Jumat, 24 September 2010

Cermin Akhirat

oleh : Syamsu Hilal

“Ikhwaanuna yudzakiruunana bil aakhirah, wa ahluuna yudzakkiruunana bid dun-ya” (saudara kami mengingatkan kami kepada akhirat, sedangkan keluarga kami mengingatkan kami kepada dunia).


Sekitar tahun 1990-an, kami sering pergi ke puncak untuk melakukan daurah. Di tengah perjalanan, seorang di antara kami berkata, “Mari kita lupakan sejenak permasalahan dunia. Selamat tinggal qadhaya (permasalahan).” Usai daurah, di tengah perjalanan pulang, dia berkata, “Selamat datang qadhaya.

Mungkin ucapan itu hanya sekedar kelakar. Tapi, kalau kita mau menyelami sedikit saja, kita akan mendapatkan butir-butir mutiara yang sangat bernilai.

Di masa Rasulullah Saw., ada seorang sahabat bernama Hanzhalah. Usai mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Rasulullah Saw., ia berkata, “Munafiq Hanzalah, munafiq Hanzhalah.” Abu Bakar Ra. bertanya, “Mengapa engkau mengucapkan kata-kata itu.” Hanzhalah menjawab, “Saya memang munafiq. Ketika berada bersama-sama Rasulullah Saw., iman saya naik. Tapi, ketika jauh dari Rasulullah Saw. iman saya turun.” Ternyata perasaan Abu Bakar pun sama dengan perasaan Hanzhalah.

Hanzhalah merasakan betapa berada di tengah-tengah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya lebih memiliki nilai
ruhiyah ketimbang di tempat lainnya. Kita pun, mungkin, memiliki perasaan yang sama seperti Hanzhalah. Apalagi ketika problem dunia makin kompleks, anak-anak makin banyak dan besar-besar. Tambah besar pula biaya yang harus kita sediakan untuk mereka.

Perasaan seperti itu juga pernah dialami oleh Al-Hasan. Simaklah ungkapan hikmahnya,
“Ikhwaanuna yudzakiruunana bil aakhirah, wa ahluuna yudzakkiruunana bid dun-ya” (saudara kami mengingatkan kami kepada akhirat, sedangkan keluarga kami mengingatkan kami kepada dunia).

Al-Hasan selalu merasakan ruhiyahnya meningkat bila bertemu dengan
ikhwah-nya, sebaliknya bila ia kembali ke tengah-tengah keluarganya. Memang, tidak semua keluarga selalu menyeret dan mengalihkan pandangan para aktifis dakwah kepada dunia. Akan tetapi, secara nyata kita pun merasakan bahwa problema yang ada di rumah sebagian besar berkisar seputar dunia. Biaya sekolah yang mahal, harga-harga sembako yang terus naik, biaya transportasi yang membengkak, sampai masalah biaya kontrak rumah yang kian membebani pikiran (bagi yang berstatus "kontraktor").

Hanzhalah dan Al-Hasan masih beruntung, lantaran bila hati dan pikirannya sedang kusut mereka bisa mendatangi saudara (ikhwah) lainnya untuk bercermin dan menstabilkan ma’nawiyah. Bayangan saya, ketika Hanzhalah bercermin pada Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terbayang adalah jiwa zuhud, wara`, dan kesederhanaan hidupnya. Bila bercermin kepada Utsman bin ‘Affan, yang terbayang adalah sifat pemalu dan tawadhu’-nya. Dan bila bercermin kepada Umar bin Khaththab, maka bangkitlah semangat keberaniannya. Setiap sahabat memiliki kelebihan dan keistimewaan yang dapat dijadikan cermin untuk seantiasa menjaga dan meningkatkan stabilitas ruhiyah.

Suasana saling bercermin juga pernah ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada masa itu, seorang ikhwah bila bertemu dengan ikhwah lainnya fokus yang diperbincangkan adalah sekitar tilawah dan hafalan Al-Qur`an, puasa sunnah, Qiyamullail, aktifitas dakwah, dan aktifitas ibadah lainnya. Bukan fokus pada masalah-masalah seputar rumah, kendaraan, pekerjaan, perusahaan, jabatan, istri, dan anak-anak.

Kalau pada masa Rasulullah Saw.,
Khulafaur Rasyidin, dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang Mukmin menjadi cermin bagi Mukmin lainnya. Seorang ikhwah menjadi cermin bagi ikhwah lainnya. Bagaimana dengan kita? Tentu saja sulit mencari ikhwah yang sempurna dan ideal untuk dijadikan cermin. Tetapi, cermin itu harus ada. Cermin akhirat, bukan cermin dunia. Kalau ikhwah tidak lagi mengingatkan kita kepada akhirat, tidak ada lagi yang bisa dijadikan cermin, lalu kepada siapa lagi kita harus bercermin? Wallahu a’lam bishshawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar