Kamis, 20 April 2017

Narasi Global Umat ~ Part 3

Arab Spring or Fall?

Istilah ini mengisi seluruh media dunia sejak seorang pemuda Tunisia membakar diri pada Desember 2010 lalu menginspirasi revolusi yang menjalar ke berbagai negeri Arab.

Saya tidak akan membahas dengan detail kajian ini karena setiap negara mempunyai folder tahunan yang menumpuk tersendiri. Namun poin utama yang ingin saya sampaikan adalah tantangan narasi besar yang perlu diformulasi di kawasan ini, khususnya Mesir dan Turki.
 
Diktatorisme di timur tengah menunjukan wajah yang sangat paradoks dengan nilai yang dianut mayoritas masyarakatnya. “wa amruhum syura bainahum” dalam al-Qur’an dikatakan. “dan urusan mereka diselesaikan dengan syura (musyarawah)”. Maka syarat awal kemajuan yaitu pemerintahan yang menyertakan rakyat inilah yang 3 abad lalu dibangun masyarakat Eropa, dan ironisnya telah hilang di negeri-negeri muslim selama berabad-abad sejak Ali bin Abi Thalib, khalifah rashidah terakhir. Istilah rasyidah menurut Dr. Muhammad Imarah disematkan karena pemerintahan mereka dibimbing syura bukan syura formalitas dibawah kehendak khalifah.

Ada masa ketika para khalifah (umwawiyyah-abbasiyyah-ustmaniyyah) yang sebagiannya diktator itu tetap membuat masyarakat sejahtera. Yaitu saat sistem monarki mereka hanya memonopoli politik. Sedangkan masyarakat masih menikmati kebebasan ekonomi, pemikiran, budaya dalam batas yang sangat luas. Disanalah terjadi penemuan, debat, diskusi, kemajuan pemikiran. Ditambah lagi, saat itu, para khalifah, yang walaupun diktator namun sedang berada dalam kondisi puncak peradaban, yang imperiumnya membentang dari asia timur hingga Spanyol. Maka keserakahan penguasapun tetap meninggalkan sesuatu bagi masyarakatnya.

Tapi diktatorisme hari ini adalah bentuk yang terburuk yang pernah dialami umat Islam. Mereka menekan rakyat, mencerabut kesejahteraannya, diperparah lagi dengan political arrangement di kawasan tersebut direncanakan di Washington (US), Brussel (EU) atau Downing Street (UK). Hal ini menyebabkan perpindahan kekayaan alam dari tanah mereka ke negeri-negeri barat. Maka apalagi yang tersisa bagi masyarakat arab selain kehinaan dan penindasan penguasa selama lebih dari 2 abad dari para kolonialis barat hingga pemimpin local sebagai kaki tangan kolonoalis modern.

Tapi saya tidak percaya bahwa segala sesuatu direncanakan dalam sebuah konspirasi tunggal yang terpusat. Sehingga dikatakan bahwa keseluruhan revolusi arab sejak awal adalah konspirasi untuk menggantikan para pemimpin arab loyalis barat dengan pemimpin lain yang lebih loyal.

Saya tidak mempercayai teori konspirasi total seperti itu, karena variabel sosial terlalu rumit untuk memuluskan rencana-rencana besar terpusat.

Tapi saya juga tidak mempercayai bahwa sejarah bergerak secara natural tanpa ada perencanaan para perencana sosial.

Saya memandang bahwa rekayasa sosial dan konspirasi selalu ada tapi tidak perlu dilebih-lebihkan, karena pada sebagiannya proses sosial berlangsung natural tanpa ada perencanaan. Dalam kasus arab spring, inilah yang terjadi di awal-awal seperti pandangan mayoritas analis. Bahwa revolusi arab berlangsung karena proses natural respon terhadap penindasan.

Namun point penting yang perlu dicatat adalah bahwa revolusi arab terjadi bukan karena grand design gerakan Islam, IM ataupun selainnya. Ia adalah murni gerakan rakyat yang merasakan keresahan bersama. Gerakan revolusi meledak dengan spontan setelah bom waktu penderitaan tertaman puluhan tahun. Revolusi itu difasilitasi oleh media sosial yang massif memobilisir massa.

Saat revolusi menjalar ke Mesir, saya tepat sedang berada di Cairo, di tingkat akhir kuliah saya dan menyaksikannya dari awal hingga kejatuhan Mubarak. Saya sering mendengar guru-guru dakwah dan pergerakan di Mesir mengatakan pada saya “Alhamdulillah, ini adalah nikmat dari Allah, makar yang Allah jalankan, karena semua diluar perencanaan kita (gerakan Islam)”.

Peran terbesar gerakan Islam, di Mesir khususnya adalah menjadi garda terdepan dan tersolid selama proses revolusi, karena bagi mereka perlawanan terhadap tirani tersebut adalah point of no return, dengan kata lain, ini adalah momen yang harus mereka rebut dan terus maju atau mereka hancur sama sekali.

Perjuangan revolusi berlangsung hampir tanpa narasi besar, selain menumbangkan sesosok rejim, di Mesir target mereka adalah Husni Mubarak. Tapi pasca ketumbangan Mubarak tidak berarti sistem tiranik mereka tumbang, karena yang terjadi adalah persis seperti rekonsolidasi kekuatan pasukan spanyol sebelum kembali turun menghancurkan umat Islam di Andalusia. Sistem diktatorisme mereka tidak terlucuti dengan sistematis, seperti yang terjadi di reformasi 98 Indonesia. Tentara masih ada disana dengan semua jaringan mabahist-nya (intelijen).

Disinilah konspirasi bermain, dan Washington berusaha mengambil alih kendali situasi. Perlu diketahui, bahwa sejak 2003, diskursus tentang mobilisasi massa dengan internet menghangat di forum-forum kajian US dan Eropa. Mereka, juga para diktator arab sangat menguasai konsep nonviolent mobilization yang terispirasi dari pengalaman Serbia, dan teori Srdja Popovis. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Google, Yahoo, atau organisasi sejenis Albert Einstein Institution, Freedom House dan organisasi-organisasi besar yang dibiayai US, Eropa dan negara-negara timur tengah sangat siap menyambut unexpected chaos atau kesemrawutan yang tiba-tiba. Disinilah kekalahan langkah generasi muda muslim, pergerakan Islam di depan pihak-pihak lain yang berkepentingan di kawasan timur tengah.

Dalam kasus Mesir, pasca ketumbangan Mubarak, terjadi euphoria besar-besar di seluruh pelosok Mesir. Mabahist-mabahist (intel) dan polisi mungkin saja ikut bersorak ramai dengan baju sipilnya. Bernyanyi riang bersama warga dan para demonstran.

Tapi dalam situasi chaos seperti itu, narasi lah yang bertarung, antara gerakan Islam yang di motori IM dan salafi dengan narasi para penguasa barat yang mempunyai motiv hegemonik di Mesir.

Partai Kebebasan dan Keadilan IM maju mengahadapi pemilu dengan koalisi bersama Partai an-Nur salafi. Mereka memenangkan pemilu legislatif bersama, dan menaikan Mursi menjadi Presiden. Lalu umat Islam Mesir, bahkan mungkin seluruh dunia berbahagia melihat pemandangan aneh itu, IM dan Salafi berkoalisi dalam politik.

Mungkin saat itu, satuan intel atau pun tim kepanduan IM tidak sampai pada kesimpulan bahwa salafi tidak mempunyai kekuatan politik apapun jika mereka tidak di back up oleh kekuatan besar lain. Padahal selama 8 bulan, mereka diangkat menuju puncak kekuasaan dengan kucuran dana yang membelalakan mata dari Saudi dan organisasi-organisasi Qatar.

Sehingga ketika sampai saat yang ditentukan, Salafi berbalik arah dari IM, lalu Mursi dikudeta oleh jaringan rejim Mubarak (Jenderal As-Sisi) yang sudah melakukan rekonsolidasi beberapa bulan. Maka tinggalah IM seorang diri, ditinggal voter pemilunya, bahkan digulingkan tidak hanya oleh militer, tapi juga oleh massa yang beberapa waktu lalu bersama-sama turun ke maydan Tahrir.

Narasi itu sejak awal revolusi memang tidak ada, tapi yang lebih menyedihkan adalah setelah Mursi naikpun, IM tidak menyiapkan narasi besar untuk berkuasa, dalam jangkauan 10-20 tahun kedepan.

Bersambung


Sumber :  http://elvandi.com/arab-spring-or-fall/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar