Madinah
gempar. Fitnah keji terhadap keluarga Nabi saw merebak. Aisyah, istri Nabi saw
dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Muaththal. Tuduhan itu menemukan bukti:
Aisyah dan Shafwan ditemukan berjalan berduaan sepulang dari perang Bani
Musthaliq. Aisyah naik di atas unta. Shafwan yang menuntunnya. Begitulah fakta
yang terlihat. Tak ada yang bisa menyangkal bukti itu!
Lalu,
apa yang dilakukan Nabi saw mengatasi fitnah ini? Lembaran sejarah
mengajarkan
kepada kita, bagaimana beliau memberantas fenomena ini sampai
akarnya.
Sebuah sikap yang sangat perlu diteladani oleh kita dalam
memberikan
terapi atas peristiwa semacam ini. Ada tiga hal yang dilakukan
Nabi
saw:
Pertama,
konfirmasi dan klarifikasi terhadap kejadian sebenarnya. Hal ini
yang
kita saksikan melalui beberapa pertanyaan yang diajukan Rasulullah saw
kepada para sahabatnya sebelum memutuskan kebenaran
laporan. Dalam dunia
jurnalistik,
ini disebut dengan cover both side. Sebuah berita tidak layak
tayang
sebelum mengklarifikasi berita kepada yang tertuduh. Nabi saw sendiri
melakukan
hal itu. Beliau bertanya kepada para sahabatnya.
Di
satu sisi, umat Islam juga harus mengedepankan prasangka tidak bersalah
alias
husnuzhan. Hal inilah yang dilakukan para sahabat Nabi saw ketika
ditanya
tentang Aisyah yang dituduh berselingkuh. Saat ditanya, Usamah bin
Zaid
menjawab, "Wahai Rasulullah, ia istrimu dan kami tidak mengetahui
padanya
kecuali yang baik-baik dan engkau juga tidak mengetahui padanya
kecuali
yang baik-baik saja. ini kebohongan dan kebatilan."
Seorang
shahabiyah lainnya bernama Barirah menambahkan, "Demi Allah, aku
tidak
mengetahui pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah
mencela
sesuatu pada Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti
kemudian
aku menyuruh menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing
datang
dan memakan adonan roti tersebut."
Allah
SWT menyindir orang-orang yang menyebarkan fitnah itu dengan
firman-Nya,
‘Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu,
orang-orang
mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka
sendiri
dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang
nyata,'
(QS an-Nuur: 12).
Apalagi
kalau yang difitnah itu adalah saudara kita sendiri. Sangat naif
kalau
kemudian kita ikut-ikutan melekatkan julukan-julukan buruk yang justru
akan
memperkeruh suasana. Betapa naif watak seorang mukmin yang justru
senang
saat saudaranya difitnah. Kalau seandainya berita yang dituduhkan itu
benar,
kita tak layak bergembira. Ini adalah musibah.
Kedua,
berusaha mengalihkan isu. Dalam mengatasi merebaknya fitnah,
Rasulullah
saw memerintahkan kepada para sahabatnya untuk pergi di waktu
yang
tidak biasanya beliau pergi sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam dalam
Sirah-nya,
"Rasulullah saw pergi bersama beberapa orang sahabat pada siang
hingga
sore, dilanjutkan malam hingga pagi harinya. Kemudian di hari
berikutnya
beliau pergi hingga mereka disengat matahari. Kemudian beliau
berhenti
di suatu tempat bersama para sahabat hingga mereka mengantuk dan
tertidur.
Rasulullah saw melakukan semua itu agar mereka dapat melupakan
pembicaraan
seputar kejadian sebelumnya."
Jadi,
tahapan berikutnya adalah menyibukkan orang-orang dari membicarakan
fitnah
itu. Sebab, masyarakat yang tidak sibuk biasanya tidak ada yang
mereka
bicarakan selain fitnah itu. Apalagi di era media yang mengglobal
hari
ini. Penyebaran berita begitu cepat menyebar. Bahkan, dalam dunia
konspirasi,
berita kadang sengaja dimunculkan untuk menutupi berita lain.
Memperdebatkan
masalah kebenaran fitnah, kadang justru menambah ‘awet' masa
berita
fitnah itu sendiri. Menolak tuduhan fitnah kadang dianggap sebagai
pembenaran
atas fitnah tersebut. Karenanya, ciptakanlah ‘berita baru' yang
lebih
menarik untuk menutupi fitnah hingga nyatalah kebenaran yang sejati.
Ketiga,
hadapi fitnah dengan kesadaran bahwa Allah pasti menolong hamba-Nya.
Allah
berfirman, "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul
sebelum
kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan)
terhadap mereka sampai datang pertolongan Kami kepada mereka,"
(QS
al-An'am: 34).
Untuk
itu, fitnah harus dilawan dengan doa. Inilah kekuatan yang tak
mungkin
dikalahkan oleh sekuat apa pun musuh. Selain itu, sikap tenang dan
penuh
kehati-hatian akan melahirkan tindakan bijak dan arif. Inilah yang
akan
membuat kita bertahan dalam dakwah di tengah lebatnya hujan fitnah.
Jika
saatnya datang, badai fitnah itu akan berlalu. Maka, kaum Mukmin
sejati
akan diangkat derajatnya. Sebaliknya, para pemfitnah akan dihinakan
Allah
SWT. Inilah yang terjadi di masa Nabi saw.
Sebulan
setelah peristiwa itu, keraguan dan keguncangan hilang dari Madinah.
Kedok
kaum munafik pun tersingkap. Menurut Ibnu Ishaq, setelah peristiwa
itu,
apabila melakukan suatu tindakan, Abdullah bin Ubay bin Salul, munafik
yang
menyebarkan berita tersebut, dicela oleh kaumnya sendiri. (Ibnu Hisyam
II/297)
Sebagaimana
dituturkan Aisyah, saat itu sekembali dari perang melawan Bani
Musthaliq,
pasukan kaum Muslimin berhenti di suatu tempat. Aisyah yang
berada
di dalam sekedup di atas unta, keluar untuk menunaikan hajatnya. Saat
itulah
tanpa ia sadari kalungnya jatuh. Ia pun kembali lagi ke tempatnya
menyelesaikan
hajat. Pasukan pun berangkat tanpa menyadari Aisyah tidak ada
di
dalam sekedup. Ketika kembali ke tempat peristirahatan, pasukan sudah
berangkat.
Tak ada seorang pun.
Aisyah
menunggu karena meyakini ketika pasukan menyadari kehilangan dirinya,
mereka
pasti akan kembali. Saat itulah muncul Shafwan bin Muaththal yang
bertugas
sebagai tentara penyisir pasukan. Ia sangat terkejut mendapatkan
Aisyah
sendirian. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain ‘Inna
lillahi
wa inna ilaihi raaji'uun. Istri Rasulullah saw?'
Shafwan
segera mendekatkan untanya ke arah Aisyah. Setelah Aisyah berada di
atas
unta, Shafwan memegang kepala unta kemudian berjalan cepat menyusul
kaum
Muslimin. Pemandangan itulah yang tampak di perbatasan Madinah: Shafwan
bin
Muaththal as-Sulami muncul menuntun unta sedangkan Aisyah berada di
atasnya.
Berita
fitnah itu pun terus merebak, mengguncang keluarga Nabi saw. Aisyah
tidak
menyadari karena setelah peristiwa itu ia jatuh sakit. Hampir sebulan
berita
itu mengguncang Madinah, baru Aisyah menyadari. Fitnah pun berlanjut
hingga
Allah membebaskan Aisyah melalui ayat-ayat-Nya.
Belakangan,
menurut Aisyah, orang-orang pun bertanya tentang Shafwan.
Didapati
ternyata dia seorang yang impoten dan tidak bisa menggauli wanita.
Tak
lama setelah itu, Shafwan gugur sebagai syahid.
Sebuah
riwayat dari jalur Urwah bin Zubair disebutkan, Aisyah mengatakan,
"Demi
Allah, sesungguhnya laki-laki yang diisukan itu berkata, ‘Maha Suci
Allah,
demi Dzat diriku ada pada-Nya, saya tidak pernah memasuki bilik
wanita
sama sekali." (Ibnu Hisyam II/230)
Jadi,
dilihat dari berbagai penjelasan, berita buruk tentang Aisyah ini
terbantahkan.
Ia hanyalah peristiwa yang menjadi makanan empuk orang-orang
munafik
untuk memecah belah umat Islam saat itu.
Sebaliknya,
peristiwa ini justru mengangkat derajat mukmin sejati. Kisah ini
memang
menjadi ujian berat dan menyakitkan bagi Rasulullah saw, Aisyah, Abu
Bakar
ash-Shiddiq, Ummu Ruman sang ibu, dan Shafwan bin Muaththal yang
disaksikan
Rasulullah saw sebagai seorang yang baik dan Allah telah memberi
rezeki
kepadanya kesyahidan di jalan-Nya sesudah itu.
Seorang
Mukmin tentu akan merasa sakit dengan sakitnya Rasulullah saw.
Seorang
mukmin tidak dapat menahan dirinya dari tangisan, mungkin tidak tahu
apakah
ia menangisi Rasulullah saw yang dirusak kehormatannya padahal beliau
sebaik-baik
makhluk, atau Aisyah, wanita yang paling dicintai Rasulullah
saw,
dan tidaklah Allah memberikan rasa cinta kepadanya terhadap Rasul-Nya
kecuali
karena kemuliaan dan kehormatannya.
Bagaimana
tidak, ia sebaik-baik keluarga Quraisy, keluarga yang seluruhnya
beriman;
ayahnya, kakeknya, dan saudara-saudaranya. Allah SWT Maha
Mengetahui
mengatakan setelah orang-orang beiman terombang-ambing dalam
musibah
dari peristiwa ini selama hampir lima puluh hari, "…..janganlah kamu
kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu,…"
(QS an-Nur: 11).
Sekalipun
di dalamnya ada kesulitan besar dan rasa menyakitkan namun ada
sisi
pelajaran dan pendidikan bagi umat yang jauh lebih baik dari itu semua.
Sedangkan
orang-orang yang dicoba dengan peristiwa ini, pahalanya di sisi
Allah
SWT tidak akan dizalimi sekecil apapun, "Tidaklah seorang hamba
dizalimi
lalu ia bersabar atas kezaliman itu maka Allah pasti menambah
kemuliaan
baginya." (Bagian dari Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
9/199,
200 dalam Bab Zuhud. Ia mengatakan: ini hadits hasan shahih.
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad 4/231 dari Hadits Abi Kabisyah al-Anmari.
Hadits
ini juga mempunyai penguat dari riwayat Abu Hurairah dalam shahih
Muslim
dengan redaksi; "dan tidaklah seorang hamba bertawadhu kecuali Allah
meninggikannya).
Betapa
Aisyah terangkat kemuliaannya saat pembuktian dirinya bersih dari
segala
tuduhan. Awalnya, Aisyah berharap Rasulullah saw akan bermimpi
tentang
kebersihan dirinya. Sebab, sepertinya tidak ada upaya lain. Bukti
fitnah
itu begitu nyata dan dilihat orang banyak: ia berjalan berdua dengan
Shafwan
bin Muathathal. Tak ada yang bisa membantah!
Namun,
Allah punya cara membersihkan Aisyah.
Ayat al-Qur'an turun, khusus
untuk
membersihkan fitnah yang melanda Aisyah. Allah SWT berfirman,
‘Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan
kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk
bagi
kalian bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat
balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka
yang
mengambil bagian yang terbesar dalam pentiaran berita bohong itu
baginya
adzab yang besar,' (QS an-Nuur: 11).
Terakhir,
fitnah hanya bisa dilawan dengan kekompakan. Ibarat badai, ia
memang
datang dengan kekuatan besar. Tapi tidak akan lama. Ia akan berlalu.
Hanya
saja, ketika fitnah itu datang, diperlukan kesolidan, kekompakan dan
kebersamaan.
Kecurigaan, buruk sangka dan berbagai penyakit hati lainnya,
hanya akan membuat kita lemah lalu tergilas
fitnah.~ Hepi Andi ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar