Oleh Anis Matta*
Enteng benar Ummu Salamah menjawab pertanyaan Anas bin Malik. Pembantu Rasulullah SAW ini diam-diam mengamati sebuah kebiasaan Sang Rasul yang rada berbeda ketika beliau menemui Ummu Salamah dan ketika beliau menemui Aisyah.
Rasulullah SAW selalu secara langsung dan refleks mencium Aisyah setiap kali menemuinya, termasuk di bulan Ramadhan. Tapi, tidak begitu kebiasaan beliau saat bertemu Ummu Salamah. Nah, kebiasaan itulah yang ditanyakan Anas bin Malik kepada Ummu Salamah, yang kemudian dijawab begini: “Rasulullah SAW tidak dapat menahan diri ketika melihat Aisyah.”
Jawabannya Cuma begitu.
Penjelasannya sesederhana itu.
Datar. Yah, datar saja.
Seperti hendak menyatakan sebuah fakta tanpa pretensi. Sebuah fakta yang diterima sebagai suatu kewajaran tanpa syarat. Tanpa penjelasan.
Sudah begitu keadaannya, kenapa tidak?
Atau apa yang salah dengan fakta itu?
Apa yang harus dicomplain dari kebiasaan itu?
Itu sama sekali tidak berhubungan dengan harga diri yang harus membuat ia marah. Atau menjadi keberatan yang melahirkan cemburu. Mati rasakah ia? Hah? Tapi siapa berani bilang begitu?
Terlalu banyak masalah kecil yang menyedot energi kita. Termasuk banyak pertengkaran dalam keluarga. Sebab kita tidak punya agenda-agenda besar dalam hidup. Atau punya tapi fokus kita tidak ke situ. Jadi kaidahnya sederhana: kalau energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita segera tercurah kepada masalah-masalah kecil.
Karena mereka punya agenda besar dalam hidup, maka mereka tidak membiarkan energi mereka terkuras oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, kecuali untuk semacam “pelepasan emosi” yang wajar dan berguna untuk kesehatan mental.
Kehidupan mereka berpusat pada penuntasan misi kenabian di mana mereka menjadi bagian dari tim kehidupan Sang Nabi. Jadi masalah kecil begini lewat begitu saja. Tanpa punya bekas yang mengganggu mereka. Fokus mereka pada misi besar itu telah memberi mereka toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil berlalu dengan santai.
Fokus pada misi besar itu dimungkinkan oleh karena sejak awal akad kebersamaan mereka adalah janji amal. Sebuah komitmen kerja. Bukan sebuah romansa kosong dan rapuh. Mereka selalu mengukur keberhasilan mereka pada kinerja dan pertumbuhan kolektif mereka yang berkesinambungan sebagai sebuah tim.
Persoalan-persoalan mereka tidak terletak di dalam, tapi di luar. Mereka bergerak bersama dari dalam ke luar. Seperti sebuah sungai yang mengalir menuju muara besar: masyarakat. Mereka adalah sekumpulan riak yang menyatu membentuk gelombang, lalu misi kenabian datang bagai angin yang meniup gelombang itu: maka jadilah mereka badai kebajikan dalam sejarah kemanusiaan.
Cinta memenuhi rongga dada mereka.
Dan semua kesederhanaan, bahkan kadang kepapaan, dalam hidup mereka tidak pernah sanggup mengganggu laju aliran sungai mereka menuju muara masyarakat.
Mereka bergerak. Terus bergerak. Dan terus bergerak.
Dan romansa cinta mereka tumbuh kembang di sepanjang jalan perjuangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar