Saat berinteraksi dengan masyarakat, tak jarang kita menemui banyak kendala, baik yang bersifat agamis, sosial, psikologis dan sebagainya. Juga, tak jarang di dalam menyikapi hal itu, kita sering terpancing oleh emosi tak terkendali, sehingga perkara yang sebenarnya remeh dan kecil menjadi besar dan berakibat fatal.
Seorang suami, lantaran kecemburuan yang membuta misalnya, tega menceraikan isterinya yang tengah hamil; seorang ayah, lantaran kebandelan anaknya yang sebenarnya merupakan benih dari kesalahannya sendiri, tega memukulinya hingga babak belur; seorang yang suka berjudi, lantaran kebodohannya sendiri sehingga kalah, sangat sering mengakhirinya dengan perkelahian bahkan pembunuhan. Dan seterusnya, dimana semua itu bila dikaji dari sudut syar’i adalah sangat mudah untuk diselesaikan.
Itulah emosi yang meluap-luap akibat kehilangan kendali dan keseimbangan akal sehingga bertindak di luar batas normal (marah yang berlebihan).
Mengingat betapa kompleksnya permasalahan ini dan betapa banyak korbannya serta kurangnya pemahaman tentang sebab, akibat dan solusinya, maka dalam tulisan ini, kami sengaja mengangkatnya dengan harapan dapat memberikan solusi yang -paling tidak- dapat mengurangi “wabah” yang telah menyerang umat tersebut. Wallaahu a’lam.
NASKAH HADITS
Dari Abu Hurairoh Radhiallaahu anhu bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Berilah aku nashihat!”. Beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah engkau marah!’. Orang tersebut mengulangi berkali-kali, beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam (tetap) bersabda: “Janganlah engkau marah”. (HR. al-Bukhâriy)
Ungkapan, “seorang laki-laki” yang dimaksud dalam hadits di atas adalah seorang shahabat agung, yang bernama Jâriah bin Qudâmah
Ungkapan, “Janganlah engkau marah” maksudnya; jauhilah sebab-sebabnya.
Ungkapan, “orang tersebut mengulangi berkali-kali”, maksudnya bahwa dia mengulangi pertanyaan yang sama dan mengharap jawaban yang lebih bermanfaat, lebih mengena atau lebih umum dari itu lagi (menurutnya), namun beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam tidak menambah jawabannya.
Mengenai matan/naskah hadits
Hadits tersebut merupakan Jawâmi’ al-Kalim dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, yakni suatu ucapan yang mengandung lafazh yang sedikit, namun memiliki arti yang banyak, alias singkat tapi padat. Sehubungan dengan hadits tersebut, para ulama berbicara panjang lebar di dalam syarah mereka terhadapnya karena kandungannya yang meliputi faedah-faedah, hukum-hukum serta berbagai hikmah dan rahasia di balik itu. Seorang muslim hendaklah merenungi dan meresapi petunjuk-petunjuk Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dan wasiat-wasiatnya, sehingga dapat mempraktekkan apa yang terkandung di dalamnya.
Seputar Pengertian Marah
Marah adalah suatu kondisi psikologis (kejiwaan) yang membuat lahiriah badan dan bathin tidak normal. Ia terjadi dari sebab-sebab tertentu dan memiliki implikasi yang amat berbahaya. Dalam menyikapinya pun, masing-masing orang berbeda-beda. Namun, Islam memiliki resep tersendiri dalam menghadapinya yang perlu direnungi oleh seorang muslim, sekaligus dipraktekkan.
Klasifikasinya
Bila dilihat dari klasifikasinya, marah terbagi menjadi beberapa macam:
Terpuji:
yaitu marah yang diekspresikan karena Allah Ta’ala. Indikasinya; Apabila seorang muslim melihat suatu larangan Allah dilanggar, maka dia menjadi marah semata-mata karena semangat membela Dien-Nya. Orang yang melakukan tindakan seperti ini akan mendapatkan pahala dari Allah, karena Allah berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya…”. (Q.S. 22/al-Hajj: 30). Tentunya, karena dia melakukan hal itu dalam rangka “nahi munkar”, maka perlu pula baginya untuk mempertimbangkan tingkatan dalam hal itu.
Tercela:
yaitu marah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam seperti seorang yang marah karena membela kebathilan dirinya dan membangga-banggakannya. Orang yang melakukan hal ini akan diganjar dosa yang setimpal oleh Allah.
Marah bawaan:
yakni yang memang sudah menjadi sifat bawaan manusia sejak lahir, seperti, orang yang marah lantaran permintaannya ditolak, dan sebagainya. Asal hukum hal ini adalah dibolehkan akan tetapi dilarang karena implikasinya yang berbahaya dan amat tercela. Jenis ini termasuk ke dalam marah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam pembahasan hadits ini.
Sebab-sebab terjadinya
Di antaranya:
a. Bawaan/fithrah/tabi’at
b. Merasa tinggi dan sombong terhadap orang lain
c. Egoisme dan kecintaan terhadap diri sendiri yang berlebihan
d. Perselisihan yang tajam yang berkepanjangan dan tidak ada manfaatnya
e. Saling menuduh meski sekedar untuk bergurau
f. Saling mengejek dan merendahkan antar satu sama lainnya.
Sebab-sebab tersebut dapat membuka “pintu marah” sehingga syaithan memasukinya dan mempermainkan seseorang dengan amarahnya tersebut.
Implikasi dan Pengaruhnya:
Di antara implikasi dari marah dan pengaruhnya yang berbahaya:
Ia menghilangkan kesadaran orang yang normal sehingga berbuat dibawah kendali perasaannya yang memuncak dan akibatnya dia melakukan hal-hal yang buruk dan akan menyesalinya setelah kemarahan tersebut mereda.
Ia dapat membuat orang lain menjadi takut kepada pemiliknya (si pemarah), sehingga karena itu, dia dikucilkan sebab takut jika mendapatkan “jatah marahnya”. Akibatnya, dia dibenci oleh orang lain, tidak dihormati apalagi disukai.
Ia dapat membuka “pintu” bagi syaithan sehingga bila berhasil memasuki akal si pemarah, dia akan mempermainkan sesukanya.
Ia dapat membuyarkan kehidupan sosial yang harmonis, sehingga merenggangkan ikatan persaudaraan yang ada dan membahayakan bagi kelangsungannya.
Ia juga dapat membahayakan kesehatan dan badan, sehingga berpengaruh langsung terhadap saraf otak yang merupakan sumber sirkulasi tugas-tugas badan secara keseluruhan. Contohnya, dapat meningkatkan persentase glukosal (zat gula), menambah tekanan darah serta memberatkan fungsi hati dan pembuluh-pembuluh darah yang sakit.
Ia dapat berimplikasi pada rusaknya harta benda, atau berpengaruh terhadap seseorang sehingga semuanya harus ditanggung oleh pemiliknya (si pemarah) itu sendiri.
Solusi
Di antara solusi penyembuhannya secara syar’i:
Menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkannya
Berzikir kepada Allah melalui lisan dan hati, karena marah bersumber dari syaithan, maka apabila disebut nama Allah, dia akan bersungut kerdil. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’d: 28)
Mengingat pahala yang diberikan oleh Allah bila berhasil meninggalkan marah dan mengekangnya serta memberi ma’af kepada manusia. Di antara nash-nash yang mendukung hal ini adalah firmanNya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Ali ‘Imrân: 133-134)
Mengingat implikasi negatifnya; sebab andai si pemarah melihat gambaran dirinya dalam kondisi marah tersebut, niscaya marahnya akan reda seketika, manakala merasa malu melihat raut wajahnya yang jelek dan (merasa) mustahil bentuk rupanya akan sedemikian.
Berpindah dari kondisi saat dia marah kepada kondisi yang lain, sebab marah akan hilang dengan sendirinya melalui perubahan kondisi dan perpindahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lain.
Hendaknya seorang hamba ber-ta’awwudz (berlindung) kepada Allah dari as-syaithan ar-rajîm, sebab apabila seorang muslim berta’awwuz (kepada Allah) darinya, dia akan bersungut kerdil. Indikasinya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy bahwasanya ada dua orang yang saling mencaci-maki di sisi Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, yakni salah seorang di antara keduanya mencaci yang lainnya dan rona marah telah terpancar dari wajahnya, lalu beliau n bersabda, artinya: “Sesungguhnya aku mengetahui suatu ucapan yang jikalau dia mengucapkannya pasti dia akan dapat menghilangkan apa yang dia dapati (alami saat ini-red) ; yakni bila dia mengucapkan: ‘ A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm’ “.
Renungan
Seorang Mukmin tentu amat menginginkan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini, si penanya dalam hadits yang kita bahas ini memanfaatkan keberadaannya di sisi Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yakni memintanya untuk memberikan nashihat yang dapat menjadi lentera baginya dalam menjalani seluruh sisa hidupnya.
Maka, tentunya kita dewasa ini, alhamdulilah, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyediakan untuk kita para ulama dan da’i, karenanya kita mesti berupaya seoptimal mungkin agar dapat memanfaatkan majlis-majlis, nashihat-nashihat serta petunjuk-petunjuk mereka.
(disadur dari Dirâsât hadîtsiyyah karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy, berjudul asli “Lâ taghdlab” oleh Abu Hafshoh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar