Akhlaq adalah bentuk plural dari al-khulq atau al-khuluq. Secara literal, al-khulq atau al-khuluq bermakna al-sajiyah, al-filaan*, al-muru`ah, al-‘aadah, dan al-thib’ (karakter, kejiwaan, kehormatan diri, adat kebiasaan, dan sifat alami).
Al-Mawardiy menyatakan bahwa, makna hakiki dari al-khuluq adalah adab (budi pekerti) yang diadopsi oleh seseorang, yang kemudian dijadikan sebagai karakter dirinya. [Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy] Sedangkan budi pekerti yang telah melekat pada diri seseorang disebut dengan al-khiim, al-syajiyah, dan al-thabi’ah (karakter). Atas dasar itu, akhlaq adalah al-khiim al-mutakallaf (tabiat [karakter] yang dibebankan atau karakter ciptaan), sedangkan al-khiim adalah al-thab’u al-ghariziy (karakter yang bersifat naluriah [tabiat, atau karakter bawaan]).
Kadang-kadang al-khuluq digunakan dengan makna agama (al-diin) dan kebiasaan (al-‘adah). Al-Qur'an telah menggunakan kata al-khuluq dengan makna agama dan kebiasaan, di dalam surat al-Syu’araa’ [26]:137, dan al-Qalam [68]: 4.
Allah swt berfirman;
“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang terdahulu.” (Qs. al-Syu’araa’ [26]:137).
“Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam [68]: 4).
Makna al-khuluq yang terdapat di dalam surat Al-Qalam ayat 4 adalah al-diin (agama). Al-‘Aufiy berkata, “Khuluq ‘adziim” maknanya adalah diinuka al-‘adziim. Penafsiran semacam ini juga dianut oleh al-Dlahak, Mujahid, Abu Malik, al-Rabii’ bin Anas, dan Ibnu Zaid, Imam Ahmad dan lain sebagainya. Sedangkan Ibnu ‘Athiyyahmenafsirkan “khuluq ‘adziim” dengan “adab al-‘adziim” (budi pekerti atau karakter yang agung) [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsiir]. Sedangkan yang dimaksud “adab” di sini, bukanlah budi pekerti (karakter) yang lahir secara alamiah atau nilai-nilai universal yang luhur, akan adab yang terlahir dari al-Quran. Imam Thabariy, menyatakan bahwa maksud dari “wa innaka” la’ala khuluqin ‘adzim” adalah “adabin ‘adziim”. Maksudnya, karakter budi pekerti Rasulullah adalah budi pekerti yang dibentuk oleh al-Quran, bukan karakter alamiah yang terpisah dari al-Quran dan sunnah. Dengan kata lain, budi pekerti Rasulullah saw (adab) adalah Islam dan syariatNya (hukum-hukum Allah swt). Menurut Imam Thabariy, ini adalah pendapat para ahli tafsir. [Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy]
Qatadah menuturkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa ‘Aisyah pernah ditanya tentang akhlaq Rasulullah saw. Beliau ra menjawab, “Akhlaq Rasulullah saw adalah al-Quran.” Sa’id bin Abi ‘Arubah, tatkala menafsirkan firman Allah swt, “wa innaka la’ala khuluq ‘adziim”, menyatakan, “Telah dituturkan kepada kami, bahwa Sa’id bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlaq Rasulullah saw. ‘Aisyah menjawab, “Bukankah kamu membaca al-Quran.” Imam Abu Dawud dan Nasa’iy juga meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, yang menyatakan bahwa akhlaq Rasulullah saw adalah al-Quran.
Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa akhlaq Rasulullah saw adalah refleksi dari al-Quran. Beliau menambahkan lagi, sesungguhnya karakter (akhlaq) Rasulullah saw merupakan wujud dari ketaatan beliau saw terhadap perintah dan larangan Allah swt. Beliau saw senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan apa yang dilarang olehNya. Wajar saja bila di dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq.” [HR. Imam Ahmad].
Dari seluruh penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa akhlaq adalah karakter ciptaan (fabricated), bukan karakter bawaan (al-khiim). Akhlaq seorang muslim berbeda dengan akhlaq non muslim. Akhlaq seorang muslim dibentuk berdasarkan al-Quran (aqidah dan syariatNya). Akhlaq non muslim dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip non Islam. Untuk itu, meskipun sama-sama jujur, kita tidak bisa menyatakan bahwa seorang kapitalis dan seorang muslim sama-sama memiliki akhlaq yang baik. Sebab, proses pembentukkan karakter dirinya tidaklah sama. Kejujuran seorang muslim selalu didasarkan pada aqidah dan syariat Islam. Dengan kata lain, kejujurannya adalah buah dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Kejujurannya tidak dibentuk, semata-mata karena jujur itu adalah nilai-nilai universal atau karena bermanfaat.
Berbeda dengan kapitalis maupun sosialis. Kejujurannya tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Kejujurannya hanya didasarkan pada prinsip manfaat dan kemanusiaan belaka. Kejujurannya sama sekali tidak dibangun di atas prinsip ketaqwaan kepada Allah swt. Walhasil, akhlaq seorang muslim berbeda dengan akhlaq orang kafir, meskipun penampakannya sama.
Akhlaq seorang muslim merupakan refleksi dari pelaksanaan dirinya terhadap hukum-hukum syara’. Seseorang tidak disebut berakhlaq Islam ketika nilai-nilai akhlaq tersebut dilekatkan pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan Allah swt. Misalnya, pegawai bank ribawiy tidak disebut berakhlaq Islam, meskipun ia terkenal jujur, disiplin dan sopan. Sebab, ia telah melekatkan sifat-sifat akhlaq pada perbuatan yang diharamkan Allah swt. Anggota parlemen yang suka membuat aturan-aturan kufur juga tidak bisa disebut memiliki akhlaq Islam, meskipun ia terkenal jujur, amanah dan seterusnya. Sebab, nilai-nilai akhlaqnya telah melekat pada perbuatan haram.
Walhasil, akhlaq seorang muslim harus dibentuk berdasarkan al-Quran al-Karim. Dengan kata lain, akhlaq seorang muslim adalah refleksi dari pelaksanaan hukum-hukum Allah swt.
Posisi Akhlaq Dalam Syariat Islam
Ada sebagian kaum muslim memahami , bahwa kebangkitan umat harus dimulai dari kebangkitan akhlaq. Mereka mengajukan sebuah asumsi, “Jika setiap individu memiliki akhlaq yang baik, maka masyarakat pun akan menjadi baik. Kemunduran dan kebangkitan suatu masyarakat sangat ditentukan oleh kebangkitan dan kemunduran akhlaqnya.”
Mereka juga mengetengahkan dalil-dalil syara’ untuk membangun argumentasi mereka. Dari al-Qur'an, mereka mengetengahkan ayat,
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.”[Qs. al-Qalam [68]: 4), serta nash-nash yang senada pengertiannya.
Dari sunnah mereka juga berhujjah dengan hadits yang berbicara tentang akhlaq, salah satu contohnya adalah,
“Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq.”
Benar, akhlaq merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam. Namun demikian, kita tidak boleh memahami, bahwa akhlaq yang dimaksud di sini sekedar sebagai nilai-nilai universal, dan terlepas sama sekali dengan konteks hukum syari’at.
Kejujuran, amanah, disiplin, rasa hormat, dan lain-lain merupakan nilai akhlaq yang mulia. Kesemuanya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh umat manusia, tanpa memperhatikan agama, ras, suku dan jenis kelamin. Kaum Kristen, Budhis, Yahudi, Konghucu, serta kaum kapitalis pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai itu, bahkan berusaha untuk menerapkannya. Kaum muslim juga menjunjung tinggi dan berusaha menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupannya. Namun, seorang muslim tatkala hendak menerapkan nilai-nilai yang sangat mulia itu, bukan didorong oleh sebuah motivasi bahwa nilai-nilai tersebut adalah nilai universal. Akan tetapi, ia melaksanakan semua nilai-nilai itu karena diperintahkan oleh Allah swt. Seorang muslim bersikap jujur, karena ia memang diperintahkan oleh Allah swt, bukan karena jujur itu bermanfaat atau nilai universal. Dengan kata lain, akhlaq seorang muslim adalah refleksi dari pelaksanaan syariatNya. Sebab, seluruh perbuatan seorang muslim wajib bersandar pada syariat Islam.
Di sisi lain, seorang muslim harus memahami, kapan ia jujur, dan kapan ia tidak boleh jujur. Seorang muslim, tatkala melakukan jual beli dengan orang lain, harus jujur dan amanah. Namun, ketika dalam peperangan melawan kaum kafir, ia tidak diperbolehkan jujur membeberkan kekuatan kaum muslim.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa akhlaq merupakan bagian dari syari’at Islam. Menurut pandangan Islam, akhlaq bukan sekedar nilai universal yang berlaku di tengah-tengah manusia, akan tetapi, ia adalah sifat yang harus dimiliki seorang muslim, berdasarkan perintah dari Allah swt. Dengan kata lain, akhlaq adalah syari’at Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Persoalan Utama Kaum Muslim: Bukanlah Akhlaq Yang Rusak
Bantahan atas pendapat yang menyatakan, bahwa kebangkitan umat, atau persoalan mendasar umat adalah kebangkitan akhlaqnya dapat diperinci sebagai berikut;
Pertama, sebenarnya, konteks yang hendak dikaji adalah kebangkitan umat atau kebangkitan masyarakat, bukan kebangkitan individu. Individu berbeda dengan masyarakat dari sisi karakter, maupun penyusunnya. Atas dasar itu, cara membangkitkan individu berbeda dengan cara membangkitkan masyarakat atau umat. Akhlaq adalah hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, akhlaq adalah salah satu variable penting untuk membangkitkan individu.
Berbeda dengan konteks kebangkitan masyarakat. Untuk membahas kebangkitan masyarakat, kita harus memahami unsur-unsur penyusun masyarakat, serta cara untuk mengubah masyarakat. Begitu pula jika kita hendak mengubah individu, maka kita mesti memahami terlebih dahulu unsure-unsur penyusun individu dan bagaimana cara membangkitkannya.
Masyarakat sendiri tersusun atas manusia , pemikiran, perasaan dan aturan yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat.
Benar, manusia merupakan salah satu faktor penyusun masyarakat. Namun demikian, perubahan manusia tidak secara otomatis menyebabkan perubahan masyarakat, maupun warna masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun dari manusia belaka. Namun ia juga tersusun oleh pemikiran, perasaan dan aturan. Selain itu faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat bukanlah manusia, akan tetapi pemikiran dan aturan yang diterapkan.
Masyarakat Budha terkenal orang yang menjunjung nilai-nilai akhlaq, bahkan terkenal memiliki sifat-sifat akhlaq yang mulia. Namun demikian, warna masyarakat yang tersusun oleh orang-orang Budha dan agama Budha adalah masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam. Seandainya, akhlaq adalah penentu warna masyarakat, tentunya masyarakat Budha akan bangkit menjadi masyarakat Islam. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap tidak beranjak menjadi masyarakat Islam, meskipun setiap individunya memiliki sifat-sifat akhlaq yang bernilai universal. Ini menunjukkan, bahwa faktor yang menentukan corak dan warna masyarakat adalah pemikiran dan aturan yang diterapkan di dalamnya, bukan akhlaq individunya.
Fakta lain juga menunjukkan, bahwa negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas Islam juga terkenal memiliki sifat-sifat akhlaq yang mulia, misalnya, jujur, amanah, dan berbudi pekerti luhur. Akan tetapi, masyarakat mereka tetap disebut masyarakat kufur, jika sistem aturan yang diberlakukan di negeri-negeri tersebut adalah sistem aturan kufur. Contoh yang paling mudah adalah negeri Baghdad. Negeri Baghdad ketika dikuasai bangsa Mongol, tidak lagi disebut negeri Islam, sebab, sistem yang diberlakukan di Baghdad bukan sistem Islam. Meskipun penduduknya kaum muslim dan memiliki sifat-sifat akhlaq yang mulia, akan tetapi masyarakat mereka telah berubah menjadi masyarakat kufur, bukan masyarakat Islam lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan masyarakat tidak ditentukan oleh sifat akhlaq universal yang dimiliki oleh individu-individu masyarakatnya, akan tetapi ditentukan oleh aturan dan pemikiran yang diterapkan di dalamnya. Walhasil, perubahan akhlaq individu tidak secara otomatis merubah warna masyarakat. Bahkan, perubahan akhlaq –sebagai nilai-nilai universal-- sama sekali tidak berhubungan dengan perubahan warna masyarakat.
Masyarakat Jahiliyah sebelum Islam, juga terkenal memiliki dan menjunjung nilai-nilai akhlaq yang tinggi –menghargai tamu, perwira dan sebagainya. Namun demikian, sifat-sifat akhlaqiyyah ini tidak berubah ketika masyarakat Jahiliyyah berubah menjadi masyarakat Islam. Kenyataan ini juga menunjukkan Ini bahwa sifat-sifat akhlaq bukanlah factor yang menentukan perubahan masyarakat, bahkan tidak berhubungan sama sekali.
Walhasil, jika konteks pembicaraan kita adalah mengubah warna atau corak masyarakat, maka aktivitas perubahannya tidak boleh difokuskan hanya kepada perubahan individunya belaka, namun harus difokuskan kepada perubahan pemikiran dan aturan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam tentang perubahan individu, kita pun akan menyimpulkan bahwa perubahan individu juga tidak ditentukan oleh akhlaqnya, akan tetapi ditentukan oleh pemikiran dan aturan yang diadopsinya. Orang Budha tetap disebut sebagai orang kafir, meskipun meskipun memiliki sifat akhlaq universal. Kita tidak mungkin menyatakan bahwa orang Budha adalah muslim. Orang Budha tersebut akan berubah menjadi seorang muslim tatkala pemikiran (aqidah) dan aturan yang diadopsinya adalah aturan Islam.
Di sisi yang lain, nilai-nilai akhlaq –sebagai nilai universal-- bukanlah nilai yang berdiri sendiri. Akan tetapi, ia selalu melekat pada perbuatan tertentu. Jujur adalah nilai akhlaq. Namun, anda tidak bisa mengetahui apakah seseorang itu jujur atau tidak, kecuali ketika ia melakukan suatu aktivitas tertentu. Jujur bisa melekat pada perbuatan apapun, halal maupun haram. Jujur bisa melekat pada seorang pegawai Bank yang mengkonsumsi ribawi. Jujur juga bisa melekat pada pada anggota parlemen yang suka menelorkan aturan-aturan kufur. Namun demikian, jujur yang melekat pada perbuatan-perbuatan haram tersebut tidak memiliki nilai sama sekal. Bahkan, kita tidak boleh menyatakan bahwa orang tersebut berakhlaq. Sebab, kejujurannya telah melekat pada perbuatan haram.
Dedikasi yang tinggi, disiplin, dan amanah bisa saja melekat kepada pasukan-pasukan perang yang menjadi pembela sistem kufur. Tetapi, kita tidak mungkin menyatakan orang-orang ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Bahkan, akhlaq yang menempel pada sistem kufur semacam ini, tidak memiliki arti sedikitpun.
Yang terpenting adalah mengubah pemikiran dan sistem aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan akhlaq, hanyalah sekedar bagian dari aturan-aturan Allah swt yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Perubahan akhlaq sama sekali tidak berkaitan dengan perubahan warna masyarakat.
Kedua, pernyataan di atas tidak berarti bahwa kami meremehkan akhlaq, atau menganggap bahwa akhlaq bukanlah perkara penting jika dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Al-Quran sendiri tidak menyebut kata khuluq di banyak tempat, kecuali pada surat al-Qalam [68]: 4 dan al-Syu’araa’ [26]: 137. Selain itu, para fuqaha hanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syari’at. Mereka tidak pernah mengkaji akhlaq dalam bab fiqh tersendiri. Ini menunjukkan bahwa akhlaq adalah bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Ketiga. Seandainya kita bandingkan dengan bangsa-bangsa yang saat ini mengalami kemajuan, kita bisa menyimpulkan bahwa, akhlaq yang dimiliki oleh kaum muslim lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, kaum muslim tetap saja dalam posisi kemunduran. Mereka tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa yang akhlaqnya lebih rendah dibandingkan mereka.
Keempat. Fakta juga telah menunjukkan, bahwa propaganda-propaganda, seruan-seruan, maupun buku-buku, selebaran, poster, dan lain-lain yang menyerukan kepada akhlaq sama sekali tidak memberikan pengaruh bagi kebangkitan kaum kaum muslim. Umat Islam tetap mundur dari sisi ekonomi, politik dan hukum. Ini membuktikan bahwa akhlaq bukanlah asas atau dasar dari perubahan. Ia juga bukan masalah utama bagi kaum muslim.
Seluruh penjelasan di atas tidak boleh dipahami, bahwa kami meremehkan akhlaq, atau tidak menganggap penting masalah akhlaq. Namun, kami hanya ingin menjelaskan, bahwa akhlaq bukanlah persoalan utama kaum muslim, dan juga bukan asas dan dasar kebangkitan umat.
Adapun ayat al-Qur'an yang menyatakan, “
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti.” ( Qs. Al-Qalam [68]: 4), serta nash-nash yang senada pengertiannya, semisal hadits,
“Sesungguhnya aku ini hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq”, tidak bisa dipahami bahwa asas perubahan adalah akhlaq, atau dipahami bahwa persoalan yang menjadi fokus perhatian utama Rasulullah saw adalah perubahan akhlaq.
Mufasir-mufasir terkenal, seperti Mujahid, Dlahak, Imam Thabari dan Qurthubiy, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “khulq” pada surat al-Qalam ayat 4, bukan sekedar “akhlaq”, akan tetapi bermakna “diin[i]” (agama). Di dalam shahih Bukhari telah diriwayatkan bahwa ‘Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlaq Rasulullah saw. Ia menyatakan, “[i]Akhlaq beliau saw adalah al-Quran.” (lihat pada catatan kaki, ‘Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasir, juz III, hal.465).
Ini menunjukkan, bahwa al-Quran merupakan pembentuk akhlaq Rasulullah saw dan kaum muslim. Akhlaq Islam hanya akan terbentuk dengan panduan al-Quran al-Karim.
Tidak ada gunanya mengklaim dirinya berakhlaq sementara itu, mereka berkecimpung dan turut aktif di dalam sistem kufur, atau malah masuk ke dalam parlemen untuk membuat aturan-aturan kufur.
Riwayat-riwayat sharih juga menuturkan bahwa fokus utama dakwah Rasulullah saw adalah mengubah sistem kemasyarakatan jahiliyyah, kemudian diganti dengan sistem Islam. Dengan kata lain, beliau senantiasa memfokuskan dirinya untuk merubah pemikiran yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Fakta perubahan masyarakat di jaman Rasulullah saw dan juga fakta perubahan masyarakat yang ada di dunia ini, menunjukkan bahwa masyarakat hanya akan berubah jika pemikiran mereka telah berubah.
Demikianlah anda telah kami jelaskan dengan gamblang bahwa akhlaq bukanlah asas atau dasar bagi kebangkitan umat, dan ia juga bukan masalah utama kaum muslim.
Catatan Kaki
*Lihat Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.187.
[Sebagian tulisan ini pernah dimuat di Majalah al-Wa'ie Edisi 42, dengan beberapa perubahan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar