TANTANGAN ZAMAN DAN NARASINYA
“Innallah ba’atsa fi kulli ra’si miati sanah man yujaddidu
laha dinaha”, “sesungguhnya Allah mengutus di setiap penghujung abad, pembaharu
yang akan memperbaharui agama” hadist tersebut sangat memotivasi akal-akal
besar umat Islam untuk selalu menjawab tantangan zamannya seperti Imam Syafi’I
dengan ar-Risalahnya yang dianggap sebagai pembaharu pertama di abad kedua
Hijri dengan kodofikasi ushul fiqhnya.
Tapi para ulama mengatakan bahwa hadist tersebut tidak
selalu terpersonifikasi pada diri satu orang, karena ia bisa jadi sebuah
kelompok atau entitas.
Terlepas dari itu semua, sebuah narasi selalu dibutuhkan di
setiap zaman, dan nyatanya selalu segelintir orang yang membawanya, jika bukan
satu orang. Seorang pembaharu membuka mata dan hatinya atas semangat zaman dan
problem kemanusiaan lalu ia merenung panjang dengan kelengkapan tools dan
pengetahuannya hingga datang dengan sebuah gagasan besar untuk menyelamatkan
umat dari kelesuan pemikiran, budaya, pengetahuan ataupun jihad.
Akhir abad 19 adalah masa terkikisnya daulah Ustmaniyyah
secara sistematis dengan berbagai demonstrasi dan gerakan separatis menuntut
kemerdekaan. Dari sana pulalah cikal bakal perasaan saling benci antara bangsa
Turki dan Arab, yang hingga hari ini sering terus dibakar oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
Rifa’ah Tahthawi (1873) termasuk pionir muslim yang membuka
wacana tentang politik di era modern, itupun karena ia terpesona dengan
tulisan-tulisan Montesqieu dan Rosseau saat di Paris. Hingga ia begitu
terkagum-kagum dengan buku-buku disana, salah satu yang terpenting adalah
“Principes du droit de la nature et des gens” karya De Wolff.
Tidak ada formulasi signifikan tentang narasi peradaban
Islam darinya karena karya-karyanya ibarat versi arab dari pemikiran barat.
Namun ide penting yang dibawa ke negeri-negeri muslim adalah tentang urgensi
pemisahan kekuasaan trias politica Montesquieu. Ide itu terasa aneh karena
sistem yang berlaku di Daulah Ustmaniyyah, ataupun imperium sebelumnya
Abbasiyyah dan Umawiyyah adalah monarki, yang kita namakan Khilafah. Walau
begitu, Rifa’ah Thahthawi tidak memberikan penjabaran untuk ide itu, apalagi
mekanisme penerapannya.
Khairuddin at-Tunisi (1899) adalah pemikir besar kedua di
era kelesuan intelektual daulah Ustmaniyyah. Buku fenomenalnya adalah Aqqamul
Masalik fi Ma’rifati Ahwal Mamalik, yang menekankan urgensi mencontoh keadilan
dalam sistem institusi politik barat. Ide besarnya adalah ingin memperjuangkan
kebebasan warga sipil untuk berekspresi dan beropini. Karena baginya, kebebasan
itu adalah syarat mutlak untuk kebebasan politik dan kesejahteraan negeri.
Ironisnya, kebebasan warga sipil dalam bersikap pada
dasarnya adalah nilai luhur Qur’ani yang sejak zaman Rasulullah dinikmati para
sahabat yang sangat merdeka dalam berfikir. Justru disanalah esensi dari
tauhid. Tapi Khairuddin at-Tunisi sampai membutuhkan sebuah impor gagasan dari
para pemikir politik barat karena terlalu lama nilai ini hilang di
negeri-negeri muslim saat itu.
Agenda besar yang ia perjuangkan adalah meyakinkan para
ulama akan prinsip kebebasan ini. Namun, kembali, ia tidak mempunyai stok
perangkat yang cukup untuk menjabarkan gagasan tersebut di negeri-negeri muslim
melainkan meniru habis-habisan gaya barat dalam politik.
Jamaluddin al-Afghani (1887) melihat zaman dengan situasi
lain. Ia tidak silau dengan barat. Walaupun ia lama menetap di Paris, London,
Jerman, Moscow, ia tetap mempunyai ketegasan dalam batas-batas nilai yang perlu
dia adopsi bagi negeri muslim.
Baginya penjajahan adalah induk semua kemunduran umat Islam
sehingga narasi yang ia bawa adalah persatuan umat Islam dan perlawanan
terhadap penjajah dengan Pan Islamisme. Gagasan-gagasan tersebut ia terbitkan
bersama Muhammad Abduh melalui Majalah berbahasa arab Urwah al-Wustqo di Paris.
Narasi perlawanan yang dibawanya mengispirasi banyak tokoh nasionalis Arab yang
berjuang di region masing-masing. Namun gagasan perlawanan itu sendiri tidak
mempunyai bentuk global yang jelas, apakah perlawanan itu satu kordinasi? Atau
inisiasi dari siapapun yang terispirasi idenya? Jalan hidupnya yang nomaden di
berbagai negeri dengan berbagai intimidasi, konspirasi sistematis dan berbagai
pengkhinatan, adalah salah satu faktor terpenting yang memuat dia tidak bisa
fokus membangun sebuah gerakan di suatu negara dalam waktu yang lama.
Muhammad Abduh (1905) mungkin merupakan prestasi terbesar
Jamaluddin al-Afghani. Ia mengikuti setiap langkah pembaharuan gurunya namun ia
menambahkan satu poin penting yang tidak ia dapati dari al-Afghani, yaitu
pendidikan. Keterbelakangan negeri-negeri muslim dan kemajuan intelektual
negeri Eropa yang mengantarkannya pada kesimpulan ini. Bersama muridnya Rasyid Ridha, ia menerbitkan
majalah al-Manar. Pengetahuan adalah core narration yang ia yakini bisa
menyelamatkan umat dari keterpurukannya.
Hasan al-Banna (1949) adalah anak pemikiran dari para
pemikir diatas. Namun ada kenyataan pahit yang ia lihat, yang tidak dilihat
para pendahulunya. Yaitu runtuhnya kekhilafahan. Oleh karena itu krisis
ketiadaan institusi, ketiadaan kekuatan pemersatu, mempengaruhi gagasannya akan
pentingnya institusi global yang ia masukan dalam salah satu maratib amal-nya
(tahapan kerja) yaitu mengembalikan institusi khilafah. Tapi narasi yang ia
bawa tidak bisa reduksi menjadi sekedar menegakan khilafah. Karena ia
menawarkan sebuah proyek sosial yang komprehensif.
Proyek sosial itu muncul dari kesadarannya bahwa semua
gagasan yang dibawa pendahulunya tentang pembaharuan ditantang realitas yang
keras, bahwa tidak ada yang mengusung ide-ide itu atau bahkan ide-ide itu
segera kandas di awal kemunculannya oleh musuh-musuhnya. Maka narasi yang ia
bawa adalah pergerakan dalam wadah yang bernama jama’ah Ikhwanul Muslimun.
Kali ini pembaharuan yang dibawa Hasan al-Banna mendapatkan
perhatian global yang sangat serius lebih dari para pembaharu sebelumnya.
Karena Mesir menempati geopolitik yang terlalu penting di region tersebut. Dan
Hasan al-Banna membangun kekuatan real dengan IM di kawasan tersebut. Kekuatan
yang berupa rijal (manusia-generasi) bukan buku, majalah ataupun seruan-seruan.
Kekhawatiran negeri-negeri (penguasa) barat pada IM
terkhusus karena ia menyentuh tiga domain krusial mereka sekaligus.
Pertama, yaitu perlawanan terhadap penjajah Inggeris di
Mesir, juga seruan perlawanan global terhadap penjajahan. Termasuk Indonesia
yang mendapatkan berkah jasa mereka dengan desakan IM terhadap pemerintah Mesir
sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Kedua, IM mempunyai sikap tegas terhadap penjajahan Israel
terhadap Palestina. Dan ketiga, IM membangun cikal bakal independensi ekonomi
bagi masyarakat Mesir.
Ketiga poin ini membuat Inggeris mengambil jalan pintas
untuk menghentikan narasi besarnya, yaitu assassination.
Hasan al-Banna mati muda, di usia 42 tahun dan masih banyak
pekerjaan pemikiran yang belum terselesaikan. IM tidak mewariskan fiqh politik
atau fiqh daulah yang dihasilkan dari pengalaman empirik seperti koalisi, power
sharing, parliamentary budgeting, dan seabreg persoalan politik yang memerlukan
pandangan resmi IM yang diekstrak menjadi prinsip politik IM.
Tahun 1949 di tahun wafatnya, IM mempunyai basis sosial yang
kuat tapi mereka belum mempunyai pengalaman politik real di pemerintahan.
Kondisi mereka tidak lebih baik sepeninggal sang muassis (pendiri). Bahkan
berada dalam kondisi yang paling mengerikan di era mantan kadernya yang
berkhianat dan menjadi presiden yang menindas mereka: Gamal abdul Naser.
Berkah terpenting dari narasi yang dibawa Hasal al-Banna
adalah bangkitnya gerakan Islam di seluruh dunia, di timur tengah, Asia dan
Afrika, bahkan di antara komunitas-komunitas minoritas muslim di negeri-negeri
barat. Ide genuine al-Banna dalam MR (majmu’atur rasail) menjadi inspirasi berbagai
negeri, baik yang membentuk dirinya sebagai struktur atau sekedar terinspirasi
dari gagasannya.
Pemikir besar kedua IM adalah Sayid Quthb (1966) yang
melawan dalam sunyi, menulis di balik jeruji. Semangat perlawanan terhadap
tirani menjadi ruh yang menguatkan tulang punggung para aktivis Islam di
masa-masa sulit penuh penindasan. Namun di kemudian hari, gagasan-gagasan Sayid
Quthb yang beraroma ‘shira’ bainal haq wal bathil’ (pertarungan antara
kebenaran dan keburukan) menjadi problematis saat dibaca hari ini dan dicerabut
dari konteksnya. Terlebih abad 21 ini. Pembahasan ini akan dikaji kemudian.
Relatif tidak ada lagi pemikir besar IM dalam beberapa
decade selain dari para pensyarah (penjelas gagasan), pengembang, penulis
ulang, pengorganisir ide. Bahkan ratusan buku Dr. Yusuf al-Qharadhawi, salah
satu ulama paling produktif zaman ini, tidak keluar dari frame gagasan-gagasan
al-Banna. Walau begitu warisan intelektual kontemporer ulama-ulama IM mengisi
perpustakaan umat Islam seluruh dunia hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar