Minggu, 20 Desember 2009

Mengubur Ambisi Dunia

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak akan memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa-apa yang mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan”. (QS Hud:15-16)

Letakkanlah dunia di tanganmu dan jangan letakkan ia di hatimu (al-atsar). Cukup sederhana kiranya ungkapan di atas, seraya mengingatkan kepada kita kadar kepemilikan kita terhadap dunia, bahwa dia hanya sebuah titipan Allah yang tidak sepantasnya menjadi obsesi akhir dari keinginan manusia.

Kata kaana di awal ayat tersebut menurut para nuhat (ahli nahwu) adalah tambahan. Sedangkan kata man adalah kata syarat yang mengandung konsekuensi jawaban. Kaana dalam ayat ini menunjukkan pekerjaan yang diulang-ulang secara terus menerus. Dengan adanya kata kaana tadi, berarti keinginan orang kafir mengejar dunia bersifat terus-menerus, bahkan tidak ada dalam hatinya obsesi ukhrowi sedikitpun (Fathu Qodiir II/704).

Ziinataha (perhiasa dunia), Ibnu Abbas mengatakan adalah harta. Sementara ulama yang lain mengatakan “Segala apapun yang menghiasi dunia sehingga menjadikan kehidupan dunia dalam cita-ciatanya dan tidak mempunyai keinginan kepada kehidupan akhirat yang lebih abadi dan hakiki”.

Dalam menafsirkan ayat ini, para ulama berbeda pendapat meski pada intinya sama. Qatadah mengatakan, “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, niatnya serta pencarian dari segala jerih payahnya, maka Allah akan memberikan apa yang mereka inginkan itu selama di dunia. Kemudian ketika mereka kembali ke kampung akhirat tidak ada lagi kebaikan yang diberikan”.

Al-Qadi berkata, “Barangsiapa menginginkan dari amal kebaikan yang mereka lakukan itu kesenangan dunia dan perhiasannya, niscaya Allah akan memberikan balasan amal mereka di dunia secara sempurna tanpa dirugikan sedikitpun”.

Sedangkan Al-Aufa, Mujahid, Addhohak berkata dari Ibnu Abbas, “Barangsiapa beramal sholeh dalam rangka mengejar dunia, baik sholat, shaum, zakat maupun tahajud, maka Allah berkata: Aku akan memenuhi apa-apa yang mereka niatkan dari kesenangan dunia. Kemudian amal-amal itu tidak ada artinya dan mereka termasuk orang-orang yang merugi”.

Kini kita sering melihat manusia yang bersusah payah bekerja mengejar dunia, meraih kesenangan dan perhiasannya. Sebagian dari mereka memperoleh apa yang diinginkan. Dalam hal ini Sayyid Quthb menasihatkan kita agar tidak perlu heran dan bertanya-tanya. Semua itu menurut beliau adalah sunnatullah yang tidak lepas dari aturan yang ditetapkan Allah SWT. Namun begitu, Sayyid Quthb menegaskan, meskipun kita meyakini bahwa semua itu adalah sunnatullah, keyakinan itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa sebenarnya – kalau mereka mau – mereka bisa mencari dunia sementara jiwa bermuroqobatullah. Mereka bisa sekaligus mendapatkan kesenangan dunia yang baik tanpa dirugikan balasan akhirat.

Amal-amal untuk kehidupan akhirat tidak terhalang oleh amal dunia. Bahkan jika amal dunia itu diiringi keikhlasan dan mengarah pada muroqobatullah, ia juga berarti amal akhirat. Muroqobah itu tidak mengurangi hasil yang dicapai, bahkan menambah barokah di dalamnya, memperkuat semangat, dan menjadikan sebuah upaya pencarian rizqi itu sesuatu yang baik, sehingga hasilnyapun baik (Fi Zhilali Quran IV/1863)

Bagaimanapun manusia dalam kapasitasnya sebagai apasaja tidak bisa meninggalkan dunia secara total. Bahkan apa saja yang ada di bumi ini diperuntukkan Allah bagi manusia. Hanya saja, sikap dan cara berinteraksi dengan dunia itulah masalah utama yang mendapat perhatian besar dan utama oleh syariat Islam.

Dunia dengan segala perhiasannya: harta, anak, kedudukan dan sebaginya, sebenarnya bukan zat dunianya itu yang terpuji atau yang tercela. Karena keberadaan dunia atas kuasa dan kehendak Allah SWT. untuk mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya melalui Rasulullah SAW dengan sunnah qouliyah dan sunnah fi’liyah. Melainkan bahwa umat Islam haruslah meluruskan sikapnya terhadap dunia. Dunia harus ditangannya, kapan saja dan seberapa saja ia harus dapat dilepaskan dengan mudah di jalan Allah SWT.

Juga bukan berarti ia harus dilepas sama sekali, karena ia merupakan senjata dan sarana ummat Islam dalam mengemban misi khalifatul ardh (memimpin dunia) dan I’marotul ardh (memakmurkan bumi). Maka benar sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik harta yang sholih (baik dan halal) yang ada di tangan orang yang sholih.” (hadits marfu’ dari Abdullah ibnu Amru ibnu Ash diriwayatkan oleh Muslim II/090, Ibnu Majah I/596, Ahmad II/168).

Imam al-Qurtubi mengatakan bahwa ayat di atas, makna yang dikandung masih mutlak (lepas), karena itu memerlukan taqyid (pengikat) yang berguna mengkhususkan makna yang ada, dan taqyid tersebut adalah firman Allah SWT pada surat al-Isra’ ayat 18. Allah berfirman: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Dan Kami tentukan baginya neraka jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terhina”.

Maka tidak mesti orang yang mencari kesenangan dunia ia pasti mendapatkannya, karena semua tergantung kehendak dan ketetapan Allah SWT yang berlandaskan pada ketinggian Hikmah-Nya, seperti firman Allah al-Isra’ ayat 18.

Semua ulama bersepakat, kecuali Abu Hanifah, bahwa kalau ada dua ayat pada masalah yang sama, ayat yang satu mutlaq sedang yang lain muqoyyad, maka makna yang digunakan adalah makna yang muqoyyad.

Para sahabat adalah teladan yang harus dijadikan cermin setelah Rasulullah SAW. Mereka mampu untuk bersikap kepada dunia dengan sikap yang adil. Ketika akan hijrah, Suhaib ar-Rumi dipaksa oleh orang-orang Quraisy untuk meninggalkan hartanya, maka ia pun berangkat meninggalkan hartanya demi mencari ridho Allah SWT. Dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT akan menggantinya dengan yang lebih baik, seraya Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh beruntung jual beli Suhaib, sungguh sangat beruntung jual beli Suhaib”. (Siroh Ibnu Katsir dari Ibnu Hisyam II/223).

Abdurrahman bin Auf adalah seorang sahabat yang kaya raya namun kekayaannya tidak pernah mematahkan sedikitpun keimanannya. Ketika Rasulullah akan mengutus pasukan muslimin, beliau meminta para sahabat membantu dan sebagainya, maka Abdurrahman bin Auf bergegas menemui Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku memiliki uang empat ribu dinar, yang dua ribu aku gunakan untuk transaksi dengan Rabbku. Maka ambillah wahai rasulullah, dan yang dua ribu lagi aku tinggalkan buay keluargaku”. Maka Rasulullah berkata: “Semoga Allah memberkati apa yang engkau infaqkan dan apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu”.

Dan ketika perang tabuk, Abdurrahman menginfaqkan dua ratus uqiyah emas, sampai Umar berkata: “Aku telah melihat Abdurrahman telah berbuat dosa karena ia tidak meninggalkan apapun untuk keluarganya.” Maka Rasulullah SAW bertanya tentang hal itu, bahkan berkali-kali, dan jawab Abdurrahman: “Sudah Rasulullah, bahkan lebih banyak dari yang saya infaqkan”. Rasul bertanya: “Berapa?”. Abdurrahman menjawab: “Aku telah meninggalkan kepada mereka apa yang dijanjikan Allah berupa tiga hal: rizqi, kebaikan dan pahala yang tiada terkira”

Wallahu a’lam bishowab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar