“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Ankabut: 69)
Tarbiyah sebagai munthalaq dakwah ini, telah banyak memberikan arahan dan bimbingan pada pesertanya. Baik arahan dalam masalah keyakinan, wawasan, tumbuh kembang realitas kekinian serta penyikapan terhadap suatu persoalan. Sehingga peserta tarbiyah tidak buta atau salah dalam memandang masalah. Arahan ini untuk menghindari kekeliruan dalam mencermati berbagai permasalahan. Sebab tidak sedikit orang yang salah menilai lantaran tidak memiliki arahan. Arahan ini menjadi dhawabith dalam menyikapi sesuatu. Amatlah naif bagi seorang kader dakwah yang sudah memegang patokan penilaian bila tidak pandai menyikapinya.
Cara pandang seperti ini amatlah mahal. Tidak semua gerakan dakwah mempunyai patokan yang dijadikan bingkai pengikat dalam menilai suatu permasalahan. Malah kebanyakan sembrono menyikapinya. Akhirnya salah langkah dalam menentukan kebijakan yang amat strategis. Tidak adanya patokan bagi mereka bisa jadi lantaran minimnya sudut pandang. Atau bisa juga karena miskinnya wawasan sehingga simple betul melihat sebuah masalah. Dan bisa pula karena terjebak pada tampilan luar yang memukau. Barangkali contoh sederhana yang sering disajikan orang dalam masalah ini seperti orang-orang buta dalam mengambil kesimpulan tentang gajah. Mereka keliru karena kurangnya informasi dan cara pandang. Yang terjadi kemudian adalah salah dalam menentukan sikap. Atau lama dalam membuat konklusi atas permasalahan yang sedang dihadapi.
Satu hal yang perlu disikapi dengan cepat sesudah jihad siyasi ini adalah kesinambungan amal dakwah dan tarbawi. Karena kelambanan dalam bersikap akan membuat jedanya perjalanan amal dakwah ini. Jeda seperti yang kita pahami dapat menjadi jurang bahaya bagi para kader dakwah. Cukuplah kasus sesudah perang Badar, yang hingar-bingar karena euphoria kemenangan yang berujung pada kondisi nyaris konflik menjadi catatan penting bagi kita. Bahkan jeda juga dapat membuat kaku sendi-sendi syaraf yang telah lentur karena selalu dipergunakan untuk mobilitas amal yang beruntun. Dan ini dapat berakibat pada ketahanan tubuh dan kelenturannya beramal. Oleh karena itu euphoria ini tidak boleh berlama-lama. Apalagi hingga keasyikan. Semua itu dapat memperdaya kader-kader dakwah lainnya.
Telah banyak kita kaji dalam Kitab dan Sunnahnya bahwa Rasulullah SAW. dan para sahabatnya tidak pernah lamban menyikapi masalah-masalah yang terjadi. Mereka senantiasa memfollow up-inya dengan segera. Agar tidak membuat mereka terperosok pada ekses negatif yang muncul darinya. Berpaku pada sikap generasi terdahulu maka anugerah karunia yang diberikan Allah SWT. ini harus diantisipasi dengan secepatnya. Sehingga dampak buruk yang mungkin dapat terjadi bisa diminimalisir.
Adapun penyikapan yang harus ditindak lanjuti terletak pada dua sikap, yakni:
a) Al Jiddiyah (bersungguh-sungguh)
Sungguh-sungguh artinya tidak main-main dalam menunaikan suatu tugas. Menunaikannya dengan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan yang mereka miliki. Sungguh-sungguh sudah menjadi watak orang-orang beriman. Karena ia adalah pelita hati. Ia akan menunjuki jalan yang tepat mencapai natijah yang besar. Dengan kesungguhan, kader dakwah akan selalu sibuk dengan hal-hal besar. Sebaliknya malas dan main-main adalah jamur jiwa. Ia akan menimbulkan berbagai penyakit. Ia akan direpotkan oleh masalah-masalah sepele atau ia akan memandang masalah kecil sebagai masalah besar atau kebalikannya hal-hal besar dianggap masalah yang ringan.
Sangat tepat bila kaidah man jadda wajada (Siapa yang sungguh-sungguh pasti dapat) menjadi dasar pijakan kader dakwah dalam menunaikan tugas suci. Terlebih bagi seorang aktivis dakwah, kesungguhan menjadi tabiat sehari-hari. Imam Hasan Al Banna menyatakan:
“Jangan banyak bergurau, karena umat yang sungguh-sungguh tidak mengenal selain dari kesungguhan”.
Betapa banyak contoh nyata tentang keberhasilan dan kesuksesan yang diraih karena kesungguhan. Ia menjadi modal utama untuk mencapai cita-cita besar.
Seorang milyarder Amerika, sukses sebagai pengusaha bermula dari mengumpulkan sisa-sisa bahan bakar dari tanki-tanki truk pengangkut. Lama kelamaan ia berhasil mengumpulkannya menjadi lumbung minyaknya. Yang kemudian ia himpun menjadi bertambah banyak lagi. Dan seterusnya dari proses hidup yang ia jalani menjadi orang yang kaya raya di jagat ini. Kesungguhan yang menghantarkan kesuksesan dinyatakan benar bila memenuhi pra syaratnya, yakni:
Pertama, Al Fauriyah littanfidz (merespon dengan segera).
Kemampuan merespon masalah dengan cepat sebagai indikasi kesungguhan. Ia tidak akan pernah main-main dalam menghadapi sebuah permasalahan. Sebagaimana yang dilakukan oleh generasi terdahulu yang amat cepat memenuhi seruan yang ditujukan kepadanya.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”. (Al Anfal: 24)
Seperti kasus diwajibkannya mengenakan busana muslimah, mereka segera menutupi tubuhnya dengan kain besar tanpa harus menunggu waktu yang tepat bagi diri mereka. Pagi hari mereka mendengar langsung bahwa Rasulullah SAW. mendapatkan wahyu yang memerintahkan hal tersebut maka saat itu juga mereka sikapi wahyu itu dengan ketaatan dan kesungguhan. Demikian pula kasus dilarangnya minuman keras dan transaksi riba. Mereka pun dengan cepat mengambil sikap atas persoalan tersebut.
Kedua, Quwatul Iradah (kemauan yang kuat).
Orang yang sungguh-sungguh memiliki kemauan yang kuat. Kuatnya sebuah kemauan tidak akan pernah surut selangkah pun dalam menghadapi rintangan. Ia bagaikan benteng kokoh yang berdiri tegar menghadapi serbuan dan terjangan. Mundur bagi seorang yang kuat kemauannya adalah kekalahan. Karena itu ia tidak akan lari dari resiko-resiko perjuangan. Dalam dirinya yang ada adalah bagaimana mendapatkan kemenangan. Tidak seperti orang-orang yang lemah kemauan. Mereka akan gentar dengan aral yang melintang. Nyalinya bertambah ciut dan gentar tatkala harus melewati rintangan. Sebagaimana dalam Firman-Nya:
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta”. (At-Taubah: 42)
Perhatikanlah kisah perang Dzatur Riqa’. yang dipaparkan oleh Abu Musa Al Asy’ari RA. yang termasuk salah seorang prajurit perang tersebut. Dalam perjalanan panjang yang mereka tempuh itu para sahabat tidak berkeluh kesah meski kaki mereka pecah-pecah. Kaki mereka yang luka akibat perjalanan panjang. Mereka mengikatnya dengan kain-kain. Sehingga perang itu disebut Dzatur Riqa’. Mereka mengalami kondisi yang berat namun mereka tidak lemah untuk menghadapinya. Bahkan menceritakannya saja mereka malu-malu. Sebab itu akan menampakkan tanda keengganan dalam menyongsong tugas berat.
Ketiga, Mutsabarah alad Da’wah (tak henti, tekun dalam berdakwah).
Kesungguhan juga dapat dinilai dari kesinambungannya melakukan sesuatu. Mereka yang sungguh-sungguh akan bersegera untuk mengerjakannya dengan tekun. Ia tidak cepat lelah apalagi malas. Karena semua sifat itu akan menghambat kerja-kerja besar yang sedang ia lakoni. Bahkan Allah SWT. telah menitahkan untuk menyegerakan kembali beramal sesudah selesai menuntaskan sebuah pekerjaan.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. (Al-Insyirah: 7)
Keempat, Taskhirul Amkinah (mengerahkan potensi secara maksimal).
Orang yang bersungguh-sungguh tentu akan mengerahkan seluruh potensinya secara optimal. Karena langkah inilah yang akan memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang sedang ia hadapi. Bagi kader dakwah mengerahkan seluruh potensinya sampai pada kondisi titik penghabisan. Hal ini bahkan menjadi keharusan dalam beramal da’awi.
Para sahabat dalam mengerahkan potensinya amat besar hingga yang mereka miliki tinggal yang ada pada dirinya. Bahkan yang mereka sisakan hanya Allah dan Rasul-Nya untuk diri dan keluarga mereka. Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar Siddiq RA. Dalam perjalanan hijrahnya menyertai Sang Junjungan SAW.
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16).
Kelima, Mughalabatul I’dzar (mengalahkan udzur).
Kader yang sungguh-sungguh tidak akan mudah dikalahkan oleh berbagai rintangan. Ia tak pernah lemah dengan tugas-tugas yang dipikulnya. Bahkan ia akan terus berupaya memikul tanggung jawabnya. Tak pernah terbetik meminta pembenaran atas kondisi lemahnya. Ia tak juga mentolerir akan beratnya tanggung jawab tersebut. Apalagi balasan yang diberikan Allah SWT. adalah surga dan keridhaan-Nya. Tersebut seorang sahabat Amr bin Jamuh RA. yang sangat antusias untuk mengikuti jihad. Meskipun kakinya cacat, sehingga anak-anaknya mencegahnya. Dikhawatirkan akan memberatkan pasukan muslimin. Namun ia tidak mau mendapatkan rukhshah meski dari kondisi fisiknya yang sedemikian.
Ulama dakwah kita telah menegaskan bahwa:
Nahnu jama’ah ‘azimah lasna jama’ah rukhshah
(kita adalah jama’ah yang punya tekad kuat bukan jama’ah yang ‘pengen’ keringanan).
Karenanya tidaklah patut bila menghadapi sebuah tugas dipandang sebagai tugas yang Maha Berat lalu meminta dispensasi. Lebih-lebih dispensasi untuk meninggalkan tugas tersebut.
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan”. (At-Taubah: 91 – 92)
Kader dakwah yang sungguh-sungguh dalam mengemban tugasnya, dengan sikap seperti di atas. Maka merekalah yang memiliki kemampuan untuk memikul beban dakwah yang besar ini Hamilul ‘Aba’i (kemampuan memikul beban). Sebab tugas dakwah tidaklah sama dengan tugas-tugas lainnya. Ia memerlukan penyiapan ma’nawiyah yang memadai. Memang hal ini tidaklah mudah dan ringan. Dari sekian kader yang ada yang mempunyai kemampuan memikul beban hanya beberapa gelintir saja.
Rasulullah SAW. pun telah mensinyalir masalah ini dengan mengatakan bahwa manusia bagai unta pemikul beban dari seratus yang ada hanya satu yang memiliki kemampuan tersebut. Oleh karena itu bagi kader dakwah hal ini menjadi motivator untuk menguatkan diri dan kemampuannya.
b) Al Indhibath (disiplin)
Disiplin artinya selalu tertib akan tata aturan yang mengikat dirinya berbuat sesuatu. Sehingga ia menapaki tugas dan kewajibannya secara teratur dan sistemik. Tidak ‘ngawur’ apatah lagi ‘ngaco’. Sebenarnya disiplin sudah menjadi identitas ajaran ini. Yang sepatutnya melekat dalam diri para kader. Telah banyak rambu dan ajarannya yang membentuk pelakunya bersikap disiplin. Di antaranya shalat tepat waktu dan berjamaah dengan mengikuti imam. Namun lagi-lagi yang dialami langsung dalam umat ini jauh dari kenyataan. Sehingga ketidak disiplinan acap kalai terjadi. Dan menimbulkan kerugian serta kekalahan umat ini. Karenanya kedisiplinan ini meliputi:
Pertama, Al Indhibath As Syar’y (disiplin terhadap aturan syar’i),
Seorang kader dakwah selalu disiplin pada aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Aturan tersebut harus mengikat dirinya. Agar ia tidak sembrono dalam berbuat. Dan dengan aturan itu seorang kader dakwah mentaati rambu-rambu yang disinyalkan kepadanya. Kepahaman yang utuh dan baik terhadap aturan itu akan menjaga kader dakwah dari penyimpangan syar’i. Oleh sebab itu kader dakwah ini patut untuk meningkatkan kepahaman syar’inya. Sehingga tidak terjerumus pada perbuatan yang melanggar ketentuan itu.
Kedua, Al Indhibath Al Khuluqy (disiplin perilaku atau akhlaq).
Disiplin pada akhlaq Islam sebagai wujud dari keimanannya. Karena kesempurnaan iman seorang mukmin adalah mereka yang paling baik akhlaqnya. Kader dakwah yang senantiasa menjaga norma perilakunya akan menjadi pintu gerbang simpati dan ketertarikan umat pada dakwah ini. Bukankah modal besar Rasulullah SAW. dalam dakwahnya juga dari norma perilaku beliau yang sangat menawan hati. Hingga beliau mendapatkan gelar al amin, orang yang tepercaya. Ada pula paparan kisah seorang penuntut umum yang tertarik pada dakwah ini karena mendapatkan bantuan dari seorang ulama dakwah di saat sang penuntut umum itu amat sangat membutuhkan bantuan. Lantaran itu ia lebih bersikap sebagai pembela ketimbang sebagai jaksa saat menghadapi kasus-kasus dakwah.
Ketiga, Al Indhibath Al Amaly (disiplin amal)
Disiplin dalam melakukan sesuatu secara sistematis tidak serampangan apalagi tak beraturan. Sikap ini karena mampu mengintegrasikan antara waktu dan tugas. Ia bisa memenej waktunya agar tidak merugikan yang lain. Tidak terlambat dalam melakukan sesuatu dan tidak juga terlampau di awal waktu karena dapat merepotkan orang lain. Imam Hasan Al Banna menyatakan at tabkir kat ta’khir (orang yang datang lebih-lebih awal sama seperti orang yang datang terlambat). Unagkapan untuk mengingatkan kita agar disiplin amal yang tidak merugikan orang lain. Bagi mereka yang datang lebih-lebih awal kadang merepotkan orang yang didatangi. Dan orang yang hadir terlambat menzhalimi hak orang yang datang terdahulu.
Disiplin Amal juga mampu menata tugas-tugasnya dengan baik. Dengan itu tidak ada tugas-tugas yang molor apalagi tidak tertuntaskan. Karena itu Rasulullah SAW. memotivasi dengan sabdanya:
“Allah SWT. menyukai amal salah seorang di antaramu yang rapih amalnya”.
Dan amal yang tertata baik berimplikasi pada produktivitas dan nuansa orang yang melakukannya.
Keempat, Al Indhibath At Tarbawi (disiplin tarbiyah)
Disiplin dalam bertarbiyah maknanya adalah terus membina diri untuk mencapai keshalihah pribadi dan sosial dengan menerapkan aturan manhaj secara tepat dan pas. Kedisiplinan ini berawal dari komitmen bahwa tarbiyah amal prioritas dari amalan lainnya. Agar mampu mengokohkan bangunan keterikatan dan keterlibatan dalam amal tarbawi ini. Ada hal yang sangat menarik saya saat saya temukan satu halaqah tarbiyah yang membangun prinsip kebersamaan dalam komitmen tarbiyah ini dengan sikap tidak boleh meninggalkan halaqah tarbiyah ini kecuali mati. Prinsip kebersamaan ini sah-sah saja dalam tarbiyah. Untuk membangkitkan semangat membina diri secara kontinyu dan terarah.
Bila kelonggaran dalam tarbiyah ini ditolerir terus menerus maka keutuhan tarbiyah ini dapat runtuh. Bahkan imbasannya mungkin tertular pada amal lainnya. Bisa saja pada kesetiaan terhadap dakwah. Oleh karena itu komitmen pada dakwah ini tidak perlu ditawar-tawar. Allah SWT. menganggap mereka yang mulai kendor pengorbanan dan kesetiaannya pada dakwah ini disejajarkan dengan bunuh diri. Firman Allah SWT.:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah: 195).
Kelima, Al Indhibath At Tanzhimy (disiplin struktural).
Disiplin pada ketentuan yang dikeluarkan oleh struktural. Ketentuan tersebut menjadi kebijakan yang mengikat kader-kader yang berhimpun didalamnya. Dengan begitu seluruh sikap kader atas arahan yang menjadi kebijakan struktural. Tidak ‘mentil’ sendirian. Karena sikap semacam itu akan berakibat bagi yang lainnya dan tanzhim secara langsung. Karenanya mereka yang melakukan perbuatan semisal itu dikategorikan sebagai sikap indisipliner.
Sebagaimana yang pernah dilakukan Khathib bin Abi Balta’ah RA. Yang memberikan isyarat dengan meletakkan tangannya di leher saat ditanya keputusan Rasulullah SAW. atas kaum Yahudi. Padahal Rasulullah SAW. hanya menugaskan Khathib untuk mengawasi mereka bukan menyampaikan vonis yang telah ditetapkan bagi mereka. Namun generasi masa lalu adalah generasi pilihan. Ketika mereka salah dalam bersikap mereka lantas diarahkan Allah SWT. dan menjadi pelajaran untuk generasi berikutnya. Akan tetapi hal itu tidaklah mempersempit kader dakwah melakukan kreativitas dan inovasi. Sebab dua hal ini juga disarankan ajaran ini kepada seluruh muslim. Agar dua hal yang berbeda itu berada pada posisinya secara seimbang.
Kader dakwah yang disiplin dengan segala kaitannya dapat membentuk pribadi yang memiliki Quwwatul Intima’i (loyalitas kuat). Hal ini sebagai sikap yang amat prinsipil. Lantaran dari situlah prestise keimanan terbentuk menjadi bangunan yang kuat dalam sanubari seorang mukmin. Bila demikian halnya kader dakwah mampu mengemban amanah yang diserahkan pada dirinya. Kemudian melaksanakannya dengan segera.
Mauqif tarbawi yang benar mendorong kader dakwah untuk berpikir serta bersikap praktis dan tepat. Tidak salah langkah tidak pula keliru menilai. Agar dalam waktu yang cepat dapat segera mengambil posisi untuk Musyarakah da’awiyah (partisipasi dakwah). Seorang ulama dakwah bergumam lantang pada dirinya. ‘Wahai fulan bin fulan, duhai teman hari ini semua tempat telah jelas untuk siapa?. Tiada tempat yang kosong. Semua sibuk mencarinya namun tak seorangpun yang berani berada pada posisi duduknya yang berbahaya. Aku inginkan diriku yang menempatinya. Siapkah kalian mengikuti ku untuk mengambil posisi suci?.
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. ( Yusuf: 108).
Alasan yang amat jelas akan posisi tersebut karena tugas-tugas berat lainnya sedang menunggu siapakah gerangan yang akan memikulnya. Bukankah kewajiban itu lebih banyak dari waktu yang kita miliki. Al Wajibat (kewajiban). Jika sikap tarbawiyah ini menjadi patokan bagi kader-kadernya, mengapa harus lama untuk kembali pada siklus edukasi kita. Mengapa pula kita lambat untuk kembali pada pangkuan tarbiyah kita. Dan mengapa pula kita abai akan sinyal-sinyal dakwah yang menuntut kita untuk segera tampil sebagai pemegang panji dakwah ini. Jangan keasyikan.
Wallahu ‘alam bishshawab.
jazzakallah sharingnya ustad...buat bekal isi halaqah
BalasHapusJazakalloh khoir, dapet juga buat materi halaqah
BalasHapus