New Turkey
Perjalanan pergerakan di Mesir sangat berbeda dengan Turki
dan AKP-nya. Diawali oleh Erbakan. Ia adalah sosok antagonis bagi militer Turki
selama beberapa dekade. Erbakan mempunyai pandangan dakwah yang tegas, pilih
Islam atau sekuler. Sehingga tema dakwah jama’ah Millî Görüş atau Visi
Nasional, adalah perlawanan terhadap sekularisme. Erbakan mempunyai tipikal
strategi yang mirip dengan IM Mesir, sehingga inilah salah satu alasan IM tidak
membuka cabang struktural di Turki, karena Millî Görüş dianggap representatif
sebagai lokomotif gerakan Islam.
Satu yang paling ditakuti kekuatan deep state* turki adalah
perlawanan sistematis Erbakan terhadap sekularisme. Sedangkan bagi penguasa
barat adalah Erbakan sangat dianggap berbahaya karena ia menggagas aliansi
strategis ekonomi yang bernama D-8 terdiri dari Turki, Indonesia, Mesir,
Bangladesh, Pakistan, Nigeria, Malaysia dan Iran. Aliansi ini jauh lebih
potensial dibanding OPEC. Sebagian menganggap narasi besar Erbakan adalah
peluang tumbuhnya lagi soliditas umat Islam melalui negara-negara tersebut.
Terlebih sikap Erbakan terhadap Zionis sangat tegas sehingga siapapun yang
mulai menyentuh tema Palestina, akan dianggap musuh bersama kekuatan besar barat
loyalis Israel.
Maka berakhirlah nasib sang arsitek yang mengambil dua kali
PhD, satu di Aachen University dalam mechanical engineering dan PhD di King
Saud University dalam Islamic Studies. Erbakan berkali-kali digulingkan, dan
partainya berkali-kali dibredel, dari mulai Leader of the National Order Party
(MNP), Leader of the National Salvation Party (MSP), Welfare Party (Refah
Partisi), Felicity Party (SP).
Erdogan, murid Erbakan mempunyai strategi lain dengan
AKP-nya. Ia datang dengan narasi yang benar-benar baru. Yaitu membangun
kekuatan ekonomi Turki dari dalam sistem yang ada, baik sistem Turki ataupun
Uni Eropa. Maka ia menerima sistem sekularisme Turki, menerima penghapusan
hukuman mati sebagai salah satu syarat ketergabungan dengan Uni Eropa juga
menegaskan tidak akan membawa ide negara islam.
Sebagian melihat bahwa semua itu hanyalah trik sementara
Erdogan yang akan segera berganti saat ia menguasai Turki sehingga ideologi
Erbakanlah yang kemudian menggantikan. Tapi bagi saya itu bukanlah trik,
ataupun strategi pemenangan pemilu. Tapi Erdogan mempunyai grand narrative yang
benar-benar baru, hasil pembacaannya terhadap realitas geopolitik Turki, Eropa
juga dunia.
Ia tidak memaksakan seperangkat Qur’an untuk
diinstutionalisasi dalam wadah yang bernama negara. Pengalaman Erbakan cukup
memberi dia bukti bahwa kebenaran tidak selalu menang jika kendaraan tidak
sesuai dengan tipe jalur yang dilalui. Maka ketimbang menentang sekularisme,
Erdogan bermain dengan sekularisme. Ia memasuki sistem tersebut, foto Mustafa
Kemal masih terpajang di kantor-kantor resmi pemerintahan seluruh Turki,
sekularisme Turki ia lindungi, militer ia rangkul sehingga syarat pertama
pertumbuhan ekonomi ia pastikan terlebih dahulu yaitu: stabilitas politik dalam
negeri.
Perlu riset mendalam tentang diskursus antara Islam dan
sekularisme dalam konteks Turki, dalam forum ilmiah, karena ia tidak bisa
dipandang dengan pendangan simplistik atau membacanya dari kaca mata Hasan
al-Banna yang tumbuh dalam konteks penjajahan Inggeris di Mesir, apalagi Sayyid
Quthb yang saat itu berada dalam penjara.
Saat berinteraksi dengan sekularisme, saya tidak tahu apa
yang ada di dalam hati Erdogan atau benak sang pemikir utama AKP, Dawud Oglu,
tapi saya bisa mengangkap kebesaran narasi mereka untuk memperjuangkan Islam.
Bukan melihat dari akhlak mereka, seperti yang sering dilakukan beberapa
aktivis untuk membanggakan seorang pemimpin muslim modern. Tapi bagaimana dia
berinteraksi dengan Gülen movement pimpinan Fethullah Gülen. Gülen movement
adalah gerakan sosial spiritual yang tidak menyentuk politik. Mereka mirip
dengan Muhammadiyyah atau NU dengan puluhan ribu sekolah di Turki juga seluruh
dunia.
Gülen movement memastikan peningkatan spiritualitas
masyarakat Turki yang tidak mungkin dikerjakan AKP secara frontal dalam sistem
yang sekular.
Namun belakangan ini, Gülen dianggap menjadi dalang dari
percobaan kudeta terhadap Erdogan. Terlepas dari fakta ataupun analisis
terhadap kejadian kudeta terakhir, saya melihat bahwa kita perlu jeli
memisahkan antara personal Gülen dengan corak keislaman yang dibawa
organisasinya, yang notabene banyak mengadopsi spirit Said Nursi. Yang disebut
terakhir ini, saya kira yang menjadi alasan kerja sama AKP dengan Gülen di
awal-awal pemerintahan mereka sampai konflik politik dan kepentingan terjadi
antara mereka. Walaupun ada sebagian yang menganggap bahwa Gülen telah membajak
kemurnian ajaran Said Nursi.
Pernah terjadi beberapa usaha kudeta terhadap Erdogan
sebelum kudeta Gülen, tapi justru para jenderal-lah yang ia tangkapi dengan
tuduhan makar terhadap keutuhan Turki. Hal ini sebaliknya dengan apa yang
terjadi di Mesir. Itu karena militer sudah berada di saku Erdogan. Saat standar
stabilitas itu memadai, maka AKP mulai membuktikan janji-janji politiknya
berupa membangun civil state (negara madani) dengan core agenda pembangunan
ekonomi yang mengikuti global economic order. Semua syarat ekonomi Uni Eropa ia
jalani untuk memastikan Turki bergabung dengan Uni Eropa. Tapi yang menarik
bagi saya adalah mentalitas Erdogan untuk memasuki Uni Eropa. Bukanlah
mentalitas pengemis yang menjadi objek dan berharap mencicipi kesejahteraan
Eropa, tapi sebagai subjek, pemain ekonomi baru yang melihat Eropa seperti
pasar untuk mereka taklukan. Terlebih Turki sebagai negara tidak mempunyai
pengalaman dijajah negeri-negeri Eropa seperti Arab, namun justru sebaliknya.
Sisa-sisa peradaban daulah Ustmaniyyah sangat terasa di negara Bulgaria,
Kosovo, Bosnia, Rumania, bahkan hingga Austria.
Bentuk pembangunan ekonomi ekspansif itu lebih terlihat saat
Turki mulai membangun deal-deal ekonomi dengan negara-negara BRIC (Brazil,
Rusia, India dan Cina).
Inilah kekhawatiran terbesar kompetitor ekonomi Turki,
khususnya negara-negara Eropa. Oleh karena itu Turki akan terus digoncang oleh
siapapun yang berkepentingan. Keamanannya akan terus dikoyak. Bom-bom akan
terus meledak. Karena syarat pertama untuk pertumbuhan ekonomi harus
dihilangkan dari negara tersebut, yaitu stabilitas dalam negeri. Inilah
tantangan terkini Turki dengan narasi kekuatan baru Ekonomi umat. Setidaknya,
mereka mempunyai narasi yang jelas. Pertarungan mereka adalah pertarungan
mempertahankan ritme kemenangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar