Oleh: KH. Hilmi Aminuddin, Lc.
Secara mihwar dakwah kita sekarang berada dalam posisi mihwar muasasi (poros pelembagaan). Seperti sering saya katakana bahwa mihwar muasasi adalah muqaddimah dari mihwar daulah (poros Negara). Karena itu setiap agenda, perencanaan, proyeksi-proyeksi, dan langkah-langkah dalam mihwar ini seluruhnya harus diperhitungkan, apakah bisa mengantarkan dakwah ke mihwar daulah bahkan mempercepatnya.
Mihwar muasasi yang tuntutannya adalah untuk bisa mengantarkan jama’ah dan dakwah ini menuju mihwar daulah menuntut persyaratanpersyaratan berikut:
Mihwar Basyari
Pertama, adalah mihwar basyari, yaitu satu poros hubungan kemanusiaan dalam jama’ah ini bahkan antara setiap potensi umat Islam.
Al-Mahabbah wal Ulfah
Mihwar basyari ini harus dipenuhi mahabbah wal ulfah. Dipenuhi rasa cinta dan keakraban. Rasa cinta yang bukan hanya dipendam dalam hati, tetapi nampak dalam kehidupan yang akrab satu dengan yang lainnya.
Ash-Shilah wat-Tawashul
Mihwar basyari ini harus diwarnai dengan ash-shilah wat-tawashul. Selalu memelihara hubungan komunikasi, saling menziarahi, saling telepon, saling kirim SMS dengan segala wasail al-haditsiyah nya. Segala prasarana modern kita gunakan agar setiap potensi dakwah selalu dalam keadaan shilah wat-tawashul. Jangan sampai mahabbah wal ulfah hanya terefleksikan dalam kerinduan-kerinduan jarak jauh tanpa direalisir dalam hubungan dan komunikasi yang kontinyu. Di daerah manapun berada, di dalam posisi apapun kita bertugas dan kondisi apapun, mahabbah wal ulfah harus bisa merefleksikan ash-shilah wat-tawashul.
At-Tasyawur wat-Tafahum
Dalam poros hubungan kemanusiaan ini, kita harus selalu mengembangkan at-tasyawur wat-tafahum. Kita secara fitri dikaruniai oleh Allah SWT potensi dan kafa’ah yang berbeda-beda, syakilah yang berbeda-beda. Agar setiap syakilah, kafa’ah, dan khibrah kita berpadu dan teratur dalam langkah-langkah amal jama’i, maka kita harus selalu tasyawur wat-tafahum. Bermusyawarah untuk tukar menukar pikiran, pengalaman, dan ide, akhirnya melahirkan sebuah agenda dan rencana bersama, dengan masing-masing mengerahkan setiap syakilah, kafa’ah, dan khibrah yang dimilikinya. Ini tidak mungkin dilakukan kecuali bila kita selalu melakukan tasyawur yang kemudian diikuti dengan tafahum. Tasyawur wat-tafahum merupakan mihwar basyari, poros hubungan kemanusiaan yang dibutuhkan untuk membangun amal jama’i yang kokoh, baik dan produktif.
At-Ta’awun wat-Takaful
Tasyawur wat-tafahum harus diikuti pula dengan ta’awun wa takaful. Saling kerjasama dan saling sepenanggungan, sehingga bukan saja terjadi tauhidu shaf tetapi juga tauhidu juhud. Seluruh juhud, upaya dan usaha kita, terkonsentrasikan pada program yang sudah disepakati bersama. Melalui semangat ta’awun wa takaful yang didahului oleh tasyawur wat-tafahum.
Ad-Da’m wal Isnad
Dalam poros hubungan kemanusiaan ini harus selalu memperhatikan ad-da’m wal isnad, dukungan dan back-up. Betapapun sudah ada pembagian tugas sesuai dengan job-deskripsi yang sudah ditentukan, tetapi tidak boleh hanya khusyu dengan kerja sendiri kemudian sama sekali mengabaikan dan tidak memperhatikan kerja ikhwah lain yang mungkin perlu dukungan kita. Minimal do’a, ide, bahkan dukungan potensi materiil kita. Walaupun pembiayaan bidang kita belun cukup, tetapi kita harus melihat jangan-jangan ada yang lebih tidak cukup dari kita. Oleh karena itu ad-da’m wal isnad,semangat saling mendukung dan mem-back up akan tugas masing-masing harus dihidup suburkan dalam konteks hubungan antar manusia, antar personil di lingkungan ikhwan dan akhwat.
Mihwar Idari
Kemudian mihwar jama’i dakwah harus didukung oleh mihwar idari, poros manajeman.
Ta’zizul Intima’
Idariyah kita pada hakekatnya diselenggarakan dengan pendekatan ta’zizul intima untuk mengokohkan dan membuktikan komitmen kita kepada dakwah ini. Manajemen dakwah kita pertama kali harus melahirkan ta’zizul intima’, pengokohan komitmen bukan malah membuyarkan komitmen. Ini adalah tuntutan rabbani. Al-Quranul karim menyatakan,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. 3: 159)
Saya ingatkan bahwa sesudah sampai ke azm yang dibangun melalui rahmat Allah SWT, dan rahmat Allah tidak mungkin diraih kecuali dengan peningkatan kualitas ta’abud wa taqrub kepada Allah SWT sehingga menjadi orang-orang yang mustahiqiina birahmatillah, banyak menerima rahmat Allah, dengan rahmat Allah itu menjadi linta lahum, hubungan di antara kita menjadi penuh dengan kelembutan, kesantunan, keakraban, dan kemesraan. Sebaliknya, na’udzubillah, bila hubungan itu, ghalizal qolb, diwarnai dengan kekakuan muamalah, kegersangan hati, kerigidan dalam interaksi, potensi akan berantakan.
Maka, kesadaran akan kekurangan dan kelemahan diri, serta kesadaran akan saling mem back-up, memperbaiki kelemaha itu akan menimbulkan fa’fu anhum. Setelah memaafkan dan tanpa diminta kemudian memintakan ampun dari Allah, wastaghfirlahum. Dengan kondisi seperti itu insya Allah, musyawarah kita akan menjadi produktif, wasyawirhum fil amri. Musyawarah itu menghasilkan azm. Fa idza azamta fa tawakkal ‘alallah. Dan itulah yang akan mendapat dukungan dari Allah SWT. Manajemen dakwah kita harus melahirkan pengokohan kepada komitmen, bukan malah merusak komitmen. Naudzubillahi min dzalik.
An-Nash-hu wat-Tasdid
Dalam mihwar idari harus ada semangat an-nash-hu wat-tasdid. Yaitu saling member nasihat untuk meningkatkan akurasi dalam menggunakan dan mengarahkan potensi, dalam memilih pilihan aktivitas-aktivitas dalam mengarahkan potensi kita secara akurat melalui proses tawashau bil haqqi wa tawashau bi-shabri wa tawashau bil marhamah.
Tawashau bil haqqi untuk menjaga kemungkinan penyimpangan-penyimpangan. Kemungkinan melemahnya potensi-potensi kita dari yang haq bisa ditangkal dengan tawashau bi shabri. Dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, bisa saja terjadi efek-efek kelemahan. Mungkin secara maknawi, minimal gamang menghadapi tantangan berat, mungkin secara fikri ragu untuk menggapai cita-cita dakwah, mungkin secara fisik menjadi lesu. Di sinilah perlunya An-Nash-hu wat-Tasdid melalui tawashau bi shabri. Begitu juga dalam perjalanan dakwah, kita akan menemui resiko-resiko, na’udzubillah, musibah-musibah, kesulitan-kesulitan. Sudah barang tentu kita tidak kan membiarkan ikhwan dan akhwat menghadapi kesulitan tanpa sentuhan-sentuhan tawashau bil marhamah.
Tawashau bil marhamah untuk menghindarkan potensi kita terjebak kepada kesulitan dan kelesuan yang diakibatkan kesulitan-kesulitan hidup. Mungkin sekarang yang paling menonjol kesulitan hidup secara ekonomi. Dengan tawashau bil marhamah, betapapun beratnya krisis yang kita hadapi, potensi dakwah tetap tegar dan segar bugar, bisa menunaikan tugas-tugasnya dengan baik.
At-Tadrib wa Ta’hil
Dalam melaksanakan tugas-tugas, dalam menggerakkan potensi-potensinya, dakwah harus punya sifat at-Tadrib wa Ta’hil, memberikan pelatihan dan peningkatan kafa’ah. Dengan demikian setiap potensi kita terlatih dan berkeahlian. At-Tadrib wa Ta’hil adalah pendekatan manajerial yang ketiga yang selalu harus kita perhatikan sehingga setiap ikhwan dan akhwat dalam melaksanakan tugas-tugasnya justru merasa dalam rangka meningkatkan potensi, kafa’ah dan khibrahnya.
Al-Amaliyyah wal Intajiyyah
Pendekatan idariyah keempat adalah bagaimana dakwah selalu menggerakkan Amaliyyah wal Intajiyyah. Kita komitmen kepada dakwah dan jama’ah ini melalui tarbiyah. Dan tarbiyah kita merupakan tarbiyah amaliyyah wal intajiyyah. Bukan tarbiyah tsaqofiyah bahtah, hanya meningkatkan wawasan islamologi semata. Tarbiyah kita selain meningkatkan wawasan keilmuan juga meningkatkan wawasan kemampuan aplikasi dalam amal ibadah.
Oleh karena itu manajemen kita harus memperkirakan setiap peningkatan wawasan keilmuan langsung terefleksikan dalam amaliyah islamiyah atau operasional maidaniyah. Sehingga tidak ada potensi yang wuquf atau potensi yang statis dan diam di tempat.
Wal intajiyah, setiap langkah program harus dilihat oleh manajemen tingkat produktivitasnya. Jangan asal kerja, sebab pekerjaan yang tidak produktif berarti manajemen sudah memubazirkan potensi.
At-Tathwir wat Tawrits
Mihwar idari kita dalam amal jama’i adalah at-tathwir wat tawrits, pengembangan dan pewarisan. Dakwah kita bukan dakwah yang dilandasi oleh geografis dan demografis. Dakwah kita tidak dibatasi oleh jadwal waktu, tetapi berlangsung terus hingga yaumil qiyamah, yang memerlukan estafeta antar generasi. Karena itu manajemen dalam meletakkan program-program dan agenda-agendanya harus sekaligus mengandung at-tathwir, pengembangan potensi agar lebih mampu menyongsong masa depan, sekaligus juga at-tawrits, khibrat as-salaf yang bisa diwariskan atau ditransfer kepada khalaf. Sehingga dalam dakwah ini tidak ada ilmu simpanan sebagaimana dikenal dalam ilmu persilatan. Seluruh khibrat wa kafa’ah harus bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Pewarisan juga bukan yang muqallid, yang statis. Tetapi pewarisan yang muthawwir, pewarisan bisa dikembangkan. Tathwir Khibrat wal kafa’at harus sekaligus dengan tawrits khibrat wal kafa’at. Sehingga dengan demikian poros amal jama’i dalam jama’ah ini bisa kita pertahankan kegairahannya, dinamikanya, dan produktivitasnya secara baik. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar