Rabu, 11 November 2009

Tafsir Surat al-Fath

Keutamaan Perjanjian Hudhaibiyyah

1. فتحنا = Yang dimaksud dengan Fath dalam ayat ini yaitu Hudhaibiyyah (nota kesepahaman perdamaian kaum muslimin dengan kaum musyrikin Quraisy), ALLAH SWT menjanjikan kemenangan yang lebih besar lagi setelahnya yaitu Fathul Makkah, berkata Imam Az-Zuhri: Tidak ada kemenangan yang lebih besar dari tercapainya Shulhu (perdamaian) Hudhaibiyyah, dan kemenangan dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk fi’il-madhi (menunjukkan wajib/pasti atasnya).

2. ليغفر لك = Bahwa jihadmu di Hudhaibiyyah tersebut wahai Muhammad SAW (yang di kemudian hari akan menyebabkan peristiwa Fathu Makkah) itu menyebabkan turunnya maghfirah dan pahala yang besar bagi kalian, ayat ini juga menjadi dalil bahwa jihad menjadi wasilah turunnya ampunan ALLAH SWT[1]. Dan ada juga syawahid atas hadits ini[2].
3. ما تقدم وما تأخر = Secara balaghah ayat ini menunjukkan bahwa antara keduanya ada banyak tingkatan dosa-dosa manusia, yang keseluruhannya akan diampuni semuanya oleh ALLAH SWT, ayat ini juga menjadi dalil adanya ke-ma’shum-an di kalangan para Nabi AS, yaitu pengampunan semua dosa baik besar maupun kecil. Dan penyebutan dosa Nabi SAW di sini sebagian mufassir menafsirkannya sebagai pahala para Al-Abrar dan kekurangan dari para muqarrabin (bukan sebagaimana dosa-dosa kita)[3] .
4. ويتم نعمته = Yaitu disempurnakan ni’mat-NYA, melalui pengampunan dosa-dosa-mu wahai Muhammad serta akan tingginya bendera Islam di bawah kakimu kelak, sehingga berkumpulnya dunia (kekuasaan politik) dan akhirat (ibadah mahdhah) pada dirimu (wahai Muhammad).
5. يهديك صراطا = Yaitu tegaknya kemenangan di atas jalan yang lurus, juga tegaknya agama ini (yaitu Dinul Islam), penyampaian risalah-NYA dan tegaknya semua syi’ar-syi’ar Islam tersebut. Imam Az-Zamakhsyari menyatakan bahwa jihad mendatangkan 4 manfaat: 1) Turunnya maghfirah, 2) Disempurnakan ni’mat ALLAH SWT, 3) Diberi hidayah ke jalan yang lurus, 4) Pertolongan ALLAH SWT dan kemenangan.
6. ينصرك الله = Yaitu pertolongan dan kemenangan yang tiada kekalahan lagi setelahnya dan kemuliaan yang tiada kehinaan lagi setelahnya, maka pribadi Nabi SAW disifati dengan kemenangan besar menunjukkan lil-mubalaghah (berlebihan). Yaitu tersebarnya Islam dan penaklukan bangsa-bangsa dari Timur sampai ke Barat yang belum pernah diberikan kepada Nabi AS yang manapun sebelumnya.

Kesimpulan:
Perjanjian Hudhaibiyyah ini menghasilkan banyak manfaat bagi kaum mu’minin:
1. Pengakuan dari kaum musyrikin atas eksistensi kaum muslimin dalam masalah politik dan hubungan internasional yang seimbang dan setara, saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing.
2. Pemisahan kaum beriman dari orang-orang munafik, dari keraguan mereka yang terus-menerus dan penyelisihan mereka kepada kebijakan qiyadah tertinggi (Nabi SAW).
3. Perdamaian antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrikin, yang dikemudian hari memberikan maslahat yang amat besar¬ yaitu lebih dapat mengajak mereka kepada Al-Islam, menyusun kekuatan kaum muslimin sehingga pada akhirnya mampu mengalahkan kekuasaan politik mereka (kaum musyrik).
4. Ujian bagi kaum muslimin terkait ketaatan mereka kepada qiyadah dan ketsiqahan mereka kepada janji ALLAH SWT dan kebenaran manhaj dakwah Nabi SAW.
5. Keutamaan Nabi SAW, pujian ALLAH SWT kepada beliau dan tingginya derajat beliau SAW disisi ALLAH SWT.
6. Tidak terpisahnya urusan agama dan politik, semuanya adalah urusan ALLAH SWT, dan wajibnya orang beriman untuk memperhatikan dan mengikuti semuanya, sebagai tanda kebenaran dan totalitas keimanannya kepada manhaj RasuluLLAH SAW.
7. Urutan tegaknya Daulah Islamiyyah, dimulai dengan pembinaan keimanan, lalu jihad, lalu siyasah (politik), yang memberikan hasil yaitu datangnya kemenangan yang hakiki yaitu ad-diin (keagamaan) dan ad-daulah (politik dan pemerintahan).

1. Sabab-Nuzul Surah
Dari Abu Ishaq dari Al-Barra’ RA berkata: “Kalian menganggap Al-Fath (kemenangan dalam ayat ini) ialah Fathu-Makkah, memang Fathu-Makkah termasuk kemenangan, namun kami (para sahabat RA.) menganggap Al-Fath adalah Bay’atur-Ridhwan yaitu Hari Hudhaibiyyah…[4]”
Berkata Imam Ibnu Hajar –rahimahuLLAH- dalam syarah-nya terhadap hadits ini: Keberangkatan nabi SAW dari Madinah adalah pada hari Senin awal bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijrah, beliau keluar dengan tujuan umrah tapi dihalangi oleh kaum musyrikin untuk sampai ke Makkah, maka terjadilah perjanjian damai bahwa mereka akan masuk Makkah di tahun berikutnya[5].
Menambahkan Imam Al-‘Ayni Al-Hanafi –rahimahuLLAH- dalam syarah-nya pula atas hadits ini bahwa jumlah kaum muslimin yang ikut saat itu antara 1400 sampai 1600 orang, dan ikut serta pula banyak sahabiyyah, di antaranya seperti Ummu Salamah RA[6]. Sementara Al-Kasymiry –rahimahuLLAH- menyebutkan dalam syarah-nya bahwa jumlah mereka ada 1400 orang[7].
Jadi jelaslah bagi kita bahwa makna Al-Fath dalam ayat ini adalah Shulhu-Hudhaibiyyah bukan Fathu-Makkah sebagaimana dikira oleh sebagian orang. Lalu adakah ayat atau hadits yang mengisyaratkan tentang Fathu-Makkah? Maka aku jawab ada, yaitu ayat: Idza Ja’a nashruLLAAHi wal fath.. dan hadits Nabi SAW: La hijrata ba’dal Fath (tidak ada hijrah setelah Fath Makkah)[8].
Maka hendaklah kita tidak salah dalam hal ini, waLLAHu a’lam.

2. Salah Satu Bentuk Kemenangan Yang Dijanjikan Ada Yang Berupa Harta Dunia (Fathu-Khaibar)
Salah satu bentuk nashrun minaLLAH dalam jihad bagi para mujahid, selain ampunan ALLAH SWT dan Jannah kelak, adalah juga harta dan perhiasan dunia bagi orang yang berjihad. Jadi jangan pula ada pemahaman ekstrem yang melarang menikmati harta dan perhiasan duniawi bagi mujahid, sepanjang ia halal dan thoyyib serta tidak berlebih-lebihan maka hal tersebut tidak boleh dicela dan hukumnya tidaklah mengapa, berdasarkan hadits sebagai berikut:
Dari Majma’ bin Jariyyah Al-Anshari RA berkata: kami menyaksikan perjanjian Hudhaibiyyah bersama Nabi SAW, maka saat kami pergi darinya turun QS Al-Fath:1-2, maka bertanya seseorang: Ya RasuluLLAH, apakah itu berarti kemenangan? Beliau SAW menjawab: Ya, demi Dzat yang diriku berada ditangan-NYA. Lalu Majma’ berkata: Lalu setelah itu Khaibar dibagikan kepada Ahli Hudhaibiyyah (yang ikut ber jihad), saat itu ada 1500 orang yang di antaranya 300 penunggang Kuda, maka Nabi SAW membaginya menjadi 18 bagian[9].

3. Tidak Terpisahnya Antara Urusan Politik Dengan Ibadah, Dengan Turunnya Syariat Shalat-Khauf Di Tengah-Tengah Peperangan
Nabi SAW menunaikan shalat Khauf (shalat ditengah-tengah pertempuran) bersama para shahabatnya di daerah Asfan[10], yaitu ketika beliau SAW mengetahui posisi kaum musyrikin dibawah pimpinan Khalid bin Walid sudah amat dekat dengan mereka[11]. Dalam kitab Al-Imta’ ada tambahan sebagai berikut [12]:
Saat pasukan Khalid sampai ke dekat posisi kaum muslimin maka ia menempati posisi antara kaum muslimin dan arah Kiblat, saat datang waktu shalat Zhuhur maka seluruh kaum muslimin melakukan shalat berjama’ah di belakang Nabi SAW, setelah selesai mereka kembali menempati posisinya, maka berkatalah Khalid dalam hatinya: “Sungguh mereka tadi lalai, jika kita serang tadi niscaya mereka akan dapat dikalahkan.”
Saat tiba waktu shalat Ashar, karena bagi kaum muslimin shalat lebih mereka cintai dari nyawa mereka dan anak-anak mereka, maka mereka semua bersiap akan shalat, lalu datanglah Jibril membawa ayat[13] sehingga mereka melakukan shalat dengan aturan shalat Khauf, melihat perubahan cara tersebut berkatalah Khalid dalam hatinya: “Tahulah aku bahwa orang-orang ini ada pembelanya, karena siapakah yang memberi tahu orang-orang ini tentang taktik yang aku baru rencanakan dalam hatiku untuk menyergap mereka saat mereka lalai?”

4. Sebelum Terjadinya Hudhaibiyah Nabi SAW Bersabda: Siap Menerima Rencana Orang-Orang Musyrik Apabila Masih ada Pengagungan ALLAH SWT di dalamnya
Ada sebagian orang yang menganggap strategi mengalah dan berkompromi dengan kaum musyrikin hanya terjadi saat Nabi SAW di Makkah saja dan telah di-mansukh saat Nabi SAW telah hijrah dan mulai memiliki sedikit kekuasaan di Madinah, hal ini tertolak oleh beberapa dalil, di antaranya sikap kompromistis Nabi SAW dengan kaum musyrikin Makkah di bawah ini, yang kemudian berakhir dengan terjadinya kompromi Hudhaibiyah yang juga merupakan fakta koalisi kaum muslimin dengan beberapa Kabilah Musyrikin[14], seperti Bani Najjar dan sebagainya, sebagai berikut:
Dari Mushawwir bin Makhramah dan Marwan berkata: Nabi SAW keluar saat Hudhaibiyah hingga sampai di suatu jalan beliau SAW bersabda: “Khalid bin Walid ada di Ghanim di barisan terdepan Quraisy, maka ambillah jalan kanan.” Maka demi ALLAH Khalid tidak menyadari keberadaan mereka sampai mereka dikejutkan oleh debu hitam beterbangan dari pasukan Nabi SAW yang mengejar mata-mata Quraisy, sehingga sampai di jalan bukit, tiba-tiba Unta beliau SAW itu menderum (mogok), maka orang-orang pun berkata: Hall..!! Hall..!! (bunyi yang diucapkan orang Arab jika Unta tidak mau berjalan), lalu mereka berkata: Qaswa (nama Unta Nabi SAW) menderum (mogok)! Maka Nabi SAW bersabda: “Qaswa tidak menderum dan itu bukan kebiasaannya, tetapi ada yang menahannya disini yaitu Dzat yang menahan Gajah Abrahah dari Rumah itu (baituLLAAH). DEMI ALLAAH! TIDAKLAH MEREKA MEMINTA SEBUAH RENCANA KEPADAKU YANG MANA MASIH MENGAGUNGKAN HAK ALLAAH PADANYA KECUALI PASTI AKAN AKU BERIKAN KEPADA MEREKA.” Lalu Nabi SAW menyentak Untanya dan Qaswa langsung bangkit[15].

5. Menggunakan Cara dan Sarana Sesuai dengan Orang/Kelompok yang Dihadapi
Nabi SAW tidak bersikap kaku dalam melakukan lobi-lobi dan teknik berdiplomasi dengan lawan politiknya yaitu kaum kuffar Quraisy, melainkan beliau SAW menggunakan berbagai sarana dan cara yang sesuai dengan tokoh yang akan dihadapinya (apakah latar-belakangnya tentara, informal leader, pengusaha, dan sebagainya) dengan tujuan mengoptimalkan diplomasi politik yang dilakukannya dengan kaum musyrikin tersebut, dalilnya sebagai berikut [16]:
Saat Nabi SAW di Hudhaibiyah Quraisy mengirim Urwah bin Mas’ud untuk berdiplomasi dengan Nabi SAW, dan tiap kali ia berbicara dengan Nabi SAW, tangannya berusaha memegang janggut Nabi SAW, namun tiap kali itu pula Mughirah bin Syu’bah RA memukul tangan tersebut dengan gagang pedang sambil berkata: Jauhkan tanganmu dari wajah RasuluLLAH SAW! Demikianlah terjadi berkali-kali, maka Urwahpun mulai memperhatikan semua sahabat Nabi SAW dan berkata: Demi ALLAH! Tidaklah ia berdahak kecuali selalu jatuh pada telapak tangan seseorang dari mereka dan mereka menggosokkannya ke wajah atau kulitnya, apabila ia memerintah mereka segera berlari mengerjakannya dan jika berwudhu maka seolah-olah mereka hampir berbunuhan mendapat sisa wu-


dhu’nya, jika ia berbicara mereka semua diam mendengarkan dan mereka tidak berani lama memandang kepadanya. Maka iapun pulang dan berkata pada kaumnya: Hai kaumku! Demi ALLAH aku telah menjadi duta bagi para Raja, Kaisar, Kisra dan Najasyi, tapi demi ALLAH! Aku belum pernah melihat seorang Rajapun yang dimuliakan oleh para pengikutnya seperti sahabat Muhammad kepadanya. Dan sungguh ia telah menawarkan pada kalian usul yang baik maka terimalah![17]
Maka seorang dari Bani Kinanah berangkat untuk menggantikannya berdiplomasi, maka Nabi SAW bersabda: “Ia adalah si Fulan, dan ia adalah orang yang sangat menghormati Unta untuk Kurban, maka giringlah unta-unta kita ke hadapannya.” Lalu saat ia datang para sahabat menyambutnya sambil menggiring unta-unta mereka sambil ber-talbiyyah, melihat itu orang tersebut langsung kembali sambil berkata ke pasukannya: SubhanaLLAH! Tidak sepantasnya mereka dilarang memasuki BaituLLAH! Aku melihat unta-unta telah ditandai dan diberi nama (untuk Qurban), karena itu menurutku mereka tidak boleh dilarang masuk Ka’bah[18]!

6. Digantinya Penulisan Basmalah Menurut Al-Qur’an dan Penyebutan Rasulullah dengan Penulisan Menurut Tradisi Musyrikin
Klimaks dari sikap kompromi Nabi SAW dalam diplomasi dengan kaum musyrikin tersebut, adalah kesediaan beliau SAW mengorbankan beberapa masalah yang mungkin oleh sebagian orang dianggap prinsip dan bahkan merupakan masalah ‘aqidiyyah, seperti penggantian kata ‘BismiLLAAHir Rahmaanir Rahiim’ dengan bismiLLAAH versi mereka yaitu ‘BismikaLLAAHumma’ dan kalimat ‘Muhammad RasuluLLAH’ dengan penolakan mereka terhadap kerasulan Nabi SAW sehingga menjadi hanya ‘Muhammad bin AbduLLAAH’ saja, namun Nabi SAW tetap menerima perjanjian tersebut, sebagai berikut[19]:
Ma’mar berkata: Az-Zuhry berkata dalam sebuah hadits: Maka Suhail bin Amr datang lalu berkata: Berikan kertas tulislah antara kami dan kalian sebuah perjanjian. Maka Nabi SAW memanggil penulis, lalu bersabda: “Tulislah BismiLLAHir Rahmanir Rahim..” Suhail menyela: Adapun Ar-Rahman maka demi ALLAH aku tidak mengetahuinya! Maka tulis saja: BismikaLLAHumma, sebagaimana kami menulis!
Maka Nabi SAW bersabda: “Tulislah bismikaLLAHumma. Ini yang diputuskan oleh Muhammad RasuluLLAH..” Maka Suhail menyela lagi: Demi ALLAH! Kalau sekiranya kami tahu engkau adalah RasuluLLAH, maka kami tidak akan menghalangimu ke baituLLAH dan tidak memerangimu! Maka tulis saja Muhammad bin AbdiLLAH. Maka nabi SAW bersabda: “Demi ALLAH, sesungguhnya aku ini adalah RasuluLLAH sekalipun kalian mendustakanku, baiklah tulislah Muhammad bin AbdiLLAH..” Maka Az-Zuhry berkata: Semua itu disebabkan sabdanya sebelumnya: DEMI ALLAH! TIDAKLAH MEREKA MEMINTA SEBUAH RENCANA KEPADAKU YANG MANA MASIH MENGAGUNGKAN HAK ALLAH PADANYA KECUALI PASTI AKAN AKU BERIKAN KEPADA MEREKA.

7. Dikorbankannya Sebagian Hak Kaum Muslimin Demi Maslahat yang Lebih Besar Bagi Jama’ah Di Kemudian Hari
Bahkan konsekuensi dari kompromi yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan musyrikin Quraisy adalah terhapusnya hak pada sebagian kaum muslimin, demi maslahat yang jauh lebih besar di kemudian hari, yang mungkin bagi sebagian orang yang berfikir pendek maslahat tersebut dianggap hanya bersifat spekulatif, tidak pasti, dan mengorbankan hal yang sudah qath’iy dalam ahkam-syariah, sebagai berikut[20]:
Setelah ditulisnya nota-kesepahaman tersebut bersabda nabi SAW: “Hendaklah kalian membiarkan kami ke baituLLAH sehingga kami bisa Thawaf padanya?” Maka Suhail menjawab: Demi ALLAH! Janganlah sampai orang-orang Arab mengatakan kami mendapat tekanan, tetapi datanglah tahun depan saja. Maka ditulislah hal tersebut. Suhail lalu menambahkan: Dan hendaklah tidak ada yang datang dari kami kepadamu, sekalipun ia dalam agamamu melainkan harus engkau kembalikan pada kami! Maka kaum muslimin berseru: SUBHANALLAH! BAGAIMANA MUNGKIN MEREKA DIKEMBALIKAN PADA ORANG MUSYRIK PADAHAL MEREKA DATANG SEBAGAI MUSLIM?! Pada saat itu masuklah Abu Jandal (anaknya Suhail) melompat-lompat dalam keadaan dirantai. Ia telah keluar hijrah dari Makkah, maka ia menghempaskan dirinya di hadapan kaum muslimin. Lalu Suhail berkata: Ya Muhammad! Ini adalah yang pertama aku tuntut darimu supaya dikembalikan pada kami. Abu Jandal berkata: Duhai segenap kaum muslimin! Apakah aku akan dikembalikan lagi kepada kaum musyrik, padahal aku telah datang dalam keadaan muslim?! Tidakkah kalian perhatikan apa yang aku dapatkan dari penyiksaan mereka. Dan ia telah disiksa dengan penyiksaan yang berat di jalan ALLAH SWT.

8. Dampak Shulhu-Hudhaibiyah Terhadap Ke-Tsiqah-an di Kalangan A’dha Bahkan di Kalangan Sebagian Qiyadah
Langkah-langkah yang ditempuh oleh qiyadah yaitu nabi SAW saat itu dianggap sangat kontroversial oleh kaum muslimin, bahkan oleh sebagian qiyadahnya yang selevel Umar bin Khattab RA, sehingga ia tidak bisa menerima sikap qiyadah-‘ulya dan bertanya kepada qiyadah yang lain yaitu Ash-Shiddiq RA, dan Ash-Shiddiq-lah yang menegur Umar RA agar tetap memegang teguh ra’yul qiyadah ‘ulya yaitu Nabi SAW, sebagai berikut: Sahl bin Hanif berkata: Tuduhlah diri-diri kalian sungguh aku telah melihat kami pada perjanjian Hudhaibiyah (perjanjian antara Nabi SAW dengan Kaum Musyrikin), sekiranya kami melihat akan ada pertempuran pasti kami akan berperang. Maka Umar RA datang dan berkata: Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan? Jawab Nabi SAW: Benar. Tanya Umar RA: Bukankah korban-korban dari kita masuk ke


Jannah dan korban-korban dari mereka masuk ke Naar? Jawab beliau SAW:
Benar. Lalu kata Umar RA: lalu mengapa kita memberikan kehinaan pada agama kita (dengan berdamai dengan mereka) sehingga kita pulang padahal ALLAH belum memberikan keputusan? Jawab Nabi SAW: Wahai Ibnul Khattab, sesungguhnya aku adalah RasuluLLAH dan DIA tidak akan pernah menyia-nyiakan aku selamanya. Lalu Umar RA pun kembali dalam keadaan kesal, dan ia tidak bisa bersabar sehingga ia pergi menemui Abubakar RA seraya berkata: Wahai Abubakar, bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan? Jawab Abubakar RA: Wahai Ibnul Khattab, sesungguhnya beliau adalah utusan ALLAAH dan ALLAH tidak akan menyia-nyiakan beliau selamanya. Lalu turunlah surat ini[21].
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dengan tambahan: lalu turunlah ayat Al-Qur’an (Al-Fath) kepada Nabi SAW, lalu beliau SAW mengutus orang kepada Umar RA dan membacakan kepadanya, lalu Umar RA berkata: Wahai RasuluLLAH, apakah itu berarti kemenangan? Jawab beliau SAW: Ya. Maka Umar RA menjadi tenang[22].
Peristiwa perdamaian dengan kaum musyrikin dan mengalahnya kaum mu’minin dalam banyak point-point perjanjian ini, apalagi juga dengan gagalnya umrah mereka ini demikian mengguncangkan, sehingga sampai saat Nabi SAW memerintahkan untuk melakukan tahallul (mencukur rambut ba’da Thawaf dan Sa’i) sampai 3 kali mereka diam dan tidak segera melaksanakannya, sehingga Nabi SAW meminta pendapat istrinya Ummu Salamah yang menasihati beliau SAW agar memulai menyembelih dan bercukur, sehingga mereka semua mengikuti beliau SAW[23].

9. Munculnya Kelompok yang Berbeda Ijtihad
Hal lainnya yang merupakan pelajaran dari peristiwa Hudhaibiyah adalah munculnya kelompok kaum muslimin yang tidak siap dengan kebijakan operasional mainstream harakah Islamiyyah, kemudian mereka membentuk kelompok sendiri (sempalan), namun mereka masih loyal dengan qiyadah-’ulya yaitu Nabi SAW, perbedaan yang terjadi hanya karena tekanan kondisi yang mereka alami belaka, sebagai berikut[24]:
Maka ia (perawi) berkata: Abu Jandal bin Suhail kemudian lepas dari para penawannya, lalu ia bertemu dengan Abu Bashir (tokoh muslim lainnya yang ditawan oleh Quraisy dan juga meloloskan diri), maka tidaklah orang Quraisy yang masuk Islam dan melarikan diri kecuali menemui Abu Bashir hingga terbentuklah sebuah kelompok besar (sekitar 70 orang[25]). Maka demi ALLAH, tidaklah mereka mendengar adanya kafilah Quraisy yang keluar ke Syam kecuali mereka hadang dan dibunuhnya lalu diambil hartanya. Maka orang-orang Quraisy menyurati Nabi SAW dan bersumpah dengan nama ALLAH dan menyambung silaturrahim yang isinya agar orang-orang Quraisy yang datang kepadanya dijamin keamanannya dan memasukkan Abu Bashir dan teman-teman-nya kembali ke Madinah[26].

10. Salah Satu Point Perjanjian Hudhaibiyah Adalah Ditandatanganinya Pakta Perdamaian dengan Kelompok Musyrikin Penentang, Serta Dicapainya Pakta-Koalisi dengan Musyrikin yang Netral
Salah satu hasil yang fenomenal dari peristiwa Hudhaibiyah adalah terjadinya pakta kesefahaman (MOU) antara harakah Islamiyyah di masa tersebut dengan kelompok dua kelompok non-muslim yang berbeda secara diametral, yang pertama adalah pakta perdamaian antara harakah Islamiyyah dengan kelompok penentang yaitu kafir Quraisy dan yang kedua adalah dengan pakta koalisi dengan kelompok musyrikin yang netral, diantaranya dengan Bani Khuza’ah, sebagai berikut:
Di antara nota kesepahaman tersebut adalah menghentikan peperangan selama 10 tahun, selama masa itu tidak boleh ada peperangan, lalu siapapun orang Quraisy yang menyeberang kepada Nabi SAW tanpa seizin walinya harus dikembalikan pada Quraisy, sebaliknya jika ada pihak muslimin yang menyeberang ke Quraisy maka tidak akan dikembalikan, kedua pihak tidak boleh menyembunyikan niat jahat[27], tidak boleh melakukan pencurian dan tidak boleh berkhianat[28]. Siapapun yang mau berkoalisi pada pihak Muhammad SAW dipersilakan, dan siapapun yang mau berkoalisi dengan pihak Quraisy juga dipersilakan, maka Bani Khuza’ah berkoalisi dengan Nabi SAW sementara Bani Bakr berkoalisi dengan Quraisy[29]. Tahun itu Nabi SAW tidak boleh umrah dan memasuki Makkah, melainkan baru dibolehkan pada tahun depannya, tapi tidak boleh membawa senjata dan tidak boleh lebih dari 3 hari saja[30].

11. Globalisasi Islam ke Seluruh Penjuru Dunia
Hal lainnya yang merupakan perkembangan harakah Islamiyyah adalah dimulainya komunikasi Harakah Islamiyyah dengan berbagai negara di dunia, yang dicirikan dengan dikirimnya para delegasi harakah ke berbagai negara untuk melakukan diplomasi dan penyampaian missi Islam, dan hendaklah diingat bahwa ini semua dilakukan oleh harakah Islam saat sebelum terjadinya Fathu Makkah, yaitu sebagai berikut[31]:
Pengiriman delegasi yaitu Amr bin Umayyah Adh-Dhamri RA ke Najasyi raja Habasyah, pada akhir tahun ke-6 Hijrah atau dalam riwayat lain di bulan Muharram tahun ke-7 Hijrah. Pengiriman Hathib bin Abi Baltha’ah RA ke Juraij bin Matta yang bergelar Muqauqis Raja Iskandaria Mesir. Pengiriman AbduLLAAH bin Hudzafah As-Sahmi RA ke Kisra’ Raja Persia, pada tahun ke-6 atau ke-7 Hijrah. Pengiriman Dhihyah bin Khulaifah Al-Kalby RA ke Kaisar (Hiraclius) Raja Byzantium Romawi Timur. Pengiriman Al-A’la bin Hadhrami RA ke Mundzir bin Sawa’ Raja Bahrain. Pengiriman Salith bin Amr Al-Amiri RA ke Haudzah bin Ali Raja Yamamah. Pengiriman Syuja’ bin Wahb Al-Khuzaimah RA ke Al-Harits bin Abi Syammar Al-Ghassani Raja Damsyik. Dan pengiriman Amr bin ‘Ash ke Jaifar dan Abd Al-Jalandi penguasa Omman.

12. Terjadinya Kemenangan Besar Harakah Islamiyyah Yaitu Fathu-Makkah
Hal terakhir setelah pakta perdamaian dan koalisi tersebut adalah memberikan kesempatan kepada harakah Islamiyyah untuk menyebarkan dakwah, melakukan konsolidasi internal, menarik simpati publik, menyibakkan citra tidak baik yang disematkan oleh para musuh, membangun harmoni dengan berbagai lapisan masyarakat, membuka diplomasi dengan berbagai negara, sehingga pada akhirnya mampu eksis mengalahkan penindasan, korupsi, kesewenang-kesewenangan, kediktatoran, kemiskinan, kebejatan moral, untuk memimpin dunia di dalam kedamaian dan kasih-sayang Islam.
Bahkan kepada para musuhpun sang pemimpin tertinggi harakah yaitu Nabi SAW bersabda: Kami akan bersabar dan kami tidak akan menghukum kalian[32].. Atau juga sebagaimana sabdanya: Makkah adalah tanah haram, tidak boleh lagi terjadi peperangan setelah itu[33].. Atau juga sabdanya: Setelah penaklukan Makkah tidak boleh lagi ada seorang Quraisy yang dibunuh sampai Hari Kiamat[34]..
Dan perlu dicamkan bahwa peristiwa Fathu Makkah yang luar biasa besar ini terjadi karena Nabi SAW membela mitra koalisinya yaitu Bani Khuza’ah (yang musyrik) yang telah dizhalimi oleh Bani Bakr (salah satu mitra koalisi kafir Quraisy)[35], kejadian selengkapnya saat detik-detik bersejarah penaklukan makkah tersebut adalah sebagai berikut:
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: Sesungguhnya Nabi SAW keluar pada bulan Ramadhan dari Madinah bersama 10.000 pasukannya, kejadian tersebut terjadi 8,5 tahun dari kedatangannya ke Madinah[36]. Dalam hadits lainnya disebutkan: Saat pasukan kaum muslimin bergerak maka Nabi SAW memerintahkan Al-Abbas RA agar mengajak Abu Sufyan melihat di tempat lewatnya para pasukan (untuk melihat betapa besar kekuatan harakah Islamiyyah saat itu), tiba-tiba lewatlah suatu kelompok besar maka tanya Abu Sufyan: Wahai Abbas, siapakah mereka ini? Jawab Abbas: Ini adalah kabilah Bani Ghiffar. Maka jawab Abu Sufyan: Apa masalahku dengan Bani Ghiffar? Lalu lewatlah pasukan besar yang lain, ia bertanya lagi: Wahai Abbas siapakah mereka ini? Jawab Abbas: Ini adalah kabilah Juhainah. Demikianlah lewat pula Bani Sa’d bin Hudzaim, sampai lewatlah suatu pasukan yang demikian menakjubkannya, kata Abu Sufyan: Lalu siapakah mereka ini? Jawab Abbas: Ini adalah kaum Anshar yang dipimpin oleh Sa’d bin Ubadah, lihatlah benderanya. Lalu lewatlah suatu kelompok yang paling mengesankan, namun paling sedikit jumlahnya diantara mereka nampak RasuluLLAH SAW bersama para shahabatnya, bendera Nabi SAW dipegang oleh Az-Zubair bin Awwam RA[37].
Berkata Abubakar Ash-Shiddiq RA: Tidak ada satupun kemenangan dalam Islam yang lebih besar dari kemenangan Hudhaibiyah, akan tetapi manusia waktu itu berfikir singkat hingga tidak mengetahui rencana Muhammad SAW dengan RABB-nya, orang terlalu tergesa-gesa sedangkan ALLAH SWT tidak pernah tergesa-gesa, hingga segala sesuatu mencapai targetnya[38].
Komentar Imam Az-Zuhri: Tidak pernah ada kemenangan dalam Islam melebihi kemenangan dalam pakta Hudhaibiyah, karena peperangan hanya akan menyebabkan pergesekan antara manusia, akan tetapi setelah terjadinya pakta kesefahaman, maka perang pun mereda dan manusia merasa aman terhadap sesamanya, lalu mereka bisa berunding dan bertemu, maka tidak seorang pun yang mengerti suatu pembicaraan, lalu ia diajak berdiskusi tentang Islam kecuali ia pun masuk kedalamnya, sesungguhnya hanya dalam 2 tahun itu, sejumlah besar orang telah masuk Islam sebanyak jumlah seluruh orang Islam sebelumnya, atau bahkan lebih banyak lagi.
Selesai Bi-IdzniLLAAH, faliLLAAHil hamdu wal minah…

Catatan Kaki:

[1] Bahkan diriwayatkan oleh Syaikhan, Ahmad, Tirmidzi, Al-Hakim dari Anas RA: Turun pada Nabi SAW ayat ini, maka beliau SAW bersabda: Sungguh turun suatu ayat untukku yang lebih kucintai dari dunia dan seisinya. Maka mereka berkata: Sungguh telah turun ayat yang menjelaskan tentang ni’mat ALLAAH SWT padamu, maka bagaimana kami ya RasuluLLAAH? Maka turunlah ayat: ليد خل المؤمنين والمؤمنات
[2] Berkata Ibnu Abbas RA: Saat turun ayat وما أدري ما يفعل بي ولا بكم, maka berkata orang-orang Yahudi: Bagaimana kita akan mengikuti laki-laki yang ia sendiri tidak mengetahui apa yang akan dilakukan ALLAAH pada dirinya?! Maka ALLAAH SWT menurunkan ayat ini.
[3] Ada hadits shahih riwayat Muslim dan Ahmad dari Aisyah RA: Adalah Nabi SAW jika shalat berdiri sampai pecah-pecah kakinya, maka berkatalah Aisyah RA: Wahai RasuluLLAAH! Masihkan anda berbuat begini padahal ALLAAH SWT sudah mengampuni semua dosa anda yang terdahulu maupun akan datang?! Jawab beliau SAW: Wahai Aisyah, tidakkah pantas aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?!

[4] HR Bukhari, kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwah Al-Hudhaibiyyah, XIV/38
[5] Fathul-Bari, XI/474
[6] ‘Umdatul-Qari, XXV/500
[7] Faydhul-Bari, VI/168
[8] Riwayat Sai’d bin Manshur dari Asy-Sya’biy, di-shahih-kan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Al-Fath, XI/478
[9] Ibnu Jarir, XXVI/71; Al-Hakim, II/459, ia berkata: Shahih sesuai syarat Muslim. Adz-Dzahaby mengomentarinya: Muslim tidak meriwayatkan bagi Majma’ dan tidak pula bagi bapaknya, namun keduanya adalah tsiqah.
[10] HR Abu Daud, Kitabu Shalah, hal. 215, haditsnya shahih (lih. Al-Mustadrak, III/338; Sunan Al-Kubra, III/257; Tafsir Ibnu Katsir, I/548; Al-Ishabah, VII/294). Ibnu Hajar menyebut secara pasti bahwa hal ini terjadi di Hudhaibiyyah (Al-Fath, VII/423)
[11 Ini berdasarkan pendapat yang menyatakan perang Dzatu Riqa’ setelah perang Khaibar dan inilah yang lebih shahih waLLAAHu a’lam
[12] Imta’ul-Asma’, Al-Muqrizi, I/380
[13] QS An-Nisa’, IV/102
[14] Untuk kajian lebih mendalam mengenai dalil-dalil hal ini, silakan baca tulisan saya di millist dan website ini dengan judul: Koalisi Politik di Masa Nabi SAW
[15] HR Bukhari, VI/275; lih. Juga syarah-nya dalam Al-Fath, V/329 hadits no. 2731
[16] Ibid
[17] Al-Fath, hadits no. 2731 dan 2732; Musnad Ahmad, IV/324
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Riwayat ini disebutkan secara musnid-muttashil dalam Shahih Bukhari, Kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwah Hudhaibiyah, XIV/72; sementara sisanya dalam Al-Fath, VIII/283
[21] HR Bukhari, di beberapa tempat dalam shahih-nya: X/77, XI/315 dan XVI/142
[22] HR Muslim, II/141; Ahmad, III/486; Ibnu Jarir, XXVI/70
[23] HR Bukhari, VI/275
[24] HR Ahmad, IV/331; Ibnu Jarir, XXVI/101; AbduRRAZZAQ, V/342
[25] Al-Muqrizi, Imta’ul Asma’, I/304
[26] Ibid
[27] Ibnul Atsir, An-Nihayah fi Gharibil Hadits, III/327
[28]Ibid, II/392 dan III/380
[29] Sirah Ibnu Hisyam, II/394; Al-Maghazi Al-Waqidi, II/789; Tarikh At-Thabari, IV/45; Al-Amwal Az-Zanjawaih, I/401
[30] HR Ahmad, IV/325 dari riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad hasan, lih. Juga Sirah Ibnu Hisyam, III/308, ia menyatakan mendengar sendiri riwayat ini
[31] Al-Muqrizi, Imta’ul Asma’, I/304; Tarikh At-Thabari, II/288; Sirah Ibnu Hisyam, IV/279; Thabaqat Ibnu Sa’d, I/258; Siyar A’lami Nubala’ Adz-Dzahabi, X/400
[32] HR Ahmad, V/135; Tirmidzi, IV/361-362
[33] HR Tirmidzi, III/83 ia berkata: Hasan Shahih; Ahmad, III/412 dengan sanad yang hasan
[34] HR Muslim, II/98; Ahmad, III/412 dengan sanad shahih
[35] Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, Mu’jam Ash-Shaghir At-Thabrani, II/73; Musnad Abu Ya’la, IV/400
[36] HR Bukhari, Kitab Al-Maghazi, Fathu Makkah fi Ramadhan, hadits no. 4276
[37] Ibid, no. 4280
[38] Al-Muqrizi, Imta’ul Asma’, I/296







1 komentar: