Kamis, 10 September 2009

ETIKA MEMBELANJAKAN HARTA

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, maka kader akan
1. Memahami cara mengelola harta yang benar. Dia tidak boros serta konsumtif. Tidak sering membelanjakannya untuk kebutuhan sekunder apalagi tertier. Begitu pula tidak kikir dan terlalu mengirit. Dia hanya membelanjakannya untuk urusan yang benar dan tidak menyalahi syariat
2. Mengutamakan produk-produk Islam ketika berbelanja dan tidak membelinya di toko-toko non muslim meskipun harganya lebih murah
3. Mengkondisikan diri dan lingkungannya untuk konsisten dengan adab-adab Islam dalam mengelola harta dan membelanjakannya


TITIK TEKAN MATERI
Pokok-pokok pikiran dan titik tekan materi yang harus disampaikan adalah :
a. Peserta menyadari pentingnya masalah ekonomi dalam kehidupan umat dan diantara realitasnya dia harus berlaku hemat dengan tidak melakukan pemborosan atau kikir. Disamping itu, setiap uang yang berpindah tangan harus dihindari jatuhnya ke tangan kalangan non muslim.
b. Untuk mendukung basis ekonomi yang kuat, setiap produk yang dikonsumsinya benar-benar diproduksi oleh umat Islam.
c. Untuk menambah ilustrai masalah ini ada baiknya menurunkan kisah Umar bin Abdul Aziz ketika ditanya oleh mertuannya tentang nafkah yang ia berikan kepada istrinya, beliau berkata bahwa nafkahnya berupa kebaikan yang berada antara dua keburujkan.

POKOK-POKOK MATERI
1. Mengelola harta secara efisien dan produkstif
2. Kebutuhan hidup manusia, primer, skunder, tersier
3. Mengutamakan produk umat Islam
4. Tidak berbelanja kepada orang Non muslim.

Penjabaran dari pokok-pokok materi
Bagian Pertama
Mengelola harta Secara Efisien dan Produktif

A. Menggunakan harta Secukupnya
Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapi sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum, yang memang tidak sempurna kecuali dengan harta yang dijadikan Allah bagi manusia sebagai batu pijakan. Memiliki harta untuk disimpan, diperbanyak, lalu dihitung-hitung adalah tindakan yang dilarang. Ia merupakan penyimpangan petunjuk Allah, Sunnah dan memungkiri keberadaan istikhlaf.
Firman Allah :
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ‘menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahlan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadiid : 7).
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakekatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boileh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen , dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir yang melampaui batas, maka cepat atau lambat, roda produksi niscaya akan terhenti , selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.1

B. Tidak berbuat Mubazir
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkannya di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kabakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan, seperti sabda Rasulullah : “Tidak beranjak kaki seseorang pada hari kiamat, kecuali setelah ditanya empat hal…dan tentang hartanya, darimana diperolehnya dan kemana membelanjakannya.

Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhla’ harta majikannya (Allah).

Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban (kepasturan) Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lainnya yang memandang dunia secara sinis.2 Sikap Mubazir akan menghilangkan kemaslahatn harta, baik kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting.

Sifat mubazir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubazir dengan ancaman sebagai temannya setan.

C. Tidak menghambur-hamburkan harta (boros)
Sikap boros atau menghambur-hamburkan harta yang berbahaya adalah merusk harta, meremehkannya, atau kurang merawatnya sehingga rusak dan binasa. Perbuatan ini termasuk kriteria menghambur-hamburkan uang yang dilarang oleh Nabi Muhammad Saw.

Contoh dari menghamburkan harta misalnya, menelantarkan hewan hingga kelaparan atau sakit, menelantarkan tanaman hingga rusak, menelantarkan biji-bijian, makanan atau buah-buahan hingga rusak dimakan bakteri atau serangga, dan membiarkan bangunan rusak dimakan usia. Termasuk juga menghidupkan lampu pada waktu siang hari, membiarkan keran air terbuka hingga airnya terbuang sia-sia, membuang makanan ke tong sampah sedangkan manusia lain membutuhkannya, membuang pakaian yang masih bisa dipakai hanya karena berlubang kecil (robek sedikit) atau karena sudah tidak sesuai dengan mode, padahal orang lain membutuhkannya untuk menutupi auratnya atau melindungi tubuhnya dari panas dan dingin.

Contoh lain adalah : menelantarkan tanah perkebunan tanpa ditanami, menelantarkan alat-alat yang bisa meningkatkan produksi secara kualitas ataupun kuantitas, menelantarkan sumber daya hewani padahal kulit, susu atau bagian lainnya bisa dimanfaatkan sebagaimana disyariatkan oleh Al-Qur’an.

Al-Hafidz berkata dalam hadits Bukhari :”Sesungguhnya Allah memakruhkan kamu menghambur-hamburkan uang.”. Menurut sebagian orang, menghambur-hamburkan uang selalu berkaitan dengan sikap boros dalam membelanjakan harta. Yang lain berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan membelanjakan barang haram. Pendapat terkuat adalah berkaitan dengan segala jenis pembelanjaan yang tidak diizinkan oleh syari’at, baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan dunia. Sebab , Allah menjadikan harta sebagai sarana untuk menegakkan kemaslahatan hamba-Nya.

Dengan demikian, tindakan menghambur-hamburkan uang dapat disimpulkan dalam tiga hal :
1. membelanjakan untuk hal yang dilarang agama, ini hukumnya haram
2. membelabjakannya untuk hal yang diperbolehkan agama, hukumya dikehendaki, selama tidak meninggalkan tanggung jawab yang lebih berat
3. Membelanjakannya untuk hal yang dimubahkan agama, seperti untuk menyenagkan hatai. Hal ini terbagai dua :
• Pengeluarannya sesuai dengan pendapatan. Dengan kata lain ia tidak boros.
• Membelanjakannya sesuai dengan kebiasaan, yang juga terbgai dua :
- Membelanjakan harta demi menanggulangi bencana, seperti peperangan. Ini tidak termasuk boros
- Segala sesuatu yang termaduk hal di atas. Menurut pendapat jumhur ini termasuk sifat boros, namun menurut sebagian ulama Syafei itu bukan boros.

Al-Baji (pengikut Al-Malikiyah) berkata : “Terlalu banyak membelanjakan harta untuk kepentingan dunia adalah makruh. Jika hanya sekali-kali tidak mengapa, seperti ketika kedatangan tamu, merayakan hari raya, atau menyelenggarakan pernikahan.” Diantara sikap menghamburkan uang yang tidak terdapat khilaf di dalamnya ialah perbuatan bangunan yang melebihi kebutuhan, apalagi jika ditambah dengan hiasan mewah. Adapaun menghambur-hamburkan uang dalam kegiatan maksiat termasuk prbutaan keji.

Menurut As-Subuki al-Kabir, jika uang dihamburkan bukan untuk kepentingan agama dan dunia hukumnya haram, sedangkan jika demi salah satu kemaslahatan maka hukumya boleh dan tidak berdosa.3

D. Kewajiban membelanjakan harta
Islam mewajibkan umatnya untuk bekerja dan berpenghasilan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Setelah seseorang memperoleh harta dengan cara halal maka ada kewajiban setelah itu yang harus ditunaikan yaitu membelanjakannya. Ketika seseorang membelanjakan harta ia harus mengacu pada kaidah dan aturan Islam seperti Tidak boros, tidak mubazir, tidak kikir, dll. Perintah membelanjakan harta di dalam Al-Qur’an tercantum setelah perintah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti firman Allah : “ (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizkinya yang Kami anugrahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah : 3)4

Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud infak ini, apakah infak ini maksudnya zakat Fardhu, sedekah sunah, atau menafkahkan harta untuk keluarga. Para pengamat condong mengatakan bahwa redaksi infak bertendensi untuk keluarga, untuk masyarakat ataupun Fisabilillah5

Pemahaman tentang Islam yang Syamil dan mutakamil harus dimiliki semua umat Islam sehingga ketika ia akan membelanjakan harta sesuai dengan syariat Islam.. Ia faham betul bahwa harta yang ia miliki ada hak bagi orang lain, anak yatim, orang miskin, orang berhutang, mualaf dll. Hartanya bukan hasil jerih payahnya sendiri tapi ada kontribusi dari pihak lain. Ia pun sadar untuk mengeluarkan zakat terhadap hartanya agar menjadi bersih.

Menurut beberapa hadits nabi bahwa kewajiban membelanjakan harta yang paling utama adalah nafkah untuk keluarga dan fisabilillah. Juga ada larangan dalam membelanjakan harta seperti, digunakan untuk membeli barang yang tak berguna, membeli sutera dan dipakai bagi laki-laki, membeli perhiasan emas dan dipakai bagi laki-laki, membeli barang yang dapat mendekatkan pada perbuatan syirik, membeli berhala dan patung-patung yang hanya dipajang dirumah.

Yang paling baik untuk membelanjakan harta adalah digunakan kembali untuk usaha-usaha yang produktif yang dapat mengentaskan kemiskinan dan megangkat derajat kaum muslimin di dunia ini. Umat Islam yang mempunyai harta di Bank-bank konvensional seharusnya memikirkan hal ini, jangan sampai harta yang ia simpan di Bank hanya digunakan oleh orang-orang non muslim. Pada akhirnya merekalah yang menikmati keuntunganya sedangkan kita hanya menjadi penyokong mereka.

E. Membelanjakan Harta Untuk kebaikan
Sebagaimana telah diketahui, Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik. Islam pun menganjurkan agar harta dikeluarkan dengan tujuan yang baik dan bermanfaat bagi manusia.

Alah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu…” (QS. Al-Baqarah : 172).
“Mereka menanyakan kepadamu,’Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?’ Katakanlah,’Dihalalkan bagimu yang baik-baik….” (QS. Al-Maaidah : 4).
Dalam menjalankan hidup ini seorang muslim seyogyanya memiliki konsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah agama, dan yang penting harta itu pun diperoleh dengan cara yang baik pula.

Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.
“Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat pahala darinya.” (Muttafaq “Alai)
Sesungguhnya seorang muslim yang berpegang pada ayat Allah dan hadits tersebut dan komit dengan aturan tersebut dapat menjauhkannya dari masalah-masalah yang timbul dari pengeluaran yang ditujukan untuk keburukan dan menjauhkan seorang muslim dari kemaksiatan.6

F. Menghindari Pembelanjaan untuk Barang Mewah
Islam Mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan terkesan mewah karena dapat mendatangkan kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman :
“Dan jika Kami ingin membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami) kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”(QS.al-Isra’ : 16)

Apa yang Allah firmankan dalam ayat di atas saat ini sudah menjadi sebuah kenyataan dan fakta. Setiap hari kita mendengar dan melihat bagaimanan penduduk disebuah negeri diberi bencana oleh Allah, mulai dari kebanjiran, gempa, tanah longsor, gunung meletus dan fenomena alam yang lainnya. Bahkan di negeri kita sendiri beberapa waktu yang lalu telah terjadi prahara yang sangat dasyat. Mulai dari Aceh sampai Irian Jaya bencana datang silih berganti, tak kenal tua atau muda, kaya atau msikin, laki-perempuan, semuanya mendapat teguran oleh Allah.

Betapa hati kita tersayat ketka melihat Aceh, Medan, Padang, Bengkulu, Banten, Cilacap, Purworejo, Magelang, Poso, Kupang, terjadi banjir dan tanah longsor. Ratusan rumah hancur, ribuan nyawa melayang, kerugian harta benda dan moral tak terhitungkan. Apakah kita masih menungu azab Allah datang lagi di negeri yang subur ini ? Jawabanya, tentunya kita tak ingin sederetan bencana tersebut terulang kembali di bumi pertiwi ini. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang untuk mengantisipasi bencana tersebut. Memang bencana hanya Allah yang tahu kapan dan dimana akan terjadi, tapi setidaknya Ayat Allah diatas menjadi rujukan kita untuk tidak berlaku bermewah-mewahan dimuka bumi ini. Harta yang kita punyai sekarang ini hakekatnya adalah pinjaman Allah, sewaktu-waktu akan diambil oleh-Nya.

Jika kita tergolong orang yang mampu, seharusnya malu jika masih tetap membelanjakan hata untuk barang-barang yang mewah yang tak ada kemanfatanya sama sekali. Kita dengan bangganya menenteng Hand Phone, mengendarai mobil mewah, rumah bertingkat dan penuh dengan perabotan, pakaian yang mahal dari merek yang terkenal, makanan yang enak buatan produk import dll. Namun disisi lain, tetangga dan saudara kita (ikhwah) bnayak yang hidupnya serba pas-pasan. Bahkan jauh dari mencukupi. Mereka berhutang untuk menyambung hidupnya.. Akankah sifah membelanjakan barang mewah ini akan terus kita lakukan. Ingat akhi.. bahwa hidup ini hanya sementara dan ketika kita mati bukan harta yang kita bawa, tetapi amal shalihlah yang akan menyertainya.

Sungguh sangat bijak jika kita merenungkan sabda dari Uswah kita rasulullah berkenaan dengan sifat bergaya hidup mewah :
“Makan, minum dan berpakaianlah sekehendakmu, sebab yang membuat kamu berbuat kesalahan itu ada dua perkara ; bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.”(Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas)

G. Menghindari Pembelanjaan yang Tidak Disyariatkan
Karena bergaya hidup mewah itu diharamkan, untuk tindakan preventif, diharamkan pula segala pembelanjaan yang tidak mendatangkan manfaat, baik manfaat materi maupun spiritual. Diantara pembelanjaan dan pngeluaran yang tidak disyariaatkan adalah segala bentuk pengeluaran untuk membeli sesuatu yang dibenci Allah SWT, sepeti membeli alat-alat permainan yang tidak diperintahkan dalam agama, membeli makanan dan minuman yang merusak, misalnya daging babi, minuman berakohol dan madat. Jelasnya bahwa pengeluaran harta hanya untuk yang baik dan bermanfaat saja.
Allah Berfirman :
“Katakanlah,’Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah pula yang mengharamkan ) rezeki yang baik ?’ Katakanlah,’Semua itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman…”(QS. Al-A’raaf : 32)

Selain itu, pembelian untuk sesuatu yang mengarah pada berbuat bid’ah dan kebiasaan buruk, seperti membeli barang-barang mewah buatan luar negeri, termasuk pengeluaran yang tidak disyariatkan sebab orang yang bersangkutran akan menjadikan hal itu sebagai kebiasaan. Padahal tingkat kemanfaatannya sangat rendah atau sama dengan barang yang ada di dalam negeri.

H. Bersikap Tengah-tengah dalam Pembelanjaan
Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala perkara. Begitu juga dalam mengeluarkan harta, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang merusak jiwa, harta, dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat menahan dan membekukan harta..
Allah berfirman :
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian.” (QS. Al-Furqan : 67).

Oleh karena itu, diwajibkan kepada para muslimin untuk bersikap pertengahan dalam membelanjakan harta dan menjauhi sifat kikir. Hal ini diperkuat dengan sabda rasul Saw :
• “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan, dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari dia msikin dan membutuhkannya. (HR. Ahmad).
• “Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahah dalam pengeluaran.”(HR. Ahmad)

Dari penjelasan-penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa syari’at Islam memiliki aturan-aturan yang harus dipraktekan oleh setiap muslim dalam mengeluarkan hartanya. Hendaklah kita mengintrospeksi diri, apakah pengeluaran kita telah sesuai dengan aturan Islam atau tidak ? Jika sesuai teruskanlah, jika tidak, berhentilah. Jika kita dalam pengelolaan harta sesuai dengan syariat Islam, Allah akan memajukan usaha kita berlipat ganda dan berkah Allah senantiasa menaungi kita.7

Bagian Kedua
Kebutuhan Hidup Manusia, Primer, Skunder, Tersier

Islam telah meletakkan peraturan-peraturan pokok yang harus dilaksanakan di dalam kehidupan, seperti masalah pngeluaran. Islam mengajarkan agar pengeluaran seorang muslim lebih mengutamakan pembelian barang pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Dalam hal ini terdapat tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu :
1. Kebutuhan Primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan, dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer, hidup manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan, dan pernikahan.
2. Kebutuhan Sekunder, yaitu kebutuhan manuia untuk memudahkan kehidupan, jauh dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuan primer terpenuhi.. Kebutuhan inipun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
3. Kebutuhan Tersier , yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.

Untuk dapat mewujudkan lima tujuan syariat, setiap muslim harus memperhatikan ketiga jenis kebutuhan diatas dengan jalan mengutamakan kebutuhan yang lebih penting (primer). Disisi lain, mengeluarkan harta untuk hal-hal yang dapat menimbulkan kebinasaan dan kehancuran, seperti membeli candu, sabu-sabu, rokok, khamr, film yang merusak, dan lain-lainnya merupakan hal yang penting.

Ust. Hasal Al-Banna memberikan komentar khusus tentang masalah ini, beliau berkata : “Pemerintah harus memberi pengarahan kepada rakyat untuk tidak banyak menuruti kebutuhan hidup yang bersikap pelengkap. Mereka dianjurkan agar memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan hidup yang bersifat dharuri (pokok dan mendesak).
Dalam hal ini, para pemimpin dapat menjadi teladan bagi anggota masyarakatnya. Dengan demikian, pemerintah harus segera melarang semua pesta gila-gilaan dan fenomena pemborosan harta benda. Tampilnya para pemimpin dnegan sederhana, bersahaja, dan berwibawa di gdung-gedung, istana, dan acara resmi adalah sesuatu yang diajarkan oleh Islam yang hanif. Semua itu membutuhkan persiapan.”8

Bagian ketiga
Mengutamakan Produk Umat Islam

Dalam sejarah peradaban manusia, Islam pernah mengalami kejayaan sampai berabad-abad. Seluruh kendali kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya dan ekonomi dikuasai oleh umat Islam. Kejayaan umat Islam pada masa kekhilafahan memberikan andil yang besar dalam masalah produksi. Dibawah kepemimpinan Islam, ada kewajiban yang harus ditunaikan yaitu kewajiban untuk membelanjakan harta terhadap produk-produk umat Islam. Dengan adanya kewajiban untuk hanya membeli produk milik umat Islam, maka perputaran roda perekonomian dapat berjalan dengan baik.

Namun seiring dengan adanya konspirasi dari msusuh-musuh Islam, akhirnya sedikit-demi sdikit kepekaan umat terhadap kewajiban tersebut menjadi mulai luntur. Bahkan saat ini produk-produk umat Islam sudah tergeser oleh produk-produk dari non Islam. Terlebih lagi dengan adanya free trade (perdagangan bebas) yang memungkinkan bebasnya produk asing masuk ke sebuah negara mengakibatkan terdesaknya produk umat Islam. Ambil contoh di negara kita saja, betapa banyak produk-produk dari non Islam yang membanjiri pasar dan dikonsumsi oleh umat Islam. Mulai dari makanan Fast Food (KFC, Pizza Hutz, Mac Donald, Dunkin-Donat) sampai peralatan-peralatan rumah tangga.

Gaya hidup yang hedonis, westernisasi, borjuis, dan egois menyebabkan prilaku umat Islam menjadi sedikit berubah. Kalau dulu orang bangga dengan mengunalan produk dalam negeri yang notabene buatan umat Islam, namun trend saat ini adalah kebalikan dari itu semua. Mereka bangga kalau menggunakan produk dari luar (non muslim), karena dianggap dapat menunjukkan kelas adan status mereka di tengah-tengah masyarakat.

Sebenarnya kalau kita renungkan lebih dalam bahwa kita sudah terkena siasat licik dari msusuh-musuh Islam yaitu Ghazul Fikri. Salah satu dari ghozul Fikri adalah dengan melempar produk-produk milik kaum non Muslim ditengah-tengah aktifitas kaum muslimin. Dengan harapan produk mereka laku terjual dan akhirnya keuntungan dapat mereka raih. Untuk kemudian ia jadikan sebagai sarana menghancurkan umat Islam.

Seharusnya kita sadar bahwa kewajiban kita adalah membangun perekonomian umat yang saat ini sangat terpuruk, salah satu cara untuk dapat membangkitkan perekonomian umat adalah dengan membelanjakan produk milik Umat Islam. Jangan sampai harta kita jatuh kepada orang lain, terutama non muslm yang menjadi musuh bebuyutan kita di dunia ini.
Rasululah bersabda : “Sebaik-baik harta adalah yang dimiliki oleh orang-orang yang shalih.”

Ketika kita membelanjakan harta untuk membeli produk milik non muslim, maka harta tersebut berarti berada pada orang yang tidak shalih. Kalu sudah demikian maka pemanfaatanya pun sudah pasti juga tidak shalih dan tidak sesuai dengan syariat.
Umat Islam harus sadar dan bangkit untuk lebih konsentrasi mengurusi masalah perekonomian. Jangan sampai kita ulung pada masalah politik atau seni budaya namun rapuh dalam masalah ekonomi. Para pemimpin harus memberikan contoh yang baik dalam mengkonsumsi produk milik umat Islam. Umat di negeri ini masih sangat percaya dengan para pemimpinnya, jangan sebaliknya, para pemimpin justru mencontohkan pembelanjaan produk yang bukan milik umat Islam. Tidak apalah kita membeli produk milik Islam dengan harga sedikit lebih mahal tetapi perputaran uang tetap berada di tengah-tengah masyarakat Islam.

Memang ada pra syarat yang harus dipenuhi jika kita ingin membeli produk milik ita sendiri :
1. Produk tersebut benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat
2. Produk tersebut mempunyai kualitas yang baik, tidak kalah dengan produk milik non Muslim
3. Harga yang tidak terlalu tinggi
4. Adanya disferfikasi produk
5. Kemudahan dalam memperoleh produk

Sedangkan keuntungan yang di dapat dari membeli produk milik umat Islam adalah :
1. Perputaran uang masih di sekitar umat Islam
2. Keuntungan dari hasil penjual produk dapat digunakan untuk keperluan dakwah dan sosial.
3. Memberikan kesempatan orang untuk tetap bekerja
4. Menghambat usaha dari musuh-musuh Islam untuk intervensi melalui produk tertentu
5. Ikut andil dalam usaha untuk menegakkan kembali khlifah dalam masalah ekonomi (Net Working)
6. Menciptakan kemandirian umat ditengah-tengah berkecamuknya pertarungan idiologi.

Bagian Keempat
Tidak Berbelanja kepada Orang Non Muslim.

Etika dalam membelanjakan harta menurut beberapa ulama yang terbaik adalah tidak kepada orang non muslim. Ada banyak sebab mengapa kita enggan untuk belanja kepada non muslim:
1. Halal tidaknya sebuah barang
Produk-produk yang dihasilkan oleh orang non muslim tidak diketahui secara pasti tingkat kehalalannya. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahani tentang kaidah dalam ajaran Islam. Bahwa Islam menuntut kehalalan dalam setiap produk, apakah produk makanan, minuman, pakaian dll. Padahal Islam dengan sangat jelas dan tegas mengharamkan mengkonsumsi barang yang mengandung unsur haram didalamnya. Apakah haram zat, sifat, maupun bentuknya.

Terlebih lagi produk tersebut adalah produk makanan dan minuman. Apakah kita yakin bahwa ayam yang di hidangkan olah restoran atau warung makan milik non muslmi itu disembelih dengan cara islami ? Apakah kita yakin bahwa bumbu yang ada di dalam sebuh masakan tidak ada unsur barang haram/ Dan apakah kita yakin barang yang di jual di dapat dari hasil yang halal? Semua itu seharusnya menjadi fikiran kita setiap kali akan membeli barang kepada non muslim.

2. Mematikan produk dan usaha milik umat Islam
Ketika seseorang membelanjakan hartaya kepada orang non muslim berarti ia dengan sendirinya telah mematikan usaha umat islam. Produk milik uamat Islam sendiri tidak laku yang pada kahirnya keterpuukan melanda umat islam sendiri.

3. Menyuburkan dan mendukung usaha non muslim
Umat islam di Indonesia adalah mayoritas, mereka semua membutuhkan barang untuk dikonsumsinya. Ketika seorang muslim berbelanja kepada non muslim, ia dengan sengaja telah mendukung dan menyuburkan usaha tersebut. Seharusnya kita mempunyai kepekaan dan keloyalan dalam membelanjakan harta kita kepada pihak lain. Belanja kepada non muslim berarti mendukung usaha mereka hai ini berarti kita juga ikut mendukung program mereka untuk menjadikan umat Islam marjnal di tengah-tengah kehiduapannya.

4. Ikut menghancurkan sendi-sendi perekonomian Umat Islam
Perekonomian umat Islam dibangaun atas dasar aqidah, akhlaq dan ibadah. Segala ihwal yang menyangkut kegiatan ekonomi dalam Islam mendapat tempat yag signifikan. Perekonomian umat Islam akan tumbuh atau hancur disebabkan oleh umat itu sendiri, terlebih lagi di negara kita umat islam adalah mayoritas. Ketika kesadaran untuk bermuamalah dengan sesama umat Islam telah terajut dengan baik maka perekonomian umat islam akan berkembang tetapi jika muamalah justru dilakukan dengan pihak non muslim maka yang akan terjadi adalah hancurnya sendi-sendi perekonomian uamt islam.

5. Menghambat tercapainya kemandirian Ekonomi dikalangan umat Islam
Firman Allah, : “Janganlah kamu berikan kepada orang-orang bodoh harta hartamu yang telah dijadikan Allah sebagai tiang kehidupan.” (QS. An-Nisa’ : 5).

Maraji’
1. Dr. Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih bahasa Zainal Arifin, Lc. Dan Dra. Dahlia Husin, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.
2. Dr. Husein syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, Alih bahasa oleh H. Dudung R.H dan Ust. Idhoh Anas, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
3. Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1, Alih bahasa oleh Anis Matta, Lc, Rafi’ Munawar, Lc, Wahid Ahmadi, Intermedia, Solo, 1997.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar