Selasa, 18 September 2018

Terapi Rasulullah saw Mengatasi Fitnah


Madinah gempar. Fitnah keji terhadap keluarga Nabi saw merebak. Aisyah, istri Nabi saw dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Muaththal. Tuduhan itu menemukan bukti: Aisyah dan Shafwan ditemukan berjalan berduaan sepulang dari perang Bani Musthaliq. Aisyah naik di atas unta. Shafwan yang menuntunnya. Begitulah fakta yang terlihat. Tak ada yang bisa menyangkal bukti itu!

Lalu, apa yang dilakukan Nabi saw mengatasi fitnah ini? Lembaran sejarah
mengajarkan kepada kita, bagaimana beliau memberantas fenomena ini sampai
akarnya. Sebuah sikap yang sangat perlu diteladani oleh kita dalam
memberikan terapi atas peristiwa semacam ini. Ada tiga hal yang dilakukan
Nabi saw:
 
Pertama, konfirmasi dan klarifikasi terhadap kejadian sebenarnya. Hal ini
yang kita saksikan melalui beberapa pertanyaan yang diajukan Rasulullah saw
kepada  para sahabatnya sebelum memutuskan kebenaran laporan. Dalam dunia
jurnalistik, ini disebut dengan cover both side. Sebuah berita tidak layak
tayang sebelum mengklarifikasi berita kepada yang tertuduh. Nabi saw sendiri
melakukan hal itu. Beliau bertanya kepada para sahabatnya.

Di satu sisi, umat Islam juga harus mengedepankan prasangka tidak bersalah
alias husnuzhan. Hal inilah yang dilakukan para sahabat Nabi saw ketika
ditanya tentang Aisyah yang dituduh berselingkuh. Saat ditanya, Usamah bin
Zaid menjawab, "Wahai Rasulullah, ia istrimu dan kami tidak mengetahui
padanya kecuali yang baik-baik dan engkau juga tidak mengetahui padanya
kecuali yang baik-baik saja. ini kebohongan dan kebatilan."

Seorang shahabiyah lainnya bernama Barirah menambahkan, "Demi Allah, aku
tidak mengetahui pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Aku tidak pernah
mencela sesuatu pada Aisyah melainkan karena aku pernah membuat adonan roti
kemudian aku menyuruh menjaganya, namun ia tidur hingga akhirnya kambing
datang dan memakan adonan roti tersebut."

Allah SWT menyindir orang-orang yang menyebarkan fitnah itu dengan
firman-Nya, ‘Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu,
orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka
sendiri dan (mengapa tidak) berkata, ‘Ini adalah suatu berita bohong yang
nyata,' (QS an-Nuur: 12).

Apalagi kalau yang difitnah itu adalah saudara kita sendiri. Sangat naif
kalau kemudian kita ikut-ikutan melekatkan julukan-julukan buruk yang justru
akan memperkeruh suasana. Betapa naif watak seorang mukmin yang justru
senang saat saudaranya difitnah. Kalau seandainya berita yang dituduhkan itu
benar, kita tak layak bergembira. Ini adalah musibah.

Kedua, berusaha mengalihkan isu. Dalam mengatasi merebaknya fitnah,
Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabatnya untuk pergi di waktu
yang tidak biasanya beliau pergi sebagaimana dituturkan Ibnu Hisyam dalam
Sirah-nya, "Rasulullah saw pergi bersama beberapa orang sahabat pada siang
hingga sore, dilanjutkan malam hingga pagi harinya. Kemudian di hari
berikutnya beliau pergi hingga mereka disengat matahari. Kemudian beliau
berhenti di suatu tempat bersama para sahabat hingga mereka mengantuk dan
tertidur. Rasulullah saw melakukan semua itu agar mereka dapat melupakan
pembicaraan seputar kejadian sebelumnya."

Jadi, tahapan berikutnya adalah menyibukkan orang-orang dari membicarakan
fitnah itu. Sebab, masyarakat yang tidak sibuk biasanya tidak ada yang
mereka bicarakan selain fitnah itu. Apalagi di era media yang mengglobal
hari ini. Penyebaran berita begitu cepat menyebar. Bahkan, dalam dunia
konspirasi, berita kadang sengaja dimunculkan untuk menutupi berita lain.

Memperdebatkan masalah kebenaran fitnah, kadang justru menambah ‘awet' masa
berita fitnah itu sendiri. Menolak tuduhan fitnah kadang dianggap sebagai
pembenaran atas fitnah tersebut. Karenanya, ciptakanlah ‘berita baru' yang
lebih menarik untuk menutupi fitnah hingga nyatalah kebenaran yang sejati.

Ketiga, hadapi fitnah dengan kesadaran bahwa Allah pasti menolong hamba-Nya.
Allah berfirman, "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul
sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang
dilakukan) terhadap mereka sampai datang pertolongan Kami kepada mereka,"
(QS al-An'am: 34).

Untuk itu, fitnah harus dilawan dengan doa. Inilah kekuatan yang tak
mungkin dikalahkan oleh sekuat apa pun musuh. Selain itu, sikap tenang dan
penuh kehati-hatian akan melahirkan tindakan bijak dan arif. Inilah yang
akan membuat kita bertahan dalam dakwah di tengah lebatnya hujan fitnah.

Jika saatnya datang, badai fitnah itu akan berlalu. Maka, kaum Mukmin
sejati akan diangkat derajatnya. Sebaliknya, para pemfitnah akan dihinakan
Allah SWT. Inilah yang terjadi di masa Nabi saw.

Sebulan setelah peristiwa itu, keraguan dan keguncangan hilang dari Madinah.
Kedok kaum munafik pun tersingkap. Menurut Ibnu Ishaq, setelah peristiwa
itu, apabila melakukan suatu tindakan, Abdullah bin Ubay bin Salul, munafik
yang menyebarkan berita tersebut, dicela oleh kaumnya sendiri. (Ibnu Hisyam
II/297)

Sebagaimana dituturkan Aisyah, saat itu sekembali dari perang melawan Bani
Musthaliq, pasukan kaum Muslimin berhenti di suatu tempat. Aisyah yang
berada di dalam sekedup di atas unta, keluar untuk menunaikan hajatnya. Saat
itulah tanpa ia sadari kalungnya jatuh. Ia pun kembali lagi ke tempatnya
menyelesaikan hajat. Pasukan pun berangkat tanpa menyadari Aisyah tidak ada
di dalam sekedup. Ketika kembali ke tempat peristirahatan, pasukan sudah
berangkat. Tak ada seorang pun.

Aisyah menunggu karena meyakini ketika pasukan menyadari kehilangan dirinya,
mereka pasti akan kembali. Saat itulah muncul Shafwan bin Muaththal yang
bertugas sebagai tentara penyisir pasukan. Ia sangat terkejut mendapatkan
Aisyah sendirian. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya selain ‘Inna
lillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Istri Rasulullah saw?'

Shafwan segera mendekatkan untanya ke arah Aisyah. Setelah Aisyah berada di
atas unta, Shafwan memegang kepala unta kemudian berjalan cepat menyusul
kaum Muslimin. Pemandangan itulah yang tampak di perbatasan Madinah: Shafwan
bin Muaththal as-Sulami muncul menuntun unta sedangkan Aisyah berada di
atasnya.

Berita fitnah itu pun terus merebak, mengguncang keluarga Nabi saw. Aisyah
tidak menyadari karena setelah peristiwa itu ia jatuh sakit. Hampir sebulan
berita itu mengguncang Madinah, baru Aisyah menyadari. Fitnah pun berlanjut
hingga Allah membebaskan Aisyah melalui ayat-ayat-Nya.

Belakangan, menurut Aisyah, orang-orang pun bertanya tentang Shafwan.
Didapati ternyata dia seorang yang impoten dan tidak bisa menggauli wanita.
Tak lama setelah itu, Shafwan gugur sebagai syahid.

Sebuah riwayat dari jalur Urwah bin Zubair disebutkan, Aisyah mengatakan,
"Demi Allah, sesungguhnya laki-laki yang diisukan itu berkata, ‘Maha Suci
Allah, demi Dzat diriku ada pada-Nya, saya tidak pernah memasuki bilik
wanita sama sekali." (Ibnu Hisyam II/230)

Jadi, dilihat dari berbagai penjelasan, berita buruk tentang Aisyah ini
terbantahkan. Ia hanyalah peristiwa yang menjadi makanan empuk orang-orang
munafik untuk memecah belah umat Islam saat itu.

Sebaliknya, peristiwa ini justru mengangkat derajat mukmin sejati. Kisah ini
memang menjadi ujian berat dan menyakitkan bagi Rasulullah saw, Aisyah, Abu
Bakar ash-Shiddiq, Ummu Ruman sang ibu, dan Shafwan bin Muaththal yang
disaksikan Rasulullah saw sebagai seorang yang baik dan Allah telah memberi
rezeki kepadanya kesyahidan di jalan-Nya sesudah itu.

Seorang Mukmin tentu akan merasa sakit dengan sakitnya Rasulullah saw.
Seorang mukmin tidak dapat menahan dirinya dari tangisan, mungkin tidak tahu
apakah ia menangisi Rasulullah saw yang dirusak kehormatannya padahal beliau
sebaik-baik makhluk, atau Aisyah, wanita yang paling dicintai Rasulullah
saw, dan tidaklah Allah memberikan rasa cinta kepadanya terhadap Rasul-Nya
kecuali karena kemuliaan dan kehormatannya.

Bagaimana tidak, ia sebaik-baik keluarga Quraisy, keluarga yang seluruhnya
beriman; ayahnya, kakeknya, dan saudara-saudaranya. Allah SWT Maha
Mengetahui mengatakan setelah orang-orang beiman terombang-ambing dalam
musibah dari peristiwa ini selama hampir lima puluh hari, "…..janganlah kamu
kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu,…" (QS an-Nur: 11).

Sekalipun di dalamnya ada kesulitan besar dan rasa menyakitkan namun ada
sisi pelajaran dan pendidikan bagi umat yang jauh lebih baik dari itu semua.
Sedangkan orang-orang yang dicoba dengan peristiwa ini, pahalanya di sisi
Allah SWT tidak akan dizalimi sekecil apapun, "Tidaklah seorang hamba
dizalimi lalu ia bersabar atas kezaliman itu maka Allah pasti menambah
kemuliaan baginya." (Bagian dari Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
9/199, 200 dalam Bab Zuhud. Ia mengatakan: ini hadits hasan shahih.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/231 dari Hadits Abi Kabisyah al-Anmari.
Hadits ini juga mempunyai penguat dari riwayat Abu Hurairah dalam shahih
Muslim dengan redaksi; "dan tidaklah seorang hamba bertawadhu kecuali Allah
meninggikannya).

Betapa Aisyah terangkat kemuliaannya saat pembuktian dirinya bersih dari
segala tuduhan. Awalnya, Aisyah berharap Rasulullah saw akan bermimpi
tentang kebersihan dirinya. Sebab, sepertinya tidak ada upaya lain. Bukti
fitnah itu begitu nyata dan dilihat orang banyak: ia berjalan berdua dengan
Shafwan bin Muathathal. Tak ada yang bisa membantah!

Namun, Allah punya cara  membersihkan Aisyah. Ayat al-Qur'an turun, khusus
untuk membersihkan fitnah yang melanda Aisyah. Allah SWT berfirman,
‘Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kalian juga. Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk
bagi kalian bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka
yang mengambil bagian yang terbesar dalam pentiaran berita bohong itu
baginya adzab yang besar,' (QS an-Nuur: 11).

Terakhir, fitnah hanya bisa dilawan dengan kekompakan. Ibarat badai, ia
memang datang dengan kekuatan besar. Tapi tidak akan lama. Ia akan berlalu.
Hanya saja, ketika fitnah itu datang, diperlukan kesolidan, kekompakan dan
kebersamaan. Kecurigaan, buruk sangka dan berbagai penyakit hati lainnya,
hanya akan membuat kita lemah lalu tergilas fitnah.

~ Hepi Andi ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar