Beramal jama’i merupakan jihad yang telah disyari’atkan dan konsekuensi logis kebutuhan operasional. Landasan pensyariatannya telah ditetapkan berdasarkan nas-nas wahyu, kaidah-kaidah fikih, Atsar para ulama salaf, konsekuensi realitas kehidupan, sunnah pergulatan, dan sunnah kehidupan sosial.
Cukup banyak landasan wahyu yang menyerukan amal jama’i baik dalam Alquran maupun As sunnah dengan menggunakan Dhamir Jama’ (kata ganti plular) yang disertai dengan tekanan melakukan amal kebajikan dan membela kebenaran. diantara bentuk 5ungkapan seruan itu adalah:
Beramal jama’i merupakan jihad yang telah disyari’atkan dan konsekuensi logis kebutuhan operasional. Landasan pensyariatannya telah ditetapkan berdasarkan nas-nas wahyu, kaidah-kaidah fikih, Atsar para ulama salaf, konsekuensi realitas kehidupan, sunnah pergulatan, dan sunnah kehidupan sosial.
Cukup banyak landasan wahyu yang menyerukan amal jama’i baik dalam Alquran maupun As sunnah dengan menggunakan Dhamir Jama’ (kata ganti plular) yang disertai dengan tekanan melakukan amal kebajikan dan membela kebenaran. diantara bentuk 5ungkapan seruan itu adalah:
1. Seruan yang menunjukan kewajiban
Firman Allah SWT: ” Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan yang mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung“[1]. Yakni segolongan yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar, dan bukan segolongan ummat yang terpisah-pisah dan tercerai berai. Ibnu Jarir Atthabari berkata:
(Kata ummat berarti segolongan yang berhimpun dalam satu agama, kemudian mengalami penyempitan makna, kata ummat berarti agama itu sendiri, sebagaimana firman Allah swt: ” Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kalian ummat yang satu“[2]. Yakni pemeluk agama satu[3]. Jadi ummat adalah sekelompok orang yang berhimpun dalam sebuah karakter, tujuan, dasar dan kaidah yang membatasinya. Rasyid Ridho berkata dalam tafsirnya Al Manar: ” Kata Ummat lebih khusus dari kata jamaah, ummat berarti golongan yang menghimpun individu-individu yang memiliki ikatan dan kesatuan, mereka tak ubahnya seperti anggota tubuh dalam tubuh yang satu“.
Huruf “Min” dalam kata ” Minkum” berfungsi menjelaskan jenis, maka amar makruf nahi munkar merupakan kewajiban setiap individu ummat tanpa kecuali.
2. Berjamaah mengundang rahmat Allah.
Firman Allah: Dan jika Tuhanmu menghendaki niscaya Dia menjadikan menusia ummat yang satu akan tetapi mereka selalu berselisih. Kecuali orang yang dirahmati Tuhanmu, dan demikianlah Dia menciptakan mereka…”[4]. Qatadah berkata: “Rahmat Allah akan tercurah kepada mereka yang berjamaah, walaupun tubuh dan daerah mereka berpencar“[5]. Thawus dan Ibnu Abbas memberikan komentar tentang firman Allah: ” Dan karena itulah Dia (Allah) menciptakan mereka“. Yakni karena rahmat dan kasih sayang, Dia menciptakan mereka dan menjadikan berjamaah, demikian pula yang dikatakan Mujahid Ad Dhahaq dan Qatadah[6] dengan berargumentasi firman Allah: ” Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku“[7]. Imam Ali bin Abil ‘Iz Al Hanafi, pensyarah At Thahawiyah 5berkata: ” Demikianlah Allah mengecualikan para ahli rahmat dan kasih sayang Allah dari perpecahan“[8].
3. Berjamaah akan menjaga dari kesesatan
Firman Allah: ” Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian tatkala kalian bermusuh-musuhan maka Dia satukan hati-hati diantara kalian hingga jadilah kalian bersaudara dengan nikmat-Nya dan kalian berada ditepi jurang api neraka lalu Dia menyelamatkan kalian darinya, demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayat-Nya agar kalian mendapatkan petunjuk“[9].
Ibnu Katsir berkata dalam firman-Nya: ” Dan Janganlah kalian berpecah belah”, Dia memerintahkan berjamaah dan melarang berpecah belah… kemudian berkata: ayat ini mengandung jaminan pemeliharaan dari kesalahan saat mereka bersepakat dari kesalahan sebagaimana yang digambarkan dalam beberapa hadits yang beragam“[10]. Seperti yang dituturkan Al Hafidz Ibnu Abil ‘Ashim dalam kitabnya as Sunnah diantaranya hadist: ” Sesungguhnya Allah menjamin Ummatku bersepakat dalam kesesatan“[11]. Dalam riwayat Ibnu Mas’ud: ” Tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad saw dalam kesesatan“[12] dan ini meruapakan karakteristik khusus ummat ini sebagai sebuah kehormatan, kemulyaan dan ketinggian derajatnya. Imam Syafi’i telah mengambil sebuah argumentasi dari firman Allah: ” Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelasnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman maka kami akan lemparkan apa yang dipalingkan dan Kami akan masukkannya ke dalam Jahannam dan seburuk-buruk tempat kembali“[13]. Bahwasanya Ijma’ adalah hujjah yang haram mengingkarinya dan menjadi nyata berpegang teguh dengannya. Dan tidak diragukan lagi, baik Ijma, Ijtima (berkumpul) dan jamaah memiliki sebuah keterikatan satu sama yang lain.
4. Berjamaah adalah warisan para rasul dan Nabi serta manhaj mereka dalam menyampaikan.
Firman Allah: ” Dan tidaklah setiap nabi berjuang kecuali bersama segolongan yang banyak, maka tidaklah mereka gelisah terhadap apa yang menimpa mereka…” Ibnul Qoyyim berkata: ” Arribbiyun yakni Golongan dan kelompok dengan kesepakatan para mufassir. Dikatakan ia berasal dari kata Ar Ribah dengan dibaca kasrah yakni Jamaah. Al Jauhari berkata: ” Ar Ribbiyyu bentuk tunggal dari Ar Ribbiyyun mereka adalah beribu-ribu manusia“[14].
Firman Allah: ” Katakanlah inilah jalanku yang aku menyeru kepada Allah diatas bshirah aku dan orang-orang yang mengkutiku…” Ibnul Qoyyim berkata: ” al Farra’ berkata: ” Aku dan orang-orang yang mengikutiku yang menyeru kepada Allah sebagaimana yang aku seru“. Sebagaimana pula yang dikatakan Al Kalbi.
Dan demikianlah manhaj dan metode Rasulullah saw dalam membangun pondasi awal pemerintahan Islam, beliau menfokuskan pada pembinaan kelompok generasi yang akan memperkuat, membntu dan membela perjuangannya, berliau selalu menawarkan kepada khalayak menusia pada musim-musim haji seraya berkata: ” Adakah seseorang yang hendak membawaku kepada kaumnya untuk menyampaikan tugas Tuhanku, sebab kaum Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan tugas Tuhanku…”. Beliau tidak henti-hentinya menawarkannya hingga Allah mempertemukannya dengan sekelompok orang dari suku Aus dan Khazraj yang membawanya ke kota Madinah, memperjuangkan dengan segenap tenaga dan kemampuan demi membela dakwahnya. Mengikuti dan menteladani manhaj dakwah rasul hukumnya wajib sebagaimana dalam kewajiban syar’I yang lain: ” dan ikutilah dia agar kalian mendapatkan petunjuk“[15]. Diantara gambaran yang indah yang pernah tergores dalam manhaj para nabi keteladanan argumentasi nabi Harun kepada saudaranya nabi Musa: ” Aku khawatir engkau mengatakan engkau telah memecah belah bani Israel dan tidak mengindahkan perkataanku“[16].
5. Seruan bersatu dan tolong menolong dalam kebaikan.
Firman Allah: ” Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa“[17]. Dan jamaah adalah bukti yang paling jelas berhimpunnya nilai-nilai kebaikan, tanda semburat sinar keimanan serta ungkapan yang paling tepat akan keunggulan dan keistimewaan ummat. Sebab, adakah sebuah kebaikan yang lebih harus kita saling tolong-menolong dibanding melaksanakan perintah dan syariat-Nya, merealisasikan kepemimpinan agama-Nya, agar hanya kalimat Allah yang berjaya.
6. Mendatangkan pertolongan, kemenangan dan bantuan Allah
Firman Allah: ” Dan janganlah kalian berselisih, maka kalian akan gagal dan akan lenyap kekuatan kalian“[18].
Dalam firman Allah yang lain: ” Jika kalian menolong Allah, maka Dia akan menolong kalian dan menetapkan telapak-telapak kaki kalian“[19]. Menolong Allah dengan mentaati-Nya, membenarkan firman-firman-Nya serta menjauhi larangan-larangan Nya. Dan diantara perintah-Nya adalah kewajiban bersatu dalam kalimat-Nya, berhimpun dalam jamaah dan komitmen terhadapnya, sebab bersatu adalah rahmat sedang cerai berai adalah azab, sebagaimana atsar marfu’ yang datang dari Ibnu Abbas, ia berkata: ” Tangan Allah bersama jamaah“[20].
7. Dalam jamaah terdapat keselamatan dan indahnya akibat
Firman Allah: ” Maka Kami selamatkan orang-orang yang mencegah dari keburukan dan Kami siksa orang-orang yang dhalim dengan siksaan yang hina karena kefasikan yang mereka lakukan“[21].
Dalam sebuah atsar dikatakan: ” Barang siapa menghendaki taman-taman surga maka hendaklah tetap berjamaah“[22].
8. Perintah komitmen berjamaah, ancaman berpecah belah dan akibat percerai beraian
Firman Allah: ” Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukannya. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka“[23]. Dalam firman Allah yang lain: ”Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas“[24]. Ini adalah peringatan bagi ummat ini akan penyakit berpecah belah yang telah menimpa ummat sebelum kita yang disebabkan hawa nafsu keserakahan dan penyakit-penyakit syubhat yang menyesatkan setelah datangnya ilmu, petunjuk dan agama kebenaran.
9. Predikat Keungggulan Ummat dan Saksi teladan atas sekalian manusia terkait erat dengan adanya jamaah
Keunggulan ummat ini terkait dengan sebab-sebabnya.
Firman Allah: ” Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah“[25]. Menjadi saksi atas sekalian manusia merupakan kedudukan yang tinggi lagi mulia yang tidak akan datang hanya dengan lamunan dan khayalan.
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya[26] bab: ” Dan demikianlah kami jadikanlah kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia“. Dan perintah Rasulullah saw: ” komitmen terhadap jamaah sebab merekalah pemilik ilmu” yang disandarkan kepada Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah saw bersabda: ” Kelak di hari kiamat Nabi Nuh dihadapkan lalu ditanya: Sudahkah engkau menyampaikannya ? maka beliau menjawab: ” Ya, wahai Tuhanku. Lalu ummatnya ditanya: ” Benarkah telah menyampaikan kepada kalian”, kemudian mereka menjawab: ” Tak seorangpun pemberi peringatan datang kepada kami”. Allah lalu bertanya kembali kepada Nabi Nuh: ” siapakah saksi-saksimu?”, Nabi Nuh menjawab: ” Muhammad dan Ummatnya, lalu kalian didatangkan dan memberikan persaksian”, kemudian Rasulullah membacakan ayat: ” Dan demikianlah kami jadikanlah kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia“. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: ” Para ulama Ushul menjadikan ayat diatas sebagai dasar kehujjahan Ijma’, sebab mereka mendapat legitimasi “wasathan” yakni orang-orang yang adil yang berarti jaminan pemeliharaan dari kesalahan terhadap apa yang telah mereka sepakati baik dalam perkataan maupun perbuatan“[27].
10. Kewajiban loyalitas terhadap jamaah kaum mukminin
Firman Allah: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain, jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar“[28]. Yakni apabila sebagian diantara kalian tidak menjadi pelindung sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir, maka pastilah akan terjadi fitnah - yaitu kesyirikan- dan kehancuran karena mereka menang sedang kalian hina, mereka bersatu sedang kalian berpecah belah. Dan disinilah rahasia seruan Allah dalam firman-Nya: ” Dan bersabarlah kamu bersam-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya dipagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasaan kehidupan dunia ini…”[29].
11. Sebagian Tanggung jawab dan amanah hanya akan terlaksana dengan jamaah Seperti Ilmu, proses tarbiyah (pendidikan), jihad melawan musuh dan berjuang menegakkan agama.
Firman Allah swt: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah“[30].
Firman Allah swt: ” Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa bera, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah“[31].
Hanya dengan berjamah kemuliaan ummat akan terjaga, syiar-syiar suci akan murni dan kekuatan musuh akan tumbang. Dalil argumentasi diatas adalah isyarat kuat wajibnya berjamaah dan dorongan berpegang teguh diatasnya, ia hanyalah setetes dari samudera sumber argumentasi yang jauh lebih banyak jika dihitung dan bukti kuat yang jauh lebih terang dibanding sinar mentari di siang hari, dan cukuplah ia sebagai bukti dan hujjah keharusan kita berjamaah.
Di antara beberapa dalil sunnah wajibnya komitmen berjamaah adalah:
1. Hadits Marfu’ diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara, engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatupun, berpegang teguh dengan semua tali Allah dan tidak berpecah belah dan engkau memberikan nasihat kepada orang yang Allah kuasakan memimpin urusan kalian” [32] .
2. Hadits Marfu’ riwayat Zaid bin Tsabit: “Tiga perkara yang tidak akan membuat tumpul hati seorang muslim: Ikhlas dalam beramal kepada Allah, memberikan nasehat kepada para pemimpin, dan komiten dengan jamaah kaum muslimin sebab seruan mereka selalu akan membentengi mereka” [33] .
3. Hadits Hudzaifah: “agar engkau komitmen terhadap jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka” [34] .
4. Hadits Marfu’ riwayat Al Harits bin Al Harits Al ‘Asy’ary: “Dan aku memerintahkan kalian lima perkara yang Allah perintahkan kepadaku: Selalu mendengar dan taat, berjihad, hijrah dan berjamaah, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal tanah maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya” [35] .
5. Hadits Marfu’ riwayat Ibnu Abbas : “Tangan Allah selalu menyertai jamaah” [36] .
6. Hadits tentang perpecahan ummat: “Dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuan puluh dua golongan masuk ke dalam neraka dan satu golongan masuk ke dalam surga yaitu Al Jamaah” [37] .
7. Hadits Mu’adz bin Jabal: “Sesungguhnya syaitan adalah serigalanya manusia sebagaimana serigala bagi kambing yang akan selalu mengincar kambing yang terlepas. Sebab itu, jauhilah oleh kalian berpecah belah dan tetaplah kalian dalam jamaah dan golongan umum/mayoritas” [38] .
Dan banyak lagi nas-nas hadits yang tidak mungkin disebutkan dan dijelaskan, sebab maksud dan tujuannya bukan memperinci akan tetapi memberikan isyarat untuk mengembalikan berbagai persoalan kepada landasan syar’i berdasarkan manhaj para salafus shaleh. Dan betapa indahnya sebuah ungkapan penyair:
“Cukuplah isyarat sandi bagi orang yang berakal. Sedang selainnya diseru
dengan panggilan yang keras”.
Atsar-atsar salaf
1. Ahmad bin Jabir bin Samurah mentakhrij (mengeluarkan) bahwasanya Umar bin Khattab berkata dalam khutbahnya yang terkenal di Jabiyah: “Tetaplah kalian dalam berjamaah, Dan jauhilah berpecah belah, sebab syaitan selalu menyertai orang yang menyendiri dan terhadap dua orang ia akan lebih menjauh dan barang siapa yang menghendaki pertamanan surga maka hendaklah tetap dalam jamaah” [39] .
2. Dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian memutuskan sebab aku membenci perselisihan hingga sekalian manusia tetap berjamaah atau aku mati sebagaimana para sahabatmu mati” [40] .
3. Diriwayatkan Muhammad bin sirin dari Abi Mas’ud Al Anshari bahwasanya ia mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya saat terbunuhnya sahabat Utsman: “Tetaplah kalian dalam jamaah, sebab Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad dalam kesesatan” [41] . Qatadah berkata: “Pemilik rahmat Allah adalah orang yang berjamaah walaupun tempat dan jasad mereka berpisah” [42].
4. Dalam fikih ‘amali (aplikasi) para salaf, sebagaimana yang disampaikan ibnu Al Jauzi dari Abi Al Wafa’ bin ‘Aqil Al Hambali berkata: “aku melihat pada masaku Abu Bakar Al Aqfali pada masa pemerintahan Al Qaim apabila ia bangkit untuk mencegah kemungkaran menyertailah bersamanya para masyaikh (ulama-ulama senior) bersamanya, mereka tidak makan kecuali dari hasil kerja mereka” [43] .
Demikian pula Hisyam bin Hakim menegakkan amar ma’ruf besarta orang-orang yang bersamanya [44]
Dan disebutkan dari Abdurrahman bin Muhammad Al baghdadi bahwa: “Ia memiliki pengikut dan sahabat-sahabat dalam menegakkan yang makruf dan mencegah kemungkaran” [45] .
Di antara perkataan para Ulama:
Ungkapan Imam Syafi’i: “Barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan jamaah kaum muslimin, maka sungguh ia telah komitmen terhadap jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyalahi perkataan jamaah kaum muslimin maka sungguh ia telah mengingkari jamaah yang diperintahkan komitmen terhadapnya. Dan sesungguhnya kelalaian terdapat dalam perpecahan, adapun jamaah maka tidak akan mungkin lalai secara keseluruhan tentang makna Kitab, Sunnah dan Qiyas insya Allah” [46] .
Terkait dengan landasan syar’i beramal jama’i Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun lafadz Za’im (penjamin) sebagaimana kata kafil, qabiil dan Dhamiin, firman Allah: “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku akan menjamin terhadapnya”. Maka barang siapa yang menjamin perkara sebuah kelompok maka ia dikatakan za’im (penjamin). Apabila ia menjamin perkara kebaikan maka sungguh perbuatan terpuji, dan apabila perkara keburukan maka perbuatan yang keji. Adapun kepala hizb (golongan) maka ia adalah pemimpin kelompok yang berhimpun yakni yang telah menjadi golongan. Apabila mereka berhimpun untuk menegakkan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ditambah atau dikurangi, maka mereka adalah orang-orang yang beriman, kita harus loyal dan komitmen terhadap apa yang ada di an-tara mereka dan membela apa yang akan menghancurkannya… sebab Allah telah memerintahkan untuk bersatu dan melarang berselisih dan berpecah belah” [47] .
Kaidah-Kaidah Syariah:
1. Media dan sarana yang menjadi prasyarat utama mencapai sebuah tujuan, hukumnya adalah wajib sebagaimana kewajibannya tujuan itu
yakni: “Sesuatu yang tidak akan sempurna sebuah kewajiban melainkan dengannya maka hukumnya adalah wajib”. Dan seperti diketahui bangkit menegakkan tanggung jawab agama, melaksanakan hukum dan merealisasikan batasan-batasannya adalah kewajiban pasti yang harus diemban oleh ummat.
Firman Allah: “laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri, potonglah tangan dari keduanya”. Firman Allah: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, cambuklah setiap keduanya dengan seratus kali cambukan”. Firman Allah: “Diwajibkan atas kalian Qishash dalam pembunuhan”. “Dan dalam qishash terdapat kehidupan bagi kalian”. Dan ayat-ayat yang lain yang memiliki karakter beban kewajiban yang tidak akan mungkin dilakukan oleh individu, akan tetapi merupakan kewajiban pemerintah Islam, hanyalah dengan upaya bersama, berhimpunnya beragam potensi serta solidnya barisan kewajiban itu akan mampu direalisasikan.
2. Qiyaas Al Aula
Apabila penegasan berjamaah begitu kuat dalam sebagian nilai-nilai syariat yang sah pelaksanaannya secara pribadi, maka nilai penegasannya semakin kuat dan bertambah besar pada hal-hal yang tidak akan terlaksana melainkan dengan upaya bersama seperti jihad, ilmu, tarbiyah dan menegakkan pemerintahan.
Konsekwensi Realitas Kehidupan
Kita melihat, seseorang amat lemah dalam kesendiriannya dan menjadi kuat bersama sahabatnya, sedikit dengan sendiri dan banyak bersama rekannya. Maka dari itu, dikatakan: “Keruhnya sebuah jamaah dan bukan bersihnya diri pribadi”, sebuah usaha pribadi betapapun dibangun di atas dasar keikhlasan yang tinggi, semangat kesadaran dan kejujuran dalam beramal, tidak akan mampu bangkit menegakkan beban dan kewajiban agama untuk meraih tujuan yang diingin- kannya, karena lemahnya media dan sarana, pendeknya jangkauan pandangan, sedikitnya potensi dan daya tahan untuk mengemban tugas yang agung dan begitu berat. Adapun upaya bersama, maka ia akan selalu menghimpun berbagai potensi dan beragam kemampuan.
Beramal jama’i adalah media mengikis kerendahan diri dan menampakkan penyakit hati sehingga dapat diobati dan diperbaiki:
Suatu hari aku melihat tanah liat di dalam kamar mandi, dengan segenggam cinta ia menghiasi dan menebar aroma. Aku berkata misikkah itu ataukah parfum, sungguh kecintaan telah menjadikanku tertambat. Tanah liat menjawab
sungguh aku hanyalah seonggok pasir, aku berteman dengan mawar lalu menjadikanku dimuliakan. Aku bergaul dengan orang-orang mulia dan bertam-
bahlah ilmu, demikianlah siapa yang bersahabat para ulama akan dimuliakan.
Adalah sebagian ulama salaf berkata: “Sesungguhnya salah seorang di antaranya kami bertemu dengan saudaranya, maka dengan melihatnya menjadikan berakal beberapa hari”.
Segolongan kaum salaf pergi ke hadapan seorang yang shaleh untuk melihat kemuliaan dan petunjuknya, bukan mencari ilmunya. Sebab buah dari ilmu adalah kemuliaan dan petunjuk, dengan itu hati kembali bersinar, ruh kembali hidup, jiwa kembali bangkit dan semangat kembali membara, mengalir membentuk energi tekad dan kemauan. Sebagaimana Nabighah bani Ja’dah berkata:
Kemuliaan dan keagungan kami telah menggapai langit, dan kami berharap akan meraih yang lebih tinggi dari itu.
Amal jamai penuh dengan semburat nilai dan pelajaran serta bekal pengalaman berharga guna meretas halangan dan menghalau rintangan. Amal jama’i adalah ladang ragam keshalehan dan amal kebaikan, ia menyimpan segudang nikmat dan balasan pahala yang tak terkira, menolong yang membutuhkan, mencari sesuatu yang hilang, menjenguk yang sakit, melepaskan yang tertimpa kesulitan, memenuhi undangan, menunjukkan jalan yang sedang kebingungan, mengingatkan yang lupa, mengajarkan kepada yang bodoh, memberikan petunjuk yang tersesat, menghibur yang tertimpa bencana dan lain-lain
Aku akan berterima kasih kepada Umar, jika ajalku tertambat
Tangan-tangan yang belum terbalas betapapun ia selalu memberi
Seorang pemuda yang kekayaannya tidak menghalangi rekan dan sahabatnya
Tidak pula mengeluh tatkala kaki terpeleset
Ia melihat sarung pedangku pada tempat yang tak tampak
Hingga tampak karena keletihan kedua matanya.
Abu bakar As shiddiq mengungkapkan kepada saudaranya kaum Anshar yang telah menawarkan segala yang mereka miliki dan berkata: Semoga Allah membalas kebaikan kalian. Demi Allah, perumpamaan kami dan kalian sebagaimana yang diungkapkan Thufail Al ghanawi:
Semoga Allah membalas Ja’far atas kami, yang telah menolong kaki-kaki terperosok dalam kubangan.
Mereka enggan membosankan kami, bahkan ibu kami sendiri jika menjumpai apa yang kami temui niscaya akan merasa bosan.
Pemilik harta begitu derma, dan yang lemah ditempatkan ke dalam kamar-kamar yang dingin dan teduh.
Jamaah adalah media bagi seseorang, yang akan memelihara kehormatan, menjaga darah dan membela kemuliaannya dari rongrongan musuh:
Jika kekuatan musuh mencengkeram pusat daerah kami, kami bangkit membela jatidiri dan sebagian gugur dari mereka dan dari kami.
Sunnah Pergulatan
Realitas membuktikan bahwa kekuatan musuh berhimpun dalam satu tujuan - betapapun perbedaan agama dan aliran mereka - yaitu upaya menghancurkan kekuatan Islam, satu kenyataan yang menuntut kebersamaan para pembela kebenaran bahu membahu menggalang persatuan untuk menghadang kekuatan dengan kekuatan yang lebih besar dari padanya “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. Abu Bakar pernah berpesan kepada Khalid: “Perangi mereka dengan apa yang mereka memerangimu, pedang dengan pedang, tombak dengan tombak dan panah dengan panah”, maka sulit akal akan menerima sebuah upaya bersama hanya dilawan dengan upaya pribadi yang tercerai-berai (jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar).
Sunnah Kehidupan Sosial
Berkumpul adalah bentuk ketetapan dalam alam semesta dan dalam kehidupan manusia, sebagai satu bentuk keragaman, keserasian dan keharmonisan. Setiap kelompok bertemu dan berhimpun untuk mewujudkan sesuatu yang telah difitrahkan, dan demikian semua tujuan hidup menjadi sempurna “Yang telah memberikan segala sesuatu ciptaannya lalu memberinya petunjuk”.
Indah sekali sebuah ungkapan seorang penyair:
Semut membangun sarangnya dengan kokohnya dan lebah membuat rumahnya dalam kebersamaan.
Burung-burung akan hidup dan berpindah ke habitatnya, binatang-binatang ternak dan melata akan selalu berada dalam lingkungannya dan ikan hanya akan bertahan hidup didalam air, dan demikianlah sekalian makhluk yang lain. Demikian halnya manusia, ia adalah makhluk sosial yang sangat tergantung dengan kehadiran orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupanya.
Manusia dengan manusia lain dari desa hingga kota, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah saling melayani.
“Hanya dengan kebersamaan, tolong-menolong dan bantu membantu kemaslahatan dunia dan akhirat akan sempurna, demi memperoleh kemanfaatan dan mencegah kemudharatan. Sebab itu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang akan selalu berhimpun dan saling tergantung satu sama lain, demi mendatangkan manfaat dan mencegah kemudharatan dan iapun akan mentaati Yang memerintahkan kepada tujuan itu dan Yang melarang dari kerusakan-kerusakan itu” [48]. Jikalau keberadaan jamaah adalah sebuah kemestian bagi kemaslahatan hidup dan kehidupan keturunan anak Adam di dunia, maka tuntutannya jauh lebih besar dalam rangka meraih kesuksesan di Akhirat.
Dan kaum mukminin di hadapan hukum Islam bukanlah individu-individu yang terpisah-pisah, akan tetapi sebuah komunitas yang satu, maka sudah sewajarnyalah perhimpunan hati disertai dengan bersatunya gerak dan kontribusi dalam mengemban beban-beban dakwah kepada Allah.
Karena itu, karakter dasar dalam perintah syariat selalu mengacu pada bentuk kebersamaan, seperti shalat berjamaah, shalat dua hari raya, Istisqa’ (meminta hujan), shalat khauf (dalam kondisi ketakutan), Shalat gerhana, shalat Jum’at tidak akan sempurna kecuali dengan berjamaah, puasa adalah bentuk ibadah bersama-sama, zakat adalah adalah bentuk solidaritas sosial dan haji merupakan pertemuan besar, jihad, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar serta menghalau para pelaku kebatilan. Kesimpulannya bahwa dakwah secara umum tidak akan sempurna kecuali hanya dengan berjamaah.
Makna dan Kandungan Al-Jama’ah Islamiyah atau Jama’atul Muslimin
Betapapun jelasnya dalil naqli dan aqli yang terkait dengan pensyariatan amal jama’i - bahkan kewajibannya - untuk membangun sebuah kehidupan Islam yang bersih, namun demikian terjadi sikap ekstrimisme dalam pemahaman dan penerapan yang terlahir dari dasar-dasar yang benar ini, di antara sikap ekstrimisme itu adalah:
1. Anggapan sebuah institusi dakwah atau jamaah Islamiyah manapun yang berkembang saat ini, bahwa ialah “Jamaah Islamiyah” yang representatif sebagaimana yang pernah disebutkan dalam beberapa hadits atau ialah Al Firqah An Najiyah (Kelompok yang selamat) dan At Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang akan dimenangkan) dan tetap eksis hingga hari kiamat.
2. Siapapun yang memisahkan diri dari jamaah ini diancam mati dalam keadaan jahiliyah sebab ia telah keluar dari jamaah umat Islam.
3. Analogi jamaah ini dengan jamaah kaum sahabat ra.
4. Pemberian kewenangan kepada pimpinan jamaah ini sebagaimana kewenangan yang dimiliki amirul mukminin dalam sebuah negara Islam.
Inilah sebagian sikap ekstrimisme yang timbul dari pemahaman kata “Al Jamaah” yang tercantum dalam beberapa nas hadits. Melihat demikian pentingnya permasalahan ini dan dampak pengaruhnya yang cukup besar, maka saya ingin menjelaskan permasalahan ini melalui perkataan para ahli ilmu dan pemahaman Imam Hasan Al Banna sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama ternama.
Makna Al Jamaah Al Muslimah
Cukup banyak kata “Aljamaah” yang tersebut dalam nash-nash hadits. Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa Al Firqah An najiyah (Kelompok yang selamat) disaat berkembangnya kelompok-kelompok yang sesat dan banyaknya perselisihan yang didorong oleh hawa nafsu adalah Al Jamaah, dan siapapun yang memisahkan diri dari jamaah ini diancam kematian dalam keadaan jahiliyah, dan ialah jamaah yang harus mendapatkan loyalitas penuh sebagaimana yang tercantum dalam hadits Hudzaifah Ibnul Yaman. Lalu siapakah Al Jamaah yang dimaksudkan oleh Pemberi Syari’at yang bijaksana?
Alangkah baiknya saya sampaikan hadits Al Firqah An Najiyah serta menjelaskannya dengan lebih rinci.
Dari Mu’awiyah bin Abi sufyan: berkata: Pernah suatu ketika Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kami lalu bersabda: “Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan sesungguhnya golongan ini – dalam satu riwayat “Ummat ini” - akan bepecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua akan masuk dalam neraka dan satu di dalam surga yaitu Al Jamaah”, dalam satu riwayat: “Yaitu orang yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku hari ini diatasnya” [49].
Hadits ini adalah di antara hadits kemukjizatan Rasulullah SAW, sebab ia telah memberitakan tentang rahasia yang akan terjadi, hadits mengandung sejumlah perkara yang saya jelaskan secara global:
Pertama
Perkataan “Ummatku akan berpecah belah”, yang dimaksudkan dengan ummat di sini adalah ummatul Ijabah [50] (ummat yang menerima seruan) yaitu ummat ahli kiblat, sebab kata ummat ketika disandarkan kepada Nabi SAW maka yang dimaksudkan adalah ummat yang menerima seruan sebagaimana yang diisyaratkan dalam riwayat: “sesungguhnya kelompok ini” yakni ummatnya Rasulullah SAW [51].
Kedua
Yang dimaksudkan dengan perpecahan ummat adalah perpecahan dalam pokok-pokok agama dan I’tiqadiyah (keimanan), bukan dalam permasalahan cabang-cabang fikih atau hukum-hukum terapan, sebab perpecahan dalam pokok-pokok agama inilah yang dicela dalam agama [52]. Syaikh Abdul Qahir bin Thahir At Tamimi menjelaskan saat mensyarahkan hadits ini: “Para ahli ilmu sungguh telah memahami bahwa Rasulullah SAW tidak menghendaki kelompok-kelompok yang tercela ini mereka yang berselisih dalam cabang-cabang fikih dalam permasalahan halal dan haram, akan tetapi yang dimaksudkan adalah orang yang menyimpang dari ahlul haq dalam pokok-pokok tauhid, dalam menilai kebaikan atau keburukan, dalam syarat-syarat kenabian dan kerasulan, dalam loyalitas para sahabat dan yang terlahir dari bab-bab ini. Sebab orang-orang yang telah berselisih dalam masalah ini, sebagian mereka terhadap sebagian yang lain saling mengkafirkan. Hal ini berbeda dalam kelompok pertama, mereka berselisih dan berbeda namun tidak saling mengkafirkan atau menfasikkan. Maka pentafsiran hadits tentang perpecahan ummat dikembalikan kepada perpecahan dan perselisihan dalam masalah pokok-pokok agama sebagaimana yang terjadi di akhir masa generasi sahabat yaitu pemikiran Qadariyah dari Ma’bad al Juhani dan para pengikutnya” [53].
Ketiga
Sabda Rasul: “Semuanya masuk neraka” tidak berarti kafir, akan tetapi sebuah ungkapan ancaman, sedang ancaman sendiri sangat terkait dengan syarat-syarat yang menyertainya di antaranya berlakunya nas, timbulnya objek hukum dan tidak ada perkara-perkara yang menghalangi adanya ancaman seperti taubat yang benar, istighfar, kebaikan-kebaikan yang menghapus keburukan, musibah dan ujian yang menjadi kifarat, syafaat dan yang lebih besar dari itu semua rahmat Dzat Sang Maha Pengasih.
Keempat
Rasulullah SAW tidak menjadikan simbol-simbol tertentu bagi golongan-golongan Islam, tidak pula ciri-ciri khusus bagi ketujuh puluh dua kelompok yang lain, tidak pula tanda-tanda tertentu yang membedakan sebagian dari sebagian yang lain, akan tetapi menjadikan penyimpangan terhadap Al Kitab dan As Sunnah, kesepakatan para Khulafaur Rasyidin dan sekalian sahabat yang lainnya sebagai tandanya karena memperturutkan prasangka dan hawa nafsu belaka, mengatakan sesuatu tanpa dasar ilmu serta fanatis buta terhadap pengikut selain Rasulullah SAW, mereka loyal dan antipati karenanya, sebagaimana menjadikan ittiba’ (mengikuti) Al Kitab dan As sunnah menurut petunjuk para sahabat, komitmen terhadap jamaah mereka serta memberikan loyalitas dan sikap antipati karenanya.
Kelima
Sabda Rasul: “Kecuali satu yaitu Al Jamaah”, ungkapan ini datang dalam bentuk ma’rifah (tertentu) dengan menggunakan “Al” yang berarti bahwa ia adalah jamaah tertentu yang memiliki karakteristik, ciri dan syarat-syarat.
Imam Syathibi telah merangkum perkataan para ahli ilmu tentang makna jamaah dalam lima pembagian, yaitu:
1. Jamaah adalah mayoritas umat Islam, berdasarkan pendapat ini yang tergolong dalam makna jamaah adalah para mujtahid ummat, para ulama, mereka yang menerapkan syariat Islam serta para pengikut mereka. Siapapun yang keluar dari golongan mereka, maka dianggap telah menyimpang dan masuk ke dalam golongan syaitan, termasuk dalam golongan mereka adalah semua ahli bid’ah sebab mereka telah menyimpang dan keluar dari ummat dan tidak masuk dalam mayoritas mereka, di antara sahabat yang termasuk golongan ini adalah Abu Mas’ud Al Anshari dan Ibnu Mas’ud.
2. Jamaah adalah kelompok para mujtahid ummat, sebab meraka adalah hujjah Allah bagi para makhluk-Nya, merekalah yang dimaksudkan dalam sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun ummaku dalam kesesatan”. Ini adalah perkataan Ibnul Mubarak dan Ibnu Rahawaih. Pernah dikatakan kepada Ibnu Mubarak: “siapakah jamaah yang layak untuk kita ikuti?”, ia menjawab: “Abu Bakar, Umar - dan tidak henti-hentinya ia menyebutkan hingga sampai kepada Muhammad bin Tsabit, Husain bin Waqid - lalu dikatakan kepadanya: “Mereka semua telah tiada, siapakah di antara mereka yang masih hidup?”, ia berkata: “Abu Hamzah As sukri”. Berdasarkan hal ini, tidak termasuk golongan mereka semua orang yang tidak berilmu dan ahlul bid’ah.
3. Jamaah adalah golongan ummat Islam yang bersepakat terhadap sebuah perkara, maka semua orang yang selain mereka wajib mengikutinya.
4. Jamaah adalah jamaah para sahabat secara khusus. Di antara yang berpandapat ini adalah Umar bin abdul Aziz, sebagaimana isyarat hadits “Yaitu orang yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku hari ini di atasnya”.
5. Sebagaimana pendapat Ath Thabari jamaah adalah jamaah kaum muslimin apabila bersepakat pada seorang pimpinan sebagaimana yang diperintahkan Rasululllah SAW. [54]
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani telah menukil dari At Thabari: “At Thabari berkata: Telah terjadi perdapatan dalam perkara ini[55] (yakni kewajiban komitmen terhadap jamaah muslimin dan pemimpin mereka) dan dalam arti jamaah, sebagian berkata: ia adalah kewajiban dan jamaah adalah kelompok mayoritas… sampai pada perkataannya[56]: “Pendapat yang benar tentang maksud komitmen berjamaah adalah komitmen kepada pemimpin yang disepakati, barang siapa yang merusak baitnya maka ia telah keluar dari jamaah”[57].
Asy syatibi bekata: “Semuanya sepakat bahwa para ahli ijtihad baik yang disertai khalayak umum atau tidak adalah jamaah”[58].
Sebagaimana telah terjadi perbedaan dalam makna jamaah, demikian pula banyak pendapat dalam menafsirkan makna At Thaifah Al Manshurah (kelompok yang dimenangkan) yang akan selalu eksis hingga hari kiamat. Imam Nawawi berkata: “Adapun kelompok ini imam Bukhari berkata bahwa mereka adalah para ahli ilmu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Jika bukan para ahli hadits maka aku tidak tahu siapa lagi mereka itu?”. Qadhi ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad adalah Ahlus sunnah wal jamaah serta mereka yang mengikuti jalan ahli hadits. Aku berkata: “Dan mungkin saja kelompok ini tercerai berai dalam ragam komunitas kaum mukminin, ada di antara mereka para pemberani dan mujahid, di antara mereka para fuqaha’ (ahli fikih), di antara mereka ahli hadits, di antara mereka ada orang-orang yang zuhud dan penegak amar makruf dan mencegah yang dilarang, dan di antara mereka yang beprestasi di berbagai medan kebaikan dan tidak disyaratkan bahwasanya mereka berkumpul dalam sebuah kesepakatan, bahkan sangat mungkin sekali mereka tersebar dibelahan dunia”[59].
Ada dua kesimpulan tentang makna jamaah dari beberapa pendapat para ulama di atas:
SATU:
Jamaah sebagai implementasi asas sebuah manhaj dalam aqidah dan i’tiqad yang bersumber dari pemahaman nash kitab dan sunnah serta menjadi pijakannya dalam perkataan, perbuatan dan setiap sikapnya.
Makna ini tercermin dalam riwayat: “Yaitu mereka yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku”. Pensyarah At Thahawiyah berkata: “Jamaah umat Islam adalah para sahabat, para tabiin”. Ini berarti bahwa jamaah Islam atau jamaah kaum muslimin adalah mereka yang berjalan sesuai dengan akidah, perkataan, perbuatan dan akhlak Nabi SAW dan para sahabatnya, lalu berupaya untuk komitmen di atas jalannya, loyalitas dalam setiap yang dilakukan maupun yang ditinggalkan tanpa menambahkan yang merubahnya. Maka siapapun yang komitmen terhadap manhaj salafus shaleh dari kalangan para shabat dan tabiin serta para pengikut mereka[60] dalam ketiga kurun pertama yang telah diakui kebaikan, keimanan, keutamaannya, siapapun yang komitmen terhadap petunjuknya, ridho dalam manhajnya, iltizam dalam ijmak mereka maka ia tergolong dalam jamaatul muslimin, kelompok yang selamat dan golongan yang akan tetap eksis betapapun sedikit orang yang berjalan di atasnya, tidak akan gentar oleh banyaknya kaum penentang sebab hakekatnya adalah kesesuiannya dengan kebenaran walaupun hanya engkau seorang, firman Allah: “Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (seorang imam)”.
Ibnul Qoyim berkata: Alangkah indahnya perkataan Abu Muhammad Abdurrahman bin Islamil yang dikenal dengan Abu Syamah dalam kitabnya “Al Hawadit wal Bida’: Yang dimaksudkan dengan perintah komitmen terhadap jamaah adalah komitmen terhadap kebenaran dan para pendukungnya, walaupun sedikit para pengikutnya dan sangat banyak para penentangnya, sebab kebenaran adalah apa yang generasi awal sejak masa Nabi SAW dan para sahabatnya berada di atasnya betapapun banyaknya ahli bid’ah (orang-orang yang membuat aturan baru) bermunculan setelah mereka. Kemudian Ibnul Qayyim menceritakan kisah Amar bin Maiumun al Audi yang bersahabat dengan Mu’adz bin Jabal di Yaman kemudian di negeri Syam hingga wafat, kemudian bersahabat dengan Ibnul Mas’ud dan mendengar darinya berkata: “Tetaplah engkau dengan jamaah, sebab sesungguhnya tangan Allah beserta jamaah”, pada kesempatan yang lain ia mendengar Ibnu Mas’ud berkata: “Tetaplah kalian bersama para pemimpin yang mengakhirkan shalat mereka dari waktunya, shalatlah kalian tepat pada waktunya sebab ia adalah kewajiban dan shalatlah kalian bersama mereka sebagai perbuatan sunnah bagi kalian”. Hal inilah yang membuat Al Audi bertanya-tanya: “Bagaimana mungkin ia menyerukan agar tetap berjamaah, namun memerintah kan shalat dengan sendiri. Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Tahukah engkau siapa jamaah itu?”, aku berkata: “Tidak”, Ia Berkata: “Sesungguhnya mayoritas manusia telah memisahkan diri dari jamaah, sebab jamaah adalah siapapun yang sesuai dengan kebenaran betapapun engkau sendiri”.
Sebagian ahli ilmu pada masa Muhammad bin Aslam Ath Thausi ditanya perihal perkataan: “apabila manusia telah berselisih maka tetaplah engkau bersama golongan mayoritas, maka Muhammad bin Aslam berkata: “Ia adalah golongan mayoritas”.
Ibnul Qayyim berkata: “Benarlah demi Allah, bila di sebuah masa terdapat seorang yang paham terhadap sunnah selalu menyeru kepadanya ia adalah hujjah (argumentasi), ia adalah ijma’, dialah golongan mayoritas dan ialah jalan orang-orang yang beriman”[61].
Jamaah dalam kontek ini adalah manhaj yang harus diikuti yang terikat di atas simpul ahlus sunnah wal jamaah”.
Al Munawi dalam penjelasan hadits al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat) yakni “Kecuali satu”, ia menyebutkan: “Dialah Ahlus Sunnah wal Jamaah”[62].
Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi mengomentari makna “Al Jamaah” berkata: “yakni mereka yang sesuai dengan jamaah para sahabat, yang berpegang teguh pada akidah mereka, serta komitmen terhadap pendapat mereka” [63]. Dalam wilayah pengertian manhaji tentang makna jamaah inilah Qatadah berkata: “Ahli Rahmat Allah, merekalah yang berjamaah walaupun wilayah dan badan mereka berpisah-pisah”[64].
Imam Syafii berkata: “Barang siapa yang bekata seperti perkataan jamaatul muslimin maka sungguh ia telah komitmen terhadap jamaah mereka, dan barangsiapa yang menyimpang dari perkataan jamaatul muslimin maka sungguh ia telah memisahkan dari jamaah yang wajib diikutinya”.
Akan tetapi pemahaman jamaah Islam dan kelompok yang selamat dalam kontek wilayah manhaj ini sangat bertingkat derajat dan kedudukan mereka dalam tubuh ummat, di antara mereka ada yang demikian perhatian dalam menjalankan syariat, sangat menjaga dalam mengimplementasikan manhaj ini, sangat jauh dari penambahan (bid’ah) dan penyimpangan, serta begitu kuat komitmen mereka, mereka itulah orang-orang yang tertinggi dalam peringkat kelompok yang selamat dan jamaah Islam seperti para ulama yang telah diakui dalam mazhab fikih, tafsir, hadits, ushul, serta para da’i yang mulia yang telah diakui kebaikan, keshalehan dan keistiqamahan mereka.
Di antara mereka ada yang layak berijtihad, namun kadangkala ia menta’wilkan sebagian nash dengan salah, maka ia dimaafkan dalam wilayah ijtihad. Di antara mereka ada yang mengingkari sebagian nash syariat disebabkan baru mengenal Islam, atau karena hidup pada daerah terpencil sehingga tidak mendapatkan informasi terhdap apa yang diingkarinya. Di antara mereka ada yang melakukan bid’ah amali, maka ia tetap mukmin, taat kepada Allah menurut kadar ketaatannya, dan telah berbuat salah dalam perkara maksiat yang ia lakukan atau bid’ah yang ia kerjakan, dan ia tergantung kehendak Allah, firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. Firman Allah: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka”.
Baik golongan yang ini maupun yang itu tidak menjadikan mereka kafir disebabkan penta’wilan yang keliru, atau perkara yang mereka ingkari yang disebabkan kebodohan mereka, mereka tetap termasuk dalam golongan kelompok yang selamat walaupun tidak dalam kategori kelompok yang awal[65].
Maka di antara jamaah Islam ada yang pada garis terdepan dalam ketaatan, ada pula yang sedang dan ada pula yang berbauat aniaya terhadap diri pribadi.
Yang perlu selalu diingat bahwasanya ahlus Sunnah Wal jamaah mempunyai dasar-dasar yang baku untuk menjelaskan perkara-perkara cabang (furu’), serta sebagai patokan dan rujukan dalam persoalan-persoalan juz’i (parsial) dan penerapan hukum-hukum itu sendiri.
PENJELASAN
Dari penjelasan yang telah lalu maka tidaklah tepat menjadikan makna Kelompok yang akan tetap eksis (At thaifah Adh Dhahirah) terbatas pada ahli hadits, kecuali berdasarkan penjelasan Qadhi ‘Iyadh: “Yaitu ahlus Sunnah wal Jamaah”, karena betapapun ummat mengambil manfaat umum dari para ahli hadits, namun tidak menafikan ummat pun mengambil manfaat terhadap selain mereka seperti para ahli fikih yang menjelaskan sumber-sumber hukum syariat dan hukum halal dan haram, demikian pula terhadap para ahli tafsir, qurra’ (ahli baca alquran), para pemberi nasehat, para du’at, para hakim dan yang lainnya dalam strata tingkatan ummat, sebab: “Setiap kaum akan memberikan manfaat dalam bidang yang tidak diberikan oleh yang lain”[66].
2. MAKNA KEDUA DARI JAMAAH
Makna yang kedua ini merupakan implementasi manhaj pada fase Tamkin (penguasaan) yaitu jamaah para ulama – Ahlul Halli Wal aqdi (Badan Legislatif) - ketika bersepakat memilih seorang pemimpin, maka ummat di belakang mereka mengikuti keputusan itu. Sebagaimana yang terjadi tatkala pembai’atan Abu Bakar As shiddiq saat para pemuka sahabat membai’at di Tsaqif lalu diikuti oleh khalayak ramai dalam sebuah forum pembai’atan terbuka[67]. Dari sinilah Imam Ath Thabari mengatakan: “Maksud yang benar dari hadits perintah untuk konsekwen dalam jamaah yaitu orang-orang yang bersepakat dalam mentaati seorang pemimpin”[68]. Apabila tidak ditemukan kepemimpinan syar’i dalam kehidupan ummat, maka kewajiban mereka untuk merealisasikannya dan mereka menanggung dosa hingga kepemimpinan itu tegak.
KESIMPULAN
Dari keterangan nas-nas yang di atas, ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan dari makna jamaah:
1. Sesungguhnya keberadaan sebuah jamaah dari beragam jamaah, sekaipun dengan fikrah yang jelas dan jalan yang lurus tidak berarti bahwa jamaatul muslimin telah tegak. Dari sini, maka semua jamaah yang bergerak dalam medan dakwah saat ini yang telah dikenal dengan nama, pemimpin dan simbol-simbolnya tidaklah satu-satunya jamaah Islam atau jamaah muslimin, akan tetapi kesemuanya itu terhimpun dalam jamaah Islam. Maka Ikhwanul Muslimin, jamaah salafiah serta jamaah-jamaah yang lain adalah bagian dari jamaah muslimin, dan tidak tepat menyebutkannya bahwa ialah jamaah yang repesentatif sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits-hadits walaupun ia bergerak demi merealisasikan jamaah kaum muslimin dalam sebuah kepemimpinan pemerintah Islam dan khilafah Islamiyah.
2. Bahwasanya jamaah-jamaah ini, meski merupakan implementasi pemahaman manhaji bagi sebuah jamaah Islam, namun ia sangat bertingkat dalam kontribusi dan potensi, di antara mereka ada yang berusaha membatasi kebijaksanaan mereka dalam perbaikan sisi aqidah, ada pula yang lebih memperhatikan sisi pendidikan ruhiyah, ada yang lebih memfokuskan pada nasehat dan pengingatan, ada pula di antara mereka yang lebih memeperhatikan sisi politik, dan ada pula di antara mereka yang berupaya menghimpun semua sisi perbaikan dalam bingkaian universalitas dan komprehensif dengan menjaga keseimbangan dan skala prioritas.
3. Tidaklah tepat menganalogikan jamaah-jamaah ini dengan jamaah Rasulullah SAW sebab mereka adalah penghulu sekalian jamaah, yang mana ketaatan adalah sebuah kewajiban sebab ia diback up langsung dengan wahyu dan tunduk terhadapnya merupakan sesuatu yang mutlak yang menjadi syarat kesempurnaan Islam seseorang, baik dimasa hidupnya maupun setelah meninggalnya. Kemudian pada realitasnya ia sangat bersesuaian dengan perintah syariat, tidaklah setiap yang telah mengaku seorang muslim, menyatakan dua kalimah syahadah serta mendirikan shalat kecuali terhimpun dalam anggota jamaah Rasul. Namun kenyataan kita saat ini sangat berbeda, banyak manusia saat ini yang menyatakan sebagi seorag muslim, menegakkan syariat-syariatnya, akan tetapi tidak terikat dalam sebuah jamaah manapun, penetapan kafir atas mereka dengan pertimbangan analogi terhadap jamaah pertama adalah sebuah tindakan kesewenangan. Demikian juga klaim atas mereka yang memisahkan diri dari salah satu jamaah ini dengan kekufuran adalah tindakan serampangan yang tidak mendasar.
4. Tidak sah pula menganalogikan syarat-syarat kepemimpinan dari jamaah-jamaah ini dengan syarat dan kewajiban seorang Amirul Mukminin.
5. Memisahkan diri secara struktural jamaah tidak berarti identik dengan keluar dari jamaah, sebab istilah keluar jamaah menurut sebagian besar ulama fikih berarti perlawanan senjata bukan hanya sebatas memisahkan dan menjauhkan diri, makna ini sangat begitu tampak pada pemberontak dan pembelot, bahkan keluar dalam masalah inipun tidak semuanya dianggap tindak kekufuran, karena boleh jadi pelakunya melakukan tindakan ini karena salah tafsir dan persepsi, firman Allah: “Jika dua kelompok dari golongan kaum mukminin berperang…”, Allah dalam ayat ini tetap menyebut kaum yang beriman walaupun terjadi pertumpahan darah di antara mereka.
Di antara landasan dasar yang lain tentang masalah ini bahwa Ali RA dan beberapa sahabat yang lain tidak mengkafirkan kalangan khawarij, betapapun banyak riwayat hadits yang menjelaskan akan kesesatan mereka, beliau hanya mengatakan: “Saudara kita telah membelot atas kita, mereka sungguh telah lari menjauh dari kekufuran”. Dan Ia bermu’amalah (berinteraksi) dengan mereka seperti interaksi kaum pemberontak, tidak menjadikan harta mereka sebagai rampasan perang, tidak menjadikan budak wanita-wanita mereka, tidak membunuh para tawanan perang mereka, tidak pula membunuh sekalian orang-orang yang terluka atau mengejar orang-orang yang lari dari medan.
6. “Mati dalam keadaan Jahiliyah” tidak berarti mati dalam kekafiran, akan tetapi kematian yang menyerupai keadaan orang jahiliyah, sebab mereka tidak membaiat seorang pemimpin dan tidak pula tunduk kepada seorang penguasa. Imam Syaukani berkata: “Mati jahiliyah adalah penyerupaan terhadap kematian orang-orang jahiliyah yang tidak memiliki pemimpin, bukan berarti mati dalam keadaaan kafir, namun mati dalam keadaan bermaksiat”[69].
7. Tidak melakasanakan amal jama’i demi menegakkan perintah, syariat dan kepemimpinan agama Allah adalah perbuatan dosa, namun tidak menjadikannya keluar dari agama kecuali bila ia mengingkari tuuan ini yakni berhukum dengan syariat Allah maka ia dianggap kafir dan murtad[70].
Imam Hasan Al Banna memiliki sebuah manhaj yang jelas pijakan dan tahapannya, saya akan menjelaskan jati diri jamaah Ikhwanul Muslimin (IM), sikapnya terhadap jamaah-jamaah kaum muslimin, yang mencerminkan kemurnian nilai dan keseimbangan pijakan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para imam dari generasi salaf, manhaj itu akan saya jelaskan dalam beberapa hal berikut[71]:
1. Sikap IM terhadap Jamaah dan Institusi Da’wah
Imam Hasan Al Banna mengungkapkan: “IM mempunyai padangan tersendiri terhadap ormas-ormas ini (dengan berbagai ladang garap mereka dalam berjuang untuk membela Islam. mereka semua mendambakan kesuksesan.
Ikhwan juga menginginkan terwujudnya kedekatan jamaah-jamaah ini dan berusaha menyatukan serta menghimpun mereka dalam satu fikrah secara umum”[72].
2. Perbedaan IM dan Jamaah-jamaah Islam yang lain.
Imam Al Banna berkata: “Banyak orang yang pikirannya dibingungkan oleh pertanyaan ini: “Apa perbedaan antara jamaah IM dengan jamaah Asy-syubban? Kenapa keduanya tidak bergabung dalam satu organisasi saja dan bergerak dalam manhaj yang satu pula”. Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menegaskan kepada mereka yang menginginkan kesatuan potensi dan kerjasama antar aktifis, bahwa jamaah IM dan jamaah As-syubban - di Kairo - tidak pernah merasa bahwa keduanya berada di medan yang berbeda, tetapi mereka selalu merasa ada dalam satu medan dengan menjalin kerjasama yang kuat dan kokoh. Banyak masalah keislaman yang antara Ikhwan dan Syubban bisa seiya sekata dalam menyikapinya. Hal ini karena tujuan umum dari keduanya adalah sama, yakni bergerak dan beramal demi kejayaan Islam dan kebahagiaan kaum muslimin. Hanya saja, ada perbedaan-perbedaan kecil dalam masalah uslub dakwah, langkah para aktifis dan prioritas penyaluran potensi dari kedua jamaah tersebut, saya yakin akan tiba masanya disaat semua jamaah Islamiyah berada di dalam front. Dan waktulah yang akan menjamin realisasinya, Insya Allah”[73].
3. Bentuk sikap dan Muamalah terhadap penentang.
“Dan Kami memohon maaf kepada mereka yang berbeda dengan kami dalam masalah furu’. Kami sama sekali tidak melihat bahwa perbedaan itu akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kami dengan mereka dalam batasan-batasannya yang begitu luas.[74]”
4. Sikap kami terhadap seruan dan dakwah yang lain:
“Sikap kami terhadap seruan-seruan lain di negeri ini baik yang berorientasi agama, sosial, ekonomi maupun politik - dengan berpijak pada karakter dasar dakwah kami - adalah sebuah sikap yang satu menurut keyakinan kami yaitu: mengharapkan kebaikan padanya serta mendoakannya dengan curahan taufik, dan sesungguhnya sebaik-baik jalan adalah agar kita tidak sibuk mencari celah dan kesalahan orang lain dari meneliti kesalahan dan kekurangan kita, sungguh kita membutuhkan perbekalan dan rasa tanggung jawab, sebab ummat kita dan medan-medan perjuangan yang masih kosong sangat menanti uluran tangan para pejuang dan kesungguhan sang mujahid dan tidak ada waktu yang cukup untuk sibuk mencari-cari kekurangan orang lain, masing-masing bergerak dibidangnya dan Allah selalu bersama orang-orang yang berbuat baik hingga Allah membukakan pintu kebenaran antara kita dan kaum kita”[75].
5. Penegasan Al Khudhaibi tentang langkah amaliah Imam Hasan al Banna
Imam Khudhaibi berkata: “Telah disepakati bahwasanya jamaah Ikhwanul Muslimin sejalan dengan kesempurnaan imannya tegak di atas nilai kebenaran dan dengan keyakinannya yang tidak diliputi keraguan, ia adalah dakwah kebenaran yang murni sebagaimana yang Allah perintahkan dengan sebuah kewajiban yang mengikat. Perlu ditegaskan, bahwasanya pendirian organisasinya bukan legitimasi bahwasanya ialah jamaah kaum muslimin, sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits akan tetapi ia senantiasa menyeru dengan pertolongan Allah untuk merealisasikan jama’atul Muslimin”.
Hal ini dipertegas bahwa pendiri jamaah - semoga Allah meridhainya - mengakui sepanjang kepemimpinannya begitu pula para sahabatnya yang mendukungnya dan berhimpun bersamanya akan keberadaan jamaah-jamaah yang lain sebagai jamaah Islam, sebagaimana pengakuan jamaah ini terhadap mereka yang tidak bergabung dengan jamaah ikhwan atau yang telah dikeluarkan sebagai seorang muslim.
Dan sungguh Imam Asy syahid telah menetapkan pengeluaran dua wakil terdahulu jamaah serta puluhan yang lain, sebagian mereka adalah anggota dalam kantor pembinaan dan dewan pendiri, dan tidak ada satupun di antara mereka yang dituduh telah melakukan tindakan atau ucapan yang menjadikannya murtad dari Islam, dan tidak ada satupun yang menganggap bahwa pengeluaran mereka dari jamaah berarti mereka telah keluar dari Islam”[76].
MANHAJ JAMAAH SETELAH IMAM ASY SYAHID
Setelah kepemimpinan Imam Asy syahid manhaj jamaah tetap berada di atas jalan yang telah digariskan Imam Asy syahid. Imam Al Khudhaibi berkata: “setelah kepemimpinan Imam Asy syahid kantor pembinaan dan badan pendiri mengeluarkan sejumlah orang yang tidak sedikit, di antara mereka ada yang menjadi anggota kantor pembinaan dan badan pendiri lebih dari sekali, ada yang pernah memegang tampuk kepemimpinan dalam struktur jamaah, dan secara tegas pada kesempatan ini para pemimpin jamaah mengatakan mereka adalah muslim dan terjaga darah dan harta mereka, jamaah berharap agar mereka berkhidmat kepada Islam dengan potensi pribadi dan cara khusus mereka, setelah mereka mengahadapi kesulitan untuk memposisikan diri di atas aturan jamaah serta komitmen terhadap pemahaman, program dan manhajnya”[77].
Dari penjelasan didepan, maka jelaslah bahwa manhaj Ikhwan tegak di atas prinsip bahwa mereka adalah bagian dari jamaah kaum muslimin yang senantiasa berupaya merealisasikan jamaatul Islam serta mengakui keberadaan jamaah yang lain yang berkhidmah untuk Islam. Di antara hal-hal yang jelas dalam manhaj Ikhwan adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada analogi dalam persyaratan keanggoatan mereka dengan persyaratan dalam Islam[78].
2. Pengeluaran dari jamaah tidak berarti keluar dari Islam[79]. Kalau tidak demikian, mengapa kedua wakil jamaah yang lalu dan beberapa anggota kantor
pembinaan dan dewan pendiri tidak seorang di antara mereka yang dianggap telah melakukan tindakan yang telah mengeluarkan dari agama.
3. Mungkin saja para anggota diwajibkan memberikan komitmen lebih di atas yang telah diwajibkan oleh Islam secara lebih terperinci seperti dalam aturan-aturan internal, simbol dan syiar misalnya[80].
4. Jamaah tidak menuntut kewajiban tegaknya khilafah (pemerintahan) secara keseluruhan sebelum adanya khalifah (pemimpin), bahkan kewajiban kita adalah mewujudkan pemimpin demi merealisasikan semua perkara itu[81].
5. Syarat dan kewajiban pemimpin jamaah tidak dianalogikan dengan syarat-syarat amirul mukminin[82].
Inilah rangkuman beberapa hal yang telah diputuskan oleh para fuqaha (ahli fikih) jamaah yang dilaksanakan dengan konsisten oleh pemimpin mereka dalam manhajnya serta kepada para penentangnya menurut kaidah-kaidah ahlus sunnah dan manhaj salafusshaleh.
Apa yang diisyaratkan oleh syaikh Sa’id Hawwa tidak berbeda dengan makna-makna yang telah tersebut bahwa jamaah Ikhwan adalah jamaah yang integral bagi kaum muslimin, ia sangat memperhatikan sisi kesempurnaan dan keintegralan dalam memahami Islam dan tidak bermaksud mengeluarkan selain mereka dari jamaah kaum muslimin.
Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany
(Sumber : al-ikhwan.net)
Catatan Kaki:
[1] Surat Ali Imran: 104
[2] Surat Annahl: 96
[3] Tafsir Ath Thabari: 2/195
[4] Surat Hud: 118-119
[5] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466
[6] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466
[7] Adzariayat: 56
[8] Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah: 514
[9] Ali Imran: 103
[10] Tafsir Ibnu Katsir: 1/390
[11] Syaikh Al Albani berkata: Hadits ini hadits hasan, sedang sanadnya dhaif namun dengan hadits setelahnya 1/41-42
[12] Syaikh Al Albani berkata: Sanadnya Jayyid (baik) namun mauquf, dan para perawinya para perawi Bukhari Muslim 1/41-42
[13] Annisa’: 115
[14] Miftah Daris Sa’adah: 1/126
[15] Al A’raf: 158
[16] Thaha: 94
[17] Al Maidah: 2
[18] Al Anfal: 47
[19] Muhammad: 7
[20] Dikeluarkan oleh Attirmidzi: 4/466
[21] Al A’raf: 165
[22] Diriwayatkan Attirmidzi dari sahabat Umar, 4/465, Musnad Ahmad, 1/230-231, Ahmad syakir berkata: sanadnya shahih.
[23] Arrum: 32
[24] Ali Imran: 105
[25] Ali Imran: 110
[26] Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah:13/316
[27] Fathul Bari: 13/417
[28] Al Anfal: 73
[29] Al Kahfi: 28
[30] Al Anfal: 39
[31] At Taubah: 41
[32] Dikeluarkan Imam Muslim:3/1340, Imam Malik dalam Muwaththa’: 2/990, Imam Ahmad dalam Musnadnya: 2/367
[33] Riwayat At tirmidzi: 5/34, Ia berkata hadits Zaid bin Tsabit ini hasan, Musnad Imam Ahmad: 5/183, Ad Darimi: 1/74-75
[34] Imam Bukhari: 13/35 dalam Fathul bari
[35] Musnad Imam Ahmad: 4/202
[36] At Tirmidzi: 4/466
[37] Hadits shahih masyhur yang diriwayatkan para pemilik kitab sunan dan musnad dengan redaksi yang beragam, lihat Al Jami’ as Shahir:1/19
[38] Musnad Ahmad dan dishahihkan Al Al bani, ia berkata: Sanadnya shahih, lihat syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah,578.
[39] Musnad Imam Ahmad yang ditahqiq Ahmad Syakir dan berkata: Sanadnya shahih 1/230-231, dan lihat Fathul Bari: 13/316
[40] Dikeluarkan Imam Bukhari 9/78, Imam Muslim 3/1467-1468.
[41] Fathul Bari 13/37
[42] Tafsir Ibnu Katsir: 2/466
[43] Talbis Iblis: 145
[44] Al Munthalaq: 150-151
[45] Al Munthalaq: 150-151
[46] Ar Risalah: 475-476
[47] Al Fatawa: 11/92, lihat Al Munthalaq: 150-151
[48] Al Fatawa dengan sedikit perubahan: 28/62
[49] Takhrijnya telah berlalu
[50] Lihat Hasyiyah Ibnu Majjah: 2/1322
[51] Lihat ‘Aunul Ma’bud: 12/342
[52] Lihat Faidlul Qadir: 1/179
[53] ‘Aunul Ma’bud: 12/340-341
[54] Lihat Al ‘Ithisham: 2/258-267
[55] Komitmen terhadap Jamaah kaum muslimin dan pemimpinnnya
[56] Imam Ath Thabari
[57] Fathul Bari: 13/37
[58] Lihat Al I’thisham: 2/258-267
[59] Syarah Imam Nawawi atas kitab shahih Muslim: 8/125-126 dalam Hasyiyah As Sari
[60] Tidak termasuk yang tertuduh dengan bid’ah atau kerancuan.
[61] Ighatsatul Lahfan: 84-85
[62] Faidlul Qadir : 1/179
[63] Lihat Hasyiyah Ibnu Majjah: 2/1322
[64] Ighatsatul Lahfan: 84-85
[65] Lihat fatwa lembaga para ulama besar no.830, tertanggal:13/8/1394 H
[66] Jami’ul Ushul karangan Ibnul Atsir: 1/320-321
[67] Lihat al bidayah Wan Nihayah karangan Ibnul Atsir: 5/245-247
[68] Fathul Bari 13/37, Al I’thisham: 2/258-267
[69] Nailul Authar: 7/194
[70] Lihat Kitab Du’at La Qudhat:183
[71] Majmu’atur Rasail: 313
[72] Majmu’atur Rasail: 314
[73] Ibid
[74] Majmu’atur Rasail: 34
[75] Majmu’atur Rasail: 128
[76] Kitab Du’at La Qudhat: 185
[77] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186
[78] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186, Ar Rasail: 2/62
[79] Kitab Du’at La Qudhat: 185-186
[80] Syalbi :206-320, Hasan al Banna dan madrasahnya
[81] Ar Rasail : juz 1-25
[82] Asy syaikh Hasan Al Banna dan madrasahnya: 270-272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar