Jumat, 31 Juli 2009

Ma’rifatu Asy-Syahaadatain

Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah…..(QS47:19)

Jumlah umat Islam kini sangat banyak. Sebagian besar mereka terkategorikan sebagai Islam keturunan atau kebetulan terlahir sebagai muslim dari orang tua. Kenyataan akan jumlah yang banyak tidak berkorelasi dengan pemahamannya kepada Islam secara benar, orisinil dan utuh. Hakikat memahami Islam dimulai dari memahami inti sari ajarannya yaitu dua kalimat syahadah (syahadatain). Kalimat tersebut terdiri dari Laa Ilaaha Illallah dan Muhammadun Rasulullah. Memahami keduanya sangat penting dan mendasar. Karena jika kita tak memahami hakikat kalimat syahadah, kita dapat terjerembab ke dalam penyakit kebodohan dan kemusyrikan.

Syahadatain merupakan fondasi atau asas dari bangunan keislamam seorang muslim. Jika fondasinya tidak kuat maka rumahnya pun tidak akan kuat bertahan.
Ayat di atas, menjelaskan bahwa umat Islam tidak dibenarkan hanya sekedar mengucapkan atau melafalkan dua kalimat syahadah, tetapi seharusnya betul-betul memahaminya. Kata fa’lam berarti “maka ketahuilah, ilmuilah….” Artinya Allah memerintahkan untuk mengilmui atau memahami kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan sekedar mengucapkannya, tetapi dengan yang pada gilirannya akan membentuk keyakinan (i’tiqod) dalam hati.


Pentingnya Syahadatain
Kalimat syahadah sangat penting dipahami karena beberapa hal :
1. Pintu gerbang masuk ke dalam Islam (madkholu ilal Islam)
Islam ibarat rumah atau bangunan atau sistem hidup yang menyeluruh, dan Allah memerintahkan setiap muslim untuk masuk secara kaaffah. Untuk memasukinya akan melalui sebuah pintu gerbang, yaitu syahadatain. Hal ini berlaku baik bagi kaum muslimin atau non muslim. Artinya, pemahaman Islam yang benar dimulai dari pemahaman kalimat itu. Pemahaman yang benar atas kedua kalimat ini mengantarkan manusia ke pemahaman akan hakikat ketuhanan (rububiyyah) yang benar juga. Mengimani bahwa Allah-lah Robb semesta alam.

2. Intisari doktrin Islam (Khulasoh ta’aliimil Islam)
Intisari ajaran Islam terdapat terdapat dalam dua kalimat syahadah. Asyhadu anlaa ilaaha illallah (Aku bersaksi: sesungguhnya tidak ada Ilaah selain Allah) dan asyhadu anna muhammadan rasulullah (Aku bersaksi: sesungguhnya Muhammad Rasul Allah).

Pertama, kalimat syahadatain merupakan pernyataan proklamasi kemerdekaan seorang hamba bahwa ibadah itu hanya milik dan untuk Allah semata (Laa ma’buda illallah), baik secara pribadi maupun kolektif (berjamaah). Kemerdekaan yang bermakna membebaskan dari segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan api neraka. Kita tidak mengabdi kepada bangsa, negara, wanita, harta, perut, melainkan Allah-lah yang disembah (al-ma’bud). Para ulama menyimpulkan kalimat ini dengan istilah Laa ilaaha illallah ‘alaiha nahnu; “di atas prinsip kalimat laa ilaaha illallah itulah kita hidup, kita mati dan akan dibangkitkan”. Rasulullah juga bersabda “Sebaik-baik perkataan, aku dan Nabi-nabi sebelumku adalah Laa ilaaha illallah” (al-Hadist). Maka sering mengulang kalimat ini sebagai dzikir yang diresapi dengan pemahaman yang benar  bukan hanya melisankan  adalah sebuah keutamaan yang dapat meningkatkan keimanan. Keimanan yang kuat, membuat hamba menyikapi semua perintah Allah dengan mudah. Sebaliknya, perintah Allah akan selalu terasa berat di saat iman kita melemah. Kalimat syahadatain juga akan membuat keimanan menjadi bersih dan murni, ibarat air yang suci. Allah akan memberikan dua keuntungan bagi mereka yang beriman dengan bersih, yaitu hidup aman atau tentram dan mendapat petunjuk dari Allah. Sebagaimana Dia berfirman dalam al-Qur’an: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (QS 6:82).

Kedua, kita bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, berarti kita seharusnya meneladani Rasulullah dalam beribadah kepada Allah. Karena beliau adalah orang yang paling mengerti cara (kaifiyat) beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat…”. Selanjutnya hal ini berlaku untuk semua aspek ibadah di dalam Islam.

3. Dasar-dasar Perubahan (Asasul inqilaab)
Perubahan yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan dari kegelapan (jahiliyah) menuju cahaya (Islam); minazzuluumati ilannuur. Perubahan yang dimaksud mencakup aspek keyakinan, pemikiran, dan hidupnya secara keseluruhan, baik secara individu maupun masyarakat. Secara individu, berubah dari ahli maksiat menjadi ahli ibadah yang taqwa; dari bodoh menjadi pandai; dari kufur menjadi beriman, dst. Secara masyarakat, di bidang ibadah, merubah penyembahan komunal berbagai berhala menjadi menyembah kepada Allah saja. Dalam bidang ekonomi, merubah perekonomian riba menjadi sistem Islam tanpa riba, dan begitu seterusnya di semua bidang. Syahadatain mampu merubah manusia, sebagaimana ia telah merubah masyarakat di masa Rasulullah dan para shahabat terdahulu. Diawali dengan memahami syahadatain dengan benar dan mengajak manusia meninggalkan kejahiliyahan dalam semua aspeknya kepada nilai-nilai Islam yang utuh.

4. Hakikat Da’wah para Rasul (Haqiqotud Da’watir Rasul)
Para nabi, sejak Adam AS sampai Muhammad SAW, berda’wah dengan misi yang sama, mengajak manusia pada doktrin dan ajaran yang sama yaitu untuk beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan Thogut. Itu merupakan inti yang sama dengan kalimat syahadatain, bahwa tiada Ilaah selain Allah semata. Seperti difirmankan Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thogut itu” (QS 16:36)

5. Keutamaan yang Besar (Fadhooilul ‘Azhim)
Kalimat syahadatain, jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjanjikan keutamaan yang besar. Keutamaan itu dapat berupa moral maupun material; kebahagiaan di dunia juga di akhirat; mendapatkan jaminan syurga serta dihindarkan dari panasnya neraka.

Makna Asyhadu
Kata asyahdu yang terdapat dalam syahadatain memiliki beberapa arti, antara lain:
1. Pernyataan / Ikrar (al-I’laan atau al-Iqroor)
Seorang yang bersyahadah berarti dia berikrar atau menyatakan  bukan hanya mengucapkan  kesaksian yang tumbuh dari dalam hati bahwa Tidak Ada Ilaah Selain Allah.

2. Sumpah (al-Qossam)
Seseorang yang bersyahadah berarti juga bersumpah  suatu kesediaan yang siap menerima akibat dan resiko apapun  bahwa tiada Ilaah selain Allah saja dan Muhammad adalah utusan Allah.

3. Janji (al-Wa’du atau al-‘Ahdu)
Yaitu janji setia akan keesaan Allah sebagai Zat yang dipertuhan. Janji tersebut kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah (QS ?).
Syahadah muslim yang dinyatakan dengan kesungguhan, yang merupakan janji suci,sekaligus sumpah kepada Allah SWT; merupakan ruh keimanan. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan tanpa keberatan, kepercayaan terhadap semua keputusan Allah (QS 49:15).

Hakikat Iman
Keimanan itu bukanlah angan-angan, tetapi mencakup 3 hal :

1. Dikatakan dengan lisan (al-Qoul)
Syahadah diucapkan dengan lisan dengan penuh keyakinan. Semua perkataan yang keluar dari lisan mu’min senantiasa baik dan mengandung hikmah.

2. Dibenarkan dengan hati (at-tashdiiq)
Hati adalah lahan menyemai benih-benih keimanan. Semua yang keluar dari lisan digerakkan oleh hati. Apa yang ada dalam hati akan dicerminkan dalam perkataan dan perbuatan. Dalam hadist Bukhori digambar oleh Nabi SAW bahwa: “Ilmu (hidayah) yang Aku bawa ibarat air hujan, ada jenis tanah yang subur menumbuhkan tanaman, ada tanah yang tidak menumbuhkan hanya menampung air, ada jenis tanah yang gersang, tidak menumbuhkan juga tidak menampung”.

Allah, dalam al-Qur’an, membagi hati manusia menjadi tiga, yaitu hati orang mu’min (QS 26: 89), hati orang kafir (QS 2: 7) dan hati orang munafiq (QS 2: 10). Hati orang kafir yang tertutup dan hati munafik yang berpenyakit takkan mampu membenarkan keimanan (at-tashdiiqu bil qolb). Sedangkan hati orang mu’min itulah yang dimaksud Rasulullah SAW sebagai tanah yang subur yang dapat menumbuhkan pohon keimanan yang baik. Akar keyakinannya menjulang kuat ke tanah, serta buah nilai-nilai ihsannya dapat bermanfaat untuk manusia yang lain.

3. Perbuatan (al-‘Amal)
Perbuatan (amal) digerakkan atau termotivasi dari hati yang ikhlas dan pembenaran iman dalam hati. Seseorang yang hanya bisa mengucapkan dan mengamalkan tanpa membenarkan di hati, tidak akan diterima amalnya. Sifat seperti itu dikategorikan sebagai orang munafik, yang selalu bicara dengan lisannya bukan dengan hatinya. Karena munafik memiliki tiga tanda: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, bila diberi amanah ia berkhianat.

Perkataan, pembenaran di hati dan amal perbuatan adalah satu kesatuan yang utuh. Ketiganya akan melahirkan sifat istiqomah, tetap, teguh dan konsisten. Sebagaimana dijelaskan dalam QS 41:30, sikap istiqomah merupakan proses yang terus berjalan bersama keimanan. Mu’min mustaqim akan mendapatkan karunia dari Allah berupa:

• Keberanian (asy-Syajaa’ah), yang lahir dari keyakinan kepada Allah. Berani menghadapi resiko tantangan hidup, siap berjuang meskipun akan mendapatkan siksaan. Lawan keberaniaan adalah sifat pengecut.
• Ketenangan (al-Ithmi’naan), yang lahir dari keyakinan bahwa Allah akan selalu membela hamba-Nya yang mustaqim secara lahir bathin. Lawannya adalah sifat bersedih hati.
• Optimis (at-Tafaa’ul), lahir dari keyakinan terhadap perlindungan Allah dan ganjaran Allah yang Maha sempurna. Orang yang optimis akan tentram akan kemenangan hakiki, yaitu mendapatkan keridhoan Allah (mardhotillah).
Ketiga karunia Allah kepada orang mustaqim ini akan dilengkapi Allah dengan anugerah kebahagiaan hidup (as-Sa’aadah), baik di dunia dan akhirat.

Inilah pemahaman terhadap konsep syahadah. Tidak mudah dalam pelaksanaannya, karena kita berharap agar Allah memberikan kesabaran dalam memahaminya dan mengaplikasikannya.


MA’RIFATUL ISLAM

D.3.1. SYUMULIYATUL ISLAM

Sasaran :
1. Memahami sifat-sifat dasar Islam sebagai diin yang sempurna, penuh nikmat, diridhai dan sesuai dengan fithrah.
2. Memahami sifat interaksi yang tepat dengan sifat-sifat Islam tersebut.
3. Menyadari Islam sebagai suatu kekuatan lahir batin.

D.3.2. SYUMULIYATUL ISLAM

Sasaran :
1. Memahami gambaran menyeluruh dari Islam sebagai asas bina, maupun muayyidat dengan hubungan-hubungannya.
2. Dapat menyebutkan contoh-contoh penyelesaian masalah aktual secara Islami dalam bidang kehidupan bermasyarakat.
3. Menyadari bahwa Islam merupakan sistem hidup yang lengkap dan sempurna sehingga termotivasi untuk memasukinya.


Sinopsis :
Islam merupakan agama yang syumul (sempurna) berarti lengkap, menyeluruh dan mencakup segala hal yang diperlukan bagi panduan hidup manusia. Kesempurnaan Islam ini ditandai dengan syumuliyatuz zamaan (sepanjang masa), syumuliyatul minhaj (mencakup semuanya) dan syumuliyatul makan (semua tempat).
Islam sebagai syumuliyatuz zamaan (sepanjang masa) dibuktikan dengan ciri risalah nabi Muhammad saw sebagai kesatuan risalah dan nabi pentutup. Islam yang dibawa nabi Muhammad saw dilaksanakan sepanjang masa hingga hari kiamat.

Islam sebagai syumuliyatul minhaj (mencakup semuanya) melingkupi beberapa aspek lengkap yang terdapat dalam Islam itu sendir, misalnya jihad dan da’wah (sebagai penyokong Islam), akhlaq dan ibadah (sebagai bangunan Islam) dan aqidah (sebagai asas Islam). Aspek-aspek ini menggambarkan kelengkapan Islam sebagai agama.
Islam sebagai syumuliyatul makan (semua tempat) karena Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini sebagai satu kesatuan. Pencipta alam ini hanya Allah saja. Karena berasal dari satu pencipta, maka semua dapat dikenakan aturan dan ketentuan kepadaNya.

Hasiyah :
Ringkasan Dalil :
Syumuliatul islam (QS. 2 : 208).
Syumuliyatuz zamaan (QS. 2 : 208):
1. risalah yang satu (QS. 29 : 90, 34 : 28, 21 : 107)
2. penutup para nabi (QS. 33 : 42)

Syumuliyatul minhaj :
1. asas aqidah (syahadatain dan rukun iman)
2. bangunan Islam : ibadah, rukun islam (sholat, shiyam, zakat haji), akhlaq
3. penyokong/penguat : jihad (QS. 29 : 6,69, 47 : 31)atau amar ma’ruf nahi munkar (QS. 3 : 104, 7 : 99, 9 : 112) dan da’wah (QS. 16 : 125, 41 : 33)

Syumuliyatul makan (QS. 22 : 40)
1. kesatuan pencipta (QS. 2 : 163-164)
2. kesatuan alam (QS. 2 : 29, 67 : 15)

D.3.3. SYUMULIYATUL ISLAM

Sasaran :
1. Memahami gambaran menyeluruh dari Islam sebagai asas bina, maupun muayyidat dengan hubungan-hubungannya.
2. Dapat menyebutkan contoh-contoh penyelesaian masalah aktual secara Islami dalam bidang kehidupan bermasyarakat.
3. Menyadari bahwa Islam merupakan sistem hidup yang lengkap dan sempurna sehingga termotivasi untuk memasukinya.

Sinopsis :
Islam adalah agama yang sempurna. Salah satu bukti kesempurnaannya adalah Islam mencakup seluruh peraturan dan segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu Islam sangat sesuai dijadikan sebagai pedoman hidup. Di antara kelengkapan Islam yang digambarkan dalam Al Qur’an adalah mencakup konsep keyakinan (QS. 2 : 255), moral (QS. 7 : 99), tingkah laku (QS. 2 : 138), perasaan (QS. 30 : 30), pendidikan (QS. 2 : 151, 3 :162, 62 : 2), sosial (QS. 24 : 7), politik (QS. 3 : 85-86, 12 : 40), ekonomi (QS. 9 : 60, 103, 59 : 7), militer (QS. 8 : 60, 9 : 5-8), hukum/perundang-undangan (QS. 4 : 65).

Hasiyah :
Ringkasan Dalil :
Islam sebagai pedoman hidup :
1. konsep keyakinan (QS. 2 : 255)
2. moral (QS. 7 : 99)
3. tingkah laku (QS. 2 : 138)
4. perasaan (QS. 30 : 30)
5. pendidikan (QS. 2 : 151, 3 :162, 62 : 2)
6. sosial (QS. 24 : 7)
7. politik (QS. 3 : 85-86, 12 : 40)
8. ekonomi (QS. 9 : 60, 103, 59 : 7)
9. militer (QS. 8 : 60, 9 : 5-8)
10. hukum/perundang-undangan (QS. 4 : 65)

D.4.1. ISLAM AKHLAQUN

Sasaran :
1. Memahami Islam sebagai sistem akhlaq dan mampu membedakan dengan sistem moral lainnya.
2. Mampu meninggalkan akhlaq tercela dari kehidupannya.
3. Berusaha mengaplikasikan akhlaqul karimah sebagai cermin keimanannya kepada Allah dan RasulNya.

Sinopsis :
Islam memiliki sistem akhlaq yang mampu membedakan dengan sistem moral lainnya buatan manusia. Sebab akhlaq Islam berpedoman kepada Al Qur’an, yang mengajarkan hubungan Allah sebagai khaliq kepada manusia sebagai makhluq. Akhlaq adalah tingkah laku makhluq yang diridhai oleh Khaliq. Hubungan manusia kepada Allah adalah akhlaq. Bentuk-bentuk hubungan akhlaq adalah : akhlaq kepada Allah (QS. 2 : 186), akhlaq kepada diri sendiri (QS. 2 : 44), akhlaq kepada sesama manusia (QS. 2 : 83, 31 : 17-19), akhlaq kepada alam sekitar (QS. 11 : 61, 7 : 56). Inti dari ajaran akhlaq adalah melepaskan diri dari perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan mulia.

Hasiyah :
Ringkasan Dalil :
Bentuk-bentuk akhlaq :
1. Akhlaq kepada Allah (QS. 2 : 186)
2. Akhlaq kepada diri sendiri (QS. 2 : 44)
3. Akhlaq kepada sesama manusia (QS. 2 : 83, 31 : 17-19)
4. Akhlaq kepada alam sekitar (QS. 11 : 61, 7 : 56)

D.4.2. ISLAM FIKRATAN

Sasaran :
1. Memahami Islam sebagai fikrah yang sesuai dengan fithrah dan bashirah manusia.
2. Menyadari bahwa hanya islamlah yang dapat memberikan jawaban yang benar tentang ketuhanan, kenabian, peribadatan, alam semesta, manusia dan hakikat kehidupan.
3. Termotivasi untuk menerapkan ‘amal islami berlandaskan fikrah islamiyah di tengah masyarakat.

Sinopsis :
Manusia yang diciptakan Allah terbagai menjadi muslim dan kafir. Realitas ini menunjukkan bahwa terdapat manusia yang membawa kebenaran dan ada yang membawa kebatilan. Perbenturan akan selalu berlku di antara keduanya karena landasan yang digunakan untuk berfikir dan bertindak adalah berbeda. Islam adalah sumber fikrah dan kepadanya seorang Muslim merujukkan kerangka fikirnya. Di lain pihak, kaum kuffar merujuk kepada hawa nafsunya. Islam yang haq, jelas, tetap dan sempurna tak akan dapat ditandingi oleh kebatilan.

Muslim yang beriman menjadikan bashirah sebagai sumber fikrahnya, sedangkan kuffar menjadikan hawa nafsu sebagai sumber fikrahnya. Manusia, baik ia seorang muslim ataupun kafir, memahami sesuatu yang ada disekitarnya berlandaskan keyakinannya. Hal sedemikian juga jga berkeneaan dalam memahami Allah, risalah, ibadah, alam semesta, manusia dan kehidupan.

Muslim yang beriman dalam memandang segala sesuatu selalu mendayagunakan bashirahnya sehingga selalu muncul tashawur yang sahih, yang berimplikasi kepada munculnya fikrah yang islami. Hal ini yang mengantarkan terwujudnya amal-amal islami. Sebaliknya, pihak kuffar mendasari fikrahnya dari hawa nafsu yang bersifat berubah-ubah dan temporal untuk memenuhi kebutuhan materialisme dan hedonisme saja, sehingga memunculkan tashawur yang salah/rusak. Hal ini yang menghasilkan fikrah jahiliyah dan amal jahili.

Hasiyah :
Ringkasan Dalil :
1. Dua bentuk sumber fikrah : kekufuran dengan hawa nafsu dan imen dengan bashirah. Semua dalam rangka memahamai 6 hakikat besar : Allah, risalah ibadah, alam semesta, manusia dan kehidupan.
2. Kekufuran membentuk tashawur yang salah : memunculkan pemikiran jahiliyah, dalam ideologi jahiliyah, diaplikasiakan dalam tingkah laku dan dinamika jahiliyah.
3. Keimanan membentuk tashawur yang benar : memunculkan pemikiran islami, dalam fikrah islamiyah, diaplikasiakan dalam amal Islami dan harakah islamiyah.

D.5. ISLAM DIINUL HAQ

Sasaran :
1. Memahami pengertian ad diin dan mampu menjelaskan kesalahpahaman masyarakat atas pengertian ad diin.
2. Membuktikan berdasarkan dalil aqli dan dalil naqli bahwa : Islam adalah diinul haq dan selainnya pastilah diinul baathil.
3. Menyadari bahwa Islam sebagai diinul haq adalah petunjuk yang lurus danmembawa keridhaan Allah. Di lain pihak, selain Islam adalah sumber keahiliyahan yang membawa kepada kesesatan dan kemurkaan Allah.

Sinopsis :
Hasiyah :
Ringkasan Dalil :
1. Allah yang Maha Pencipta (QS.10 : 4, 61 : 9, 67 :3)
2. Allah yang Maha Mengetahui (QS. 61 : 14, 36 :79)
3. Allah yang Maha Bijaksana (QS.59 : 24, 61 : 1, 62 :1)
4. Allah adalah Al Haq (QS.10 : 32, 22 : 62)
5. Diinullah adalah Diinul Haq (QS. 9 : 33, 48 : 28, 61 : 9)
6. Islam (QS. 3 : 19, 85) membawa kepada petunjuk (QS. 6 : 153, 1 : 5-6)
7. Selain Allah adalah makhluq (QS. 22 : 73, 16 : 17) yang sangat bodoh (QS. 3 : 73) yang berorientai kepada zhan (QS. 10 : 36, 6 : 116)
8. Selain Allah adalah bathil (QS. 10 : 32, 22 : 62), berarti (membuat) selain diinullah merupakan diinul baathil yaitu kejahiliyahan (QS. 5 : 50, 39 : 64) yang menyeru kepada kesesatan (QS. 1 : 7, 2 : 120, 6 : 153).

D.6. TABIATUD DIINUL ISLAM

Sasaran :
1. Memahami sifat-sifat diinul Islam yang menjadi ciri khas penampilannya sepanjang sejarah.
2. Dapat memberikan dalil naqli dan dalil aqli bagi setiap sifat tersebut serta menyebutkan contoh-contohnya.
3. Menyadari peranannya dalam perjuangan Islam dengan upaya menampilkan ciri-ciri tersebut pada dirinya, keluarga maupun masyarakat.

Sinopsis :
Hasiyah :
Al Ikhlas wa Al Fithrah - mukhlis wa hanif.
Al Qayyimu wa Al Minhaj - qayyimun minhajiyun
Al Ahkamu wa Al Akhlaq - husnu al khuluq wa al hakim
An Nazhafat wa Thaharah - nazhiifun thahuurun
Al ‘Ilmu wa Al ‘Amal - ‘aliimun ‘amiilun
Al ‘Ilmu wa Al Fikr - ‘aliimun mufakkirun
Al ‘Amal wa Al Amal - ‘amilun mutafailun
Al Quwwatu wa Al Mas’uliyah - qawiyun amiin
Al ‘Izzah wa Ar Rahmah - ‘aziizun rahiimun
Ad Daulah wa Al ‘Ibaadah - siyasiyun ‘abid
As Saifu wa Mashaf - mujahidun rabbani
Al Harakah wa Al Minhaj - harakiyun minhajiyun
Keseluruhannya merupakan pribadi Islami


Ringkasan Dalil :
Karakteristik Diin Al Islam :
1. Diin yang bersih dari syirik dan sesuai dengan fitrah; membentuk pribadi mukhlis dan hanif (QS. 39 : 2,11,14, 7 : 172, 30 : 30).
2. Diin yang penuh dengan tatanan nilai dan konsep; membentuk pribadi yang bermutu dan bermanhaj (QS. 36 : 1-2, 43 : 4).
3. Diin akhlaq/moral dan hukum; membentuk pribadi yang berakhlaq dan bijaksana (QS. 4 : 36, 105).
4. Diin kebersihan dan kesucian; membentuk pribadi yang bersih dan suci (QS. 9 : 108).
5. Diin ilmu dan amal; membentuk pribadi yang berilmu dan aktif bekerja (QS. 47 : 19, 2 : 44)
6. Diin ilmu dan pemikiran; membentuk pribadi yang berilmu dan pemikir (QS. 9 : 122).
7. Diin kerja dan harapan; membentuk pekerja yang optimis (QS. 9 : 105, 46 : 19, 4 : 123-124).
8. Diin yang kuat dan bertanggung jawab; membentuk pribadi yang teguh dan dapat dipercaya (QS. 28 : 26).
9. Diin yang bermartabat dan penyayang; membentuk pribadi yang berprestise dan santun (QS. 9 : 128, 49 : 10).
10. Diin daulah dan ‘ibadah; membentuk politikus yang ‘abid (QS. 73 : 20).
11. Diin pedang dan Al Qur’an; membentuk pribadi mujahid yang robbani (QS. 9 : 111, 3 : 79).
12. Diin harakah dan minhaj; membentuk pribadi mutaharrik yang minhaji (QS. 9 : 38-39, 16 : 125, 12 : 108).
13. Keseluruhannya merupakan pribadi islami. (QS. 3 : 110)

D.7. AL ‘AMAL AL ISLAMI

Sasaran :
1. Memahami bahwa interaksinya dengan Islam wajib membentuk keyakinan, pemikiran, perasaan dan akhlaq yang Islami.
2. Memahami bahwa amal islami hanya terbentuk dar kondisi yang islami melalui tarbiyah dan da’wah serta harokah dan jihad.
3. Menyadari bahwa nilai ‘amal islami merupakan ibadah yang akan membentuk ketaqwaan dan memperoleh tamkin dari Allah yang ditunjukkan dengan bukti dalam bentuk kepercayaan dan amanah.

Sinopsis :
Bertaamul dengan Islam akan membentuk : keyakinan (i’tiqadi), fikrah, perasaan (syu’uriy) dan akhlaq yang akan mewujudkan kondisi yang islami (maudhu’ islamiy) dan kemudian membentuk sikap yang islami (mauqifu islamiy). Sikap yang islami berarti memiliki kecenderungan yang positif terhadap nilai-nilai Islam sehingga dapat menimbulkan amal islami yang berbentuk tarbiyah dan da’wah serta harokah dan jihad. Semua amal ini adalah ibadah kepada Allah dan ditujukan hanya kepada Allah saja sehingga mengapai derajat taqwa. Amal islami mendapat pembuktian dari Allah yang berbentuk kepercayaan (tsiqah), pertolongan dan amanah. Kesemuanya ini diperlukan dalam rangka memperoleh eksistensi.

Hasiyah :
Ringkasan Dalil :
1. Bertaamul dengan Islam akan membentuk : keyakinan (i’tiqadi), fikrah, perasaan (syu’uriy) dan akhlaq yang akan mewujudkan kondisi yang islami (maudhu’ islamiy) (QS. 59 : 9) dan kemudian membentuk sikap yang islami (mauqifu islamiy) (QS. 59 : 10, 3 : 146-147).
2. Amal islami berbentuk tarbiyah dan da’wah (QS. 41 : 33) serta harokah dan jihad (QS. 4 : 71, 76, 8 : 45-46). Semua amal ini merupakan ibadah kepada Allah saja (QS. 16 : 36) untuk mengapai derajat taqwa (QS. 2 : 21, 8 : 29). Amal islami mendapat pembuktian dari Allah (QS. 11 : 17) yang berbentuk kepercayaan (tsiqah) (QS. 21 : 105), pertolongan (QS. 47 :7) dan amanah (QS. 4 : 58).
3. Kesemuanya ini diperlukan dalam rangka memperoleh eksistensi (QS. 24 : 55).


Syumuliyah al- Islam (1)

PENGERTIAN ISLAM
Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab bukan saja untuk meluruskan berbagai pemahaman tentang Islam yang selama ini salah, keliru atau kurang sempurna, tapi juga untuk membangun komitmen ke-Islaman yang lebih utuh dalam kehidupan sehari-hari kita. Yang terjadi selama ini bukan saja adanya kesenjangan antara pemahaman Islam generasi sekarang dengan pemahaman generasi sahabat Rasulullah saw tentang Islam, tapi juga ada kesenjangan antara Islam yang kita yakini sebagai “agama atau jalan hidup” dengan perilaku sehari-hari kita sebagai “kenyataan hidup.”

Dari akar katanya dalam bahasa Arab, Islam mempunyai arti-arti berikut: ketundukan, penyerahan diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Makna ketundukan dan penyerahan diri kita temukan, misalnya, dalam ayat ini:
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah tunduk (menyerahkan diri) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan.” (QS: 3: 83)


Makna keselamatan kita temukan, misalnya, dalam ayat ini :
“….Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS: 5: 15-16)

Makna kedamaian kita temukan, misalnya, dalam ayat ini :
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: 8: 61)

Makna kesejahteraan kita temukan, misalnya, dalam ayat ini:
“Doa mereka di dalamnya ialah: “Subhanakallahumma” (Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua itu tidak dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah), dan salam penghormatan mereka ialah: “Salam” (kesejahteraan dan kesentosaan). Doa penutup mereka ialah “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin”(segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam).” (QS: 10: 10).

Ber-Islam, dengan begitu, berarti menundukkan dan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, secara mutlak, kepada Allah swt untuk diatur sesuai dengan kehendak-Nya. Dan kehendak-kehendak Allah swt itu tertuang secara utuh dalam agama yang Ia turunkan kepada umat manusia, sebagai petunjuk abadi dalam menjalani kehidupan mereka di muka bumi, melalui perantara seorang Rasul, Muhammad saw, yang kemudian Ia beri nama “Islam.”
Asas ketundukan dan penyerahan diri itu adalah pengakuan yang tulus dari lubuk hati bahwa kita dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah swt. Karena itu Allah swt berhak mengatur segenap ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Selanjutnya Allah swt menjelaskan kehendak-kehendak-Nya dalam dua bentuk:

Pertama, kehendak Allah swt yang bersifat pasti, mutlak dan mengikat seluruh ciptaan-Nya, baik manusia maupun alam. Inilah yang kemudian kita sebut dengan “Sunnah Kauniyah.” Dalam pengertian ini, maka seluruh makhluk di jagad ini telah menyatakan ketundukan dan penyerahan dirinya (ber-Islam) kepada Allah swt.

Perhatikan firman Allah swt berikut ini :
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, pohon-pohon, binatang-binatang melata dan sebagian besar dari pada manusia? Dan banyak diantara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS: 22: 18),

Kedua, kehendak Allah swt yang bersifat pilihan, berupa aturan-aturan dan pranata sistim bagi kehidupan manusia. Inilah yang kemudian kita sebut “Syariat atau Agama.” Inilah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya :
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS: 45:18)

Manusia dan alam tidak bisa melepaskan diri dari kodrat sebagai ciptaan. Karena itu setiap penolakan terhadap kehendak-kehendak Allah swt, baik yang “kauniyah” maupun yang “syar’iyah”, selalu berarti pembangkangan terhadap Sang Pencipta, penyimpangan dari garis kebenaran, isolasi dan benturan dengan alam. Ujung dari pembangkangan itu adalah bahwa manusia selamanya akan tertolak oleh Allah, alam semesta dan disharmoni dalam hubungan antar sesama manusia. Simaklah bagaimana Allah menolak mereka:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS:3:85)

Sekarang simaklah bagaimana alam mengisolasi mereka :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: 7: 96)
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS: 22: 31)

Akan tetapi, apabila kehendak-kehendak Allah swt yang diturunkan dalam bentuk syariat atau aturan dan pranata sistim bagi kehidupan manusia, maka itu berarti bahwa Islam – yang kemudian menjadi nama bagi syariat tersebut – adalah jalan hidup, atau suatu sistim yang diturunkan Allah agar manusia menata kehidupannya dengan sistim itu.

Jadi, Islam bukan hanya ritual-ritual belaka yang kita lakukan sebagai sebentuk ketundukan kepada Allah swt. Islam jauh lebih luas dari sekedar ritual belaka. Islam adalah sistim kehidupan yang lengkap dan paripurna serta bersifat unversal. Ia mengatur kehidupan kita sejak kita bangun dari tidur sampai kita tidur kembali. Ia menata kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat. Menata ibadah kita seperti ia menata ekonomi dan politik kita. Ia menata hukum kita seperti ia menata kehidupan social budaya kita. Ia adalah Qur’an dan pedang, masjid dan pasar, agama dan negara, iman dan ilmu, ibadah dan seni.

Allah S.W.T sebagai pencipta manusia, maka Dia pulalah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan manusia untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Maka hak prerogatif Allah untuk mengatur manusia (Hakimiyyatullah) bukan saja datang kodrat-Nya sebagai Pencipta, tapi juga pengetahuan dan keadilan-Nya. Dan karena itu pula, penyerahan diri kita kepada-Nya bukan lahir dari pengakuan akan kepenciptaan-Nya, tapi lahir dari pengetahuan kita tentang pengetahuan dan keadilan-Nya serta ungkapan rasa syukur atas karunia terbesar-Nya, yaitu agama Islam.
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus” (QS: 17: 9)
“Dan barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia akan terbebas dari rasa takut dan tiada pula mereka akan bersedih.” (QS: 2: 38)
“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”(QS: 28: 77).

KARAKTERISTIK ISLAM
Sebagai sebuah sistim, Islam mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan sistim-sistim yang lain. Karakteristik adalah ciri-ciri umum yang menjadi bingkai dari keseluruhan ajaran Islam. Cara pandang Islam terhadap berbagai permasalahan eksistensial seperti Tuhan, alam, manusia dan kehidupan, serta interpretasinya terhadap berbagai peristiwa selamanya akan berada dalam bingkai ciri-ciri umum tersebut. Karakteristik ini pula yang kemudian menjadi letak keunggulan Islam terhadap sistim-sistim lainnya. Ciri-ciri umum tersebut adalah rabbaniyah, syumuliyah, insaniyah, tsabat, tawazun, waqi’iyyah, ijabiyyah.

Rabbaniyyah
Rabbaniyyah adalah nisbat kepada kata Rabb yang berarti Tuhan. Artinya Islam ini adalah agama atau jalan hidup yang bersumber dari Tuhan. Ia bukan kreasi manusia,juga bukan kreasi nabi yang membawanya. Maka Islam adalah jalan Tuhan. Tugas para nabi adalah menerima, memahami dan menyampaikan ajaran itu kepada umat manusia :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS: 5: 67)

Sumber ajaran merupakan titik perbedaan paling signifikan antara berbagai ideologi. Sumber ajaran Islam adalah Allah swt, Tuhan semesta alam, Tuhan yang menciptakan manusia dan yang paling mengetahui hakikat manusia serta apa saja yang dibutuhkannya; kebutuhan fisik, ruh dan akalnya. Ia adalah sumber yang terpercaya yang memiliki semua hak dan kelayakan untuk mengatur manusia. Kekuatan sumber itu melahirkan rasa aman untuk menerima kebenaran dan menghilangkan keraguan. Ia bukan saja mambawa kebenaran mutlak, tapi juga terjaga validitasnya sepanjang masa.
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi ragu (menerimanya).” (QS: 2:147 ).

Semua ideologi lain memiliki kelemahan mendasar karena sumbernya adalah manusia yang tidak pernah bisa membebaskan diri dari hawa nafsu, katerbatasan, kelemahan dan ketidakberdayaan. Ideologi manusia tidak pernah sanggup melampaui hambatan ruang dan waktu dan dengan mudah menjadi usang dan dibuang ke ruang masa lalu oleh ketidaksesuaian.

Syumuliyyah
Artinya ajaran ini mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia; dari pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara; dari sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab ke Parsi hingga seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistim hingga akhlak; dari Adam hingga manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur kembali; dari kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Jadi kecakupan Islam dapat kita dari beberapa dimensi; yaitu dimensi waktu, dimensi demografis, dimensi geografis dan dimensi kehidupan.

Yang dimaksud dengan dimensi waktu adalah bahwa Islam telah diturunkan Allah swt sejak Nabi Adam hingga mata rantai kenabian ditutup pada masa Rasulullah Muhammad saw. Dan Islam bukan agama yang hanya diturunkan untuk masa hidup Rasulullah saw, tapi untuk masa hidup seluruh umat manusia di muka bumi :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rosul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS: 3: 144)

Yang dimaksud dengan dimensi demografis adalah bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia dengan seluruh etnisnya, dan bahwa mereka semua sama di mata Allah swt sebagai ciptaan-Nya dan dibedakan satu sama lain karena asas ketakwaan :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 49: 13)
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: 34: 28)

Yang dimaksud dengan dimensi geografis adalah bahwa ajaran Islam diturunkan untuk diterapkan di seluruh penjuru bumi. Maka Islam tidak dapat diidentikkan dengan kawasan Arab (Arabisme), karena itu hanya tempat lahirnya. Islam tidak mengenal sekat-sekat tanah air, sama seperti ia tidak mengenal batasan-batasan etnis.

“Ingatlah ketika Tuhamu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami, senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman; ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS: 2: 30)
“Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam”. (QS: 21: 107)

Yang dimaksud dengan dimensi kehidupan adalah bahwa Islam membawa ajaran-ajaran yang terkait dengan seluruh dimensi kehidupan manusia; sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, pendidikan, lingkungan dan kebudayaan. Itulah sebabnya Allah swt menyuruh berislam secara kaffah, atau berislam dalam semua dimensi kehidupan kita.
”Hai orang-orang yang berirman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan jangankah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS: 2: 208)

Ini pula yang dimaksud Allah swt bahwa Ia telah menyempurnakan agama ini dan karena itu meridhoinya sebagai agama terbaik bagi umat manusia :
“Hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan nikmat-Ku terhadapmu, dan Kuridhai Islam sebagai agamamu.” (QS: 5: 3)

Insaniyyah
Artinya bahwa ajaran Islam mendudukan manusia pada posisi kunci dalam struktur kehidupan ini. Manusia adalah pelaku yang diberi tanggungjawab dan wewenang untuk mengimplementasikan kehendak-kehendak Allah swt dimuka bumi (khalifah). Maka Allah swt memberi penghormatan tertinggi kepada manusia dalam firman-Nya :
“Dan sesunguhnya kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS: 17: 70)

Selanjutnya Allah swt menyusun ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa sesuai dengan fitrah dasar manusia :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas ) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. ( QS: 30:30)

Islam datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan sesama manusia. Di hadapan Rustum menjelang Perang Qadisiyah, Rub’i bin ‘Amir menjelaskan misi itu ketika beliau berkata: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia yang lain.”

Hak asasi manusia - dalam semua bentuknya - merupakan bagian paling inheren dalam keseluruhan ajaran-ajaran Islam. Hak-hak asasi itu merupakan seperangkat kondisi dan wilayah kewenangan yang mutlak dibutuhkan manusia untuk menjalankan misinya dalam kehidupan ini. “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam keadaan bebas?”, kata Umar Bin Khattab kepada ‘Amru Bin ‘Ash saat puteranya menampar wajah seorang warga Qibthy (Kristen).

Tsabat dan Tathawwur
Tsabat artinya permanen, sedang Tathawwur artinya pertumbuhan. Ciri permanensi adalah turunan dari ciri Rabbaniyyah. Maksudnya adalah bahwa Islam membawa ajaran yang berisi hakikat-hakikat besar yang bersifat tetap dan permanen dan tidak akan pernah berubah dalam semua ruang dan waktu. Hakikat-hakikat itu melampaui batas-batas ruang dan waktu serta bersifat abadi.

Seperti hakikat abadi tentang wujud dan keesaan Allah, hakikat penyembahan kepada Allah, hakikat alam sebagai ciptaan dan wadah fisik bagi kehidupan kita, hakikat manusia sebagai makhluk yang paling terhormat karena misi khilafahnya, hakikat iman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab suci dan takdir baik dan buruk serta hari akhirat adalah syarat diterimanya semua amal manusia, hakikat ibadah sebagai tujuan hidup manusia, hakikat aqidah sebagai ikatan komunitas Muslim, hakikat dunia sebagai tempat ujian, hakikat Islam sebagai agama satu-satunya yang diterima Allah.

Semua hakikat itu bersifat abadi dan permanen dan tidak berubah karena faktor ruang dan waktu. Hakikat-hakikat dasar dan nilai-nilai itu bukan saja tidak dapat berubah, tapi juga tidak mungkin bertumbuh; sebagaimana realitas dan pola-pola kehidupan manusia terus berubah dan bertumbuh.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas ) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS: 30:30).

Itu sama sekali tidak berarti bahwa Islam mengebiri dan membekukan gerakan pemikiran dan kehidupan secara keseluruhan. Yang dilakukan Islam hanyalah memberi bingkai (frame of reference) di dalam mana pemikiran dan kehidupan manusia bergerak dan bertumbuh. Dalam bingkai itulah kaum Muslimin bergerak dan berkreasi, menghadapi tantangan perubahan hidup secara pasti dan elastis, bermetamorfosis secara teratur dan terarah, bertumbuh secara dinamis dan terkendali.

Bingkai seperti ini mutlak dibutuhkan untuk menciptakan rasa aman dan kepastian, keterarahan dan keutuhan, konsistensi dan kesinambungan. Kalau ada rahasia di balik soliditas dunia Islam selama lebih dari seribu tahun, itu karena adanya frame of reference tersebut. Itu kekuatan ideologi dan spiritual yang senantiasa memproteksi Islam dari penyimpangan dan keusangan.
“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu."(QS: 23: 71)

Tawazun
Artinya keseimbangan. Ajaran-ajaran Islam seluruhnya seimbang dan memberi porsi kepada seluruh aspek kehidupan manusia secara proporsional. Tidak ada yang berlebihan atau kekurangan, tidak ada perhatian yang ekstrim terhadap satu aspek dengan mengorbankan aspek yang lain. Karena semua aspek itu adalah satu kesatuan dan menjalankan fungsi yang sama dalam struktur kehidupan manusia.

Ada keseimbangan antara bagian-bagian yang bersifat fisik (zahir) dan metafisik (gaib) dalam keimanan. Ada keseimbangan antara kecondongan kepada materialisme dan spiritualisme dalam kehidupan. Ada keseimbangan antara aspek ketegasan hukum dan persuasi moral dalam bernegara. Ada keseimbangan antara Sunnah Kauniyah yang eksak dan pasti dengan kehendak Allah yang tetap bebas dan tidak terbatas (seperti dalam kasus istri nabi Ibrahim yang melahirkan di usia yang sangat tua, atau Maryam yang melahirkan tanpa proses biologis normal, atau pendinginan api bagi Ibrahim dan lainnya, semua ini tanpa harus mengganggu kepastian gerak alam yang dapat diobservasi oleh manusia secara empiris). Ada keseimbangan antara ibadah yang bersifat mahdhah (khusus) dengan ibadah dengan wilayah yang luas.
“Dan segala sesuatunya Kami ciptakan dengan kadarnya masing-masing.”(QS 54:49)
“Engkau takkan penah menemukan pada ciptaan Allah Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang.” (QS: 67: 3).

Ciri keseimbangan ini telah memproteksi Islam dari keterpecahan dan dikhotomi yang selalu ada dalam ideologi lainnya. Ada spiritualisme yang ekstrim dalam gereja di abad pertengahan, tapi juga ada materialisme yang ekstrim pada kaum sekuler. Ada porsi kelompok yang berlebihan dan sosialisme, tapi juga ada porsi individu yang ekstrim dalam kapitalisme liberal. Ini menciptakan pertentangan-pertentangan dalam struktur ideologi dan senantiasa mewariskan kegoncangan psikologis akibat ketidakutuhan dalam diri pada pemeluknya.

Waqi’iyyah
Artinya realisme. Islam diturunkan untuk berinteraksi dengan realitas-realitas obyektif yang nyata-nyata ada sebagaimana ia adanya. Selain itu ajaran-ajarannya didesign sedemikian rupa yang memungkinkannya diterapkan secara nyata dalam kehidupan manusia. Ia bukan nilai-nilai ideal yang enak dibaca tapi tidak dapat diterapkan. Ia merupakan idealisme yang realistis, tapi juga realisme yang idealis.
Tuhan adalah realitas obyektif yang benar-benar wujud dan wujud-Nya diketahui melalui ciptaan-Nya dan kehendak-Nya diketahui melalui gerakan alam. Alam dan manusia juga realitas obyektif.

“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikianlah ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. Dia menyingsingkan pagi dan manjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS: 6: 95-96)

Tapi konsep Islam juga didesign sesuai dengan realitas obyektif manusia, kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya, hambatan internal dan eksternalnya, potensi ril yang dimiliki manusia untuk menjalani hidup. Islam memandang manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya; dengan ruh, akal dan fisiknya; dengan harapan-harapan dan ketakutannya; dengan mimpi dan keterbatasannya. Lalu berdasarkan itu semua Islam menyusun konsep hidup ideal yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya. Islam bukan idealisme yang tidak mempunyai akar dalam kenyataan.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”.(QS: 2: 286.)

Ijabiyyah
Artinya sikap positif dalam menjalani kehidupan sebagai lawan dari pesimisme dan fatalisme. Keimanan bukanlah sesuatu yang beku dan kering yang tidak sanggup menggerakkan manusia. Keimanan adalah sumber tenaga jiwa yang mendorong manusia untuk merealisasikan kebaikan dan kehendak Allah dalam kehidupan ril. Islam memandang bahwa keimanan yang tidak dapat mendorong manusia untuk bekerja mengeksplorasi potensi alam dan potensi dirinya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, adalah keimanan yang negatif dan fatal.

Itulah sebabnya Islam memberi penghargaan besar kepada kerja sebagai bukti sikap positif dan dinamika dalam mengelola kehidupannya. Allah swt berfirman:
“Katakanlah: “Bekerjalah kamu! Nanti Allah akan menyaksikan pekerjaanmu bersama Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (QS: 9:105 ).

Bacaan yang dianjurkan :
1. Dasar-dasar Islam; Abul A’la Al Maududi
2. Petunjuk Jalan; Sayyid Qutb
3. Al Islam; Said Hawwa
4. Karakteristik Islam; DR. Yusuf Al Qardhawi
5. Salah Paham Terhadap Islam; Muhammad Qutb
6. Komitmen Muslim; DR. Fathi Yakan
7. Benarkah Kita Muslim; Muhammad Qutb
8. Prinsip-prinsip Islam Untuk Kehidupan; DR. Abdullah Al Muslih
9. La Ilaha Illallah Sebagai Aqidah, Syariah dan Sistim Kehidupan; Muhamad Qutb
10. Al Ubudiyah; Ibnu Taimiyah


Definisi dan Hikmah Puasa

Puasa dalam Pengertian Bahasa

Secara bahasa al-shiyâm, al-shaum, puasa, berarti menahan, al-imsâk. Seperti firman Allah yang mengisahkan Maryam: "Aku bernadzar puasa kepada Tuhan yang Pemurah" (QS. Maryam/19: 26). Al-shau, puasa, di sini berarti menahan bicara, diam.

Adapun puasa dalam pengertian terminologi agama adalah menahan diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan syarat-syarat tertentu.

Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai: "penahanan diri dari syahwat perut dan syahwat kelamin sepanjang hari disertai niat sebelum fajar selain waktu haid, nifas, dan hari-hari raya".

Puasa Ramadhn mulai diwajibkan pada bulan Sya'ban, tahun kedua Hijriyah.


Puasa dalam al-Qur'an

Allah berfirman dalam Al-Quran:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang di tentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya di turunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang di tinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang di berikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku (Allah) dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a, apabila ia memohon do'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. Al-Baqarah: 183-187)

Dalam ayat tersebut kita dapat melihat dengan jelas bahwa puasa telah diwajibkan kepada umat Islam sebagaimana telah diwajibkan kepada pemeluk ajaran-ajaran terdahulu dan umat-umat sebelum Islam. Ayat-ayat di atas juga menjelaskan hasil yang akan diraih dari pelaksanaan ibadah ini serta hikmah yang terkandung di dalamnya.

Hikmah Puasa

Sebagian hikmah puasa bisa dilihat dalam firman Allah yang artinya: "agar kamu bertakwa."

Puasa tidak diwajibkan sepanjang tahun, juga tidak dalam waktu yang sebentar melainkan pada hari-hari yang terbatas, yaitu hari-hari bulan Ramadan, dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Karena, jika puasa diwajibkan secara terus menerus sepanjang tahun atau sehari semalam tanpa henti, tentu akan memberatkan. Begitu pula jika hanya untuk waktu separuh hari, tentu tak akan memiliki pengaruh apa-apa, akan tetapi puasa diwajibkan untuk waktu sepanjang hari mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam, dan dalam hari-hari yang telah ditentukan.

Selain keringanan dalam masalah waktu, Allah juga membuktikan kasih sayang-Nya kepada hamba dengan memberikan keringanan-keringanan yang lain, di antaranya: orang sakit (yang membahayakan dirinya jika berpuasa) dan orang yang dalam perjalanan jauh (yang memberatkan dirinya jika melaksanakan puasa) diperbolehkan untuk berbuka dan menggantinya pada hari yang lain, sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan.

Dengan kalam-Nya Allah telah menegaskan kepada manusia keutamaan puasa di bulan suci Ramadhan sebagai bulan keberkahan, di mana Allah memberikan nikmat sekaligus mukjizat yang begitu agung kepada hamba-Nya, berupa turunnya al-Qur'an.

Ayat-ayat al-Qur'an juga menjelaskan betapa Tuhan begitu dekat dengan hambanya, Ia selalu menjawab do'a mereka di mana dan kapan pun mereka berada, tidak ada pemisah antara keduanya. Maka sudah selayaknya bagi seorang muslim, untuk selalu berdo'a, memohon ampun kepada Tuhannya, beribadah dengan ikhlas, beriman, dan tidak menyekutukan-Nya, dengan harapan Allah akan mengabulkan semua do'a dan permintaannya.

Diriwayatkan bahwa sekumpulan orang pedalaman bertanya kepada Nabi saw: "Wahai Muhammad! Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kami bermunajat (mengadu dan berdoa dalam kelirihan) kepada-Nya, ataukah Ia jauh sehingga kami menyeru (mengadu dan berdoa dengan suara lantang) kepada-Nya?" Turunlah ayat: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. (QS. al-Baqarah/2: 186)

Allah telah memberikan beberapa pengecualian bagi umat Muhammad dalam menjalankan ibadah puasa, seperti dibolehkannya seorang suami untuk memberikan nafkah batin kepada isterinya pada malam bulan Ramadhan, kecuali pada waktu I'tikaf di masjid, karena waktu tersebut adalah waktu di mana manusia seharusnya mendekatkan diri kepada Allah, tanpa disibukkan dengan perkara yang lain.

(Disunting dari al-Shiyâm fî 'l-Islâm, karya Dr. Ahmad Umar Hasyim)

HIKMAH PUASA

"Wahai orang yang beriman, diwajibkan atasmu ber-puasa sebagaimana telah diwajibkan bagi orang-orang sebelummu, agar engkau menjadi orang yang bertakwa." (Al-Baqarah 183).

Puasa ialah ibadah, orang yang beribadah ia-lah orang yang sedang mengabdi kepada Allah. Orang yang mengabdi ini disebut abdi-Nya. Abdi kalau dia sendiri dan ibadi kalau dia banyak atau jamak. Ibadi adalah panggilan kesayangan dari Khalik kepada makhluk yang dicintai-Nya. Ibadi adalah panggilan Allah sebagai pernyataan kasih-Nya yang luhur dan dalam, kepada hamba yang dekat-Nya. Kepada hamba-Nya yang sedang berbakti kepada-Nya, kepada hamba-Nya yang sedang beribadah kepada-Nya.

Puasa ialah ibadah, selama sebulan orang ber-puasa diawali dengan 1 Ramadhan, diakhiri dengan 1 Syawal. Artinya selama sebulan penuh orang beribadah. Puasa sama seperti ibadah yang lain mempunyai rukun dan syarat-syarat serta ada hal-hal yang membatalkannya. Seperti ibadah shalat di awali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Selama shalat kita tak boleh bicara dengan orang lain, nanti shalatnya tidak syah atau batal dan banyak ketentuan lain. Hal ini juga berlaku pada ibadah puasa.


Selama sebulan penuh dia beribadah, selama sebulan penuh dia mengabdi siang ataupun malam, selama sebulan penuh dia menjadi Hamba-Nya yang patuh. Karena selama sebulan itu dia sedang beri-badah, tentu tidak mungkin orang yang sedang beribadah ini berdusta, tidak mungkin meminum
minuman keras, tak mungkin dia menanda tangani kwitansi yang tak sesuai dengan yang sebenarnya, karena apa ? Karena ia sedang beribadah, karena ia sedang mengabdi. Jalannya terpimpin, dia berjalan pada garis yang lurus dan yang benar. Kalau ada godaan dari iblis yang mengajaknya untuk marah, untuk berbohong untuk korupsi, langsung dijawabnya :"Ana saim" saya sedang puasa, saya sedang beribadah, saya ingin dipanggil sebagai ibadi.

Siapakah yang berhak dipanggil sebagai ibadi, ibadullah, ibadurrahman ?
Ialah orang yang mengabdi kepada Allah. Di dalam Al Quran banyak disebut kata-kata ibadi ini :"Wahai jiwa yang tenang dan tentram, kembalilah pada Tuhanmu dalam keadaan redha dan diredhai. Masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kedalam syorga-Ku." Disini terlihat orang yang bisa masuk golongan hamba Allah itu adalah orang-orang yang dapat menaklukan nafsu amarah dan nafsu lawwamahnya menjadi nafsu mutmainnah, nafsu yang tenang dan tentram, yang tidak tergoda dan tidak ternoda. Dengan ibadah puasalah orang dapat mengasah dan merobah, kalau tadinya dalam dirinya bersarang nafsu amarah dan lawwamah dapat dikendalikannya menjadi nafsu mutmainnah. Semua kita mendambakan agar diwaktu pulang mengha-dap-Nya dipanggil dan panggilan ya ayyatuhai nafsu mutmainnnah, wahai jiwa yang tenang dan tentram. Terlihat disini bahwa ibadi itu dijamin akan masuk syorga bersama golongan hamba-hamba-Nya.

Apalagi syarat untuk menjadi ibadi ? Disebut oleh Allah yang hamba-hamba-Ku itu, dia tidak sombong kalau berjalan dipermukaan bumi dan dia akan merendahkan suara kalau berbicara. Jelas kalau ada orang yang sombong, pongah dan takabur, suka meninggi dan memandang orang lain dengan pandangan rendah, jangan diharap untuk bisa menjadi hamba-Nya.

Syarat lain ialah, yang hamba-hamba-Ku, kata Tuhan ialah orang-orang yang mencintai-Ku dan mencintai segalanya, dia lebih mendahului kehendak-Ku dari kehendak yang lain. Kalau orang lebih tunduk kepada perintah hawa nafsunya berarti dia diperbudak hawa nafsunya, bukan mengabdi kepada Allah. Tolok ukurnya, bila dalam satu keadaan bertemu ke-hendak Allah dan kehendak hawa nafsu, mana yang didahulukannya ? Kalau dia mendahulukan hawa nafsu, berarti nafsu didepan sekali, dia dibelakang nafsu dan Allah dibelakangnya. Tapi kalau dia mendahulukan kehendak Allah, maka Allah didepan, dia menggikuti Allah dan hawa nafsu mengikuti dia, inilah yang 'ibadi.

Keuntungan apa yang diperoleh kalau sudah menjadi 'ibadi ? Pertama, setiap orang yang shalat selalu mendoakannya Assalamu'alaina wa'ala 'ibadi-lahishalihin. Setiap detik dan setiap saat ada saja orang di atas dunia ini yang sedang shalat, begitupun di Masjidil haram dan setiap itu pula doa dilafaskan untuk semua 'ibadi.

Kedua iblis tidak sanggup menggoda 'ibadi. Tatkala iblis tercampak dari syorga, dia dendam kepada manusia, dia mohon kepada Allah agar di-zinkan untuk menggoda Adam dan anak cucunya sampai hari kiamat agar sama-sama masuk neraka. Permohon-an itu dikabulkan oleh Allah, kamu boleh menggoda semua manusia, tapi ingat kata Tuhan :"Inna 'ibadi laisalaka alaihim sulthan." sesungguhnya yang hamba-hambaKu tiada kekuatan bagimu untuk mengodanya. Karena apa ? Karena ia sedang mengabdi pada-Ku, karena ia sedang beribadah, karena ia sedang berpuasa. Sehingga dibulan Ramadhan
itu iblis terbelenggu tangannya, karena ia tidak bisa menggoda orang yang sedang berpuasa, pintu syorga dibuka selebar-lebarnya. Karena dijamin oleh Allah yang 'ibadinya tempatnya di Syorga.

Semoga kita terkelompok dalam golongan 'Ibadi. Semoga puasa yang telah jalankan dengan penuh ke imanan dan penuh perhitungan membuahkan hasil. Berhasil menjadi hamba_Nya berhasil menjadi "Ibadi".


Rabu, 29 Juli 2009

Ihsan (ust. Rahmat Abdullah)

I. Mukaddimah

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hambah Allah SWT. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat dimata Allah SWT. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.

Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari aqidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril—yang menyamar sebagai seorang manusia—mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya :


"Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian." Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah SWT memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah: 195

"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan...."(an-Nahl: 90)

II. PENGERTIAN IHSAN
Ihsan berasal dari kata Ø­َسُÙ†َ yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah اِØ­ْسَانْ, yang artinya kebaikan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri..." (al-Isra': 7)

"...Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu...." (al-Qashash:77)

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah SWT.

Landasan Syar'iIhsan.

Pertama, Al-Qur`anulKarim.
Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.

"...Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik." (al-Baqarah:195)

"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan...." (an-Nahl: 90)

"...serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia...."(al-Baqarah: 83)

"...Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu...." (an-Nisaa`: 36)

Kedua, As-Sunnah.
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan :

"Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik..."(HR. Muslim)

III. TIGA ASPEK POKOK DALAM IHSAN
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak. Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, "Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati jannatul firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya jarak antara mereka.

Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama, Tingkat Takwa.
Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk katagori al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing. Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.

Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah SWT.

Kedua, Tingkat al-Bir.
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalan-amalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus terdapat janji pahala didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir, kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.

Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.

"...Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung." (al-Baqarah: 189)

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu: Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang banyak berbuat baik." (Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).

Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.

2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa' ayat 36, yang berbunyi sebagai berikut : "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu..."

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.

"Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil." (al-Israa': 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda :
"Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua."

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi :

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami sedngan bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab : “Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun unyuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturrahmi dari sanak saudarnya serta memuliakan teman-temannya

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?" (Muhammad: 22)

Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman :

"Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya."(HR. Turmuzdi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, "Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi."(HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini...(seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya)."

Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : "Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni."

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.

Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma'had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya :

Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : Demi Yang jiwaku berada di tangan-NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya) seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya. (HR.Ahmad)

Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda :
"Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya."(HR. ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya." (HR. Jama'ah, kecuali Nasa'i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, "Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?" Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, "Berapa kali ya, Rasulullah?" Rasul menjawab, "Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari." (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan." (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)

Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.

Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT menutupnya firman-Nya yang berbunyi :
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat." (al-Hajj: 38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda : Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Ucapan yang baik adalah sedekah."

Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.

Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang.
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
1. Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu Hamzah. Mereka mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata
"Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh."

2. Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, "Kipasilah aku sampai aku tertidur." Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, "Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku".

3. Akhlak.
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits :
"Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia."


IV. PENUTUP
Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita.
Wallahu a'lam bish-shawwab.

Daftar Pustaka.
1. Al-Qur`an dan terjemahannya.
2. Shahih al-Bukhari.
3. Shahih Muslim.
4. Sunan Turmuzdi.
5. Sunan Abi Daud.
6. Sunan An-Nasa'i.
7. Minhaju al-Muslim, Abu Bakr Jabir al-Jazairy.
8. Ibtila'ul Ibadah bil Imani wal Islami wal Ibadah, Abdur Rahman Hasan Habannakah al-Maidany.
9. Jundullah Tsaqafatan wa Akhlaqan, Sa'id Hawa.
10. Adabud Dunya wa Dien, al-Mawardy.




Haji dan Kecerdasan Spiritual Masyarakat

HARI-hari ini jemaah haji asal Indonesia sudah mulai berdatangan. Tawa gembira serta derai air mata ikut menyambut kedatangan mereka. Terpancar rasa bahagia bisa kembali bertemu dengan keluarga dalam keadaan sehat dan selamat. Hal ini sangatlah wajar mengingat begitu beratnya ibadah haji.

Setiap tahun sekira 200.000 (dibatasi kuota) Muslim Indonesia menunaikan ibadah haji. Begitu tingginya daya tarik "pergi" haji sehingga di daerah yang sedang dilanda kerusuhan/bencana pun, jumlah jemaah hajinya masih besar. Dari segi jumlah, tentu hal tersebut menggembirakan karena hal ini memperlihatkan adanya semangat untuk melaksanakan ibadah haji. Namun cukuplah itu?


Tentu tidak. Karena bila demikian, hikmah ibadah haji menjadi tidak terimplementasikan. Ibadah haji hanya menjadi perjalanan "rekreasi" semata, yang sibuk dengan aktivitas "jalan-jalan" mencuci mata dan belanja oleh-oleh, bahkan tidak tertutup kemungkinan gelar "haji" hanya akan membuatnya semakin takabur. Sayangnya hal inilah yang banyak terjadi di negeri ini.
Jumlah masyarakat dan pejabat termasuk para artis yang sudah lulus "haji" (ditandai dengan seringnya kita temui "gelar" H. atau Hj. di depan nama seseorang) cukup banyak dan semakin banyak.

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini sudah jutaan penduduk Indonesia yang mampu melaksanakan ibadah haji. Dengan kondisi tersebut, seharusnya kualitas masyarakat Indonesia semakin baik, semakin bermoral. Namun mengapa kenyataannya justru sebaliknya? Mengapa bangsa Indonesia justru kian kacau saja?

Mengapa KKN ada di mana-mana? Mengapa kekerasan makin marak? Mengapa main hakim sendiri menjadi hal yang lumrah? Mengapa krisis ekonomi kian parah saja? Mengapa pornografi dan pornoaksi (ingat goyang "ngebor" Inul) semakin merajalela? Mengapa bencana alam terjadi di mana-mana?

Singkatnya, mengapa kondisi bangsa dan masyarakat Indonesia tidak semakin aman, sejahtera, dan "benar"?

Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi di atas antara lain disebabkan oleh belum terbentuknya kecerdasan spiritual (spiritual intelligence - SQ) masyarakat walaupun selama ini kita mengklaim diri sebagai masyarakat beragama. Dalam konteks inilah pengamalan intisari ibadah haji dalam hidup keseharian menjadi urgen. Bukankah perjalanan ibadah haji sarat dengan nilai pendidikan yang berpengaruh pada upaya membentuk kecerdasan spiritual?

Kecerdasan spiritual
Di awal abad ke-20 manusia menemukan kecerdasan intelektual (intellegence quotient - IQ), sebuah perangkat untuk mengukur kemampuan seseorang dalam mengingat serta memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan logis dan strategis. Pada pertengahan tahun 1990-an, Daniel Goleman memopulerkan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang kecerdasan emosional (emotional intellegence EQ). Kemudian berkembang pula istilah kecerdasan moral (moral intellegence - MQ). ntuk pertama kali, MQ dicetuskan oleh seorang dokter anak terkemuka, Dr. Ustin McIntosh. Kemudian disebarluaskan oleh Robert Coles, seorang psikiater pada Harvard university Healty Services, melalui bukunya The Moral Intellegence of Children: How to Raise a Moral Child (1997). Menurutnya, kecerdasan moral dihidupkan oleh imaji moral yaitu kemampuan manusia yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar/salah dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual pikiran manusia dan di pengujung abad ke-20 ini diperkenalkan SQ.

Menurut fisikawan dan psikoterapis dari Oxford University, Danah Zohar & Ian Marshall dalam Spiritual Intellegence, The Ultimate Intellegence (2000), SQ merupakan alat untuk membangun berbagai perspektifk baru dalam kehidupan, yang dapat menimbulkan a sense of something beyond, melahirkan a sense of something more yang akan selalu memberikan nilai tambah dan makna lebih di manapun manusia itu berada.
Haji dan kecerdasan spiritual

Sesungguhnya ibadah haji tidak hanya untuk mengenang perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim yang dikenal sebagai Bapak Monoteisme tiga agama besar dunia, tetapi lebih merupakan "jalan" untuk membantu umat Muslim mencapai kecerdasan spiritual.
Ritual sa'i misalnya yang berupa berlari-lari kecil Sofa-Marwah sebanyak tujuh kali melambangkan kegigihan Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) mencari air untuk anaknya (Nabi Ismail) yang masih kecil. Seharusnya umat Islam pun demikian, mau berupaya dengan keras dan tekun dalam mencapai tujuan. Bukan sebaliknya, ingin cara yang tercepat (maunya serbainstan), tak peduli itu benar atau salah.

Bahkan, atmosfer ibadah haji pun sangat baik untuk mencerdaskan spiritual umat. Hingga kini ibadah haji masih dianggap sebagai perjalanan menuju kematian. Ketika berpamitan, selain mohon didoakan agar menjadi haji mabrur (diterima) seorang calon haji juga minta didoakan agar ia bisa pulang dalam keadaan hidup. Apalagi, cerita haji tidak bisa lepas dari berbagai kepercayaan bahwa tindakan buruk akan langsung mendapat balasan. Seharusnya umat Islam pun demikian, takut untuk melakukan hal yang buruk karena pasti akan memperoleh balasan. Bukan seperti sekarang, ketakutan tersebut hanya ada ketika di Tanah Suci. Ketika kembali ke Tanah Air, kembali melakukan hal yang tercela (gemar mencaci maki, korupsi, pungli, boros, angkuh, sombong, dsb).

Sementara ritual kurban yang biasanya selalu menyertai ibadah haji, yang melambangkan peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh ayahnya Nabi Ibrahim yang kemudian diganti kambing setidaknya mengajarkan tiga hal. Pertama, bahwa jangankan terhadap diri orang lain, terhadap dirinya sendiri pun manusia tidak memiliki hak apa-apa. Itulah sebabnya tidak pantas untuk sombong, ria, dan takabur.
Kedua, mengajarkan agar kita tidak mencintai sesuatu secara berlebihan. Orang yang sangat mencintai diri sendiri akan membuat ia meremehkan orang lain. Orang yang sangat mencintai harta benda akan berupaya dengan segala cara, termasuk yang haram untuk mencapai jumlah harta yang diinginkannya. Orang yang mencintai kekuasaan akan merasa ketakutan bila kekuasaan itu akan diambil orang, karenanya ia membentengi diri agar orang tidak dapat masuk ke daerah kekuasaannya. Entah dalam bentuk membuat pagar kekuasaan ataupun menghidupkan kezaliman.

Sedihnya, justru kondisi inilah yang terjadi di negeri ini, tampak dari maraknya kasus korupsi. Yang kian hari justru semakin merajalela.
Pada tahun 1999, The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC, Hongkong) menyimpulkan bahwa dari 12 negara yang disurvei, tingkat korupsi di Indonesia paling tinggi (skor 9,91) dan sarat dengan kroniisme (skor 9,09). Hasil yang identik juga tampak dari indeks persepsi korupsi yang disusun oleh Transparency International (Nerlin). Pada tahun 2001, hasil survei TI menempatkan Indonesia di urutan ke-89 (skor 1,9 yang skor 10 berarti sangat bersih dan 0 berarti sangat korup) dari 91 negara. Peringkat ini lebih buruk dari tahun 1999 yang berada di urutan ke-97 (1,7) dari 99 negara maupun bila dibandingkan dengan tahun 2000 yang berada di urutan 86 (skor 1,7) dari 90 negara. Bahkan, hasil survei PERC pada tahun 2002, memperlihatkan bahwa tingkat korupsi dan kroniisme di Indonesia paling tinggi di Asia (peringkat 3 di dunia).

Ketiga, untuk mengajak umat Muslim hidup asketis yaitu mampu menunda kenikmatan sesaat guna memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya yang langgeng. Namun apa nyatanya? Ternyata kita sangat serakah dan rakus. Buktinya, tidak mampu menahan diri untuk tidak seenaknya saja menggerogoti hutan. Dalam foto udara Citra Landsat tahun 1997, ternyata hutan alam tropis di Peg. Kapuas (Kalimantan), tinggal 20%. Padahal, hutan tersebut merupakan daerah tangkapan air hampir smua hulu sungai di Kalimantan (Kompas, 16/8/00). Data dari Badan Planologi Kehutanan (BPK) tahun 2000 menunjukkan bahwa kawasan yang tidak lagi berhutan sudah mencapai 40,26 juta Ha, atau 33% dari luas semula ( 119,7 juta ha) (Kompas, 17/1/2001). Padahal setiap tahun, sedikitnya ada 1,8 juta ha hutan yang ditebang sehingga diprediksikan seluruh hutan alami di Sumatra akan hilang pada tahun 2005-2010, sedangkan yang di Kalimantan pada tahun 2010-2015 (Kompas, 5/8/01).

Bagaimana dengan kondisi hutan di Jawa Barat? Sangat memprihatinkan. Hanya 5% lahan hutan yang kondisinya masih baik sehingga diperkirakan pada tahun 2004 atau 2005 nanti hutan di Jawa Barat sudah habis (Kompas, 8/1/03).
Buktinya, kita juga sembrono dalam mengeksploitasi laut. Indonesia memiliki laut seluas di dunia, memiliki areal terumbu karang seluas 85.000 km2 (nomor dua di dunia setelah Australia). Sesungguhnya, bila dikelola dengan benar, akan diraih keuntungan 4.2 miliar dolar AS/tahun. Namun kenyataannya, justru rugi 12 juta dolar AS/th (Kompas, 15/2/00).

Hal ini akibat kerakusan kita dalam mengeksploitasi laut sehingga tidak mengiraukan kehidupan biota laut. Hasil Program Reff Check 1999 dari Yayasan WWF Indonesia Wallacea memperlihatkan bahwa hanya 5,56% terumbu karang Indonesia yang dalam kondisi baik. Sisanya dalam kondisi sedang (47,22%) bahkan buruk (47,22%). Padahal, hasil penelitian LIPI pada tahun 1997 memperlihatkan bahwa 6,2% masih dalam kondisi sangat baik, 23,72% sedang, dan 41,78% buruk (Kompas, 22/12/99).

Buktinya, kita sangat boros dalam mengeksplorasi tambang. Selama ini kita sombong dan menganggap negara ini kaya akan tambang. Minyak misalnya. Memang diperkirakan cadangan minyak Indonesia sebesar 9,5 miliar barrel. Namun cadangan pasti hanya 4,8 miliar barrel. Padahal, setiap tahun Indonesia memproduksi 550 juta barrel (4-5%) sehingga diperkirakan dalam waktu tujuh tahun, cadangan minyak Indonesia akan habis. Bahkan dalam waktu lima tahun lagi, Indonesia akan menjadi pegimpor neto minyak bumi (Kompas, 11/9/0).

Akibat dari ketidakmampuan menahan diri, kesembronoan dan keborosan kita, maka terjadilah kondisi negara ini tidak hentinya didera berbagai bencana. Di musim hujan, bencana banjir dan longsor terjadi silih berganti. Di musim kemarau, kekeringan dan kekurangan pangan selalu terjadi dan di setiap saat kira didera oleh polusi air, polusi tanah, dan polusi udara serta belum lepas dari kemiskinan. Selain itu kita juga didera berbagai aksi kekerasan.

Seharusnya kita malu terhadap negara-negara yang tidak banyak memiliki "haji", namun justru lebih memahami dan melaksanakan hikmah ritual haji dan kurban. Prancis misalnya, karena keberhasilannya menghargai hutan, maka sekarang dapat menikmati devisa dari ekspor air hasil ekosistem hutannya. Vietnam, sejak 1997 sudah menghentikan penebangan hutan alamnya untuk difungsikan sebagai penyangga kesuburan lahan pertanian, sedangkan Finlandia merupakan negara yang terbersih dari korupsi.

Menjadi teladan
Akankan kondisi di atas dibiarkan saja? Seharusnya tidak. Di sinilah pengamalan hikmah ibadah haji memegang peranan. Bukankah selama ini ibadah tersebut dianggap sebagai puncak ritual umat Muslim (karena memadukan kekuatan fisik, ketangguhan rohani, dan kemampuan harta)? dan bukankah sesunguhnya para alumni haji tersebut memiliki kewajiban moral untuk mencerdaskan secara spiritual masyarakat sekiranya? Setidaknya menjadi teladan bagi mereka.

Akhirnya, selamat datang para Bapak Haji dan Ibu Hajjah. Semoga Anda mampu menularkan kecerdasan spiritual bagi sekiranya. Ingat, mengabaikan pengalaman hikmah ibadah haji berarti mengabaikan peluang pemberdayakaan diri, sebagai inti dari pemberdayan masyarakat. Bukankah Anda tidak ingin bangsa ini terus berkubang dalam kebodohan, kekerasan, penyelewengan, korupsi, kemiskinan, banjir, longsor...?

IBADAH haji adalah salah satu bentuk ibadah yang memiliki makna multiaspek, ritual, individual, politik psikologis, dan sosial. Dikatakan aspek ritual karena haji termasuk salah satu rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan setiap muslim bagi yang mampu (istitho'a), pelaksanaannya diatur secara jelas dalam Al Qur'an.
Haji sebagai ibadah individual, keberhasilannya amat ditentukan oleh kualitas pribadi tiap-tiap umat Islam dalam memahami aturan dan ketentuan dalam melaksanakan ibadah haji. Haji juga termasuk bentuk ibadah politik, karena persiapan sampai pelaksanaanya masih memerlukan intervensi atau campur tangan pihak lain (pemerintah).
Dari aspek psikologis, ibadah haji berarti tiap-tiap jemaah harus memiliki kesiapan mental yang tangguh dalam menghadapi perbedaan suhu, cuaca (iklim), budaya daerah yang sangat berbeda dengan situasi (iklim) bangsa Indonesia. Yang tidak kalah penting dari ibadah haji adalah makna sosial, yaitu bagaimana para jemaah haji memiliki pengetahuan, pemahaman mengaplikasikan pesan-pesan ajaran yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji ke dalam konteks kehidupan masyarakat.

Syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata hanya untuk kepentingan transendental (antara manusia dengan Allah) tetapi yang paling penting adalah dijadikan pelajaran para pelakunya untuk membentuk kepribadian atau moralitas pergaulan antara sesama manusia. Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap umat Islam umumnya dan para jemaah haji khususnya.

Substansi ibadah haji
"Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya Allah, kami datang ke-Hadlirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah, segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah ".

Kalimat itu selalu menggema di saat musim haji seperti sekarang ini; maknanya adalah pengakuan, kepasrahan, ketaatan, dan kepatuhan dari seorang hamba (makhluk) kepada Sang Pencipta (Kholiq) Yang Maha Agung, Maha Pengasih dan Maha penyayang. Kepatuhan dan ketaatan, dan pengakuan terhadap keagungan Allah merupakan sarana paling efektif untuk mewujudkan kejujuran, keikhlasan yang bisa menghilangkan aneka bentuk kejahatan dan kesombongan manusia dalam menjalankan tugas, peran, dan tanggung jawab sehari-hari.

Siapa pun yang memiliki pengakuan terhadap keagungan Allah berarti manusia memiliki kesiapan untuk bersikap dan berbuat yang sesuai perintah Allah dalam arti tidak akan mau melanggar aturan, etika, dan norma yang berlaku.

Ibadah haji tidak cukup dengan ketepatan, rutinitas syarat dan rukunnya. Siapa pun yang berniat melaksanakan ibadah haji senantiasa harus memelihara ucapan agar tidak mudah menimbulkan fitnah yang mengakibatkan orang lain tersinggung. "Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan ini akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji" (QS. Al-Baqarah: 197).

Dalam tafsir al-maroghi, kata rafats diartikan segala ucapan, sikap dan perilaku yang bisa menimbulkan birahi, tidak senonoh, ketersinggungan, malapetaka bagi orang lain yang mendengar dan melihat. Selama menjalankan ibadah haji, para jemaah dianjurkan selalu berdzikir (ingat) kepada Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 198). Dzikir tidak hanya sekadar bagaimana manusia melafalkan kalimat "Laa ilahaillallaah", tetapi yang terpenting bagaimana mengimplementasikan makna kalimah dzikir dalam kehidupan sehari-hari.

Barang siapa yang menjalankan ibadah haji hendaknya memahami dan mampu mengambil hikmah dari tiga peristiwa masa lalu (sejarah). Peristiwa pertama, pada bulan haji ini, secara serentak umat Islam dianjurkan melaksanakan shalat sunah Idul Adha di lapangan terbuka.

Kekompakan itu melambangkan adanya pelajaran bagi umat islam, baik yang melaksanakan ibadah haji maupun yang belum agar selalu menjalin dan menjaga persatuan dan kesatuan (ukhuwah) di antara sesama manusia. Predikat haji yang diperoleh bukan untuk sarana kebanggaan atau kesombongan, melainkan sebagai sarana untuk melatih dan membangun kesabaran, penghargaan, penghormatan kepada sesama umat manusia.
Peristiwa kedua, pada bulan haji ini semua umat Islam bagi yang mampu, melakukan penyembelihan hewan (kurban) serta ada mengalir darah hewan di mana-mana. Hal ini menandakan kesediaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji harus berusaha membunuh atau membuang sifat-sifat kebinatangan (nafsu hewaniyah) yang hanya menitikberatkan pada masalah nafsu emosional, keserakahan tanpa mengenal aturan dan etika, berganti menjadi mentalitas manusia yang selalu menjunjung tinggi rasional, akal budi, perasaan, menghargai dan menjunjung tinggi etika, norma dan aturan yang berlaku baik secara sosial maupun agama.

Peristiwa ketiga, pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci akan dihadiri oleh jutaan manusia di dunia yang berasal dari berbagai negara dan memiliki budaya, karakter, warna kulit, yang sangat berbeda-beda. Mereka semua bisa bersatu padu tanpa memperhatikan dan mempersoalkan asal usul, warna kulit maupun budaya. Artinya, siapa pun yang memiliki niat menjalankan ibadah haji harus berusaha menumbuhkan perasaan atau mentalitas pluralistik dalam segala hal, dengan cara menumbuhkan semangat kebersamaan, toleransi, saling menghormati dan menghargai manusia.

Makna sosial
Selama ini ibadah haji cenderung lebih dipahami sebagai ibadah ritual daripada ibadah sosial. Artinya, predikat haji bagi seseorang hanya dilihat dari kemampuan berangkat ke Tanah Suci dan datang kembali di tanah air dengan disertai cerita-cerita atau pengalaman religius yang beraneka warna. Padahal, ibadah haji lebih banyak makna sosialnya daripada makna ritual (transendental), hal ini didasarkan substansi Islam sebagai agama rohmatan lil'alamiin (QS. Al-Anbiya:107).
Makna sosial ibadah haji dapat diambil dari serangkaian kegiatan yang dilakukan selama ibadah haji berlangsung dan juga dikategorikan sebagai syarat dan rukun ibadah haji. Di antara kegiatan ritual haji yang mengandung makna sosial antara lain sebagai berikut.

Pertama, Ihram, mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari lambang material dan ikatan kemanusiaan, mengosongkan diri dari mentalitas keduniawiaan, membersihkan diri dari nafsu serakah angkara murka, kesombongan serta kesewenang-wenangan.

Umat Islam yang telah memakai pakaian ihram harus berjiwa stabil, tidak dikendalikan nafsu emosional terhadap material (kekayaan/harta), kalaupun mencari kekayaan/harta harus selalu memperhatikan, menghormati dan menjunjung tinggi aturan yang ada. Praktek KKN, menumpuk kekayaan sementara orang lain menderita; menimbun barang pada saat orang lain kesulitan mencari, harus segera ditinggalkan kalau umat Islam sudah mengenakan pakaian ihram di Tanah Suci.

Kedua, Thowaf, mengandung isyarat keluar dari lingkungan manusia yang buas dan masuk ke dalam lingkungan Rabbaniyah yang penuh kasih sayang, saling menghargai dan saling menghormati. Sebelum thowaf, jamaah haji lebih dahulu melontar jumrah sebagai pertanda mengusir setan yang menggoda Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar. Itu artinya setiap jemaah haji harus selalu berusaha mengusir godaan setan yang bersarang dalam dirinya.

Ketiga, Sa'i, mengandung isyarat kesediaan menjalankan tugas dan tanggung jawab (berjalan) bagi jemaah haji ke arah hal-hal yang positif dan bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Artinya, siapa pun yang sudah menjalankan ibadah haji harus bisa mengambil makna Sa'i yakni menyadari perlunya perilaku yang positif, baik untuk dirinya maupun orang lain (masyarakat).

Keempat, Al-hulqu/Tahallul, (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan, penghapusan sisa-sisa cara berpikir kotor yang masih berada dalam kelopak kepala masingmasing manusia. Jemaah haji yang telah menjalankan tahallul mesti harus memiliki cara pikir dan konsep kehidupan yang bersih, tidak menyimpang dari etika dan norma sosial maupun agama. Dengan kata lain tahallul berarti mengajarkan kepada umat Islam yang menjalankan ibadah haji agar bisa memiliki dan mengekspresikan pikiran yang baik dan positif serta menerapan dalam tindakannya sehari-hari.
Makna sosial ibadah haji adalah mengajarkan kepada umat Islam umumnya dan jamaah haji khususnya, agar senantiasa mengubah pikiran, sikap, serta perilaku (tindakan) yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan orang lain. Jangan sampai memiliki persepsi bahwa ibadah haji itu hanya untuk Allah, justru yang paling esensial adalah ibadah haji itu diperuntukkan bagi sesama manusia dengan cara selalu menjaga, menghormati, dan menghargai.