Minggu, 20 Desember 2009

RESIKO KEPUTUSAN

Saya telah menjelaskan bahwa prinsip syuro dibangun dari falsafah keunggulan akal kolektif atas akal individu. Tapi, apakah itu berarti keputusan yang lahir dari syuro tidak mungkin salah?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab terutama karena prinsip ini sering bertentangan dengan masalah pengendalian kolektif atas proses kreativitas individu. Asumsinya, seringkali ada gagasan-gagasan tertentu yang berasal dari individu tertentu yang sebenarnya sangat cemerlang, tapi mungkin dianggap “menentang arus mayoritas” sehingga kemudian tidak mendapatkan tempat yang layak dalam syuro. Atau dengan kata lain, kurang, bahkan tidak, diterima sama sekali.


Ada kepentingan lain untuk menjawab pertanyaan di atas. Yaitu, adanya anggapan bahwa keputusan syuro pasti selalu benar. Sehingga, para pengambil keputusan seringkali merasa sudah “aman” dengan menempuh prosedur yang benar dan abai bahwa perkembangan di lapangan dapat terjadi di luar dugaan kita atau tidak masuk dalam aspek-aspek yang kita pertimbangkan saat mengambil keputusan. Akibatnya, kita tidak menyiapkan langkah antisipasi untuk menghadapinya. Sehingga, resiko yang semula bisa dieliminir berkembang menjadi lebih besar dan memperburuk keadaan.

Hakikat pertama yang perlu diperjelas sebelumnya adalah para pengambil keputusan yang terlibat dalam syuro manusia biasa. Bukan nabi atau rasul yang makshum. Dan yang mereka lakukan dalam syuro adalah ijtihad yang bersifat jama’i. karena itu, bersifat relative. Kemungkinan benar-salah senantiasa menyertai keputusannya. Karenanya, keputusan itupun bersifat manusiawi. Jadi, mengandung resiko kesalahan.

Hakikat kedua yang perlu juga diperjelas bahwa ruang di mana ijtihad jama’I dilakukan – yaitu penentuan dan pendefinisian mashlahat ‘ammah pada suatu masa dan situasi tertentu – adalah ruang yang sangat dinamis, terus berubah, dan berkembang dalam tempo cepat. Oleh sebabg itu, apa yang kita asumsikan sebagai mashlahat hari ini boleh jadi mudharat keesokan harinya. Akan tetapi, mudharat yang terjadi keesokan harinya itu tidaklah dapat menafikan atau membatalkan mashlahat yang pernah ada kemarin. Yang terjadi adalah mashlahat dan mudharat itu telah muncul pada kesempatan yang berbeda. Sehingga, ada dua keputusan yang diambil dalam kedua kesempatan yang berbeda pula.

Jadi, yang kita lakukan di sini adalah membuat ijtihad yang baru dan menghentikan masa berlaku ijtihad yang lama. Misalnya, dukungan yang kita berikan kepada Gus Dur dalam SU MPR 1999. Dukungan itu kita cabut setelah ada bukti-bukti empiris bahwa mashlahat ‘ammah yang kita asumsikan ada ternyata tidak ada. Dan, mudharat yang sebelumnya hanya ada dalam dugaan (dharar mutawaqqa’) benar-benar telah terjadi.
Kedua hakikat di atas menjelaskan kepada kita betapa dinamisnya proses pengambilan keputusan dalam syuro. Konsep syuro dalam jamaah mukminin sesungguhnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan institusional akan proses kreativitas kolektif yang produktif, namun terkendali. Juga untuk memenuhi kebutuhan psikologis setiap anggota akan penerimaan dan aktualisasi diri, namun tetap menghasilkan yang terbaik bagi jamaah.

Antisipasi Resiko
Sebagai sebuah keputusan, produk syuro selalu mengandung resiko. Dan sepanjang yang kita lakukan dalam syuro adalah mendefinisikan mashlahat ‘ammah atau mudharat yang bersifat asumtif, maka selalu ada resiko kesalahan. Atau, setidak-tidaknya “tempo kebenarannya” sangat pendek. Sehingga, harus cepat diubah dengan keputusan baru. Akan tetapi, kesalahan seperti ini mengurangi beban rasa bersalah karena beberapa hal.

Pertama, karena secara kolektif kita telah menempuh prosedur pengambilan keputusan secara benar. Sehingga, dengan mudah kita dapat menemukan letak kesalahan, yaitu pada asumsi-asumsi yang mendasari keputusan. Atau, pada munculnya perkembangan baru yang tidak terduga sebelumnya. Ini semua merupakan bagian dari kelemahan manusiawi kita yang tidak terhindarkan dan berada di luar kemampuan manusiawi kita – dan pada waktu yang sama menunjukkan ketidakterbatasan ilmu Allah swt. Tapi, seandainya keputusan ini diambil secara individual, kesalahannya menjadi lebih banyak. Bisa pada prosedur juga pada muatan keputusannya sekaligus.

Kedua, kesalahan ijtihad jama’i lebih bisa ditanggung resikonya karena kita menanggungnya bersama-sama. Jadi, kesalahan itu tidak dibebankan kepada satu orang, walaupun mungkin keputusan syuro berasal dari gagasan seorang individu anggota majlis syuro. Maka, sebagaimana keputusan diambil secara bersama, resikopun dibagi secara bersama. Tentu saja ini membuat beban resiko menjadi lebih ringan. Dan lebih dari itu, kita tidak perlu mencari kambing hitam untuk menanggung semua resiko. Dengan begitu distribusi beban yang disebar secara merata akan memperkuat tingkat soliditas organisasi dan menjaga rasa saling percaya antara sesame junud (anggota) dan antara junud dengan qiyadah (pimpinan).

Terlepas dari kenyataan di atas, adalah penting untuk dijelaskan bahwa ijtihad jama’i merupakan ruang yang sangat dinamis dan terus berubah. Maka, sikap dan keputusan politik yang kita ambil harus disertai dengan kalkulasi yang akurat tentang resiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari sikap dan keputusan politik yang diambil. Atas dasar kalkulasi resiko itu, kita berupaya me-maintain situasi dengan berbagai langkah antisipasi. Langkah-langkah antisipasi ini harus dilakukan untuk mengurangi tingkat resiko keputusan, baik akibat kesalahan pada asumsi-asumsi dasar maupun karena munculnya berbagai perkembangan baru yang tidak terduga setelah keputusan diambil.

Misalnya, jika memutuskan untuk memberikan dukungan kepada seseorang dalam pemilihan presiden, dengan pertimbangan mashlahat dan mudharat, keputusan itu harus disertai dengan keputusan-keputusan lain yang bersifat antisipatif. Sehingga, kita dapat menurunkan tingkat resiko dari sikap dan keputusan politik awal tersebut.
Dan lebih dari itu semua, adalah tepat untuk bersikap sebagaimana diperintahkan Allah swt., “Kalau kamu sudah bertekad (setelah bermusyawarah), maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

(Anis Matta - Menikmati Demokrasi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar