Jumat, 24 September 2010

Anyaman Tikar


Dalam sebuah perjalanan, dua orang santri terpaksa menempuh jalan darat yang sangat jelek, belum diaspal, bergelombang dan banyak kubangan lumpur. Namun, santri yang memegang setang kemudi motor, tetap melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Berkomentarlah santri yang dibonceng: "qalbun-qalbun", maksudnya: "hati-hati, jangan ngebut, nanti kita bisa celaka".
Dari penggalan kisah di atas, kita bisa mengambil satu pelajaran, yaitu: agar kita tidak celaka, kita mesti hati-hati, atau dalam bahasa Arab yang masih ‘grotal-gratul’: qalbun-qalbun.



Jadi, kunci kecelakaan atau kebahagiaan terletak pada hati atau istilah Arab-nya: qalbun. Maksudnya, jika kita memperhatikan qalbun (kalbu atau hati) kita, niscaya kita akan berbahagia. Sebaliknya, bila kita tidak memperhatikannya, niscaya kita akan celaka.

Rasulullah saw bersabda: "Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging, jika ia baik, baiklah seluruh jasad, dan jika ia rusak, rusaklah seluruh jasad, segumpal daging itu adalah hati (nurani)".
(HR Muttafaqun ‘alaih)


Namun, di sinilah letak kerumitan makhluq yang bernama hati atau kalbu atau qalbun ini. Namanya saja qalbun. Secara harfiah, ia berarti mbolak-mbalik (jawa), bolak balik, tidak stabil, tidak konstan, cepat sekali berubah.


Seorang penyair Arab mengatakan: "Manusia tidak disebut insan, kecuali karena sifat pelupanya. Dan hati tidak dinamakan kalbu kecuali karena ia bolak balik (cepat berubah)".


Mengingat watak dan sifatnya yang seperti inilah, perlu perhatian ekstra dan super serius agar bagaimanapun mbolak-mbalik-nya hati kita, ia tetap beriman, berpegang teguh kepada Islam, komitmen dengan tata aturannya, serta konsisten meniti shirathal mustaqim, atau istilah qur’an-nya istiqamah, dan terus menerus menda’wahkannya kepada semua lapisan masyarakat.


Tersebut dalam hadits bahwa Rasulullah saw sangat sering sekali memanjatkan do’a: "Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu". (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata: hadits hasan).


Lebih repot lagi bila kita menyadari bahwa hati yang wataknya seperti itu tadi, pasti dan tidak bisa tidak, akan dihadapkan kepada berbagai macam godaan, cobaan, fitnah (menurut bahasa Al Qur’an dan Al Hadits, yang dimaksud fitnah adalah ujian atau test, bukan gosip), dan ibtila’ (tribulasi). Baik tribulasi yang baik (harta, kedudukan atau tahta dan wanita) ataupun tribulasi yang jelek (sakit, kefakiran atau kemiskinan, dan semacamnya).


Rasulullah saw menjelaskan bahwa tidak ada satu hati manusia-pun yang luput dari fitnah ini, semuanya akan dihadapkan kepada fitnah ini. Dan fitnah ini akan melewati setiap hati manusia seperti lewatnya anyaman tikar. Bukankah tikar tradisional itu anyamannya menyilang satu satu! Begitu pulalah antara hati dengan fitnah itu. Setiap hati akan bertemu dengan fitnah dan
setiap fitnah pasti akan melewati hati.


Rasulullah saw bersabda: "Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat, maka hati mana saja yang menyerap fitnah itu, akan ternodalah satu titik hitam di atasnya, dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu marmar, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko miring, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya". (HR Muslim)

Bila kita hayati hadits Rasulullah saw ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil, diantaranya adalah:


Semua hati manusia akan bertemu dengan fitnah (ujian, test), bahkan antara fitnah dan hati itu ibarat serat-serat tikar yang saling tumpang menumpang, silang menyilang dan tindih menindih, tidak ada satupun hati yang luput atau tidak terlewati atau terlalui fitnah itu.

Satu kali hati yang menyerap fitnah itu, atau menerimanya, atau OK terhadapnya, maka jadilah fitnah itu satu noda hitam pada permukaan hati itu. Dua kali OK terhadapnya, jadilah titik itu dua, begitu seterusnya, sehingga kalau sering-sering OK dengan fitnah-fitnah itu, jadilah seluruh permukaan
hati itu hitam, tidak sedikitpun ada celah bagi cahaya (nur) untuk masuk ke dalamnya, begitu juga sebaliknya, dia tidak akan melihat cahaya (nur)
selamanya. Karenanya, hati itu tidak akan lagi mengenal mana yang ma’ruf
dan mana yang munkar, tidak lagi mengenal batasan halal dan haram,
bahkan bisa jadi lebih parah lagi, yaitu: ia akan memerintahkan yang
munkar dan melarang yang ma’ruf
, na’udzu billahi min dzalik.

Sebaliknya, jika saat bertemu fitnah pertama kali ia tidak mau menerimanya, tidak menyerapnya dan tidak OK terhadapnya, atau istilahnya: menolaknya, maka penolakan ini akan menjadi satu titik putih yang cemerlang pada permukaan hatinya, dua kali menolak dua titik, dan seterusnya, sehingga seluruh permukaan hatinya akan berwarna putih cemerlang, yang dengan mudah akan menerima cahaya (nur) karena sejalan dengannya, dan dengan cahaya (nur) itu pula ia akan dengan mudah mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang munkar, sehingga insya Allah, dengan mudah pula ia akan
komitmen dengan yang ma’ruf dan konsisten untuk tetap mengingkari
yang munkar. Bahkan bisa jadi ia akan tetap tegar seperti batu marmar
putih yang tidak akan pernah terkotori oleh apapun sampai hari kiamat nanti.

Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …


Betapa banyaknya fitnah yang coba dipaparkan dan ditawarkan kepada hati kita, terutama di era reformasi yang kata banyak orang sudah kebablasan ini, dimana segala hal boleh muncul dan terbuka secara bebas sebebas-bebasnya (terkecuali Al Haq).


Dalam era seperti ini, sudah barang tentu banyak sekali fitnah yang mampir kepada kita, harta, wanita dan tahta, yang tidak lagi mengenal batas halal dan haram. Terlebih lagi jika kita berada di tengah kancah kekuasaan dan jabatan, sebab ada ungkapan bahwa jabatan atau istilahnya tahta adalah kubangan dua ta lainnya (wanita dan harta). Sudah barang tentu, tingkat kewaspadaan kita terhadap anyaman fitnah ini harus lebih ekstra, atau istilah grotal-gratul-nya harus lebih qalbun-qalbun seperti dalam cerita di muka.

Semoga dengan sikap yang qalbun-qalbun ini kita diberi taufiq, hidayah dan ‘inayah Allah swt untuk memiliki hati yang " putih seperti batu marmar, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi", sebagaimana yang tersebut dalam hadits di atas, amiiiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar