Bismillahirrahmanirrahim
Saudara-saudaraku, tulisan ini adalah anak pikiran dari hati
yang gelisah. Gelisah melihat gap yang ternganga antara tantangan dakwah umat
Islam di level nasional hingga global dengan kapasitas generasi muda muslim
untuk mengeksekusi cita-cita Qur’an dan janjinya pada kemanusiaan.
Saya tidak berpretensi menawarkan sebuah grand narrative
atau narasi besar untuk generasi muslim muda Indonesia dalam perannya mengisi
gap itu. Tapi tulisan ini adalah pengantar untuk membuka perskektif atas
problematika keumatan dan peradaban, yang suatu hari mungkin Allah menitipkan
peran pergiliran kepemimpinan itu pada pundak pemuda-pemudi muslim Indonesia.
Oleh karena itu saya akan menekankan tulisan ini pada 3
pembahasan besar tentang sejarah, realitas, dan satu pembahasan peluang narasi
baru pemuda abad ini. Pembahasan tentang realitas adalah tentang geopolitik
negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim dan negeri Barat, juga realitas
tentang perubahan trend zaman dalam beberapa bidang.
RUANG KERJA DAN KELUASAN VISI UMAT
Salah satu masalah akut yang menjangkiti pikiran umat Islam
pasca era kolonialiasi adalah masuknya mindset nasionalisme yang sempit, seakan
urusan umat Islam di sebuah negeri adalah problem negaranya sendiri. Saat itu
terjadi, setiap ormas, yayasan, gerakan pemuda begitu sibuk dengan urusan
negerinya sampai-sampai satu domain kerja begitu diperebutkan dengan perjuangan
berdarah, atau satu grand project dipenuhi konflik internal, seakan hanya itu
ruang kerja umat Islam. Sehingga kekesalan, ketidak setujuan akan sebuah
kebijakan begitu menguras energi produktif saat ladang kerja lain terbuka
begitu lebar.
Padahal target dakwah yang Allah sediakan bagi umat Islam
itu begitu menantang. Catatan Pew Research Center mengatakan bahwa jumlah umat
Islam tahun 2010 ada 1,6 Milyar, atau 23 % dari total populasi dunia. Itu
artinya ada 5.3 milyar umat manusia yang tidak bertauhid, 21 kali lipat dari
seluruh penduduk Indonesia. Angka tersebut adalah ruang dakwah yang terlalu
besar bahkan jika seluruh aktivis gerakan Islam di dunia bergerak. Mereka
adalah target “rahmatan lil ‘alamin” kita semua atau penikmat cinta dan
kebaikan umat Islam, selain tentu saja umat Islam itu sendiri, juga satwa,
tumbuhan dan lingkungan.
Keluasan visi adalah problem lain yang dimiliki umat Islam,
sejak zaman daulah Ustmaniyyah. Akhir abad 17 hingga pertengahan abad 19
dikenal dengan fase stagnasi daulah Ustmaniyyah. Umat Islam disibukan dengan
persoalan internal, maintaining stabilitas dalam negeri juga tentu saja
menikmati kejayaan dan kegemilangan imperium.
Satu orang yang menyeru-nyeru dengan visi besarnya. Ia
adalah Umar Thalib, yang di tahun 1652 menulis analisis konstelasi global.
“Sekarang orang-orang Eropa sudah mengenal seluruh penjuru dunia” katanya.
“maka mereka mengirimkan kapal-kalap raksasanya ke berbagai arah menuju
pelabuhan-pelabuhan penting …. Yang sebelumnya melalui Suez …. maka sekarang
barang dagang berpindah melalui kapal-kapal Portugal, Belanda, Inggeris ke
negeri Barat … Daulah Ustmaniyyah wajib menguasai jaluar perdagangan tersebut,
jika tidak maka tidak butuh waktu lama sampai Eropa menguasai negeri-negeri
muslim”.
Narasi Umar Thalib sangat relevan dan vital dizamannya, tapi
suaranya hilang diterpa bisingnya kehidupan glamor saat itu. Dan di abad 17
adalah masa kebangkitan ekonomi Eropa saat mereka mengangkut kekayaan alam
negeri-negeri Asia dan Afrika melalui kapal-kapal gagah mereka, persis seperti
prediksi Umar Thalib.
Para pemikir peradaban kadang tidak mengenggam pedang atau
menunggang kuda di depan benteng lawan, tapi ketiadaan mereka cukup membuat
satu umat besar kehilangan arah hingga titik kejatuhannya.
Bersambung.
sumber: http://elvandi.com/narasi-global-umat-part-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar