1. Adil terhadap Anak-Anak.
Orang tua (khususnya ayah) wajib berlaku adil terhadap anak-anaknya dalam masalah pemberian atau pun hadiah. Nabi Shallallaahu alaihi wa salam telah bersabda, “Berbuat adillah terhadap anak-anak kalian! Berbuat adillah terhadap anak-anak kalian!” (HR. Abu Daud, Ahmad dan An-Nasai’)
Amat banyak kasus yang terjadi di antara sesama anak atau saudara yang dipicu oleh ketidakadilan orang tua mereka. Mereka menjadi saling bermusuhan, saling benci, dengki dan berbuat jahat, hingga terjadilah fitnah di antara mereka, bahkan sampai ada yang saling bunuh.
Disebutkan bahwa tatkala ayah Nu’man (bin Basyir) memberikan suatu pemberian, maka ia datang kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam agar berkenan menyaksikannya. Maka Nabi bertanya kepadanya, ”Apakah engkau memberi-kan yang seperti ini kepada seluruh anak-anakmu?” Dia menjawab, “Tidak!” Maka beliau pun bersabda, ”Kalau begitu, jangan engkau memintaku menyaksikannya, karena aku tidak mau menyaksikan ketidakadilan”. Dan dalam riwayat lain disebutkan, ”Mintalah persaksian kepada selain aku.” (HR. Al-Bukhari)
Maka berlaku sama terhadap anak-anak adalah sebuah keharusan, sedang mengutamakan atau mengkhususkan salah satu di antara mereka adalah suatu bentuk kezhaliman yang terlarang. Demikian pula apabila seseorang diminta untuk menyaksikan/menjadi saksi atas pemberian yang bersifat zhalim, maka hendaknya ia menolak sebagaimana telah dilakukan dan disabdakan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam.
Jika seorang ayah memberikan sesuatu kepada salah seorang anaknya, sementara yang lain tidak, maka ia harus menentukan urutan dalam pemberian. Misalkan, untuk minggu ini si fulan lalu minggu berikutnya fulan dan seterusnya. Atau jika mampu, maka sebaiknya memberi mereka semua secara bersamaan.
Salah satu contoh lain bentuk ketidakadilan yang sering terjadi adalah seorang ayah yang berwasiat sebelum meninggal dengan memberikan harta atau hadiah kepada sebagian anaknya tanpa memberi sebagian yang lain. Tindakan seperti ini tidak diperbolehkan dalam Islam, sebab merupakan bentuk kezhaliman terhadap anak.
Berlaku adil terhadap anak juga mencakup adil terhadap anak laki-laki dan perempuan. Dan menurut para ahli ilmu, adil terhadap anak laki-laki dan perempuan adalah memberikan sesuatu yang sama kepada mereka atau minimalnya memberikan untuk anak wanita separuh bagian anak laki-laki.
Para salaf adalah orang- orang yang paling suka berbuat adil terhadap anak-anak mereka, hingga dalam hal memberi ciuman atau senyum.
2. Adil terhadap Para Istri
Seorang suami dituntut untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya dan haram atasnya menzhalimi salah seorang di antara mereka. Allah telah menetapkan syarat adil bagi siapa saja yang ingin berta’addud (poligami). Dia berfirman,
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisa’ 3)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam telah bersabda, “Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri kemudian tidak berlaku adil terhadap keduanya, maka akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan pincang/lumpuh.” Di dalam riwayat lain disebutkan, “Lalu ia condong (berat sebelah) terhadap salah satunya, maka akan datang di Hari Kiamat dalam keadaan pincang (badannya miring karena cacat).” (HR. Abu Daud dan Ad-Darimi)
Ummul mukminin Aisyah Radhiallaahu anha berkata,” Adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam tidak pernah melebihkan salah seorang di antara kami dalam pembagian dan waktu tinggalnya. Beliau senantiasa adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal dan di setiap waktu, ketika ada di rumah dan ketika safar, adil dalam nafkah dan mabit (bermalam), dalam pergaulan dan tempat tinggal, bahkan hingga waktu sakit menjelang wafatnya beliau dikelilingkan di antara para istrinya. Dan tatkala sakitnya sudah sangat parah, sementara itu para istri beliau mengetahui, bahwa beliau lebih suka berada di rumah Aisyah Radhiallaahu anha, maka mereka mengizinkan untuk tinggal di sana selama masa sakitnya itu.
Dan ternyata beliau yang sudah sedemikian adil itu masih memohon ampun kepada Allah atas ketidak mampuannya dalam masalah yang terkait dengan hati dan rasa cinta. Beliau menyatakan, ”Ya Allah inilah pembagian yang mampu aku lakukan, maka jangan Kau cela aku dalam masalah yang tidak mampu aku lakukan.” Yang dimaksud tidak mampu yaitu kecenderungan hati dan rasa cinta, maka manusia dimaafkan dalam masalah ini, sebagaimana firman Allah,
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguh-nya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:129)
3. Adil terhadap Karyawan dan Bawahan
Sikap adil juga harus berlaku terhadap masalah-masalah yang berkenaan dengan hak bawahan, seperti pembantu, karyawan, buruh dan semisalnya. Seseorang tidak boleh menzhalami mereka meskipun seandainya mereka adalah non muslim. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam telah bersabda,
“Ingat, siapa saja yang menzhalimi mu’ahid (orang kafir yang mengikat janji damai dengan kaum muslimin) atau mengurangi haknya, atau membe-bani sesuatu di luar kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya dengan cara yang tidak baik, maka aku akan menjadi hujjah baginya di Hari Kiamat.” (HR. Abu Daud)
Dan sering sekali kita mendengar berita tentang perlakuan zhalim seorang majikan terhadap pembantu atau pelayannya, atasan terhadap buruh dan sebagainya. Di antaranya: Ada yang tidak memberikan gaji atau mengurangi sebagian yang menjadi haknya; Menyakitinya atau bahkan mengusir-nya dengan tanpa memberikan haknya sedikit pun. Maka patut kita pertanyakan, “Dimanakah rasa keadilan dan kemanusiaan mereka itu?”
4. Adil terhadap Anak Yatim
Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, “Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil.”(An-nisa: 127)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa’at,.”(Al-An’am: 15)
“Sesungguhnya orang-orang yang mema-kan harta anak yatim secara zalim, sebe-narnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. 4:10)
5. Adil dalam Persaksian dan Kesaksian
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Dan persaksi-kanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Thalaq:2). Juga fimanNya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah.” (An-Nisa:135)
Adil dalam persaksian dan kesaksian merupakan perkara besar dan berbahaya jika tidak ditunaikan. Karena tanpa adanya keadilan dalam masalah ini, akan melantarkan dan dapat menja-dikan tercabik-cabiknya kehormatan serta dapat menjurus pada rusaknya tatanan sosial.
Dengan sumpah palsu, dengan persaksian yang keji dan zhalim, maka akan sirna panji-panji keadilan dan sikap pertengahan. Akan diberikan hak kepada orang yang sebenarnya tidak berhak menerimanya, rasa aman akan hilang, dan akan berkobar api kebencian, dendam dan permusuhan di antara sesama manusia, hingga Allah menurunkan murkaNya dan kelak Dia akan memasukkan mereka ke dalam neraka.
“Awas hati-hati dari persaksian palsu…awas persaksian palsu, demikian Nabi mengulang-ulangnya sehingga sebagian shahabat ada yang berujar, “Mudah-mudahan beliau segera diam.” (HR. Al-Bukhari)
Karena amat pentingnya keadilan dalam masalah persaksian, maka Nabi n membuat ketetapan sebagi berikut, “Tidak berlaku persaksian orang yang berkhianat, baik laki-laki maupun perempuan, tidak pula persaksian pezina laki-laki dan perempuan, dan juga orang yang memiliki dendam permusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah)
Selain merupakan syarat dalam persaksian, keadilan juga merupakan syarat bagi seorang yang akan menulis akad/perjanjian di antara manusia. Firman Allah, “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Al-Baqarah 282).
Bahkan dalam masalah pendiktean sebagaimana firmanNya lanjutan dari potongan ayat di atas, “Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.”
Adapun adil dalam timbangan dan takaran, maka cukuplah bahwa Allah telah menghancurkan umat yang telah berbuat curang dalam timbangan dan takaran. Dia juga telah berfirman,
“Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. 55:9)
Bahkan dalam rangka memerangi kelompok yang enggan diajak berdamai dari dua kelompok orang mukmin yang berselisih tetaplah harus menjunjung nilai keadilan.
6. Adil dalam Ucapan dan Perkataan
Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. 6:152).
Berapa banyak kalimat dan tuduhan yang meluncur dari mulut sebagian orang yang di dalamnya tidak tercermin sikap taqwa dan adil.Diantaranya berupa melemparkan tuduhan kafir, ahli bid’ah, fasiq dan sebagainya secara tidak proporsional.
Padahal dalam Islam telah ada aturan yang rinci di dalam menghukumi seseorang, maka tidak diperkenankan untuk mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghukumi tanpa melalui tiga tahapan berikut ini:
Pertama, adanya kepastian dan keyakinan tentang benarnya suatu kasus yang dinisbatkan kepada orang tersebut, baik berkenaan dengan ucapan maupun perbuatan.
Kedua, harus dilihat dan diteliti dulu apa yang melatarbelakangi atau yang menjadi penyebab dia melakukan atau mengucapkannya. Karena bisa saja ternyata ia memiliki udzur syar’i (yang menyebabkan gugurnya suatu hukum).
Ke tiga, harus tetap bersikap adil setelah adanya ketetapan hukum atasnya, yaitu tidak boleh melupakan sisi kelebihannya serta tidak menutup mata terhadap kebaikannya, sehingga seakan sirna oleh bayang-bayang kejelekan, karena yang demikian itu termasuk kezhaliman.
Demikianlah sisi-sisi kehidupan yang diperintahkan dan ditekankan oleh Allah agar di sana ditegakkan keadilan, bahkan selalu memotivasi kita untuk selalu menegakkannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah mengabarkan, bahwa Dia mencintai orang-orang yang berbuat adil. Semoga kita semua dapat merealisasikannya.
Sumber: Kutaib, “Al-’Adlul Mansyud”, Fawwaz bin Kholaf Ats-Tsubaiti Maktabah Darul Bayan Al-Haditsah, Thaif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar