Kamis, 10 September 2009

BEKERJA DAN BERPENGHASILAN

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, maka kader akan :
1. Menyadari kewajiban bekerja dan berpenghasilan dengan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kecenderungan dan spesialisasi
2. Melaksanakan pekerjaan dengan penuh semangat
3. Menjadi teladan yang baik dalam bekerja dengan menerapkan disiplin dan profesionalisme


TITIK TEKAN MATERI
Pokok-pokok pikiran dan titik tekan materi yang harus disampaikan adalah :
a. Tumbuhnya kesadaran peserta akan pentingya bekerja yang meghasilkan uang agar tidak keliru dalam memahami makna tawakal serta tidak patalis.
b. Mengutamakan pekerjaan yang tidak mengikat dan sebisa mungkin tidak berambisi menjadi pegawai negeri
c. Pentingnya amanah serta profesionalitas dalam bekerja sehingga memberikan dampak positif bagi da’wah dan orang-orang yang terlibat dalam da’wah.

POKOK-POKOK MATERI
1. Dalil dalil tentang kewajiban bekerja dan berusaha
2. Mendahulukan pekerjaan yang tidak terikat
3. Tidak berambisi menjadi pegawai negeri
4. Menjaga amanah, disiplin serta profesionalitras dalam bekerja

Penjabaran dari pokok-pokok materi

Bagian pertama :
Perintah Kewajiban Bekerja

A. Dalil–dalil tentang kewajiban bekerja dan berusaha
Perintah bekerja telah Allah wajibkan semenjak nabi yang pertama, Adam Alaihi Salam sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW . Perintah ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan jabatan seseorang. Berikut ini akan di nukilkan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah tentang kewajiban bekerja.

A. Dalil dari Al-Qur’an
• “Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan kehidupan (bekerja).” (QS. Naba’ : 11)
• “Kami telah menjadikan untukmu semua didalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan (bekerja) ; Tetapi sedikit sekali diantaramu yang bersyukur.” (QS. A’raf : 10)
• “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah : 10)
• “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15)
• “ … dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (bekerja); dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah….” (QS. Al-Muzzammil : 20)

Islam akan membukakan pintu kerja bagi setiap muslim agar ia dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan minatnya dan kemampuannnya. Namun demikian masih banyak orang yang enggan untuk bekerja dan berusaha dengan alasan bertawakal kepada Allah SWT serta menunggu-nunggu rizki dari langit. Mereka telah salah memahami ajaran Islam. Pasrah pada Allah tidak berarti meninggalkan amal berupa bekerja. Seperti yang pernah rasul katakan : Semaikanlah benih, kemudian mohonkanlah buah dari Rabbmu.”

Allah memang telah berjanji akan memberikan rizki kepada semua makhluq-Nya. Akan tetapi janji ini tidak dengan “cek kosong”, seseorang akan mendapatkan rizki kalau ia mau berusaha, berjalan dan bertebaran di penjuru-penjuru bumi. Karena Allah menciptakan bumi dan seisinya untuk kemakmuran manusia. Siapa yang mau berusaha dan bekerja ialah yang akan mendapat rizki dan rahmat dari Allah.

B. Dalil dari Al-Hadits
Rasulullah bersabda, :
• “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual-beli itu baik.” (HR. Ahmad, Baihaqi dll)
• “sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seseorang pekerja apabila ia berbuat sebaik-baiknya (propesional).” (HR. Ahmad)
• “Sesungguhnya apabila seseorang diantara kamu semua itu mengambil tambangnya kemudian mencari kayu bakar dan diletakkan diatas punggungnya, hal itu adalah lebih baik dari pada ia mendatangi seseorang yang telah dikarunai oleh Allah dari keutamaan-Nya, kemudian meminta-minta dari kawannya, adakalanya diberi dan ada kalanya ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
• “…kalau ada seeorang keluar dari rumahnya untuk bekerja guna membiaya anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha Fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirirnya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itupun Fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah Fisabili Syaithan atau karena mengikuti jalan Syaithan.” (HR. Thabrani)
• “sesungguhnya Allah itu telah menjadikan rizkiku terletak dibawah tombakku.” (HR. Ahmad)
• “Burung berangkat pagi hari dengan perut kosong dan kembali sore hari dengan perut penuh makanan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
• “Keadaan yang paling aku senangi setelah berjihad di jalan Allah adalah maut datang menjemputku ketika aku sedang mencari karunia Allah (bekerja).” (HR. Sa’id bin Manshur dalam sunannya)
• “Tidak seorang Rasul pun diutus Allah kecuali ia bekerja sebagai penggembala domba. Para sahabat bertanya, “bagaimana dengan dirimu, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, “Ya, saya dulu menggembala domba di lapangan untuk penduduk Makkah.” (HR. Bukgarai).

Dengan teramat jelas dan gamblang betapa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan seseorang untuk bekerja. Bekerja adalah sebuah ibadah yang disejajarkan dengan amalan fisabilillah, bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga tapi ia sebagai manisfesto penghambaan dan ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah sebagai seorang tauladan selalu memberikan motivasi kepada semua sahabatnya untuk selalu giat dan tekun dalam bekerja, simak saja penuturan beliau berikut ini :
“Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada’,” (HR. Tirmidzi dan Al Hakim). Nasihat ini beliau peruntukkan untuk sahabatnya yang mempunyai pekerjaan sebagai pedagang (wirausahawan). Sedangkan untuk mereka yang bekerja sebagai petani dan tukang kebun, beliau bersabda :
“Setiap muslim yang menanam satu tanaman atau menyemai satu semaian lalu (buahnya) dimakan oleh manusia atau binatang, maka ia itu dianggap telah bersedekah.” (HR. Bukhari0

C. Bekerja adalah Ibadah dan Jihad
Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad jika sang pekerja bersikap konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya, dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga bahkan masyarakat dan negara. Dengan bekerja , masyarakat dapat melakukan tugas kekhalifahan, menjaga diri dari maksiat, dan meraih tujuan yang lebih besar.
• “…kalau ada seeorang keluar dari rumahnya untuk bekerja guna membiayai anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha Fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirirnya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itupun Fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah Fisabili Syaithan atau karena mengikutu jalan Syaithan.” (HR. Thabrani)

D. Tujuan diwajibkannya bekerja
Menurut Yusuf Qardhawi, tujuan disyariatkanya bekerja adalah :

1. Untuk mencukupi kebutuhan hidup
Berdasarkan syariat, seorang muslim diminta bekerja untuk mencapai beberapa tujuan. Yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan pribadi dengan harta yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta, dan menjaga tangannya agar tetap berada di atas. Dampak diwajibkannya bekerja bagi individu oleh Islam adalah dilarangnya meminta-minta, mengemis, dan mengharapkan belas kasih orang. Mengemis tidak dibenarkan kecuali dalam tiga kasus :
a. Menderita kemiskinan yang melilit
b. Memiliki utang yang menjerat
c. Diyah murhiqah (menanggung beban melebihi kemampuan untuk menebus pembunuhan)

2. Untuk kemaslahatan Keluarga
Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga yang sejahtera. Tanggung jawab seorang suami sebagai kepala keluarga adalah memberikan nafkah yang halal dan thayib bagi istri dan anak-anaknya. Kendatipun tugas utama mencari nafkah adalah suami, namun tidak salahnya istri untuk membantu suami jika memang keadaan atau gaji suami dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sebuah rumah tangga. Dalam hadits di atas digambarkan bahwa seorang yang mencari nafkah untuk anaknya yang kecil itu sama dengan fisabilillah.

3. Untuk kemaslahatan Masyarakat
Walaupun seseorang tidak membutuhkan pekerjaan karena diri dan keluargannya telah terpenuhui, ia tetap wajib bekerja untuk masyarakat sekitarnya. Karena masyarakat tidak sedikit telah memberikan sumbangan kepadanya, maka seyogyanya masyarakat memgambil darinya sebanyak apa yang diberikan kepadanya.

Suatu ketika ada seorang tua renta bernama Abu Darda sedang menanam pohon kenari. Saat itulah lewat seseorang dan bertanya kepadanya, “Untuk apa kamu mnananm pohon itu ? Kamu sudah tua, sedangkan pohon itu tidak akan berbuah kecuali sesudah sekian tahun/” Abu darda menjawab, ”alangkah senangnya hatiku bila mendapatkan pahala darinya, karena orang lain yang akan makan hasilnya”. Inilah pemahaman seorang muslim tentang kehidupannya. Orang dari masa sebelumnya menananm benih lalu mereka memanfaatkannya, kemudian ia menanam agar generasi sesudahnya juga dapat memetik hasilnya.

4. Hidup untuk kehidupan dan untuk semua yang hidup
Lebih dari itu, seorang muslim tidak hanya bekerja demi mencapai manfaat komunitas manusia, tetapi ia wajib bekerja untuk kemanfaatan seluruh makhluq hidup, termasuk hewan. Nabi bersabda, “Pada setiap yang punya hati suatu pahala diperbuatnya atau dalam hadits yang lain Nabi bersabda, “Siapakah dari kaum muslimin yang menanam tananam atau tumbuhan lalu dimakan oleh burung, manusia atau hewan, kecuali baginya sedekah,”.

5. Bekerja untuk Memakmurkan Bumi
Bekerja didalam Islam sangat diharapkan untuk memakmurkan bumi. Sedangkan memakmurkan bumi adalah bagian dari maqasidus syari’ah yang ditanam oleh Islam, disinggung oleh Al-Qur’an, serta diperhatikan oleh para ulama. Menurut Imam Arraghib Al Asfahani, manusia diciptakan untuk tiga kepentingan :
a. Memakmurkan bumi, sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’an :”Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud : 61)
b. Menyembah Allah : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
c. Kalifah Allah : “Dan menjadikan kamu Khalifah di muka bumi, maka Allah akan melihat perbuatanmu.” (QS. Al-A’raf : 129)

6. Bekerja untuk Kerja
Menurut Islam, pada hakekatnya setiap muslim diminta untuk bekerja meskipun hasil pekerjaanya belum dapat dimanfaatkan olehnya, oleh keluarganya, atau oleh masyarakatnya, juga meskipun tidak satupun dari makhluk Allah, termasuk hewan, dapat memanfaatkannya. Ia tetap wajib bekerja karena bekerja merupakan hak Allah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Fondasi yang kokoh ini kita temukan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Anas ; “Apabila hari kiamat telah datang dan pada tangan seseorang di antara kamu ada biji untuk ditanam, maka jika ia bisa menanam, tanamlah sebelum kiamat.”.
Bekerja diminta dan dibutuhkan, walaupun hasil kerja itu tidak bisa dimanfaatkan oleh seorang pun. Ia adalah lambang pemberian seorang muslim bagi kehidupan ini walaupun ajal sudah di ambang pintu. Tidak kita temukan dalam ajaran agama mana pun sanjungan terhadap pekerjaan yang lebih tinggi daripada agama kita.

E. Bekerja Sesuai dengan Batas Kemampuan
Tidak jarang ada seseorang yang bekerja mencari nafkah untuk diri dan keluarganya secara berlebihan karena mengira bahwa itu sesuai dengan perintah agama, padahal kebiasaan seperti itu berakibat buruk pada kehidupan rumah tangga. Mereka telah menghalangi istri dari hak-haknya dan melalaikan pendidikan anak-anaknya dari pola pendidikan Islam.

Sungguh, Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dngan batas-batas kemampuan manusia, sebagaimana firman Allah :
“Allah tidak membebani seseorang melaikan dengan kesanggupannya. Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang di kerjakan…”(QS. Al-Baqarah : 286).
Ayat ini menerangkan bahwa Allah tidak membebankan pekerjaan kepada para hambanya kecuali yang sesuai deng batas kemampuannya dan tuntutan kebutuhannya. Rasululah SAW juga bersabda menyangkut maslaah ini :
“Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan apabila kamu membebani mereka, maka bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah)

F. Melatih Anak Bekerja
Islam memperhatikan masalah petumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih bekerja pada usia dini. Islam melarang memanjakan anak seperti yang terjadi di negara-negara yang moralnya rusak. Allah berfirman :
“… kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta, maka berikanlah harta-harta mereka kepadanya…”. (QS. An-Nisaa’ : 6). Ayat ini mengajarkan bahwa kita wajib menyerahkan harta anak yatim ketika mereka sudah pandai memelihara harta, sehingga mereka dapat bekerja sendiri.
Rasulullah SAW bersabda, : “Ajarilah anak-anakmu melempar dan naik kuda, tetapi melempar itu lebih aku sukai daripada naik kuda.” (HR. Nasa’I dan Tirmidzi). Hal senada juga Umar katakan kepada para sahabatnya, ”Ajarilah mereka melempar dan berenang, dan latihlah mereka melompat di atas kuda.”.

Tidak diragukan lagi bahwa diberinya kesempatan kepada anak-anak untuk bekerja pada usia dini akan memberikan beberapa keistimewaan kepada anak tersebut, diantaranya anak akan terlatih untuk bekerja dan membantu orang tuannya. Hal itu diangap sebagai pelatihan dini bagi mereka untuk dapat melakukan pekerjaan sehingga menambah pengalaman dan dapat membantu membangun masyarakat islami.

Bagian Kedua :
Mendahulukan Pekerjaan yang tidak Terikat

Sebagai seorang Da’i, tugas utama kita adalah menda’wahkan risalah Islam kepada orang lain. Tugas suci ini menuntut kita untuk selalu Standby melayani umat, memperhatikan kebutuhan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Sehingga waktu kita akan kita sediakan setiap saat untuk melayani ummat. Ketika kita sudah menjadi public figure di masyarakat, maka sangat sulit bagi kita untuk tidak selalu berada di tengah-tengah mereka. Sehingga kalau waktu kita habis berada di lingkungan kantor yang selalu menjalankan rutinitas keseharian dan pekerjaan kita sangat terikat, maka kita akan jauh dengan masyarkat. Pagi hari kita berangkat dan sore hari kita baru pulang.

Banyak kasus yang terjadi pada saudara-saudara kita yang mempunyai pekerjaan terikat. Kalau dahulu mereka sangat mudah mengatur waktu untuk da’wah dan untuk mencari ilmu atau pergi ke masjid mendengarkan ta’lim, namun setelah pekerjaan menumpuk dan ia harus dibebani target dari perusahaan maka ia mulai mengalami kefuturan. Aktifitas da’wahnya mulai loyo, ibadahnya mulai tak bermakna dan pada akhirnya ia mulai jauh dengan masyarakat.

Salah satu usaha untuk tetap menjaga keimanan adalah kita harus tetap berkumpul bersama-orang-orang yang sholeh, bagaimana mungkin kita berkumpul dengan mereka kalau pekerjaan kita sangat mengikat. Sehingga seorang da’i harus dapat memilih pekerjaan mana yang tidak menghambat da’wah dan keberadaanya di masyarakat dan lingkungan sahabatnya yang seiman tidak asing.

Tidak berambisi menjadi pegawai negeri
Imam Syahid Hasan Al-Banna pernah mengatakan bahwa diantara kewajiban seorang Al-Akh adalah : “Janganlah engkau terlalu berharap untuk menjadi pegawai negeri, dan jadikanlah ia sesempit-sempitnya pintu rezeki .Namun jangan engkau tolak, jika diberi peluang untuk itu. Janganlah engkau melepaskannya, kecuali jika ia benar-benar bertentangan dengan tuga-tugas da’wahmu.”

Ketika seorang muslim ingin memulai usaha yang baru hendaknya ia tidak memilih pegawai negeri menjadi skala prioritas yang pertama. Namun bila ada kesempatan kita juga tidak menolaknya, asalkan pekerjaan tersebut sesuai dengan hukum sara’ dan tidak menghambat da’wah. Bekerja bagi kita tidak hanya melulu mencari uang atau untuk menunjukkan status sosial di masyarakat, tetapi ada bagian da’wah di dalamnya. Kalau kita menjadi pegawai negeri tapi da’wah terhambat, maka seyogyanya kita meninggalkannya dengan mencari usaha lain yang lebih baik dan tidak menghambat da’wah.

Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita tentang pekerjaan yang sangat mulia dan menghasilkan banyak uang yaitu dagang. Dengan berdagang seseorang diuji kejujurannya, kesabarannya mencari pembeli dan ketekunannya menjalankan roda perdagangan. Bukankah rizki itu 90 % di dapat dari hasil niaga dan sisanya dari yang lainnya.

Sejarah telah membuktikan bahwa semenjak zaman Nabi sampai saat ini, pekerjaan yang menjajikan adalah pekerjaan niaga. Lihat saja Saudagar kaya raya dari kota Makkah seperti Khodijah binti Khowailid, Utsman bin Afwan, Abdur-Rahman bin Auf dan sahabat-sahabat yang lain. Mereka semua sukses dalam bekerja karena menggeluti perdagangan. Yang menarik adalah walaupun mereka tergolong sukses berbisnis mereka tetap tidak melupakan da’wah. Harta yang mereka dapatkan tidak sertamerta digunakan hanya untuk anak, istri dan keluarganya saja, tetapi harta tersebut dikembalikan lagi kepada kepentingan da’wah. Sungguh sebuah contoh yang sangat baik bagi kita semua.

Menjaga Amanah, Disiplin serta Profesional dalam Bekerja
Seorang yang dapat menjaga amanah, disiplin dan profesional dalam bekerja akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap da’wah. Karena da’wah tidak akan tegak kalau para penyerunya tidak mempunyai sifat amanah, disiplin dan profesional. Untuk itulah As-Syahid Hasan Al-Banna mengungkapkan hal ini dalam kewajiban Al-Akh pada no. 17 dan 18.

1. Menjaga Amanah
Allah telah mewajibkan amanah dalam Al-Quran : “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanatnya (yang dipikul dan janjinya)” (QS. Al-Mukmin : 8). Menjaga dan menepati amanah adalah kewajiban syariat. Terlebih lagi amanah yang diberikan adalah yang berhubungan dengan pekerjaan. Yang dimaksud dengan amanah adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak megurangi hak orang lain, baik berupa harga maupun upah. “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….” (QS. An-Nisaa’ : 58).
Orang yang tidak amanah dalam bekerja menurut Rasul tergolong kedalam orang yang munafik (dalam Hadits shahihain)

b) Profesionalisme dalam Kerja
Allah berfirman, “tiap-tiap orang berbuat menurut keadaanya (keahliannya) masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mngetahui siapa yang lebih benar (profesional) jalannya.”(QS. Al-Isra’ : 84).
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa sahabat-sahabat Rasululah berhasil dalam berdakwah tidak lepas pula dari keberhasilannya dalam bekerja. 9 dari 10 dari generasi pertama adalah para saudagar kaya. Profesionalitas yang ditunjukan oleh para saudagar Islam telah menjadi bukti bahwa dengan profesional kita akan sukses menggapai cita-cita yang kita inginkan.

c). Disiplin
Disipln adalah kata kunci ketiga dalam keberhasilan sebuah kerja. Tanpa kedisiplinan tidak mungkin sebuah pekerjaan akan seleai dengan baik justru jika tidak disiplin maka amanah yang kita jalankan akan berhenti di tengah jalan. Kasus yang nyata adalah kurang disiplinnya sahabat saat perang Uhud, sehingga kekalahan justru melanda kaum muslimin. Padahal selama ini pasukan muslimin selelau menang dalam setiap pertempuran. Disiplin akan membuat hidup seseorang bermakna dan berguna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar