Minggu, 22 November 2009

Akhlak terhadap Non Muslim

Menurut ajaran Islam, pergaulan dan hubungan umat Islam dengan non muslim haruslah dibangun atas dasar ahlaqul karimah. Secara umum, dalam hubungan dengan umat Islam, orang kafir terbagi dua macam ; kafir muharib, yaitu orang kafir yang memerangi umat Islam dan kafir ghairu muharib yaitu orang kafir yang tidak memerangi umat Islam.

Beberapa prinsip pergaulan yang harus dijaga umat Islam dengan kafir ghairu muharib adalah :

1. Menahan diri melakukan kedzaliman, penghinaan dan tindakan yang melampaui batas (melanggar HAM).

2. mempraktekkan prinsip-prinsip ahlak Islam, diantaranya : kejujuran, amanat, kesadaran, keadilan, dan kasih sayang sesuai dengan tuntunan syariat serta berbagai ahlak terpuji lainnya.

3. dibenarkan berbuat baik dan melakukan berbagai amal kemanusiaan lainnya.

Tetapi hal yang perlu diingat oleh umat Islam adalah pergaulan dan hubungan yang baik dengan orang kafir itu hendaknya tidak membuatnya setia, cinta dan mengutamakan mereka atas umat Islam, atau mengakibatkannya berbasa-basi dan tidak tegas dalam masalah kekufuran, atau membuatnya berlebihan dalam memuji mereka, memuji peribadatan ritual mereka atau menyampaikan ucapan selamat pada hari-hari besar agama mereka atau yang sejenisnya yang merupakan syari’at agama mereka.

Adapun prinsip-prinsip hubungan dengan kafir muharib diantaranya :
1. Dilarang mendahului memerangi mereka sebelum disampaikannya dakwah.
2. Dilarang menipu dan menyiksa dalam peperangan.
3. Dilarang membunuh orang yang semestinya dibiarkan, yaitu orang-orang yang tidak ikut berperang, seperti : anak-anak, wanita, pendeta, dan para ahli ibadah yang berada di biara mereka juga orang tua yang tak mampu lagi berperang.
4. Dilarang merusak tanaman, membinasakan buah-buahan, membakar rumah –tanpa diperlukan-, meracuni air dan sejenisnya.


Akhlak Sesama Muslim

Diantara akhlak terpenting terhadap sesama Muslim adalah :

1. Memberi bantuan harta dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Rasulullah SAW bersabda :
“ Barangsiapa berada dalam kebutuhan saudaranya, maka Allah berada dalam kebutuhannya, dan barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari oarng Muslim dari berbagai kesusahan dunia, maka Allah menghilangkan darinya satu kesusahan dari berbagai kesusahan pada hari kiamat.”


2. Menyebarkan salam
Rasulullah SAW bersabda :
“ Kalian tidak masuk surga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman sehingga kalian saling mencintai. Maukah kuberitahukan sesuatu kepada kalian, jika mengerjakannya kalian saling mencintai ? Sebarkanlah salam.” (HR. Muslim)

3. Menjenguknya jika ia sakit
Rasulullah SAW bersabda :
“ Jenguklah orang yang sakit, berikanlah makanan kepada orang yang kelaparan serta bebaskanlah kesukaran orang yang mengalami kesukaran.” (Diriwayatkan Bukhari)

4. Menjawabnya jika ia bersin
Rasulullah SAW bersabda :
“ Jika salah seorang diantara kalian bersin, hendaklah mengucapkan, ‘Alhamdulillah’, dan hendaklah saudara atau sahabatnya menjawab, ‘Yarhamukallah’, dan hendaklah dia (yang bersin) mengucapkan. ‘ yahdikumullah wa yuslihu balakum’.”

5. Mengunjunginya karena Allah
Rasulullah SAW bersabda :
“ Barangsiapa menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka ada penyeru yang menyerunya, ‘Semoga engkau bagus dan bagus pula perjalananmu, serta engkau mendiami suatu tempat tinggal di surga’.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

6. Memenuhi undangannya jika dia mengundangmu
Rasulullah SAW bersabda :
” Hak orang Muslim atas Muslim lainnya ada lima : Menjawab salam, mengunjungi yang sakit, mengiring jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.” (HR. Asy-Syaikhani)
Tambahan dari HR. Muslim “apabila ia minta nasihat, maka berilah dia nasihat”

7. Tidak menyebut-nyebut aibnya dan menggunjingnya, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi
Rasulullah SAW bersabda :
“ Setiap Muslim atsa Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”

8. Berbaik sangka kepadanya.
Rasulullah SAW bersabda :
“ Jauhilah persangkaan, karena persangkaan itu perkataan yang paling dusta.” (Muttafaq Alaihi)

9. Tidak boleh memata-matai dan mengawasinya, baik dengan mata maupun telinga
Rasulullah SAW bersabda :
“ Janganlah kalian saling mengawasi, janganlah saling mencari-cari keterangan, janganlah saling memutuskan hubungan, janganlah saling membelakangi dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Muttafaq Alaihi)

10. Tidak membocorkan rahasianya
Rasulullah SAW bersabda :
“ Barangsiapa menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)

11. Menampakkan kecintaan dan kasih sayang dengan memberikan hadiah kepadanya
Rasulullah SAW bersabda :
“ Saling berilah hadiah, niscaya kalian saling mencintai.” (HR. Baihaqi)
“ Jika salah seorang diantara kalian mencintai saudaranya, maka hendaklah dia memberitahukannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Umar bin Khattab RA berkata : “Tiga hal yang bisa memupuk kecintaan saudaramu : engkau mengucapkan salam kepadanya jika engkau bersua dengannya, memberinya tempat duduk, dan memanggilnya dengan nama yang paling dicintainya.”

12. Tidak mengghibahnya dan membelanya jika ada seseorang yang mengghibahnya.

13. Memaafkan kesalahan-kesalahannya
Rasulullah SAW bersabda :
“ Tidaklah Allah memberi tambahan kepada seorang hamba yang suka memberi maaf melainkan kemuliaan.” (HR. Muslim)
Ø Kisah Bilal dengan Abu Dzar Al-Ghifari

14. Mendo’akannya dari tempat yang jauh
Rasulullah SAW bersabda :
“ Do’a seseorang bagi saudaranya dari tempat yang jauh adalah terkabulkan. “ (HR. Muslim)

Ø Kisah pengintaian Abdullah bin Amr bin Ash terhadap seorang calon penghuni surga. Yang menjaminnya masuk surga adalah : “Yang selalu kujaga ialah, tak pernah aku menutup mata untuk tidur, sebelum melepaskan perasaan tak baik terhadap sesama Muslim.”

Akhlak Bekerja

1.A. IKHTIAR
a. Merencanakan pekerjaan sematang-matangnya oleh ahlinya (dengan ilmu)
“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl 16:43)
“Ketika kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari (kiamat) itu.” (HR. Bukhari)
Jika suatu persoalan diserahkan kepada orang yang tidak memiliki ilmunya maka mudharat yang dihasilkan akan lebih banyak daripada manfaat yang dihasilkannya.


b. Musyawarah
Fadhail syuraa :
§ banyak gagasan
§ tekanan per individu berkurang karena beban kerja akan ditanggung bersama
§ bisa mengerjakan tugas interdisipliner (berbagai disiplin tugas)
§ mempunyai potensi menyelesaikan tugas yang lebih sulit, lebih banyak dengan lebih baik dibandingkan seorang individu

‘Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan-lah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali Imran 3:159)
Ayat diatas memberikan petunjuk bahwa andaikata suatu persoalan telah diputuskan dalam musyawarah maka kita diminta konsisten melaksanakannya dan menyerahkan hal-hal yang diluar kekuasaan kita kepada Allah. Demikianlah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dalam perang Uhud sewaktu telah diputuskan dalam musyawarah untuk menghadapi musuh di luar kota Madinah; maka Nabi marah tatkala masih ada pemuda yang bimbang untuk berperang di luar kota.

“Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji dan apabia mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari Rezki yang Kami Berikan kepada mereka. (QS. Asy Syu’ara 42:36-38)

c. Do’a
“Sedekat-dekat hamba kepada Tuhan, ketika ia bersujud kepada Tuhan, maka banyak-banyaklah berdo’a di dalam sujud itu.” (HR. Muslim)

d. Pelaksanaan dengan sebaik-baiknya (Jiddiyyah)
Jiddiyah (kesungguhan) adalah lawan dari main-main, menyepele-kan, lemah dan santai.
Beberapa karakteristik kesungguhan :
· Memanfaatkan waktu
· Menjauhi senda gurau, jika sedikit, maka hal itu tidak berbahaya untuk mencerahkan jiwa.
Wasiat Hasan Al Banna, “Janganlah engkau bersenda-gurau, karena umat mujahid tidak mengenal kecuali kesungguhani.”
· Sigap dengan tugas, tanpa menunda pekerjaan sekarang untuk esok. Tidak ada istilah santai dan berleha-leha, hingga pekerjaan menumpuk
· Mengatasi kesulitan dan rintangan, seorang yang sungguh-sungguh tidak akan menyerah dengan kesulitan, dan tidak melemah di hadapan rintangan. Tetapi ia mengatasinya, selalu mencari jalan keluar, melipatgandakan kesungguhan dan terus menghadapinya sampai titik darah penghabisan.

e. Hasil akhir diserahkan pada Allah (Tawakal)
1.B. DO’A
Urgensi do’a dalam bekerja :
Rasulullah saw. pernah bersabda: “Barangsiapa yang dibukakan baginya pintu untuk berdo’a berarti telah dibukakan baginya pintu-pintu rahmat. Tidak ada satu permohonan yang dicintai lebih dari permohonan Afiat/keselamatan. Do’a itu bermanfaat dari apa yang telah diturunkan atau yang belum diturunkan. Tidak ada yang menolak al-Qadha (ketetapan) Allah selain do’a seseorang yang dihaturkan kepada Allah. Karena itu, rajinlah berdo’a.” (HR. Tirmidzi)

1.C. TAWAKKAL
“Dan, tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai pelindung.” (QS. An-Nisa’:81)
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah:23)
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq:3)
“Kemudian apabila kalian telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran:159)
“Jika Allah menolong kalian, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kalian, dan jika Allah membiarkan kalian (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal.” (QS. Ali Imran:160)
Allah menjadikan tawakal sebagai salah satu sifat orang-orang Mukmin yang fundamental.
“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang teah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah 9:51)
“Dan, hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah 5:23)
Hakikat Tawakal
Bisyr Al-Hafy berkata, “Andaikata seseorang benar-benar bertawakal kepada-Nya, tentu dia ridha terhadap apa yang dilakukan Allah terhadap dirinya.”
Tawakal adalah berserah diri kepada ketetapan dan takdir Allah dalam setiap keadaan. Jika dia bertawakal dengan sebenar-benarnya tawakal, berarti ridha terhadap apa pun yang dilakukan pelindungnya.
Abu Turab An Bakhsyaby berkata, “Tawakal adalah jika diberi dia bersyukur dan jika ditahan dia bersabar.”
Tawakal tidak benar kecuali disertai pelaksanaan sebab. Jika tidak, maka itu batil dan merupakan tawakal yang rusak.
Orang yang bertawakal merasa tenang karena ada janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuan tentang Allah dan orang yang pasrah ridha terhadap hikmah Allah.

”Dan, tida ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud:6)
“Dan, berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allahlah yang memberi rezki kepadanya dan kepada kalian dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ankabut:60)

Muslim yang bertawakal bukan berarti mengabaikan upaya mencari rezki. Mereka tetap berusaha dan mengeluarkan jerih payahnya. Tetapi mereka merasa tenang, karena yakin tak seorang pun yang akan memakan bagian rezkinya yang telah ditentukan Allah baginya.
Diantara buah tawakal, bahwa tatkala orang yang bertawakal kepada Allah menyodorkan sebagian sebab seperti yang telah diperin-tahkan dan sesuai dengan kesanggupannya, maka apa yang ada di luar kekuatannya akan disempurnakaan oleh kekuasaan Ilahy Yang Mahatinggi.

Tawakal tidak menafikan pertimbangan sebab (Ikhtiar)
Ada seorang laki-laki datang sambil membawa onta betina miliknya, seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus membiarkan onta ini dan saya bertawakal, ataukah saya harus mengikatnya dan bertawakal?” Beiau menjawab, “Berilah tali kekang dan bertawakallah.”

Rasulullah bersabda “Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi kalian rezki sebagaimana Dia memberikan rezki kepada burung, yang pergi dalam keadaan perut kosong dan kembali lagi dalam keadaan kenyang.”
Sabda beliau ini mengisyaratkan adanya sebab. Allah tidak memberi jaminan kekenyangan kepada burung yang pergi kecuali kepergiannya itu untuk aktif bergerak dan menyebar untuk mencari makan.
Buah tawakal kepada Allah
a. Ketenangan dan Ketentraman
Karena meyakini adanya pertolongan dari Allah untuk menyem-purnakan apa yang ada diluar kekuatannya.

b. Kekuatan
Yaitu kekuatan spiritual dan jiwa yang melebihi kekuatan material, kekuatan senjata maupun kekuatan uang. Kekuatan ini yang menjadi berkah bagi seorang muslim dalam menghadapi berbagai persoalan / masalah / ancaman yang dihadapinya.
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’. Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, mereka pun berdoa, “Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir’. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah.” (QS. Al-Baqarah 2:249-251)

c. Keperkasaan
Orang yang bertawakal adalah orang yang perkasa sekalipun tanpa dukungan. Hati mereka bergantung kepada Allah, tidak membutuh-kan kecuali rahmat-Nya dan tidak takut kecuali adzab-Nya.

d. Ridha
Sebagian ulama berkata, “Selagi aku ridha kepada Allah sebagai pelindung, maka kudapatkan jalan untuk setiap kebaikan.

e. Harapan
Orang yang bertawakal kepada Allah tidak mengenal rasa putus asa di dalam hatinya. Sebab Al-Qur’an sudah mengajarinya bahwa keputusasaan merupakan benih kesesatan dan kufur.

“Ibraham berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr :56)
Seorang muslim senantiasa memiliki harapan untuk memperoleh keberuntungan yang diminta, keselamatan dari sesuatu yang tidak disukai, kemenangan kebenaran atas kebatilan, petunjuk atas kesesatan, keadilan atas kezhaliman dan kesulitan yang lenyap.

Wahai orang yang dizhalimi dan kalah, wahai orang yang dianiaya dan kesulitan, wahai orang yang terluka dan ditimpa bencana, janganlah engkau putus asa, sekalipun banyak rintangan yang menghadang di depanmu. Sesungguhnya Dzat yang mengetahui hal-hal yang gaib, yang mengampuni dosa dan membalik hati, akan menyingkirkan kesusahan darimu, mewujudkan apa yang engkau minta, sebagaimana penyakit yang akhirnya dijauhkan dari dir Ayyub dan kembalinya Yusuf kepada Ya’qub.
Pendorong-pendorong Tawakal

1. Mengetahui Allah dengan Asma’ul Husna-Nya
Barangsiapa mengetahui Allah sebagai Rabb yang pengasih dan penyayang, yang perkasa, bijaksana, mendengar, mengetahui, hidup, berdiri sendiri, kaya, terpuji, melihat, berkuasa, pemberi rezki, kuat, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengeta-huan-Nya, tidak ada sesuatu pun yang membuat-Nya lemah, bias berbuat apa pun yang Dia inginkan dan kehendaki di masa lalu atau pun yang akan datang, maka dia tentu merasa terdorong untuk bersandar dan bertawakal kepada-Nya.
Siapapun yang lebih mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakalnya lebih benar dan lebih kuat.

2. Percaya kepada Allah
Percaya kepada Allah merupakan buah pengetahuan. Jika seseorang mengetahu Allah dengan sebenar-benarnya, tentu dia akan percaya kepada-Nya secara utuh, jiwanya menjadi tenang dan hatinya menjadi tentram.
Gambarannya adalah bercaya bahwa Dia lebih menyayangi hamba-hamba-Nya, melebihi rasa kasih saying orang tua kepada anaknya dan bahka Dia lebih santun terhadap mereka daripada kesantunan mereka terhadap dirinya sendiri. Dia lebih mengetahui kemaslaha-tan mereka daripada pengetahuan mereka sendiri.
Gambaran lain adalah percaya kepada janji yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya, bahwa Dia adalah pelindung orang-orang yang beriman, pendukung dan penyelamat mereka. Dia senantiasa bersama mereka untuk memberi pertolongan dan Dia tidak akan mengingkari janji.
Gambaran lain adalah percaya kepada jaminan rezki yang diberikan kepada makhluk-Nya.
“Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki, Yang Mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat:58)

3. Mengetahui Diri Sendiri dan Kelemahannya
Orang yang jauh dari tawakal adalah yang terperdaya oleh keadaan dirinya sendiri, yang mengagumi ilmunya, yang bangga dengan kekuatannya, yang tertipu dengan kekayaan yang dimilikinya, yang mengira bahwa dia tidak lagi membutuhkan Allah.
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-Alaq’:6-7)
Tawakal bias digambarkan dari orang yang merasa membutuhkan kepada pelindung dan tidak mungkin baginya untuk tidak membutuhkannya sekalipun hanya sekejap mata.

4. Mengetahui Keutamaan Tawakal
“Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq:3)
5. Hidup bersama Orang-orang yang Bertawakal

1.D. SYUKUR
Muslim wajib mensyukuri nikmat.
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara Rezeki yang baik-baik yang Kami Berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah 2:172)

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan-mu Memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan Menambah (Nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (Nikmat-Ku), maka sesungguhnya Azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrohim 14:7)
“Dan sesungguhnya telah Kami Berikan Hikmat kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman 31:12)
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku Ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (Nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah 2:152)
“… dan Allah akan Memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran 3:144)

Bekerja untuk bersyukur :
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendaki-nya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari Hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’ 34:13)

Peringatan akan kelalaian kebanyakan manusia dari bersyukur :
“Dan sesungguhnya Tuhan-mu benar-benar Mempunyai Karunia yang besar (yang Diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).” (QS. An Nahl 27:73)

“Kemudian Dia Menyempurnakan dan Meniupkan ke dalam (tubuh)nya Roh (Ciptaan)-Nya dan Dia Menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah 32:9)

Berdo’a agar diberikan ilham untuk senantiasa bersyukur :
“Dan dia berdoa, “Ya Tuhan-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri Nikmat-Mu yang telah Engkau Anugerah-kan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau Ridhai; dan masukkanlah aku dengan Rahmat-Mu ke dalam golongan Hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. An Naml 27:19)

Mensyukuri nikmat Allah antara lain dengan cara :
1. Mengucapkan syukur (dengan hati dan lisan)
2. Menjaga dan memelihara nikmat yang diberikan
3. Menggunakan sesuai keinginan dari pemberi nikmat (dengan perbuatan)
Tawakal sebagai penopang syukur :
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badr, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah , supaya kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Ali Imran 3:123)

1.E. SABAR
Keharusan sabar bagi Mukmin
Karena sabar adalah ciri dari seorang Mukmin.
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah 2:177)
“Hai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuat-kanlah kesabaranmu.” (QS. Ali Imran 3:220)

Sabar di sini ialah ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT.
“Dan untuk Robbmu hendaklah kamu bersabar.” (QS. Al-Muddatstsir:7)Cobaan bagi ahli iman adalah suatu kepastian

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan : “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rajiuun” (Al Baqarah 2:155-156)
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutuan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran 3:186)

“Dan di antara manusia ada yang mengabdi Allah pada garis batas, hingga jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akherat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al Hajj 22:11)
Keutamaan Sabar

“Tidaklah seorang muslim menderita karena kesedihan, kedudukan, kesusahan, kepayahan, penyakit dan gangguan duri yang menusuk tubuhnya kecuali dengan itu Allah mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhori)

“… Siapa yang berlatih kesabaran, maka Allah akan menyabarkannya. Dan tiada orang yang mendapat karunia (pemberian) Allah yang lebih baik atau lebih dari kesabaran.” (HR. Bukhari, Muslim)

Bersabda Rasulullah saw.: Sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin, sebab segala keadaannya untuk ia sangat baik dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya dan bila menderita kesusahan; sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)

Mensyukuri suatu nikmat berarti memupuk nikmat dan menimbulkan pahala yang lebih besar dari kenikmatan dunia yang telah diterima. Demikian pula jika menderita bala’ kesusahan, lalu sabar, maka pahala kesabaran merubah suasana bala’ menjadi kenikmatan sebab pahala yang tersedia baginya, jauh lebih besar daripada penderitaan-nya.

Bersabda Rasulullah saw.: Siapa yang dikehendaki oleh Allah padanya suatu kebaikan (keuntungan), maka diberinya penderitaan. (HR. Bukhari)
Aspek-aspek Sabar dalam Al-Qur’an

· Sabar terhadap petaka dunia
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Allah dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah 2:155-157)

“Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan Allah lebih mencintai daripada mukmin yang lemah, dan dalam segala sesuatupun ada kebaikan. Jagalah barang yang berguna bagi dirimu dan mohonlah pertolongan Allah dan janganlah engkau merasa lemah. Bila ada sesuatu yang menimpamu, maka janganlah engkau mengatakan, “Jikalau sekirannya aku lakukan begini niscaya akan begini. Akan tetapi katakanlah, “Allah telah mentakdirkan, dan apapun yang Dia kehendaki Dia perbuat, karena sesungguhnya perkataan ‘kalau …’ itu membuka kesempatan bagi syaitan untuk bekerja (memperdaya).” (HR. Muslim)

Dalam Al-Qur’an dicontohkan sabar Nabi Ayyub dalam menang-gung penderitaan sakit an kehilangan anggota keluarganya. Sabar Nabi Ya’qub berpisah dengan dua orang putranya (Yusuf dan saudaranya) dan dusta serta tipu muslihat anak-anaknya kepadanya.

Sabar ditimpa musibah, ialah teguh hati ketika mendapat cobaan, baik yang berbentuk kemiskinan maupun berupa kematian, kecelakaan, nasib sial, dsb.

· Sabar terhadap gejolak nafsu
Secara lebih spesifik meliputi sabar menyangkut kesenangan hidup, sabar terhadap dorongan nafsu seksual serta sabar untuk tidak marah dan dendam.

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian.” (QS. Al Anbiyaa:35)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al Munaafiquun: 9)
Allah SWT baik dalam memberikan kesenangan ataupun pembata-san rezeki merupakan ujian dan cobaan.

“Dan jika kamu memberikan balasan , maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An Nahl: 126)
Sabar terhadap kehidupan dunia, ialah sabar terhadap tipu daya dunia; jangan sampai terikat hati kepada kenikmatan hidup duniawi. Kehidupan dunia hendaknya dipahami bukan sebagai tujuan hidup, namun hanya sebagai alat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang abadi.

· Sabar dalam ketaatan kepada Allah
Yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah SWT dengan melaksana-kan seluruh tugas dan kewajiban dalam beribadah kepada-Nya

“Dan perintahkanlah kepada umatmu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu (sebaliknya) Kamilah yang membe-ri rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Thaahaa:132)

Seorang yang taat dan patuh membutuhkan sabar dalam tiga hal.
Pertama, sabar sebelum ketaatan yaitu dengan ikhlasun niyyah dalam melawan bayang-bayang riya.

Kedua, sabar pada saat bekerja (operasional) agar tidak melalaikan Allah dan tidak malas untuk menepati pelaksanaan peraturan dan hukum Allah, dan memenuhi syarat-syarat peraturan hingga tuntas seluruh pekerjaannya. Selalu sabar melawan kelemahan, kekesalan dan kejenuhan.

Ketiga, setelah selesai pekerjaan dibutuhkan kesabaran dengan tidak merasa bangga dan menepuk dada karena riya dan mencari popularitas, sehingga mengakibatkan hilangnya keikhlasan.

· Sabar dalam kesulitan berdakwah di jalan Allah
Berdakwah di jalan Allah diliputi kesal, sakit hati, korban perasaan dan beban berat yang tidak dapat dipikul kecuali oleh orang-orang yang mendapat rahmat Allah SWT.

“Hai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman: 17)

Akhlak kepada Orang Tua

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah :’Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.(QS. Al Isra :23-24).

Dari ayat diatas terlihat jelas bagaimana penting dan besarnya arti diri orang tua di sisi Allah Subhanahu Wa Ta ala. Jika beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta ala wajib maka berbakti kepada kedua orang tua juga wajib. Sebaliknya, kalau ingkar kepada-Nya adalah dosa besar, begitu pula durhaka kepada orang tua. Dan berbuat baik kepada orang tua bukan hanya semasa hidupnya akan tetapi sampai matipun si anak tetap wajib berbakti kepada mereka.

Sekiranya suatu saat usia mereka sudah diambang senja, janganlah kita menghardik, mencaci, memukul, serta perbuatan-perbuatan keji lainnya, mengucapkan kata “ah” saja terlarang sebagaiman dalam ayat diatas apalagi perbuatan-perbuatan yang lebih daripada itu. Dan yang patut dilakukan adalah berbicara kepada mereka dengan lemah lembut, sikap rendah diri, suara tidak melebihi suara mereka, dam itu semua adalah ahlak utama seorang anak.

“Bahwa seorang laki-laki yang berasal dari Yaman hijrah ke Rasulullas Salallahu Alaihi Wa Salam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sekarang sudah hijrah!’ Beliau bertanya ‘Sudahkah mereka memberimu izin ?’ jawabnya : ‘Belum’ sabda Beliau, ‘Pulanglah dan minta ijinlah kamu kepada mereka. Kalau sekiranya mereka memberimu izin, silahkan berjuang. Tetapi kalau tidak, berbuat baiklah kamu kepada mereka.”(HR Abu Dawud).

Disini agama Islam meletakkan keagungan orang tua dihadapan anak-anaknya dalam rangka berbakti dan berjuang di jalan Allah. Bukan semata-mata jihad kemudian orang tua ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai izin sama sekali. Bahakan berangkat ke medan peperangan dinomorduakan jika memang belum memenuhi kebaktiannya kepada orang tua.

“Rugilah, rugi sekali, rugi sekali, seseorang yang mendapati salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya sewaktu mereka sudah diambang senja, dan tidak memasukkan ia kedalam surga “(HR Muslim).

Sungguh sayang bahwa orang tua masih ada, apalagi sudah tua yang seharusnya dapat memasukkan dia kedalam surga, tetapi ternyata tidak dapat memasukkan dia ke dalam surga dikarenakan durhaka kepada mereka dan tidak berbakti kepada mereka. Betapa banyak manusia-manusia yang sampai begitu tega tidak menghormati orang tuanya bahkan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang kasar dan menganggap mereka bagaikan pembantu rumah tangga yang siap melayani tuannya. Sungguh ironis sekali orang tua yang telah mendidik dan mengasuh anaknya dengan sekuat tenaga, ternyata sesudah besar begitu saja balas budinya.

Memperlakukan orang tua dengan baik termasuk amalan besar dan yang paling dicintai oleh Allah. Dari Abdullah bin Mas’ud :
“Aku pernah bertanya kepada nabi Salallahu Alaihi Wa Salam: ‘Amal yang manakah yang paling dicintai oleh Allah ?’ Jawab beliau :’Shalat pada waktunya’. Aku bertanya lagi:’Kemudian amal apa ?’ Jawab beliau :’’Berbuat baik pada orang tua’. Aku bertanya kagi:’Sesudah itu amal apa?’ Jawab beliau :’Jihad di jalan Alla”(HR Bukhari Muslim).

Dalam hal berbuat kebaikan kepada orang tua, memang sepantasnya ibu lebih banyak dicurahkan. Ini mengingat kerja payahnya semenjak ia mengandung sampai melahirkan ditambah lagi memenuhi semua keperluannya tidak pernah merasa bosan dan lelah. Dari Abu Hurairah :

“Telah datang seorang laki-laki menghadap Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam lalu bertanya :’Wahai Rasulullah siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan cara bagus ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Kemudian ia bertanya lagi ‘Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. ia bertanya lagi:’Sesudah itu siapa ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Ia bertanya lagi :’Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Bapakmu!”(HR Bukhari Muslim

Dan termasuk dosa besar bila seorang anak berbuat durhaka kepada orang tuanya. Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam bersabda :
“Termasuk dosa besar ialah seorang yang mencaci maki orang tuanya. Seseorang lalu bertanya:’Mungkinkah ada seseorang mencaci maki orang tuanya?’ Jawab beliau :’Ada! Dia mencaci maki bapak seseorang lalu orang itu membalas memaki bapaknya. Dia mencaci maki ibu seseorang lalu orang itu membalas memaki ibunya”(HR Bukhari Muslim).

Namun bagaiman bila orang tua kita bermaksiat dan musyrik kepada Allah, apakah kita tetap harus berbuat baik terhadap mereka ? Islam memang menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang tua secara umum, tetapi perlu diingat jika orang tua memaksakan kehendaknya untuk bermaksiat kepada Allah, maka hendaknya ditolak dengan lemah lembut dan penuh kesopanan.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kamu kembali, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS Luqman : 15).

“Mendengar dan mentaati itu wajib bagi seorang muslim, menyangkut apa yang ia cintai maupun apa yang ia benci, selagi tidak disuruh untuk urusan maksiat. Kalau diperintah untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak ada ketaatan”(HR Bukhari Muslim).

Jumat, 13 November 2009

Thumuhat Tarbawiyah

"Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: "inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan". (QS. Al Ahzab: 23)

Suasana Perang Ahzab begitu mencekam lantaran rasa lapar dan dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Persoalannya ditambah lagi dengan pengepungan orang-orang kafir beserta antek-anteknya. Namun rasa suka dan gembira tetap terbesit di wajah Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Terpancar dari raut wajah mereka perasaan optimis yang besar untuk menyambut kemenangan.


Hatmiyah at Tarbiyah (Tarbiyah: Suatu Kemestian)

Tarbiyah suatu keniscayaan dalam prosesnya dapat dilakukan minimal dengan tiga pendekatan, idealis, taktis dan operasional.

Pendekatan Idealis

Tarbiyah adalah jalan bagi para da’i Islam, tidak ada jalan lain, atau
dengan kata lain jalan para da’i adalah jalan tarbawi yang memiliki paling
sedikit tiga karakter mendasar.

Pertama: Sulit tapi hasilnya paten (Sha’bun – Tsabit)

Sulitnya sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, bukanlah perkara yang mudah, bayangkan, lima tahun pertama dalam da’wahnya di Mekkah baru hanya terkumpul “Arba’una rajulan wa khamsu niswatin” (40 laki-laki dan 5 wanita), akan tetapi ke 45 orang inilah yang kemudian menjadi ujung tombak da’wah, yang tidak hanya “Qaabilun lidda’wah” tetapi juga “Qaabilun litthagyir”, bahkan mereka seluruhnya menjadi “Anashiruttaghyir”, “Agen of change”, agen perubahan sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang islami.
Berda’wah memang tidak mudah, karena berda’wah melalui proses tarbiyah ibarat menanam pohon jati, yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga akarnya tetap kuat menghunjam dan tidak goyah diterpa badai dan angin kencang, oleh karena itu jalan tarbawi adalah proses menuju pembentukan pribadi yang paten, atau dengan kata lain memiliki “matanah” (imunitas) baik secara “ma’nawiyah” (moralitas), “fikriyah” (gagasan dan pemikiran) dan “Tandzhimiyah” (struktural).

Ka’ab bin Malik ra. Adalah salah satu contoh dari sebuah kepribadian yang paten, yang dengan kesadaran ma’nawiyah, fikriyah dan tandhimiyahnya, Ia mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk, dan kemudian iapun dengan ikhlas menerima ‘uqubah (sanksi) yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan ketika datang utusan dari kerajaan Ghassan yang secara diam-diam menemuinya untuk menyampaikan sepucuk surat dari raja Ghassan yang isinya antara lain suaka poltik dan jabatan penting telah tersedia untuknya bila Ia mau eksodus, Ia malah berkata seraya merobek surat tersebut:“Ayyu Mushibatin Hadzihi” (Musibah apa lagi ini..!)
Itulah sebuah refleksi dari sikap matanah yang hanya bisa dihasilkan melalu
proses tarbiyah yang tidak mudah, melalui jalan da’wah yang terkonsep secara
paten, Al-Qur’an menyebutnya dengan“Al-Qaulu Al-Tsabit” [QS. Ibraih (14): 27], yang terumuskan di atas konsep yang baik atau “Kalimat Thayyibah” bukan> “kalimat khabitsah” [QS. Ibraih (14): 25 - 26).

Kedua: Proses yang Panjang tetapi terjaga kemurniannya (Thawil - Ashil)

Da’wah adalah perjalan panjang, perjalan yang dilalui tidak hanya oleh satu generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka panjangnya
membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rasulullah SAW mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apa keluar dari sela-sela hantaman palu dan batu memercik ke arah timur, lalu beliau mengisyaratkan bahwa umatnya kelak akan dapat menaklukan Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru dapat di Taklukan oleh umat Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya, berapa generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan da’wah yang telah dilalui? Akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian banyak generasi, “Ashalah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara, Islam yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan oleh generasi pertamanya yaitu Rasulullah SAW dan Para sahabat Radhiallahu ‘anhum wa radhuu’anhu.

Kepribadian yang ashalah adalah keperibadian yang telah teruji dengan panjangngnya mata rantai perjalan da’wah, keperibadian yang hammasah adalah kepribadian yang tak lekang kerena ‘panas’ dan tak lapuk karena ‘hujan’, sebagai ujian dan cobaan dalam perjalanan da’wah.
Adalah Abu Ayyub Al-Anshari ra, salah seoarang sahabat yang Allah SWT berikan kepadanya umur yang panjang, sehingga beliau masih hidup pada masa kekhalifahan Utsman ra, beliau yang saat itu usianya sudah renta, ketika ada seruan jihad maritim, mengarungi lautan menuju perairan Yunani untuk menghadapi pasukan Romawi, seruan jihad berkumandang melalui lantunan ayat-ayat Al-Qur’an “Infiruu khifafan wa tsiqaalan” (berangkatlah kalian dalam keadaan ringan maupun berat), lalu anak-anaknya berkata kepadanya: “Sudahlah Ayah tak usah ikut berperang, cukuplah kami saja yang masih muda yang mewakili Ayah di medan perang,” dengan kecerdasan menafsirkan ayat tersebut dibarengi dengan pembawaan “Hikmatussuyukh Hammasatussyabab” Abu Ayyub menjawab, “Tidak bisa, ayat tersebut telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin baik yang tua maupun yang muda, karena ayat tersebut menyebutkan “khifafan” (ringan) berarti ditujukan untuk kalian yang masih muda dan “tsiqalan” ditujukan untuk yang sudah tua. Maka anak-anaknya pun tak dapat membendung tekad sang ayah. berangkatlah Abu Ayyub Al-Anshary turut serta dalam peperangan tersebut dan Iapun menemui syahadahnya.

Adalah Saad bin Abi Waqqash ra, yang telah menggoreskan kesaksian perjalanan da’wah dengan kepribadian yanga ashalah yang tidak berubah karena perubahan situasi dan zaman, dari masa-masa yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan hingga masa-masa yang penuh dengan kemudahn dan kesenangan, mengenang semua itu beliau berkata : “Aku adalah salah satu dari 7 orang sahabat (dari 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga), dahulu kami bersama Rasulllah SAW dalam sebuah ekspedisi, kami tidak memiliki makanan, sehingga kami makan daun-daunan sampai perih tenggorokan kami, akan tetapi sekarang kami yang tujuh orang ini seluruhnya menjadi gubernur di beberapa daerah, maka kami berlindung kepada Allah SWT agar tidak menjadi orang yang merasa besar di tengah-tengah manusia tetapi menjadi kecil di sisi Allah SWT”.

Ketiga : Lambat tapi hasilnya terjamin (Bathi’ - Ma’mun)

Da’wah adalah lari estafet bukan sprint, untuk itu diperlukan kesabaran untuk mencapai target dan sasaran dengan kwalitas terjamin, lari estafet memang tampak kelihatan lambat , akan tetapi potensi dan tenaga terdistribusi secara kolektif dan perpaduan kerjasama terarah secara baik untuk memberikan sebuah jaminan kemenanagn di garis finis. Watak perjalanan da’wah yang lambat harus dilihat dari proses dan tahapanyya bukan dari perangai para pelakunya, karena perangai yang lambat dalam berda’wah adalah bentuk kelalaian, yang nasab (afiliasi) nya kepada jama’ah kaliber Internasionalpun tidak akan mempercepat langkah kerja da’wahnya, sebagaiman hadits rasulullah SAW: “Man bathi’a ‘amaluhu lam yusra’ bihi nasabuhu” (Barang siapa yang lamban kerjanya, tidak bisa dipercepat dirinya dengan nasabnya).

Salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian yang integral, tidak mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang muslim yang ditempa di jalan Tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya, keluhuran akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara ta’abbudi, ijtima’i maupun tandzhimi.
Keberhasilan sebuah da’wah akan tampak sejauh mana keterjaminannya bila dihadapkan oleh situasi dan kondisi yang menguji integritas kepribadiannya. Sebagaimana halnya ketika terjadi tragedi “Haditsul Ifki” yang menimpa Aisyah radhiallahu anha, banyak orang yang yang tidak terjamin akhlaknya sehingga turut menyebarluaskan fitnah keji tersebut, bandingkan dengan para sahabiyah yang terjamin kualitas tarbawinya, yang menjaga lisannya, yang lebih senang mengedepankan husnudzhannya kepad ummul Mu’minin aisyah RA, cukuplah isteri Abu Ayyub al-anshari mewakili keluarga para shabiyah yang berhati mulia, bagaiman ia mensikapi kasus tersebut dengan penuh rasa ukhuwwah dan mencintai saudaranya karena Allah SWT.

Berkenaan dengan gunjingan yang menimpa Aisyah RA, isteri Abu Ayyub al-Anshary berkata kepada suaminya : “Ya..Abaa ayyub!, lau kunta safwaana hal taf’alu bihurmati rasulillaahi suu’an, wa hua khairun minka, Ya…Abaa ayyub lau kuntu ‘Aisyah maa khuntu Rasulallahi abadan” (Wahai abu Ayyub, jika engkau yang menjadi Safwannya apakah engkau berbuat yang tidak-tidak kepada isteri Rasulullah SAW, dan Safwan lebih baik dari engkau. Wahai abu Ayyub, kalau aku yang jadi Aisyah, tidak akan pernah akau menghianati Rasulullah SAW, dan Aisyah lebih baik dariku). Kata-kata isteri Abu Ayyub syarat dengan taushiah agar kita menjaga syahwatul lisan, mendahulukan husnu dzhan dan menonjolkan sikap tawaddhu sebagai bukti terjaminnya hasil da’wah.

"bab" Pendekatan taktis

Setelah ketiga faktor idealis tersebut diatas telah terealisasi dengan baik, maka langkah berikutnya adalah memetakan langkah-langkah taktis, untuk menyeimbangkan luasnya medan da’wah dengan jumlah kader dan menyelaraskan dukungan masa dengan potensi (kemampuan) tarbiyah. Rasulullah SAW melakukan program “Bi’tsatudduat” beberapa orang sahabat untuk menda’wahkan dan mengajarkan serta melakukan pembinaan kepada orang-orang yang baru masuk Islam, yang telah melampaui wilayah Makkah dan Madinah, seperti Muadz bin Jabal yang diutus ke Yaman dan Khalid bin Walid yang dikirim ke wilayah irak.

“bab" Pendekatan Strategis

Langkah strategis dalam sebuah perjalanan da’wah yang sangat penting adalah fokus untuk menyusun barisan kader inti, dimana hal ini tidak boleh terabaikan betapapun gegap gempitanya sambutan masyarakat umum terhadap da’wah ini, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya “Lose of generation”, atau generasi kader yang lowong, maka segera mendesak untuk dirumuskan sebuah strategi membina kader baru yang sekarang ini semakin kompetitif dengan gerakan-gerakan da’wah lainnya. Semakin banyak jumlah jumlah kader inti disamping kader baru baik secara kwalitas maupun kwantitas akan banyak membantu da’wah ini dalam menghadapi berbagai permasalahan dan ancaman.

Pada masa Abu Bakar ra, terjadi gelombang pemurtadan yang luar biasa, sehingga 2/3 jazirah Arab nyaris mengalami kemurtadan, itu artinya hanya 1/3 wilayah yang selamat yang terdiri dari kota Makkah, Madinah dan Thaif, di ketiga kota inilah kader inti da’wah tetap dijaga dan dipelihara, sedangkan kader-kader baru dibina pada masa Khalifah Umar bin Khattab dimana kebanyakan mereka adalah tawanan perang Riddah pada masa Abu Bakar RA. Terbukti kemudian pada perang Qadisiyah, ketika ancaman imperium Persia menghadang, kader-kader baru yang dibina oleh Umar bin Khaatab selama kurang lebih satu tahun kebanyakan mereka berada dibarisan paling depan dalam jihad fi sabilillah, dan tak jarang diantara mereka kemudian terkenal sebagai panglima dan komandan pasukan. Itulah hasil sebuah produk tarbiyah [lihat QS Ali Imran (3): 146].

Wallahu ‘alamu bisshawab

Rabu, 11 November 2009

Syari'at Beramal Jama'i

Beramal jama’i merupakan jihad yang telah disyari’atkan dan konsekuensi logis kebutuhan operasional. Landasan pensyariatannya telah ditetapkan berdasarkan nas-nas wahyu, kaidah-kaidah fikih, Atsar para ulama salaf, konsekuensi realitas kehidupan, sunnah pergulatan, dan sunnah kehidupan sosial.
Cukup banyak landasan wahyu yang menyerukan amal jama’i baik dalam Alquran maupun As sunnah dengan menggunakan Dhamir Jama’ (kata ganti plular) yang disertai dengan tekanan melakukan amal kebajikan dan membela kebenaran. diantara bentuk 5ungkapan seruan itu adalah:

Tafsir Surat al-Fath

Keutamaan Perjanjian Hudhaibiyyah

1. فتحنا = Yang dimaksud dengan Fath dalam ayat ini yaitu Hudhaibiyyah (nota kesepahaman perdamaian kaum muslimin dengan kaum musyrikin Quraisy), ALLAH SWT menjanjikan kemenangan yang lebih besar lagi setelahnya yaitu Fathul Makkah, berkata Imam Az-Zuhri: Tidak ada kemenangan yang lebih besar dari tercapainya Shulhu (perdamaian) Hudhaibiyyah, dan kemenangan dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk fi’il-madhi (menunjukkan wajib/pasti atasnya).

2. ليغفر لك = Bahwa jihadmu di Hudhaibiyyah tersebut wahai Muhammad SAW (yang di kemudian hari akan menyebabkan peristiwa Fathu Makkah) itu menyebabkan turunnya maghfirah dan pahala yang besar bagi kalian, ayat ini juga menjadi dalil bahwa jihad menjadi wasilah turunnya ampunan ALLAH SWT[1]. Dan ada juga syawahid atas hadits ini[2].
3. ما تقدم وما تأخر = Secara balaghah ayat ini menunjukkan bahwa antara keduanya ada banyak tingkatan dosa-dosa manusia, yang keseluruhannya akan diampuni semuanya oleh ALLAH SWT, ayat ini juga menjadi dalil adanya ke-ma’shum-an di kalangan para Nabi AS, yaitu pengampunan semua dosa baik besar maupun kecil. Dan penyebutan dosa Nabi SAW di sini sebagian mufassir menafsirkannya sebagai pahala para Al-Abrar dan kekurangan dari para muqarrabin (bukan sebagaimana dosa-dosa kita)[3] .
4. ويتم نعمته = Yaitu disempurnakan ni’mat-NYA, melalui pengampunan dosa-dosa-mu wahai Muhammad serta akan tingginya bendera Islam di bawah kakimu kelak, sehingga berkumpulnya dunia (kekuasaan politik) dan akhirat (ibadah mahdhah) pada dirimu (wahai Muhammad).
5. يهديك صراطا = Yaitu tegaknya kemenangan di atas jalan yang lurus, juga tegaknya agama ini (yaitu Dinul Islam), penyampaian risalah-NYA dan tegaknya semua syi’ar-syi’ar Islam tersebut. Imam Az-Zamakhsyari menyatakan bahwa jihad mendatangkan 4 manfaat: 1) Turunnya maghfirah, 2) Disempurnakan ni’mat ALLAH SWT, 3) Diberi hidayah ke jalan yang lurus, 4) Pertolongan ALLAH SWT dan kemenangan.
6. ينصرك الله = Yaitu pertolongan dan kemenangan yang tiada kekalahan lagi setelahnya dan kemuliaan yang tiada kehinaan lagi setelahnya, maka pribadi Nabi SAW disifati dengan kemenangan besar menunjukkan lil-mubalaghah (berlebihan). Yaitu tersebarnya Islam dan penaklukan bangsa-bangsa dari Timur sampai ke Barat yang belum pernah diberikan kepada Nabi AS yang manapun sebelumnya.

Kesimpulan:
Perjanjian Hudhaibiyyah ini menghasilkan banyak manfaat bagi kaum mu’minin:
1. Pengakuan dari kaum musyrikin atas eksistensi kaum muslimin dalam masalah politik dan hubungan internasional yang seimbang dan setara, saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing.
2. Pemisahan kaum beriman dari orang-orang munafik, dari keraguan mereka yang terus-menerus dan penyelisihan mereka kepada kebijakan qiyadah tertinggi (Nabi SAW).
3. Perdamaian antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrikin, yang dikemudian hari memberikan maslahat yang amat besar¬ yaitu lebih dapat mengajak mereka kepada Al-Islam, menyusun kekuatan kaum muslimin sehingga pada akhirnya mampu mengalahkan kekuasaan politik mereka (kaum musyrik).
4. Ujian bagi kaum muslimin terkait ketaatan mereka kepada qiyadah dan ketsiqahan mereka kepada janji ALLAH SWT dan kebenaran manhaj dakwah Nabi SAW.
5. Keutamaan Nabi SAW, pujian ALLAH SWT kepada beliau dan tingginya derajat beliau SAW disisi ALLAH SWT.
6. Tidak terpisahnya urusan agama dan politik, semuanya adalah urusan ALLAH SWT, dan wajibnya orang beriman untuk memperhatikan dan mengikuti semuanya, sebagai tanda kebenaran dan totalitas keimanannya kepada manhaj RasuluLLAH SAW.
7. Urutan tegaknya Daulah Islamiyyah, dimulai dengan pembinaan keimanan, lalu jihad, lalu siyasah (politik), yang memberikan hasil yaitu datangnya kemenangan yang hakiki yaitu ad-diin (keagamaan) dan ad-daulah (politik dan pemerintahan).

1. Sabab-Nuzul Surah
Dari Abu Ishaq dari Al-Barra’ RA berkata: “Kalian menganggap Al-Fath (kemenangan dalam ayat ini) ialah Fathu-Makkah, memang Fathu-Makkah termasuk kemenangan, namun kami (para sahabat RA.) menganggap Al-Fath adalah Bay’atur-Ridhwan yaitu Hari Hudhaibiyyah…[4]”
Berkata Imam Ibnu Hajar –rahimahuLLAH- dalam syarah-nya terhadap hadits ini: Keberangkatan nabi SAW dari Madinah adalah pada hari Senin awal bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 Hijrah, beliau keluar dengan tujuan umrah tapi dihalangi oleh kaum musyrikin untuk sampai ke Makkah, maka terjadilah perjanjian damai bahwa mereka akan masuk Makkah di tahun berikutnya[5].
Menambahkan Imam Al-‘Ayni Al-Hanafi –rahimahuLLAH- dalam syarah-nya pula atas hadits ini bahwa jumlah kaum muslimin yang ikut saat itu antara 1400 sampai 1600 orang, dan ikut serta pula banyak sahabiyyah, di antaranya seperti Ummu Salamah RA[6]. Sementara Al-Kasymiry –rahimahuLLAH- menyebutkan dalam syarah-nya bahwa jumlah mereka ada 1400 orang[7].
Jadi jelaslah bagi kita bahwa makna Al-Fath dalam ayat ini adalah Shulhu-Hudhaibiyyah bukan Fathu-Makkah sebagaimana dikira oleh sebagian orang. Lalu adakah ayat atau hadits yang mengisyaratkan tentang Fathu-Makkah? Maka aku jawab ada, yaitu ayat: Idza Ja’a nashruLLAAHi wal fath.. dan hadits Nabi SAW: La hijrata ba’dal Fath (tidak ada hijrah setelah Fath Makkah)[8].
Maka hendaklah kita tidak salah dalam hal ini, waLLAHu a’lam.

2. Salah Satu Bentuk Kemenangan Yang Dijanjikan Ada Yang Berupa Harta Dunia (Fathu-Khaibar)
Salah satu bentuk nashrun minaLLAH dalam jihad bagi para mujahid, selain ampunan ALLAH SWT dan Jannah kelak, adalah juga harta dan perhiasan dunia bagi orang yang berjihad. Jadi jangan pula ada pemahaman ekstrem yang melarang menikmati harta dan perhiasan duniawi bagi mujahid, sepanjang ia halal dan thoyyib serta tidak berlebih-lebihan maka hal tersebut tidak boleh dicela dan hukumnya tidaklah mengapa, berdasarkan hadits sebagai berikut:
Dari Majma’ bin Jariyyah Al-Anshari RA berkata: kami menyaksikan perjanjian Hudhaibiyyah bersama Nabi SAW, maka saat kami pergi darinya turun QS Al-Fath:1-2, maka bertanya seseorang: Ya RasuluLLAH, apakah itu berarti kemenangan? Beliau SAW menjawab: Ya, demi Dzat yang diriku berada ditangan-NYA. Lalu Majma’ berkata: Lalu setelah itu Khaibar dibagikan kepada Ahli Hudhaibiyyah (yang ikut ber jihad), saat itu ada 1500 orang yang di antaranya 300 penunggang Kuda, maka Nabi SAW membaginya menjadi 18 bagian[9].

3. Tidak Terpisahnya Antara Urusan Politik Dengan Ibadah, Dengan Turunnya Syariat Shalat-Khauf Di Tengah-Tengah Peperangan
Nabi SAW menunaikan shalat Khauf (shalat ditengah-tengah pertempuran) bersama para shahabatnya di daerah Asfan[10], yaitu ketika beliau SAW mengetahui posisi kaum musyrikin dibawah pimpinan Khalid bin Walid sudah amat dekat dengan mereka[11]. Dalam kitab Al-Imta’ ada tambahan sebagai berikut [12]:
Saat pasukan Khalid sampai ke dekat posisi kaum muslimin maka ia menempati posisi antara kaum muslimin dan arah Kiblat, saat datang waktu shalat Zhuhur maka seluruh kaum muslimin melakukan shalat berjama’ah di belakang Nabi SAW, setelah selesai mereka kembali menempati posisinya, maka berkatalah Khalid dalam hatinya: “Sungguh mereka tadi lalai, jika kita serang tadi niscaya mereka akan dapat dikalahkan.”
Saat tiba waktu shalat Ashar, karena bagi kaum muslimin shalat lebih mereka cintai dari nyawa mereka dan anak-anak mereka, maka mereka semua bersiap akan shalat, lalu datanglah Jibril membawa ayat[13] sehingga mereka melakukan shalat dengan aturan shalat Khauf, melihat perubahan cara tersebut berkatalah Khalid dalam hatinya: “Tahulah aku bahwa orang-orang ini ada pembelanya, karena siapakah yang memberi tahu orang-orang ini tentang taktik yang aku baru rencanakan dalam hatiku untuk menyergap mereka saat mereka lalai?”

4. Sebelum Terjadinya Hudhaibiyah Nabi SAW Bersabda: Siap Menerima Rencana Orang-Orang Musyrik Apabila Masih ada Pengagungan ALLAH SWT di dalamnya
Ada sebagian orang yang menganggap strategi mengalah dan berkompromi dengan kaum musyrikin hanya terjadi saat Nabi SAW di Makkah saja dan telah di-mansukh saat Nabi SAW telah hijrah dan mulai memiliki sedikit kekuasaan di Madinah, hal ini tertolak oleh beberapa dalil, di antaranya sikap kompromistis Nabi SAW dengan kaum musyrikin Makkah di bawah ini, yang kemudian berakhir dengan terjadinya kompromi Hudhaibiyah yang juga merupakan fakta koalisi kaum muslimin dengan beberapa Kabilah Musyrikin[14], seperti Bani Najjar dan sebagainya, sebagai berikut:
Dari Mushawwir bin Makhramah dan Marwan berkata: Nabi SAW keluar saat Hudhaibiyah hingga sampai di suatu jalan beliau SAW bersabda: “Khalid bin Walid ada di Ghanim di barisan terdepan Quraisy, maka ambillah jalan kanan.” Maka demi ALLAH Khalid tidak menyadari keberadaan mereka sampai mereka dikejutkan oleh debu hitam beterbangan dari pasukan Nabi SAW yang mengejar mata-mata Quraisy, sehingga sampai di jalan bukit, tiba-tiba Unta beliau SAW itu menderum (mogok), maka orang-orang pun berkata: Hall..!! Hall..!! (bunyi yang diucapkan orang Arab jika Unta tidak mau berjalan), lalu mereka berkata: Qaswa (nama Unta Nabi SAW) menderum (mogok)! Maka Nabi SAW bersabda: “Qaswa tidak menderum dan itu bukan kebiasaannya, tetapi ada yang menahannya disini yaitu Dzat yang menahan Gajah Abrahah dari Rumah itu (baituLLAAH). DEMI ALLAAH! TIDAKLAH MEREKA MEMINTA SEBUAH RENCANA KEPADAKU YANG MANA MASIH MENGAGUNGKAN HAK ALLAAH PADANYA KECUALI PASTI AKAN AKU BERIKAN KEPADA MEREKA.” Lalu Nabi SAW menyentak Untanya dan Qaswa langsung bangkit[15].

5. Menggunakan Cara dan Sarana Sesuai dengan Orang/Kelompok yang Dihadapi
Nabi SAW tidak bersikap kaku dalam melakukan lobi-lobi dan teknik berdiplomasi dengan lawan politiknya yaitu kaum kuffar Quraisy, melainkan beliau SAW menggunakan berbagai sarana dan cara yang sesuai dengan tokoh yang akan dihadapinya (apakah latar-belakangnya tentara, informal leader, pengusaha, dan sebagainya) dengan tujuan mengoptimalkan diplomasi politik yang dilakukannya dengan kaum musyrikin tersebut, dalilnya sebagai berikut [16]:
Saat Nabi SAW di Hudhaibiyah Quraisy mengirim Urwah bin Mas’ud untuk berdiplomasi dengan Nabi SAW, dan tiap kali ia berbicara dengan Nabi SAW, tangannya berusaha memegang janggut Nabi SAW, namun tiap kali itu pula Mughirah bin Syu’bah RA memukul tangan tersebut dengan gagang pedang sambil berkata: Jauhkan tanganmu dari wajah RasuluLLAH SAW! Demikianlah terjadi berkali-kali, maka Urwahpun mulai memperhatikan semua sahabat Nabi SAW dan berkata: Demi ALLAH! Tidaklah ia berdahak kecuali selalu jatuh pada telapak tangan seseorang dari mereka dan mereka menggosokkannya ke wajah atau kulitnya, apabila ia memerintah mereka segera berlari mengerjakannya dan jika berwudhu maka seolah-olah mereka hampir berbunuhan mendapat sisa wu-


dhu’nya, jika ia berbicara mereka semua diam mendengarkan dan mereka tidak berani lama memandang kepadanya. Maka iapun pulang dan berkata pada kaumnya: Hai kaumku! Demi ALLAH aku telah menjadi duta bagi para Raja, Kaisar, Kisra dan Najasyi, tapi demi ALLAH! Aku belum pernah melihat seorang Rajapun yang dimuliakan oleh para pengikutnya seperti sahabat Muhammad kepadanya. Dan sungguh ia telah menawarkan pada kalian usul yang baik maka terimalah![17]
Maka seorang dari Bani Kinanah berangkat untuk menggantikannya berdiplomasi, maka Nabi SAW bersabda: “Ia adalah si Fulan, dan ia adalah orang yang sangat menghormati Unta untuk Kurban, maka giringlah unta-unta kita ke hadapannya.” Lalu saat ia datang para sahabat menyambutnya sambil menggiring unta-unta mereka sambil ber-talbiyyah, melihat itu orang tersebut langsung kembali sambil berkata ke pasukannya: SubhanaLLAH! Tidak sepantasnya mereka dilarang memasuki BaituLLAH! Aku melihat unta-unta telah ditandai dan diberi nama (untuk Qurban), karena itu menurutku mereka tidak boleh dilarang masuk Ka’bah[18]!

6. Digantinya Penulisan Basmalah Menurut Al-Qur’an dan Penyebutan Rasulullah dengan Penulisan Menurut Tradisi Musyrikin
Klimaks dari sikap kompromi Nabi SAW dalam diplomasi dengan kaum musyrikin tersebut, adalah kesediaan beliau SAW mengorbankan beberapa masalah yang mungkin oleh sebagian orang dianggap prinsip dan bahkan merupakan masalah ‘aqidiyyah, seperti penggantian kata ‘BismiLLAAHir Rahmaanir Rahiim’ dengan bismiLLAAH versi mereka yaitu ‘BismikaLLAAHumma’ dan kalimat ‘Muhammad RasuluLLAH’ dengan penolakan mereka terhadap kerasulan Nabi SAW sehingga menjadi hanya ‘Muhammad bin AbduLLAAH’ saja, namun Nabi SAW tetap menerima perjanjian tersebut, sebagai berikut[19]:
Ma’mar berkata: Az-Zuhry berkata dalam sebuah hadits: Maka Suhail bin Amr datang lalu berkata: Berikan kertas tulislah antara kami dan kalian sebuah perjanjian. Maka Nabi SAW memanggil penulis, lalu bersabda: “Tulislah BismiLLAHir Rahmanir Rahim..” Suhail menyela: Adapun Ar-Rahman maka demi ALLAH aku tidak mengetahuinya! Maka tulis saja: BismikaLLAHumma, sebagaimana kami menulis!
Maka Nabi SAW bersabda: “Tulislah bismikaLLAHumma. Ini yang diputuskan oleh Muhammad RasuluLLAH..” Maka Suhail menyela lagi: Demi ALLAH! Kalau sekiranya kami tahu engkau adalah RasuluLLAH, maka kami tidak akan menghalangimu ke baituLLAH dan tidak memerangimu! Maka tulis saja Muhammad bin AbdiLLAH. Maka nabi SAW bersabda: “Demi ALLAH, sesungguhnya aku ini adalah RasuluLLAH sekalipun kalian mendustakanku, baiklah tulislah Muhammad bin AbdiLLAH..” Maka Az-Zuhry berkata: Semua itu disebabkan sabdanya sebelumnya: DEMI ALLAH! TIDAKLAH MEREKA MEMINTA SEBUAH RENCANA KEPADAKU YANG MANA MASIH MENGAGUNGKAN HAK ALLAH PADANYA KECUALI PASTI AKAN AKU BERIKAN KEPADA MEREKA.

7. Dikorbankannya Sebagian Hak Kaum Muslimin Demi Maslahat yang Lebih Besar Bagi Jama’ah Di Kemudian Hari
Bahkan konsekuensi dari kompromi yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan musyrikin Quraisy adalah terhapusnya hak pada sebagian kaum muslimin, demi maslahat yang jauh lebih besar di kemudian hari, yang mungkin bagi sebagian orang yang berfikir pendek maslahat tersebut dianggap hanya bersifat spekulatif, tidak pasti, dan mengorbankan hal yang sudah qath’iy dalam ahkam-syariah, sebagai berikut[20]:
Setelah ditulisnya nota-kesepahaman tersebut bersabda nabi SAW: “Hendaklah kalian membiarkan kami ke baituLLAH sehingga kami bisa Thawaf padanya?” Maka Suhail menjawab: Demi ALLAH! Janganlah sampai orang-orang Arab mengatakan kami mendapat tekanan, tetapi datanglah tahun depan saja. Maka ditulislah hal tersebut. Suhail lalu menambahkan: Dan hendaklah tidak ada yang datang dari kami kepadamu, sekalipun ia dalam agamamu melainkan harus engkau kembalikan pada kami! Maka kaum muslimin berseru: SUBHANALLAH! BAGAIMANA MUNGKIN MEREKA DIKEMBALIKAN PADA ORANG MUSYRIK PADAHAL MEREKA DATANG SEBAGAI MUSLIM?! Pada saat itu masuklah Abu Jandal (anaknya Suhail) melompat-lompat dalam keadaan dirantai. Ia telah keluar hijrah dari Makkah, maka ia menghempaskan dirinya di hadapan kaum muslimin. Lalu Suhail berkata: Ya Muhammad! Ini adalah yang pertama aku tuntut darimu supaya dikembalikan pada kami. Abu Jandal berkata: Duhai segenap kaum muslimin! Apakah aku akan dikembalikan lagi kepada kaum musyrik, padahal aku telah datang dalam keadaan muslim?! Tidakkah kalian perhatikan apa yang aku dapatkan dari penyiksaan mereka. Dan ia telah disiksa dengan penyiksaan yang berat di jalan ALLAH SWT.

8. Dampak Shulhu-Hudhaibiyah Terhadap Ke-Tsiqah-an di Kalangan A’dha Bahkan di Kalangan Sebagian Qiyadah
Langkah-langkah yang ditempuh oleh qiyadah yaitu nabi SAW saat itu dianggap sangat kontroversial oleh kaum muslimin, bahkan oleh sebagian qiyadahnya yang selevel Umar bin Khattab RA, sehingga ia tidak bisa menerima sikap qiyadah-‘ulya dan bertanya kepada qiyadah yang lain yaitu Ash-Shiddiq RA, dan Ash-Shiddiq-lah yang menegur Umar RA agar tetap memegang teguh ra’yul qiyadah ‘ulya yaitu Nabi SAW, sebagai berikut: Sahl bin Hanif berkata: Tuduhlah diri-diri kalian sungguh aku telah melihat kami pada perjanjian Hudhaibiyah (perjanjian antara Nabi SAW dengan Kaum Musyrikin), sekiranya kami melihat akan ada pertempuran pasti kami akan berperang. Maka Umar RA datang dan berkata: Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan? Jawab Nabi SAW: Benar. Tanya Umar RA: Bukankah korban-korban dari kita masuk ke


Jannah dan korban-korban dari mereka masuk ke Naar? Jawab beliau SAW:
Benar. Lalu kata Umar RA: lalu mengapa kita memberikan kehinaan pada agama kita (dengan berdamai dengan mereka) sehingga kita pulang padahal ALLAH belum memberikan keputusan? Jawab Nabi SAW: Wahai Ibnul Khattab, sesungguhnya aku adalah RasuluLLAH dan DIA tidak akan pernah menyia-nyiakan aku selamanya. Lalu Umar RA pun kembali dalam keadaan kesal, dan ia tidak bisa bersabar sehingga ia pergi menemui Abubakar RA seraya berkata: Wahai Abubakar, bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan? Jawab Abubakar RA: Wahai Ibnul Khattab, sesungguhnya beliau adalah utusan ALLAAH dan ALLAH tidak akan menyia-nyiakan beliau selamanya. Lalu turunlah surat ini[21].
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dengan tambahan: lalu turunlah ayat Al-Qur’an (Al-Fath) kepada Nabi SAW, lalu beliau SAW mengutus orang kepada Umar RA dan membacakan kepadanya, lalu Umar RA berkata: Wahai RasuluLLAH, apakah itu berarti kemenangan? Jawab beliau SAW: Ya. Maka Umar RA menjadi tenang[22].
Peristiwa perdamaian dengan kaum musyrikin dan mengalahnya kaum mu’minin dalam banyak point-point perjanjian ini, apalagi juga dengan gagalnya umrah mereka ini demikian mengguncangkan, sehingga sampai saat Nabi SAW memerintahkan untuk melakukan tahallul (mencukur rambut ba’da Thawaf dan Sa’i) sampai 3 kali mereka diam dan tidak segera melaksanakannya, sehingga Nabi SAW meminta pendapat istrinya Ummu Salamah yang menasihati beliau SAW agar memulai menyembelih dan bercukur, sehingga mereka semua mengikuti beliau SAW[23].

9. Munculnya Kelompok yang Berbeda Ijtihad
Hal lainnya yang merupakan pelajaran dari peristiwa Hudhaibiyah adalah munculnya kelompok kaum muslimin yang tidak siap dengan kebijakan operasional mainstream harakah Islamiyyah, kemudian mereka membentuk kelompok sendiri (sempalan), namun mereka masih loyal dengan qiyadah-’ulya yaitu Nabi SAW, perbedaan yang terjadi hanya karena tekanan kondisi yang mereka alami belaka, sebagai berikut[24]:
Maka ia (perawi) berkata: Abu Jandal bin Suhail kemudian lepas dari para penawannya, lalu ia bertemu dengan Abu Bashir (tokoh muslim lainnya yang ditawan oleh Quraisy dan juga meloloskan diri), maka tidaklah orang Quraisy yang masuk Islam dan melarikan diri kecuali menemui Abu Bashir hingga terbentuklah sebuah kelompok besar (sekitar 70 orang[25]). Maka demi ALLAH, tidaklah mereka mendengar adanya kafilah Quraisy yang keluar ke Syam kecuali mereka hadang dan dibunuhnya lalu diambil hartanya. Maka orang-orang Quraisy menyurati Nabi SAW dan bersumpah dengan nama ALLAH dan menyambung silaturrahim yang isinya agar orang-orang Quraisy yang datang kepadanya dijamin keamanannya dan memasukkan Abu Bashir dan teman-teman-nya kembali ke Madinah[26].

10. Salah Satu Point Perjanjian Hudhaibiyah Adalah Ditandatanganinya Pakta Perdamaian dengan Kelompok Musyrikin Penentang, Serta Dicapainya Pakta-Koalisi dengan Musyrikin yang Netral
Salah satu hasil yang fenomenal dari peristiwa Hudhaibiyah adalah terjadinya pakta kesefahaman (MOU) antara harakah Islamiyyah di masa tersebut dengan kelompok dua kelompok non-muslim yang berbeda secara diametral, yang pertama adalah pakta perdamaian antara harakah Islamiyyah dengan kelompok penentang yaitu kafir Quraisy dan yang kedua adalah dengan pakta koalisi dengan kelompok musyrikin yang netral, diantaranya dengan Bani Khuza’ah, sebagai berikut:
Di antara nota kesepahaman tersebut adalah menghentikan peperangan selama 10 tahun, selama masa itu tidak boleh ada peperangan, lalu siapapun orang Quraisy yang menyeberang kepada Nabi SAW tanpa seizin walinya harus dikembalikan pada Quraisy, sebaliknya jika ada pihak muslimin yang menyeberang ke Quraisy maka tidak akan dikembalikan, kedua pihak tidak boleh menyembunyikan niat jahat[27], tidak boleh melakukan pencurian dan tidak boleh berkhianat[28]. Siapapun yang mau berkoalisi pada pihak Muhammad SAW dipersilakan, dan siapapun yang mau berkoalisi dengan pihak Quraisy juga dipersilakan, maka Bani Khuza’ah berkoalisi dengan Nabi SAW sementara Bani Bakr berkoalisi dengan Quraisy[29]. Tahun itu Nabi SAW tidak boleh umrah dan memasuki Makkah, melainkan baru dibolehkan pada tahun depannya, tapi tidak boleh membawa senjata dan tidak boleh lebih dari 3 hari saja[30].

11. Globalisasi Islam ke Seluruh Penjuru Dunia
Hal lainnya yang merupakan perkembangan harakah Islamiyyah adalah dimulainya komunikasi Harakah Islamiyyah dengan berbagai negara di dunia, yang dicirikan dengan dikirimnya para delegasi harakah ke berbagai negara untuk melakukan diplomasi dan penyampaian missi Islam, dan hendaklah diingat bahwa ini semua dilakukan oleh harakah Islam saat sebelum terjadinya Fathu Makkah, yaitu sebagai berikut[31]:
Pengiriman delegasi yaitu Amr bin Umayyah Adh-Dhamri RA ke Najasyi raja Habasyah, pada akhir tahun ke-6 Hijrah atau dalam riwayat lain di bulan Muharram tahun ke-7 Hijrah. Pengiriman Hathib bin Abi Baltha’ah RA ke Juraij bin Matta yang bergelar Muqauqis Raja Iskandaria Mesir. Pengiriman AbduLLAAH bin Hudzafah As-Sahmi RA ke Kisra’ Raja Persia, pada tahun ke-6 atau ke-7 Hijrah. Pengiriman Dhihyah bin Khulaifah Al-Kalby RA ke Kaisar (Hiraclius) Raja Byzantium Romawi Timur. Pengiriman Al-A’la bin Hadhrami RA ke Mundzir bin Sawa’ Raja Bahrain. Pengiriman Salith bin Amr Al-Amiri RA ke Haudzah bin Ali Raja Yamamah. Pengiriman Syuja’ bin Wahb Al-Khuzaimah RA ke Al-Harits bin Abi Syammar Al-Ghassani Raja Damsyik. Dan pengiriman Amr bin ‘Ash ke Jaifar dan Abd Al-Jalandi penguasa Omman.

12. Terjadinya Kemenangan Besar Harakah Islamiyyah Yaitu Fathu-Makkah
Hal terakhir setelah pakta perdamaian dan koalisi tersebut adalah memberikan kesempatan kepada harakah Islamiyyah untuk menyebarkan dakwah, melakukan konsolidasi internal, menarik simpati publik, menyibakkan citra tidak baik yang disematkan oleh para musuh, membangun harmoni dengan berbagai lapisan masyarakat, membuka diplomasi dengan berbagai negara, sehingga pada akhirnya mampu eksis mengalahkan penindasan, korupsi, kesewenang-kesewenangan, kediktatoran, kemiskinan, kebejatan moral, untuk memimpin dunia di dalam kedamaian dan kasih-sayang Islam.
Bahkan kepada para musuhpun sang pemimpin tertinggi harakah yaitu Nabi SAW bersabda: Kami akan bersabar dan kami tidak akan menghukum kalian[32].. Atau juga sebagaimana sabdanya: Makkah adalah tanah haram, tidak boleh lagi terjadi peperangan setelah itu[33].. Atau juga sabdanya: Setelah penaklukan Makkah tidak boleh lagi ada seorang Quraisy yang dibunuh sampai Hari Kiamat[34]..
Dan perlu dicamkan bahwa peristiwa Fathu Makkah yang luar biasa besar ini terjadi karena Nabi SAW membela mitra koalisinya yaitu Bani Khuza’ah (yang musyrik) yang telah dizhalimi oleh Bani Bakr (salah satu mitra koalisi kafir Quraisy)[35], kejadian selengkapnya saat detik-detik bersejarah penaklukan makkah tersebut adalah sebagai berikut:
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: Sesungguhnya Nabi SAW keluar pada bulan Ramadhan dari Madinah bersama 10.000 pasukannya, kejadian tersebut terjadi 8,5 tahun dari kedatangannya ke Madinah[36]. Dalam hadits lainnya disebutkan: Saat pasukan kaum muslimin bergerak maka Nabi SAW memerintahkan Al-Abbas RA agar mengajak Abu Sufyan melihat di tempat lewatnya para pasukan (untuk melihat betapa besar kekuatan harakah Islamiyyah saat itu), tiba-tiba lewatlah suatu kelompok besar maka tanya Abu Sufyan: Wahai Abbas, siapakah mereka ini? Jawab Abbas: Ini adalah kabilah Bani Ghiffar. Maka jawab Abu Sufyan: Apa masalahku dengan Bani Ghiffar? Lalu lewatlah pasukan besar yang lain, ia bertanya lagi: Wahai Abbas siapakah mereka ini? Jawab Abbas: Ini adalah kabilah Juhainah. Demikianlah lewat pula Bani Sa’d bin Hudzaim, sampai lewatlah suatu pasukan yang demikian menakjubkannya, kata Abu Sufyan: Lalu siapakah mereka ini? Jawab Abbas: Ini adalah kaum Anshar yang dipimpin oleh Sa’d bin Ubadah, lihatlah benderanya. Lalu lewatlah suatu kelompok yang paling mengesankan, namun paling sedikit jumlahnya diantara mereka nampak RasuluLLAH SAW bersama para shahabatnya, bendera Nabi SAW dipegang oleh Az-Zubair bin Awwam RA[37].
Berkata Abubakar Ash-Shiddiq RA: Tidak ada satupun kemenangan dalam Islam yang lebih besar dari kemenangan Hudhaibiyah, akan tetapi manusia waktu itu berfikir singkat hingga tidak mengetahui rencana Muhammad SAW dengan RABB-nya, orang terlalu tergesa-gesa sedangkan ALLAH SWT tidak pernah tergesa-gesa, hingga segala sesuatu mencapai targetnya[38].
Komentar Imam Az-Zuhri: Tidak pernah ada kemenangan dalam Islam melebihi kemenangan dalam pakta Hudhaibiyah, karena peperangan hanya akan menyebabkan pergesekan antara manusia, akan tetapi setelah terjadinya pakta kesefahaman, maka perang pun mereda dan manusia merasa aman terhadap sesamanya, lalu mereka bisa berunding dan bertemu, maka tidak seorang pun yang mengerti suatu pembicaraan, lalu ia diajak berdiskusi tentang Islam kecuali ia pun masuk kedalamnya, sesungguhnya hanya dalam 2 tahun itu, sejumlah besar orang telah masuk Islam sebanyak jumlah seluruh orang Islam sebelumnya, atau bahkan lebih banyak lagi.
Selesai Bi-IdzniLLAAH, faliLLAAHil hamdu wal minah…

Catatan Kaki:

[1] Bahkan diriwayatkan oleh Syaikhan, Ahmad, Tirmidzi, Al-Hakim dari Anas RA: Turun pada Nabi SAW ayat ini, maka beliau SAW bersabda: Sungguh turun suatu ayat untukku yang lebih kucintai dari dunia dan seisinya. Maka mereka berkata: Sungguh telah turun ayat yang menjelaskan tentang ni’mat ALLAAH SWT padamu, maka bagaimana kami ya RasuluLLAAH? Maka turunlah ayat: ليد خل المؤمنين والمؤمنات
[2] Berkata Ibnu Abbas RA: Saat turun ayat وما أدري ما يفعل بي ولا بكم, maka berkata orang-orang Yahudi: Bagaimana kita akan mengikuti laki-laki yang ia sendiri tidak mengetahui apa yang akan dilakukan ALLAAH pada dirinya?! Maka ALLAAH SWT menurunkan ayat ini.
[3] Ada hadits shahih riwayat Muslim dan Ahmad dari Aisyah RA: Adalah Nabi SAW jika shalat berdiri sampai pecah-pecah kakinya, maka berkatalah Aisyah RA: Wahai RasuluLLAAH! Masihkan anda berbuat begini padahal ALLAAH SWT sudah mengampuni semua dosa anda yang terdahulu maupun akan datang?! Jawab beliau SAW: Wahai Aisyah, tidakkah pantas aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?!

[4] HR Bukhari, kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwah Al-Hudhaibiyyah, XIV/38
[5] Fathul-Bari, XI/474
[6] ‘Umdatul-Qari, XXV/500
[7] Faydhul-Bari, VI/168
[8] Riwayat Sai’d bin Manshur dari Asy-Sya’biy, di-shahih-kan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Al-Fath, XI/478
[9] Ibnu Jarir, XXVI/71; Al-Hakim, II/459, ia berkata: Shahih sesuai syarat Muslim. Adz-Dzahaby mengomentarinya: Muslim tidak meriwayatkan bagi Majma’ dan tidak pula bagi bapaknya, namun keduanya adalah tsiqah.
[10] HR Abu Daud, Kitabu Shalah, hal. 215, haditsnya shahih (lih. Al-Mustadrak, III/338; Sunan Al-Kubra, III/257; Tafsir Ibnu Katsir, I/548; Al-Ishabah, VII/294). Ibnu Hajar menyebut secara pasti bahwa hal ini terjadi di Hudhaibiyyah (Al-Fath, VII/423)
[11 Ini berdasarkan pendapat yang menyatakan perang Dzatu Riqa’ setelah perang Khaibar dan inilah yang lebih shahih waLLAAHu a’lam
[12] Imta’ul-Asma’, Al-Muqrizi, I/380
[13] QS An-Nisa’, IV/102
[14] Untuk kajian lebih mendalam mengenai dalil-dalil hal ini, silakan baca tulisan saya di millist dan website ini dengan judul: Koalisi Politik di Masa Nabi SAW
[15] HR Bukhari, VI/275; lih. Juga syarah-nya dalam Al-Fath, V/329 hadits no. 2731
[16] Ibid
[17] Al-Fath, hadits no. 2731 dan 2732; Musnad Ahmad, IV/324
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Riwayat ini disebutkan secara musnid-muttashil dalam Shahih Bukhari, Kitab Al-Maghazi, Bab Ghazwah Hudhaibiyah, XIV/72; sementara sisanya dalam Al-Fath, VIII/283
[21] HR Bukhari, di beberapa tempat dalam shahih-nya: X/77, XI/315 dan XVI/142
[22] HR Muslim, II/141; Ahmad, III/486; Ibnu Jarir, XXVI/70
[23] HR Bukhari, VI/275
[24] HR Ahmad, IV/331; Ibnu Jarir, XXVI/101; AbduRRAZZAQ, V/342
[25] Al-Muqrizi, Imta’ul Asma’, I/304
[26] Ibid
[27] Ibnul Atsir, An-Nihayah fi Gharibil Hadits, III/327
[28]Ibid, II/392 dan III/380
[29] Sirah Ibnu Hisyam, II/394; Al-Maghazi Al-Waqidi, II/789; Tarikh At-Thabari, IV/45; Al-Amwal Az-Zanjawaih, I/401
[30] HR Ahmad, IV/325 dari riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad hasan, lih. Juga Sirah Ibnu Hisyam, III/308, ia menyatakan mendengar sendiri riwayat ini
[31] Al-Muqrizi, Imta’ul Asma’, I/304; Tarikh At-Thabari, II/288; Sirah Ibnu Hisyam, IV/279; Thabaqat Ibnu Sa’d, I/258; Siyar A’lami Nubala’ Adz-Dzahabi, X/400
[32] HR Ahmad, V/135; Tirmidzi, IV/361-362
[33] HR Tirmidzi, III/83 ia berkata: Hasan Shahih; Ahmad, III/412 dengan sanad yang hasan
[34] HR Muslim, II/98; Ahmad, III/412 dengan sanad shahih
[35] Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, Mu’jam Ash-Shaghir At-Thabrani, II/73; Musnad Abu Ya’la, IV/400
[36] HR Bukhari, Kitab Al-Maghazi, Fathu Makkah fi Ramadhan, hadits no. 4276
[37] Ibid, no. 4280
[38] Al-Muqrizi, Imta’ul Asma’, I/296







Jumat, 06 November 2009

KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB

Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.

Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:


Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri

Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.

Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.

Raja-raja di Yaman

Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM.

Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut :

Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah.
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.

Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.

Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.

Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa mereka.

Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.

Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.

* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".

Raja-raja di Hirah

Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah raja-raja baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayah-wilayah masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah teluk dari sungai Eufrat .

Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.

Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.

Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.

Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.

Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja. Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.

Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.

Raja-raja di Syam

Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan yang diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung selama bertahun-tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal adalah Ziyad bin al-Habulah. Periode kekuasaan mereka diperkirakan berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga berakhirnya yaitu setelah kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.

Emirat di Hijaz

Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau yaitu; Nabit kemudian Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin 'Amru al-Jurhumi **.

** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam.

Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki fungsi apapun dalam pemerintahan.

Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat 'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa tersebut.

Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah tekanan Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah, lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Nizar.

Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk setelah itu, dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka menganiaya para pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-Zhahran dan melihat keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani 'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas memerangi orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II M.

Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :

Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan

Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr, kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :

Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan dari melakukan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut adalah : bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah mereka, kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.

Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan.

Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.

Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd, pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.

Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam. Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri Hulail, Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah dan Ka'bah.

Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut :

Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab suku Quraisy adalah pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh mereka.

Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai agar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.

Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.

Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat 'Aqabah sembari berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil sikap tidak menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat untuk memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh Jazirah.

Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya dari rumah-rumah mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah selayaknya dia tidak merubahnya.

Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati mereka karena dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.

Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai berikut :

Mengepalai Darun Nadwah ; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk tentang masalah-masalah yang sangat strategis disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak perempuan mereka.

Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.

Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan) ; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.

Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah ; pintu Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.

Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi jemaah haji) ; mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.

Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang dikeluarkan pada setiap musim haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.

Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah menghormatimu". Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan wewenangnya dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup dan setelah matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya. Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan anak-anak paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka, untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian untuk menentukan siapa diantara mereka yang memiliki kewenangan atas siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf, kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anak-anaknya untuk kemudian setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.

Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila boleh diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang yaitu sistim parlemen dan majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :

Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.

Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani Sahm.

Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.

Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.

Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.

Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.

As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.

*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa yang membawa panji adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.

Kekuasaan di seluruh negeri Arab

Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.

Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara bersama tanah air dan membendung serangan lawan.

Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi damai ataupun perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.

Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :

Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami

Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi adalah bagian yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti keledai, kuda dan lain-lain.

Kondisi Politik

Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab, maka akan kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari mereka berdesah :

Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku

Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan mereka, atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.

Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah dulu.