Kita sudah tahu, kita semua pada dasarnya kreatif. Benih-benih dan kekuatan kreatif sebenarnya terus menerus mengalir dari dalam diri kita. Yang menjadi masalah bukanlah ketiadaan ide-ide kreatif, tetapi adanya halangan-halangan yang memblokir ekspresi kreativitas kita. Celakanya, kita sering tidak menyadari keberadaan hambatan-hambatan tersebut. Upaya menjadi lebih kreatif, karena itu, adalah upaya-upaya menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut. James L. Adams dalam bukunya “Conceptual Blockbusting” menyebutkan adanya 4 jenis hambatan yang harus kita atasi bila ingin menjadi kreatif. Apa saja? Mari kita lihat.
Hambatan pertama adalah hambatan perseptual, yaitu halangan yang mencegah kita melihat secara jelas masalah atau informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu contoh terjelas hambatan jenis ini adalah praduga atau stereotyping. Jika kita terlanjur mempercayai sesuatu, kita selalu mencari konfirmasi untuk membenarkan kepercayaan tersebut (baca juga: Confirmation Bias dan Kreativitas). Sikap ini membuat kita malas mencari alternatif penjelasan lain. Hambatan perseptual juga sering membuat kita membatasi lingkup persoalan yang dihadapi. Ketika kita diberi enam korek api dan diminta membuat empat segi tiga sama sisi, kebanyakan dari kita akan melihatnya sebagai masalah dua dimensi. Padahal problem tersebut hanya bisa diselesaikan bila kita melihatnya sebagai masalah tiga dimensi (cobalah sendiri).
Hambatan perseptual lainnya adalah ketidakmampuan melihat masalah dari sudut-sudut pandang yang berbeda. Seorang akuntan akan melihat masalah penurunan penjualan melalui kaca mata akuntansi; seorang ahli pemasaran melihat melalui konsep-konsep pemasaran. Padahal kemampuan menilai permasalahan dari berbagai sudut adalah kunci kreativitas dan sumber solusi yang lebih bijak. Sudut pandang berbeda mampu memberi kita beragam ide baru, dan demikian juga persepsi yang diperoleh dari indra yang berbeda. Orang-orang kreatif mampu melibatkan beberapa indra mereka sekaligus secara intensif sewaktu mengobservasi sebuah objek atau peristiwa, sebuah hal yang jarang dilakukan kelompok yang kurang kreatif (yang umumnya bertumpu pada indra penglihatan atau pendengaran belaka).
Hambatan perseptual adalah hambatan pertama yang paling mudah dikenali. Tetapi tentu itu bukan satu-satunya hambatan.
Hambatan kedua adalah hambatan emosional, terutama yang disebabkan ketakutan (baca juga: Ketakutan, Kreativitas, dan Inovasi). Untuk merasakan ketakutan ini sungguh mudah. Di rapat perusahaan, cobalah menyuarakan ide yang berbeda dari pendapat umum dan perhatikan apa yang Anda rasakan. Kadang berpikir untuk menentang pendapat umum saja sudah membuat perut kita terasa bergolak. Mungkin Anda merasa perasaan tersebut muncul karena kita harus melawan arus di depan orang banyak. Tetapi bagaimana bila Anda mengunci pintu kamar Anda, tengkurap di lantai, dan mencoba melata bagaikan ular sambil mendesis-desis. Untuk sebagian besar orang, meski yakin tidak ada yang melihat, perasaan tidak enak dan merasa bodoh tersebut akan tetapi muncul (untuk menghibur saya, cobalah eksperimen tersebut).
Akar dari ketakutan tersebut sungguh tidak mudah untuk dilacak karena kompleksnya emosi manusia. Tetapi ketakutan yang menghalangi pengeluaran ide-ide baru tampaknya berakar dari ketakutan untuk gagal atau untuk mengambil resiko. Ide-ide kreatif atau inovatif tentu penuh dengan resiko kegagalan karena kita mencoba mengguncang sistem yang sudah ada. Ketakutan seperti itu juga membuat kita lebih suka mengkritik ide-ide orang lain daripada menghasilkan ide-ide sendiri.
Hambatan berikutnya tak kalah kuatnya, atau kadang malah lebih kuat, yaitu hambatan kultural dan/atau lingkungan. Bentuk paling umum dari hambatan ini adalah tabu yang berlaku di masyarakat. Di masyarakat Indonesia, misalnya, bentuk-bentuk ekspresi kreativitas yang mengeksploitasi erotika jelas-jelas tidak akan diterima dengan tangan terbuka. Tetapi sering tabu-tabu tersebut mengambil bentuk yang lebih halus. Budaya paternalistik kita sudah cukup untuk menghalangi karyawan-karyawan mengemukakan ide di hadapan para atasan mereka. Kalangan akademis yang mendewakan rasionalitas juga tidak akan menerima begitu saja ide-ide yang didapatkan dari intuisi. Kadang norma-norma yang berlaku di sebuah domain ilmu pengetahuan juga mampu menghambat ide-ide baru karena orang-orang di dalam domain tersebut sudah terlalu lama hidup tenang dalam ide-ide lama (baca juga: Umar Hasan Saputra).
Lingkungan fisik juga berpengaruh cukup besar terhadap lahirnya ide-ide kreatif. Apakah Anda bisa berpikir dengan tenang di tengah-tengah konser musik rock? Organisasi yang menyadari pentingnya lingkungan fisik tersebut sudah bersusah payah merancang gedung yang mampu memicu ide-ide kreatif (baca juga: Rancangan Gedung dan Kreativitas).
Cuma itu saja hambatan-hambatan yang ada? Sebenarnya tiga jenis hambatan di atas sudah cukup sulit untuk diatasi.
Tetapi berita buruknya adalah: ada satu jenis hambatan lagi yang jarang dikenali, yaitu hambatan ekspresi. Hambatan ini paling jarang dibahas, tetapi cukup penting. Mirip dengan orang Indonesia yang berada di Paris, tetapi tidak bisa berbahasa Prancis, hambatan ini terjadi karena “bahasa” yang kita kuasai ternyata tidak cocok untuk menyelesaikan sebuah masalah atau mengkomunikasikan ide kita kepada orang lain. Ambil saja contoh para desainer yang terbiasa berbahasa “visual” yang harus menyampaikan ide mereka di depan para insinyur yang berbahasa “matematis”; atau penulis yang berbahasa “verbal” harus melukiskan keindahan karya mereka di depan para arsitek yang berbahasa “visual”. Kesulitan penyampaian ide akan muncul karena tidak samanya bahasa yang dipakai.
Hambatan ini penting untuk diatasi karena sebuah masalah umumnya lebih efektif diselesaikan dengan “bahasa” tertentu. Masalah yang bernuansa matematika tidak bisa diselesaikan dengan bahasa “verbal”. Bila kita kebetulan tidak menguasai bahasa yang dibutuhkan tersebut, masalah tersebut sulit untuk dipecahkan. Selain itu, upaya-upaya kreatif sering melibatkan kerja sama (dan persetujuan) dari orang-orang lain yang sering memiliki latar belakang yang berbeda dengan kita. Bila Anda tidak berhasil membuat mereka menghargai ide Anda, ide kreatif Anda akan mati muda.
Hambatan ini sangat mengganggu karena kita sering tidak menyadari masalahnya.
Setelah mengenali empat jenis hambatan tersebut, apa yang harus kita lakukan untuk menyingkirkan mereka? Kata orang-orang bijak, mengenali musuh adalah langkah pertama untuk mengalahkannya. Dengan mengenali mereka, membawa mereka ke permukaan, kita sudah setengah jalan dalam upaya mengatasinya. Misalnya saja, karena kita tahu hambatan perseptual disebabkan oleh terbatasnya jangkauan persepsi kita, yang perlu kita lakukan adalah berusaha memperluas persepsi kita dengan mempertimbangkan lebih banyak sumber ide dan mencari lebih banyak alternatif solusi. Hambatan emosional bisa dikurangi dengan mencoba menilai resiko kegagalan secara objektif, dan mencari cara-cara untuk mengurangi resiko tersebut tanpa harus membuat kita takut mengeluarkan ide kita. Hambatan kultural memang lebih sulit diatasi karena menyangkut pendapat umum. Tetapi kita bisa mencoba membungkus ide kita dalam bingkai yang bisa diterima kultur tersebut. Perusahaan yang ingin berinovasi juga bisa menciptakan kultur perusahaan yang mendukung upaya-upaya kreativitas meski kultur tersebut tidak selaras dengan kultur nasional. Hambatan lingkungan bisa diatasi dengan mencari lingkungan yang lebih mendukung, seperti duduk-duduk santai di taman atau memutar musik yang bisa menginspirasi Anda. Sedangkan hambatan ekspresi bisa dikurangi dengan belajar secara sadar “bahasa-bahasa” lain yang selama ini menjadi kelemahan Anda.
Bila hambatan yang harus Anda atasi terlalu banyak, jangan atasi mereka semua secara sekaligus. Carilah yang paling mengganggu terlebih dahulu. Atasi satu per satu. Dengan menghilangkan satu hambatan sajapun, kreativitas Anda sudah akan meningkat.
Selamat mencoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar