. dan ‘Atha ra. berpendapat keduanya tak wajib berzakat karena adanya ketumpangtindihan tanggung jawab : “Yang meminjam tidak mengeluarkan zakatnya, begitu pula yang meminjamkan sampai kekayaan itu berada kembali di tangannya.” Ibnu Hazam meriwayatkan pula dari ‘Aisyah ra. : “Pinjaman tidaklah wajib zakat”.
Pendapat 2 : Ibrahim An Nakha’i (generasi tabi’in) menambahkan ketentuan di atas dengan pendapatnya bahwa zakat harta pinjaman dibebankan kepada yang menikmati (peminjam) apabila ia mengulur-ulur pembayarannya.

Pendapat 3 : Jumhur (mayoritas) fuqaha dari masa shabat hingga generasi selanjutnya berpendapat bahwa pinjaman terbagi menjadi 2 jenis :
a. Pinjaman yang dapat diharapkan kembali : dizakatkan bersama kekayaan yang ada setiap tahun. Hal ini diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dari ‘Umar ibn Khattab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Jabir ibn Adullah dari pihak generasi shahabiyun ra., dan dikuatkan oleh Jabir ibn Zaid, Imam Mujahid, Ibrahim An Nakha’I dan Maimun ibn Mahran dari pihak generasi tabi’in ra.
b. Pinjaman yang tidak dapat diharapkan kembali, terbagi dalam beberapa pendapat :

a. Zakatnya ditunaikan semasa tahun-tahun kekayaan tersebut masih di tangan si pemberi pinjaman. Ini adalah pendapat ‘Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas.
b. Zakatnya ditunaikan untuk setahun saja. Ini adalah pendapat Hasan dan ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz yang merupakan pendapat Imam Maliki tentang semua jenis hutang (diharapkan kembali maupun yang tidak).Namun ditambahkan pula bahwa yang dimaksud piutang disini adalah piutang dagang (nilai barang dagangan yang diperhutangkannya. Tetapi bila hutang saja maka tidak wajib zakat.

DR. Yusuf Al Qardhawi menyimpulkan dalam Kitab Fiqh Zakat-nya bahwa pada umumnya kekayaan yang ‘belum konkrit’ sama dengan kekayaan yang baru diterima (konkrit) untuk tidak wajib dizakatkan selama masih ditangan peminjam. Baru diwajibkan zakatnya bila sudah dipulangkan kepada pemilik harta tanpa mempersyaratkan harus satu tahun (haul).

Keterangan no. 2 :
Nash : Hadits dengan sanad Shahih (yang dikeluarkan Imam Muslim)
“Seorang Muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya”.

Sebagaimana hadits di atas, Nabi saw. tidaklah mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Hal ini diperkuat pula oleh perilaku langsung beliau dan tindakan para sahabat dan para khalifah. Imam Nawawi pun menegaskan bahwa hadits tersebut merupakan landasan bahwa kekayaan untuk pemakaian pribadi tidaklah wajib zakat.

Ketentuan tentang kekayaan yang wajib dizakatkan adalah bahwa kekayaan itu dikembangkan dengan sengaja (misalnya : barang dagangan) atau memiliki potensi untuk berkembang (misalnya : emas atau perak yang disimpan).

Beberapa fuqaha mendefinisikan kata nama’ (berkembang) menurut terminologi bahasa berarti bertambah. Tetapi ditinjau dari terminologi syari’at, makna kata tersebut terbagi dua : bertambah secara konkrit dan bertambah tidak secara konkrit. Bertambah secara konkrit adalah kekayaan itu bertambah akibat pembiakan, perdagangan dan sejenisnya. Bertambah secara tidak konkrit adalah kekayaan itu berpotensi bertambah/berkembang, baik berada di tangannya maupun di tangan orang lain atas namanya.

Pengertian yang ditetapkan para fuqaha di atas berdasarkan kepada petunjuk Rasulullah saw dan tindakan par Khulafaa-ur Rasyidin itu sesuai denagn pengertian kata asal zakat itu sendiri (zaka), yaitu tumbuh, berkembang. Manakala zakat khusus ditujukan atas kekayaan yang berkembang, maka kepada orang yang memilikinya diperintahkan agar memperhatikan dan mengeluarkan zakatnya. Artinya, wajibnya suatu harta untuk dizakatkan adalah karena berkembangnya. Contoh konkrit pelaksanaan :
1. Kaum Muslimin generasi awal (para sahabat Rasulullah saw.) tidak diusik oleh pewajiban zakat atas hewan penarik, rumah kediaman, perkakas kerja, perabot, dll. Disebabkan itu semua adalah tidak termasuk kekayaan berkembang atau berpotensi dikembangkan.
2. Para fuqaha menyatakan bahwa orang yang tidak dapat mengembangkan kekayaannya sendiri atau oleh orang lain atas namanya, ia bukanlah wajib zakat.

Keterangan no. 3 :
Nash : Hadits dengan sanad Shahih
“Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya”.

Islam tidak mewajibkan zakat atas berapapun besar suatu kekayaan yang berkembang apabila belum mencapai batasan nominal kekayaan untuk wajib dizakatkan, yang dalam ilmu fiqh disebut nishab.
Ketentuan bahwa kekayaan yang terkena kewajiban dizakatkan setelah melewati batasann se-nishab telah disepakati oleh para fuqaha, kecuali : hasil pertanian & buah-buahan dan logam mulia. Contoh :
Pendapat 1 : Abu Hanifah berpendapat bahwa banyak atau sedikitnya hasil yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan zakatnya 10 %. Hal ini berdasar kepada pendapat shahabi Ibnu Abbas ra., ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dll.
Pendapat 2 : Jumhur (mayoritas) fuqaha berpendapat bahwa nishab-lah yang menentukan pewajiban zakat pada seluruh jenis kekayaan, tidak saja kekayaan dari hasil yang tumbuh dari tanah saja. Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw. : “Di bawah lima kuintal tidak ada zakatnya”

Keterangan no. 4 :
Nash : QS. Al Baqarah (2) : 219
“Mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang apa yang akan mereka berikan”. Katakanlah : “Sesuatu yang lebih”.
Hadits dengan sanad Shahih :
“Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya”.

Syarat wajib zakat berikutnya adalah bahwa harta tersebut adalah kelebihan dari kebutuhan rutin. Penjelasan Ibnu Abbas ra. (mufassir generasi shahabi) tentang “Sesuatu yang lebih” pada QS. Al Baqarah (2) : 219 di atas adalah sesuatu yang lebih/di luar dari kebutuhan pokok keluarga. Ibnu Katsir memperkuat penjelasan Ibnu Abbas dengan pernyataannya : “Ibnu ‘Umar, Mujahid, ‘Atha, Ikrima, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab, Hasan, Qatada, Kasim, Salim, ‘Atha Khurasani, Rabi’ah bin Anas dll. berpendapat demikian pula yaitu bahwa arti al afwu dalam ayat tersebut adalah lebih”.
Pernyataan Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya pada Bab Nasihat-nasihat dengan judul Zakat : “Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya. Orang yang berzakat sementara ia dan keluarganya membutuhkan atau ia mempunyai hutang, maka kebutuhannya atau hutangnya itu lebih penting ditunaikan terlebih dahulu ketimbang berzakat ” Komentar Al Hafidz Ibnu Hajar al Atsqalani atas pernyataan gurunya diatas :“Ia mungkin berpendapat dalam menafsirkan hadits di atas bahwa syarat seseorang wajib berzakat adalah bahwa ia dan orang yang di bawah tanggungannya tidak menjadikannya kebutuhan pokok mereka”.

Keterangan no. 5 :
Pemilikan yang sempurna menjadikan syarat suatu harta menjadi wajib dizakatkan. Bila sesorang yang ingin berzakat memiliki hutang yang menyebabkan hartanya jurang dari se-nishab, maka zakat tidak wajib baginya. Ibnu Rusyd (Averoes) menyatakan bahwa maksud syari’at yang paling jelas adalah menghendaki agar kewajiban zakat digugurkan dari orang yang berhutang. Hal sedemikian adalah sesuai dengan landasan-landasan berikut :
Pendapat 1 : Jumhur (mayoritas) fuqaha berpendapat bahwa pemilik piutang adalah orang yang palik layak berzakat, karena piutang itu adalah kekayaannya. Seandainya zakat harus dikeluarkan oleh orang yang berhutang, ini akan berakibat ketumpangtindihan yang tidak dikehendaki oleh syari’at.
Pendapat 2 : Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari sumber Saib bin Yazid : “Saya mendengar ‘Utsman bin Affan berkata : “Ini adalah bulan zakat, siapa yang memiliki hutang, bayarlah sebelum kalian mengeluarkan zakat kalian”. Bunyi teksnya menurut Malik : “Siapa yang memiliki hutang, bayarlah terlebih dahulu, kemudian baru ia mengeluarkan zakat dari sisanya”. Menurut Baihaqi, ‘Utsman bin Affan mengucapkan kalimat tersebut pada pidatonya di hadapan para shahabat Rasulullah saw lainnya, sedangkan mereka tidak menyanggahnya. Hal ini menunjukkan bahwa para shahabiyun tersebut menyetujuinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Jumhur (mayoritas) fuqaha berpendapat (menyimpulkan) bahwa hutang merupakan penghalang wajibnya berzakat atau paling sedikit mengurangi ketentuan wajibnya, dalam kasus jenis kekayaan tersimpan/tidak terlihat (misalnya : uang, harta benda dagang, dll.). Yang berpendapat sedemikian ini adalah : ‘Atha, Sulaiman bin Yasar, Hasan, Ibrahim An Nakha’I, Laits, Malik, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’I, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah dkk. Hanya Rabi’ah, Hammad bin Salman dan Imam Syafi’I dalam Qaul Jadid-nya yang menentang hal tersebut. Tetapi pada jenis kekayaan yang terlihat (misalnya : ternak, hasil pertanian, dsb) maka segolongan ahli fiqh berpendapat bahwa hutang bukan penghalang wajibnya berzakat. Ini menurut pendapat Malik, Al Auza’I dan Syafi’I menurut riwayat Imam Ahmad bin Hanbal.
Syarat – yang tidak diperselisihkan oleh para fuqaha - hutang yang menggugurkan kewajiban berzakat adalah bahwa hutang itu menghabiskan atau mengurangi jumlah senishab, sedangkan yang lain tak ada lagi untuk mengganti atau untuk mengimbalinya.

Keterangan no. 6 :
Nash : Hadits marfu’ (bersambung sanad periwayatannya hingga Rasulullah saw.) dengan sanad Shahih :
“Tidak ada zakat atas suatu kekayaan hingga berlalu satu tahun”.

Ibnu Rusyd menyatakan : Jumhur (mayoritas) fuqaha mempersyaratkan emas, perak dan ternak untuk wajib dizakatkan setelah satu tahun. Hal sedemikian ini berlandaskan :
a. Penerapan yang dilakukan oleh para Khulafaa-ur Raasyidin
b. Populernya hal itu di kalangan shahabiyun ra.
c. Populernya hal itu di kalangan masyarakat
d. Keyakinan para ‘ulama bahwa kepopuleran sedemikian itu berarti tidak diperselisihkan, sehingga merupakan ketetapan (tauqif)
Persoalan yang tidak diperselisihkan oleh seorang pun para ‘ulama salaf (generasi shahabiyun) maupun khalaf (generasi kini) adalah bahwa zakat kekayaan nominal (misalnya : ternak, uang, harta benda dagang, dsb.) hanya diwajibkan zakat 1 x dalam 1 tahun, tidak dipungut 2 x dalam tahun itu juga. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari sumber Syaifuddin Az Zuhri : “ Tidak pernah terdengar oleh kita ada seorang pemimpin ummat ini yang berada di Madinah – yaitu Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman – menggembar-gemborkan zakat. Tetapi, mereka hanya mengirim petugas-petugas setiap tahun baik diwaktu makmur maupun paceklik, disebabkan pemungutan zakat itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw”.

Mujtahid besar Ibul Qayyim al Jauzi berkata tentang pedoman yang diberikan Rasulullah saw. tentang zakat : “Beliau saw. hanya mewajibkan zakat itu 1 x dalam 1 tahun. Satu tahun buat tanaman dan buah-buahan adalah waktu matangnya. Ini sangatlah adil, sebab bila diwajibkan sekali sebulan atau seminggu, akan menyakiti pemilik kekayaan; bila diwajibkan sekali seumur hidup akan menyakiti orang-orang miskin. Oleh karena itu, yang paling adil adalah mewajibkannya dalm satu tahun”.

KETENTUAN JENIS ZAKAT
Dari penjelasan tentang ketentuan wajib zakat di atas, dapatlah kita cirikan secara umum bahwa zakat terfokus hanya kepada al amwaal (harta kekayaan), bukan maal (harta keseluruhan). Beberapa bentuk dan kelompok harta kekayaan yang wajib dizakatkan adalah sebagai berikut :

Zakat Harta dalam bentuk Emas, Perak atau Perhiasan
a. Nishab emas = 20 mitsqal ( 85 gram), zakatnya 2,5 % dihitung setelah 1 tahun (haul).
b. Nishab perak = 200 dirham ( 595 gram), zakatnya 2,5 % dihitung setelah 1 tahun (haul).
c. Nishab perhiasan = sejumlah ukuran mata uang (emas  85 gram), zakatnya 2,5 % dihitung setelah 1 tahun (haul).
Zakat Harta dalam bentuk Harta Perniagaan
Para fuqaha telah mensyaratkan zakat hasil perniagaan sebagai berikut :
1. Pedagang memiliki barang dagangannya dengan sempurna (100 %).
2. Nilai barang dagangannnya telah mencapai nishab emas.
3. Barang dagangannya telah sampai masa 1 tahun (haul).

Cara melakukannya :
Pedagang harus mencatat dang menghitung dengan teliti nilai jumlah keuangan setiap awal masuknya haul. Setelah dijumlah total, barulah dikeluarkan zakatnya 2,5 % bila telah mencapai masa 1 tahun.
Zakat Harta dalam bentuk Harta Hasil Pertanian
Nishab harta hasil pertanian = 5 sha’ ( 653 kg beras gabah =  520 kg beras bersih).
Zakatnya terbagi mejadi 2 jenis : a. 5 % tiap 1 nishab (jika diairi sendiri).
b. 10 % tiap 1 nishab (jika diairi dengan air hujan atau sungai).
Zakat Barang tambang dan Rikaz (Harta Karun/Temuan)
Emas dan perak yang di dapat dari hasil tambang harus langsung dizakatkan sebesar 2,5 %. Sedangkan emas dan perak yang di dapat dari hasil temuan dizakatkan sebesar 20 % tanpa mensyaratkan harus lewat masa 1 tahun (haul).

Zakat Profesi/Penghasilan
Nishab penghasilan tetap (gaji/upah/honor) dari suatu profesi dihitung seperti nishab harta hasil pertanian, yaitu 5 sha’ (kl 653 kg beras gabah = kl 520 kg beras bersih). Zakatnya sebesar 2,5 % tanpa mensyaratkan harus telah lewat masa 1 tahun (haul). Sedangkan pendapatan yang di dapat dari sumber tak terduga (misal : hadiah, bonus, dsb), maka zakatnya dikeluarkan sebesar 20 % tanpa mensyaratkan harus telah lewat masa 1 tahun (haul). Adapun zakat dari komisi adalah 10 % tanpa syarat haul.

ZAKAT FITRAH
Terdapat satu buah komponen yang berada diluar lingkup al amwaal dan memiliki wilayah ketentuan khusus dalam menzakatkannya yaitu Zakat Fitrah.
Ditinjau dari aspek etimologi (kebahasaan), fithrah berasal dari kata dasar futhuur yang berarti : berbuka (dari puasa) dan fithri yang berarti : asal kejadian. Dipergunakan dalam Qur-an dan Hadits istilah shadaqah untuk zakat fitrah – seolah-olah shadaqah dari fithrah (bermakna : asal kejadian) – untuk zakat yang diwajibkan.

Sedangkan dalam aspek terminologi fiqhul ahkam adalah : zakat yang diwajibkan untuk mensucikan orang yang berpuasa Ramadhan dari ucapan kotor dan perbuatan yang tak bermanfaat, dengan memberi makan para faqir-miskin dan mencukupkan kebutuhan mereka serta menghindarkan mereka dari meminta-minta pada Hari ‘Idul Fithri.
Adapun dalil yang dijadikan landasan pewajiban secara pasti dari zakat fitrah adalah sebuah hadits Rasulullah saw ber-sanad shahih dari Ibnu ‘Umar :
”Sesungguhnya Rasul saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan 1 sha’ kurma atau 1 sha’ gandum kepada setiap muslim yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan dari kaum Muslimin”.

Dari riwayat hadits di atas dapatlah dirumuskan syarat wajib zakat fithrah , yaitu :
1. Muslim, merdeka maupun budak, pria maupun wanita.
2. Nishab : adanya kelebihan makanan, kebutuhan pokok maupun rumah dan perabotnya pada malam ‘Id dan pada hari ‘Id.
Berarti wajar jika jumhur ‘ulama kemudian mensyaratkan pewajiban zakat fitrah pun berlaku bagi si faqr atau si miskin yang pada hari ‘Id tersebut masih memiliki makanan, atau perabot rumah dan kebutuhan poko lainnya. Berkata Imam Ibnu Qudamah : “Dengan demikian hutang yang masih bertempo tidak mencegah pula dari menunaikan zakat fitrah, tidak sebagaimana zakat harta”. Terkecuali jika hutangnya harus dibayarkan saat itu juga, maka harus didahulukan ketimbang membayarkan zakat fitrah.
Ukuran wajib bagi penunaian zakat fitrah adalah 1 sha’ dari setiap jenis makanan. Atas dasar itu maka sebagian ulama ada yang berpegang teguh pada takaran bukan pada timbangan/massa (padahal gandum, kurma, anggur maupun biji-bijian satu dengan lainnya tidak memiliki masa jenis yang sama). Kalaupun dapat ditemukan kurs timbangan dari 1 sha’ adalah :

1 sha’ =  liter Mesir = 1  wadah Mesir = 2167 gram (berdasarkan timbangan dengan gandum)

Berkata Imam Nawawi, “Telah menjadi sulit membuat batasan 1 sha’ dengan timbangan, karena 1 sha’ di zaman Rasulullah saw. takarannya diketahui dan berbeda-beda ukuran timbangannya karena perbedaan berat jenis bendanya”.
Ketentuan yang paling masyhur tentang jenis benda yang ditunaikan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok pada waktu biasa, bukan pada waktu darurat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim-nya, juga Imam Nawawi. Sedangkan tentang penggantian makanan pokok dengan uang senilai, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dalam mensikapinya :
a. Pendapat Imam Syafi’I, Imam Hazm, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik mengambil pendapat dari Ibnu Umar : menyerahkan zakat fitrah dengan uang seharga (pengganti) bahan kebutuhan pokok adalah bertentangan dengan sunnah Nabi saw.
b. Pendapat Imam Abu Ishaq, Atha ibn Abi Thawush, Imam Sufyan ats_Tsauri dan Imam Abu Hanifah merujuk kepada tauladan yang dilakukan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan Khalifah Harun Ar_Rasyid : menyerahkan zakat fitrah dengan uang seharga (pengganti) bahan kebutuhan pokok adalah boleh.

DR. Yusuf Qardhawi memperkuat pendapat kedua dengan tetap merangkum pendapat pertama, dengan landasan :
• Diktum Rasulullah saw. : “Cukupkan orang-orang miskin pada hari raya ini, agar jangan sampai meminta-minta”. Mencukupkan itu bisa dengan uang (senilai harga makanan pokok), bisa juga dengan makanan pokoknya. Pada kondisi tertentu – ketika makanan banyak dan mudah didapat - terkadang uang bisa dianggap lebih utama, tetapi pada saat musim paceklik – makanan susah didapat – maka tentunya makanan yang lebih utama diberikan.
• Kesesuaian zaman : Pemberian dengan uang (senilai harga makanan pokok) jelas lebih mudah dan efisien di zaman kita dan di tempat (negeri) kita, dimana tidaklah orang-orang bermuamalah kecuali dengan uang (bukan lagi barter). Bisa dipastikan, uang lebih bermanfaat bagi para fuqara dan kaum miskin.
DR. Yusuf Qardhawi berpendapat : Sesungguhnya yang tampak bagi saya bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah dengan makanan pokok karena dua sebab ini :
• Jarangnya mata uang di tanah Arab saat itu sehingga dengan memberi makanan lebih memudahkan banyak orang
• Makanan pada saat itu lebih mudah bagi orang yang memberikan dan lebih bermanfaat bagi yang menerima.

Kapan waktu menunaikan zakat fitrah? Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar : “Rasulullah telah memerintahkan untuk menunaikan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ‘Idul Fitri”. Namun patut diperhatikan secara seksama bahwa bila mengakhirkan zakat fitrah setelah shalat ‘Idul fitri adalah :
a. jumhur fuqaha menganggap makruh
b. Imam Ibnu Hazm menganggap haram
c. Imam Asy_Syaukani menyatakan zakat fitrah tersebut berubah status menjadi shadaqah biasa; gugur nilai zakatnya

Oleh karena itu diarahkan agar penunaian zakat fitrah tersebut sebagaimana hadits yang ditakhrij Imam Bukhari dari riwayat Ibnu Umar bahwa ia berkata : “Para sahabat mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri”. Namun Imam Syafi’I berpendapat boleh sejak awal Ramadhan.

Kepada kalangan siapa boleh diberikan zakat fitrah itu? Pendapat yang ada di kalangan para ulama dan fuqaha adalah :
a. Pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm : kepada delapan ashnaf zakat seperti dalam QS At Taubah(9) : 60.
b. Pendapat Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al Jauzi dari perkataan gurunya, Ibnu Taimiyah : hanya kepada miskin saja.
c. Pendapat fuqaha mazhab Maliki : hanya kepada fakir dan miskin saja.
d. Pendapat jumhur fuqaha : kepada delapan ashnaf zakat seperti dalam QS At Taubah(9) : 60, tetapi dikhususkan/diutamakan kepada miskin saja.

ADAB BERZAKAT
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita pula adalah adab (etiket) dala penunaian zakat. Berikut ditemukan beberapa catatan kecil dari hadits maupun pernyataan dan fatwa dari para ulama dan fuqaha :
1. Berniat.
2. Menampakkan penunaian zakat.
Berkata Imam Nawawi : “Yang paling utama dalam berzakat adalah terlihat sehingga diikuti orang dan agar tak ada penilaian buruk atas orang tersebut (si muzakki). Hal sedemikian sama seperti shalat fardhu yang disunnahkan untuk menampakkannya. Adapun sesungguhnya yang disunnahkan untuk menyembunyikannya adalah dalam melakukan shalat sunnah dan shaum sunnah”.

3. Menyerahkan Zakat (kepada Mustahik secara langsung atau melalui ‘Amil Zakat).
Apabila si muzakki tidak mengetahui siapa si mustahik zakat (dengan berbagai kriteria, ketentuan dan skala prioritasnya), maka beginya wajib mewakilkan kepada orang/lembaga/‘amil zakat partikelir yang terpercaya, tak diragukan kejujurannya dan amanah yang akan mengalokasikannya secara adil (proporsional) kepada yang berhak menerimanya.
Apakah si faqir perlu diberi tahu bahwa pemberian kita adalah zakat ? Maka yang lebih utama adalah tidak memberitahukannya, sebab terkadang ucapan tersebut akan meyakitkan yang menerima. Ini adalah pendapat Imam Hasan bin Shalih, Imam Ahmad, sebagaian mazhab Maliki dan mazhab Ja’fari (dari kalangan Syi’ah).

4. Berdo’a dan mendo’akan.
Ketentuan asal adanya sighat do’a dalam zakat adalah wajib, meskipun lafazh –nya adalah bebas (QS. 9 : 103).
a. ‘Amil Zakat mendo’akan Muzakki
Telah di riwayatkan dari Abdillah bin Aufa, ia berkata: “Apabila datang orang kepada Rasulullah saw. membawa shadaqah (zakat) maka Nabi saw. berkata : “Yaa, Allah, berilah rahmat buat mereka”.” Kemudian datanglah Abu Aufa dengan membawa shadaqah (zakat)-nya maka Nabi saw. berkata : “Yaa, Allah, berilah rahmat keluarga Abu Aufa”.”Do’a ini tidak disertai sighat tertentu. Imam Nasa’i telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. berdo’a buat seseorang yang membawa shadaqah (zakat) unta yang baik : “Yaa, Allah, berikanlah keberkahan kepadanya dan kepada untanya”.
b. Do’a Muzakki
Nabi saw. berkata : “Yaa, Allah, jadikan ia harta simpanan yang bermanfaat, dan jangan menjadikannya hutang yang mudharat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad dha’if)
c. Do’a Mustahik kepada Muzakki
Imam Al Manawi mengarahkan kepada para mustahik zakat agar jangan lupa meninggalkan balasan buat para muzakki atas kebaikannya dengan do’a : “Yaa, Allah, jadikanlah zakat itu baginya sebagai ghanimah dan jangan menjadikannya sebagai beban.”
------------------------------------

Sebagai himbauan akhir, ada baiknya kita selaku kaum yang bernaung di bawah syari’at luhur ini tidak sekali-kali melandasi amal‘amal kita dengan dalil syak dan prasangka yang berasal dari keawaman atas ajaran agama kita sendiri. Hal itu disebabkan karena al haqq (tolok ukur/standar kebenaran hakiki) datangnya hanya dari Allah dan RasulNya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada pembawa risalah abadi, Nabi Muhammad saw., beserta para keluarganya dan para salafush_shalih.
Wallahu a’lamu bish_shawaab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar